Sabtu, 20 Juni 2015

sukristiawan.com:TERUNGKAPNYA MISTERI KERUSUHAN MEI 1998 DAN HUBUNGANYA DNG AKTOR SUKSESI JOKOWI

Home / RAGAM / TERUNGKAPNYA MISTERI KERUSUHAN MEI 1998 DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTOR SUKSESI JOKOWI benny moerdani TERUNGKAPNYA MISTERI KERUSUHAN MEI 1998 DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTOR SUKSESI JOKOWI admin May 13, 2015 RAGAM, TERKINI Leave a comment 216,260 Views Facebook Twitter Google + Stumbleupon Fahreenheat.com- Saya pernah menempuh pendidikan di sekolah milik Cosmas Batubara, tokoh eksponen’66 yang menghadiri rapat di rumah Fahmi Idris yang juga dihadiri Sofyan Wanandi. Rapat mana untuk pertama kalinya Benny Moerdani mengungkap rencana menggulingkan Presiden Soeharto melalui kerusuhan rasial anti Tionghoa dan Kristen (Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, Penerbit Mizan, hal. 316). Salah satu kegiatan wajib di sekolah milik Cosmas Batubara adalah melakukan retreat dan tahun ajaran 1992-1993, seluruh siswa kelas 5 SD retreat selama lima hari di sebuah wisma sekitar Klender yang lebih mirip asrama daripada tempat retreat. Wisma lokasi retreat tersebut sudah sangat tua dan berdesain khas gedung tahun 1960an. Sejak awal menjejakan kaki di sana saya sudah merasakan aura yang tidak enak dan ini sangat berbeda dari lokasi retreat lain seperti Maria Bunda Karmel di puncak. Adapun kegiatan selama retreat lebih menekankan kepada kedisiplinan dan melatih mental sehingga setiap kamar tidak ada kipas angin atau AC, dan selama retreat kami dipaksa bangun jam 4 pagi padahal baru tidur rata-rata jam 11 malam, ada puasa sepanjang hari, berdoa semalam suntuk dan ada beberapa kegiatan yang tidak lazim seperti diminta mencium dan mengingat bau bumbu masakan atau bunga yang disimpan dalam beberapa botol kecil selanjutnya mata ditutup dan setiap anak akan disodori botol-botol tadi dan diminta menebak bau/wangi apa. Puluhan tahun kemudian saya membaca bahwa pada tahun 1967 tempat pendidikan Kaderisasi Sebulan (Kasebul) milik Pater Beek dipindahkan ke Klender, Jakarta Timur yang memiliki tiga blok, 72 ruangan dan 114 kamar tidur. Apakah lokasi yang sama Kasebul dengan tempat retreat adalah tempat yang sama? Saya tidak tahu. Puluhan tahun kemudian saya masih ingat pengalaman selama lima hari yang luar biasa melelahkan tersebut padahal saya tidak ingat pengalaman retreat saat di Maria Bunda Karmel, dan karena itu saya menjadi paham maksud Richard Tanter bahwa metode Kasebul yang melelahkan jiwa dan raga tersebut pada akhirnya menciptakan kader yang sepenuhnya setia, patuh kepada Pater Beek secara personal, menjadi orangnya Beek seumur hidup dan bersedia melakukan apapun bagi Pater Beek sekalipun kader tersebut sudah pulang ke habitat asalnya. Entah apakah Kasebul masih dilakukan hari ini mengingat kekuasaan Katolik dan Paus di Roma sudah tidak sekuat puluhan tahun silam, namun saya yakin Kasebul masih ada setidaknya tahun 1992-1993 sebab Suryasmoro Ispandrihari mengaku kepada Mujiburrahman bahwa tahun 1988 dia pernah ikut Kasebul dan diajarkan untuk anti Islam, pernyataan yang dibenarkan oleh Damai Pakpahan, peserta Kasebul tahun 1984. Oleh karena itu saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan murid-murid pertama Pater Beek seperti Jusuf Wanandi, dan Sofyan Wanandi di CSIS bila mereka sampai hari ini tidak bisa melepas karakter Ultra Kanan untuk melawan Islam, bagaimanapun begitulah didikan Pater Beek, tapi tetap saja mereka tidak bisa dimaafkan karena mendalangi Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dan harus diproses secara hukum. Upaya menggerakan massa untuk jatuhkan Presiden Soeharto dimulai tanggal 8 Juni 1996, ketika Yopie Lasut selaku Ketua Yayasan Hidup Baru mengadakan pertemuan tertutup dengan 80 orang di Hotel Patra Jasa dengan tema “MENDORONG TERCIPTANYA PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP REZIM ORDE BARU DI DAERAH-DAERAH” yang dihadiri antara lain oleh aktivis mahasiswa radikal, tokoh LSM, mantan tapol, Sofyan Wanandi-Megawati Soekarnoputri-Benny Moerdani. Tidak berapa lama, operasi Benny Moerdani untuk meradikalisasi rakyat dengan tujuan “mendorong” mereka bangkit melawan Presiden Soeharto dimulai ketika pada tanggal 22 Juni 1996, Dr. Soerjadi, orang yang pada tahun 1986 pernah diculik Benny Moerdani ke Denpasar dan akhirnya menjadi Ketua PDI periode 1986-1992 dengan diperbantukan Nico Daryanto dari CSIS dan bekerja di bank milik kelompok usaha Sofyan Wanandi yaitu Gemala Grup dan Presiden Direktur PT Aica Indonesia, akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum PDI menggeser boneka Benny Moerdani untuk menggantikan Presiden Soeharto yaitu Megawati Soekarnoputri dalam kongres yang juga dibiayai oleh Sofyan Wanandi. Adapun menurut kesaksian Alex Widya Siregar, terpilihnya Megawati Soekarnoputri pada munas tahun 1993 adalah karena Direktur A Badan Intelijen ABRI waktu itu yaitu Agum Gumelar menggiring peserta munas ke Hotel Presiden sambil ditodong pistol dan mengatakan “Siapa tidak memilih Megawati akan berhadapan dengan saya.” Belakangan diketahui bahwa Agum Gumelar adalah salah satu anak didik yang setia kepada Benny Moerdani dan bersama Hendropriyono menerima perintah untuk seumur hidup menjaga Megawati Soekarnoputri. Sebulan kemudian pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi penyerbuan ke kantor PDI oleh massa Dr. Soerjadi menghantam massa PDI Pro Mega yang sedang berorasi di depan kantor PDI, dan Megawati telah mengetahui dari Benny Moerdani bahwa penyerbuan akan terjadi namun dia mendiamkan sehingga berakibat matinya ratusan pendukung Megawati dan menelan korban harta dan jiwa dari rakyat sekitar. Pada hari bersamaan Persatuan Rakyat Demokratik yang didirikan oleh Daniel Indrakusuma alias Daniel Tikuwalu, Sugeng Bahagio, Wibby Warouw dan Yamin mendeklarasikan perubahan nama menjadi Partai Rakyat Demokratik yang mengambil tempat di YLBHI, dan selanjutnya pasca Budiman Soejatmiko dkk ditangkap, pada Agustus 1997 PRD deklarasikan perlawanan bersenjata. Hasil karya CSIS-Benny Moerdani-Megawati dalam Kudatuli antara lain: berbagai gedung sepanjang ruas jalan Salemba Raya seperti Gedung Pertanian, Showroom Auto 2000, Showroom Honda, Bank Mayapada, Dept. Pertanian, Mess KOWAD, Bus Patas 20 jurusan Lebak Bulus – Pulo Gadung, bus AJA dibakar massa. Sepanjang Jl. Cikini Raya beberapa gedung perkantoran seperti Bank Harapan Sentosa dan tiga mobil sedan tidak luput dari amukan massa dll. Selanjutnya pada hari Minggu, 18 Januari 1998 terjadi ledakan di kamar 510, Blok V, Rumah Susun Johar di Tanah Tinggi, Tanah Abang sesaat setelah jam berbuka puasa yang membuat ruangan seluas 4 x 4 meter tersebut hancur berantakan. Langit-langit yang bercat putih porak-poranda, atap ambrol, dinding retak, salah satu sudut jebol dan di sana sini ada bercak darah. Menurut keterangan Mukhlis, Ketua RT 10 Tanah Tinggi bahwa Agus Priyono salah satu pelaku yang tertangkap saat melarikan diri, ditangkap dalam kondisi belepotan darah dan luka di bagian kepala dan tangannya, sementara dua lainnya berhasil kabur. Setelah melakukan pemeriksaan, polisi menemukan: 10 bom yang siap diledakan, obeng, stang, kabel, botol berisi belerang, dokumen notulen rapat, paspor dan KTP atas nama Daniel Indrakusuma, disket, buku tabungan, detonator, amunisi, laptop berisi email dan lain sebagainya. Dari dokumen tersebut ditemukan fakta bahwa Hendardi, Sofyan Wanandi, Jusuf Wanandi, Surya Paloh, Benny Moerdani, Megawati terlibat dalam sebuah konspirasi jahat untuk melancarkan kerusuhan di Indonesia demi gulingkan Presiden Soeharto. Temuan tersebut ditanggapi Baskortanasda Jaya dengan memanggil Benny Moerdani (dibatalkan), Surya Paloh dan kakak beradik Wanandi dengan hasil: 1. Surya Paloh membantah terlibat dengan PRD namun tidak bisa mengelak ketika ditanya perihal pemecatan wartawati Media Indonesia yang menulis berita mengenai kasus bom rakitan di Tanah Tinggi tersebut. 2. Jusuf Wanandi dan Sofyan Wanandi membantah terlibat pendanaan PRD ketika menemui Bakorstanas tanggal 26 Januari 1998, namun keesokan harinya pada tanggal 27 Januari 1998 mereka mengadakan pertemuan mendadak di Simprug yang diduga rumah Jacob Soetoyo bersama Benny Moerdani, A. Pranowo, Zen Maulani dan seorang staf senior kementerian BJ Habibie dan kemudian tanggal 28 Januari 1998, Sofyan Wanandi kabur ke Australia yang sempat membuat aparat berang dan murka. Sofyan Wanandi baru kembali pada bulan Februari 1998. Bersamaan dengan temuan dokumen penghianatan CSIS dan Benny Moerdani tersebut, dan fakta bahwa Sofyan Wanandi menolak gerakan “Aku Cinta Rupiah” padahal negara sedang krisis membuat banyak rakyat Indonesia marah dan segera melakukan demo besar guna menuntut pembubaran CSIS namun Wiranto melakukan intervensi dengan melarang demonstrasi. Mengapa Wiranto membantu CSIS? Karena dia adalah orangnya Benny Moerdani dan bersama Try Soetrisno sempat digadang-gadang oleh CSIS untuk menjadi cawapres Presiden Soeharto karena CSIS tidak menyukai BJ Habibie dengan ICMI dan CIDESnya. Kepanikan CSIS atas semua kejadian ini terlihat jelas dalam betapa tegangnya rapat konsolidasi pada hari Senin, 16 Februari 1998 di Wisma Samedi, Klender, Jakarta Timur (dekat lokasi Kasebul) dan dihadiri oleh Harry Tjan, Cosmas Batubara, Jusuf Wanandi, Sofyan Wanandi, J. Kristiadi, Hadi Susastro, Clara Juwono, Danial Dhakidae dan Fikri Jufri. Ketegangan terutama terjadi antara J. Kristiadi dengan Sofyan Wanandi sebab Kristiadi menerima dana Rp. 5miliar untuk untuk menggalang massa anti Soeharto tapi CSIS malah menjadi sasaran tembak karena ketahuan mendanai gerakan makar. Akibatnya Sofyan dkk menuduh Kristiadi tidak becus dan menggelapkan dana. Tuduhan ini dijawab dengan beberkan penggunaan dana terutama kepada aktivis “kiri” di sekitar Jabotabek, misalnya Daniel Indrakusuma menerima Rp. 1,5miliar dll. Kristiadi juga menunjukan berkali-kali sukses menggalang massa anti Soeharto ke DPR, dan setelah CSIS didemo, Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) yang setahun terakhir digarap segera mengecam demo tersebut. Di akhir rapat disepakati bahwa Kristiadi akan menerima dana tambahan Rp. 5miliar. Karena kondisi sudah mendesak bagi Benny Moerdani, kakak beradik Wanandi dan CSIS sehingga mereka memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan kejatuhan Presiden Soeharto memakai rencana yang pernah didiskusikan di rumah Fahmi Idris pada akhir tahun 1980an yaitu kerusuhan rasial. Adapun metode kerusuhan akan meniru Malari yang dilakukan oleh Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani dengan diperbantukan Sofyan Wanandi yang mendanai GUPPI, yaitu massa yang menunggangi demo mahasiswa UI demi menggulingkan Jenderal Soemitro. Sekedar mengingatkan Malari yang terjadi pada tanggal 15 – 16 Januari 1976 adalah kerusuhan dengan menunggangi aksi anti investasi asing oleh mahasiswa UI atas hasutan Hariman Siregar, orangnya Ali Moertopo. Kerusuhan mana kemudian membakar Glodok, Sudirman, Matraman, Cempaka Putih, Roxy, Jakarta-By-Pass, 11 mati, 17 luka parah, 200 luka ringan, 807 mobil hancur atau terbakar, 187 motor hancur atau terbakar, 144 toko hancur dan 700 kios di Pasar Senen dibakar habis. Ini semua buah tangan Wanandi bersaudara, Ali Moertopo dan CSISnya. Masalah yang harus dipecahkan untuk membuktikan bahwa CSIS adalah dalang Kerusuhan 13-14 Mei 1998 adalah: 1. Siapa yang membuat rencana dan mendanai (think); 2. Identitas massa perusuh (tank); dan 3. Siapa yang bisa menahan semua pasukan keamanan dan menghalangi perusuh? Ad. 1. Pembuat rencana sudah dapat dipastikan muridnya Ali Moertopo, dalang Malari, yaitu Benny Moerdani dan Jusuf Wanandi. Sedangkan dana juga sudah dapat dipastikan berasal Sofyan Wanandi yang meneruskan peran almarhum Soedjono Hoemardani sebagai donatur semua operasi intelijen CSIS dan Ali Moertopo. Benny Moerdani mengendalikan Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dari Hotel Ria Diani, Cibogo, Puncak, Bogor. Adapun SiaR milik Goenawan Mohamad yang tidak lain sekutu Benny Moerdani bertugas membuat alibi bagi CSIS, antara lain dengan menyalahkan umat muslim sebagai dalang Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dengan menulis bahwa terdapat pertemuan tujuh tokoh sipil dan militer pada awal Mei 1998 antara lain Anton Medan, Adi Sasono, Zainuddin MZ, di mana konon Adi Sasono menegaskan perlu kerusuhan anti-Cina untuk menghabiskan penguasaan jalur distribusi yang selama ini dikuasai penguasa keturunan Tionghoa. Sampai sekarang massa perusuh tidak diketahui identitasnya namun dalam sejarah kerusuhan CSIS, penggunaan preman bukan hal baru. Dalam kasus Malari, CSIS membina dan mengerahkan GUPPI, tukang becak, dan tukang ojek untuk tujuan menunggangi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Dalam kasus penyerbuan ke Timor Leste, CSIS dan Ali Moertopo mengirim orang untuk bekerja sama dengan orang lokal melawan Fretilin sehingga Timor Leste menjadi kisruh yang kemudian menjadi dalih bagi Benny Moerdani menyerbu Timor-Timur. Begitu juga dalam kasus Kudatuli, CSIS menggunakan preman dan buruh bongkar muat dari daerah Pasar Induk Kramat Jati, 200 orang yang terlatih bela diri dari Tangerang, dan lain sebagainya. Bahkan setelah reformasi, terbukti Sofyan Wanandi mendalangi demonstrasi yang menamakan diri Front Pembela Amar Maruf Nahi Mungkar yang menuntut Kwik Kian Gie mundur karena memiliki saham di PT Dusit Thani yang bergerak dalam usaha panti pijat ketika pemerintah dan DPR berniat menuntaskan kredit macet milik kelompok usaha Sofyan Wanandi sebagaimana diungkap Aberson Marle Sihaloho dan Didik Supriyanto, keduanya anggota fraksi PDIP. Adapun kredit macet dimaksud adalah hutang PT Gemala Container milik Sofyan Wanandi kepada BNI sebesar Rp. 92miliar yang dibayar melalui mekanisme cicilan sebesar Rp. 500juta/bulan atau baru lunas 184 tahun kemudian, dan tanpa bunga. Adalah fakta tidak terbantahkan bahwa tidak ada tentara selama kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998, dan bilapun ada, mereka hanya menyaksikan para perusuh menjarah dan membakar padahal bila saja dari awal para tentara tersebut bertindak tegas maka dapat dipastikan akan meminimalisir korban materi dan jiwa. Pertanyaannya apakah hilangnya negara pada kerusuhan Mei disengaja atau tidak? Fakta lain yang tidak terbantahkan adalah Kepala BIA yaitu Zacky Anwar Makarim memberi pengakuan kepada TGPF bahwa ABRI telah memperoleh informasi akan terjadi kerusuhan Mei. Namun ketika ditanya bila sudah tahu mengapa kerusuhan masih terjadi, Zacky menjawab tugas selanjutnya bukan tanggung jawab BIA. Jadi siapa “user” BIA? Tentu saja Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang berperilaku aneh sebab Jakarta rusuh pada tanggal 13 Mei 1998 dan pada tanggal 14 Mei 1998 dia membawa KSAD, Danjen Kopassus, Pangkostrad, KSAU, KSAL ke Malang untuk mengikuti upacara serah terima jabatan sampai jam 1.30 di mana sekembalinya ke Jakarta, kota ini sudah kembali terbakar hebat. Keanehan Wiranto juga tampak ketika malam tanggal 12 Mei 1998 dia menolak usul jam malam dari Syamsul Djalal dan dalam rapat garnisun tanggal 13 Mei 1998 malam dengan agenda situasi terakhir ketika dia membenarkan keputusan Kasum Letjend Fahrul Razi menolak penambahan pasukan untuk Kodam Jaya dengan alasan sudah cukup. Selain itu Wirantomenolak permintaan Prabowo untuk mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar dan Malang dengan cara tidak mau memberi bantuan pesawat hercules sehingga Prabowo harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala. Bukan itu saja, tapi KSAL Arief Kusharyadi sampai harus berinisiatif mendatangkan marinir dari Surabaya karena tidak ada marinir di markas mereka di Cilandak KKO dan atas jasanya ini, Wiranto mencopot Arief Kusharyadi tidak lama setelah kerusuhan mereda. Mengapa Wiranto membiarkan kerusuhan terjadi? Tentu saja karena dia adalah orangnya Benny Moerdani, dan setelah Soeharto lengser, Wiranto bekerja sama dengan Benny Moerdani antara lain dengan melakukan reposisi terhadap 100 perwira ABRI yang dipandang sebagai “ABRI Hijau” dan diganti dengan perwira-perwira yang dipandang sebagai “ABRI Merah Putih.” Setelah Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Wiranto bergerak menekan informasi mengenai terjadinya pemerkosaan massal terhadap wanita etnis Tionghoa termasuk marah karena pengumuman dari TGPF bahwa terjadi pemerkosaan selama kerusuhan. Tidak berapa lama, Ita Marthadinata, relawan yang membantu TGPF dan berumur 17 tahun mati dibunuh di kamarnya sendiri dengan luka mematikan di leher sedangkan sampai hari ini latar belakang pembunuhnya yaitu Otong tidak diketahui dan dicurigai dia adalah binaan intelijen. Kecurigaan semakin menguat sebab beberapa hari sebelum kejadian, Ita dan keluarganya membuat rencana akan memberikan kesaksian di Kongres Amerika mengenai temuan mereka terkait korban Kerusuhan 13-14 Mei 1998. “Bersama Presiden Soeharto, Benny adalah Penasihat YPPI yang didirikan oleh para mantan tokoh demonstrasi 1966 dengan dukungan Ali Moertopo. Hadir di rumah Fahmi [Idris] pada malam itu para pemimpin demonstrasi 1966 seperti Cosmas Batubara, dr. Abdul Ghafur, Firdaus Wajdi, Suryadi [Ketua PDI yang menyerang Kubu Pro Mega tanggal 27 Juli 1996]; Sofjan Wanandi; Husni Thamrin dan sejumlah tokoh. Topik pembicaraan, situasi politik waktu itu… Moerdani berbicara mengenai Soeharto yang menurut Menhankam itu, ‘Sudah tua, bahkan sudah pikun, sehingga tidak bisa lagi mengambil keputusan yang baik. Karena itu sudah waktunya diganti’…Benny kemudian berbicara mengenai gerakan massa sebagai jalan untuk menurunkan Soeharto. Firdaus menanggapi, ‘Kalau menggunakan massa, yang pertama dikejar adalah orang Cina dan kemudian kemudian gereja.’ ” (Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, Penerbit Mizan, hal. 316) Pembicaraan di rumah Fahmi Idris, tokoh senior Golkar yang menyeberang ke kubu Jokowi-JK demi melawan Prabowo adalah bukti paling kuat yang menghubungkan Benny Moerdani dengan berbagai kerusuhan massa yang sangat marak menjelang akhir Orde Baru karena membuka informasi adanya pemikiran Benny Moerdani untuk menjatuhkan Soeharto melalui gerakan massa yang berpotensi mengejar orang Cina dan orang Kristen. Kesaksian Salim Said ini merupakan titik tolak paling penting guna membongkar berbagai kerusuhan yang belum terungkap seperti Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998. A. Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Politik Dizalimi (Play Victim) Paling Keji Sepanjang Sejarah Indonesia Selanjutnya Robert Odjahan Tambunan dalam bukunya Otobiografi Politik RO Tambunan: Membela Demokrasi mengungkap bahwa Megawati bisa mencegah jatuhnya korban dalam Peristiwa 27 Juli 1996 bila menghendaki karena dia sudah tahu beberapa hari sebelumnya dari Benny Moerdani, akan tetapi Megawati ternyata lebih memilih kepentingan politik daripada kemanusiaan (hal. 150); Megawati menyogok Kelompok 124, korban serbuan kantor PDI yang diadili, agar tidak menuntut kelompok TNI (hal. 172); dan Megawati tidak pernah ingin menyelesaikan kasus tersebut antara lain terbukti tahun 2002 memilih gubernur yang terlibat kasus Peristiwa 27 Juli 1996 [Sutiyoso] (hal. 374). Bila catatan Salim Said, R.O. Tambunan dihubungkan dengan catatan Rachmawati Soekarnoputri: Membongkar Hubungan Mega dan Orba di Harian Rakyat Merdeka 31 Juli 2002 dan 1 Agustus 2002 maka terbukti bahwa akhirnya Benny mulai menjalankan rencana yang dia ungkap di rumah Fahmi Idris ketika dia bersekongkol dengan Megawati demi menaikan seseorang dari keluarga Soekarno sebagai lawan tanding Soeharto dengan merekayasa Peristiwa 27 Juli 1996. Kutipan dari Catatan Rachmawati Soekarnoputri: “Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya [Rachmawati] terlebih dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak, bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan untuk apa jadi pemimpin boneka? Orang-orang PDI yang dekat dengan Benny Moerdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho pun ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak.” Dari ketiga catatan di atas kita menemukan nama-nama yang saling terkait dalam Peristiwa 27 Juli 1996, antara lain: Benny Moerdani; Megawati; Dr. Soerjadi; Sofjan Wanandi; dan Aberson Marie Sihaloho, dan ini adalah “eureka moment” yang membongkar persekongkolan jahat karena Aberson Marie adalah orang yang pertama kali menyebar pamflet bahwa Megawati calon pemimpin masa depan sehingga menimbulkan kecurigaan Mabes ABRI (modus Dokumen Ramadi sebelum Malari); sedangkan Dr. Soerjadi adalah Ketum PDI pengganti Megawati pasca Kongres Medan (atas biaya Sofjan Wanandi) yang menyerbu kantor PDI dan selama ini diasumsikan perpanjangan tangan Soeharto ternyata agen ganda didikan Benny Moerdani, dan tentu saja Agum Gumelar-Hendropriyono, murid Benny Moerdani juga berada di sisi Megawati atas perintah Benny Moerdani sebagaimana ditulis Jusuf Wanandi dari CSIS dalam memoarnya, Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru. Fakta di atas menjawab alasan Presiden Megawati menolak menyelidiki Peristiwa 27 Juli 1996 sekalipun harus mengeluarkan kalimat pahit kepada para korban seperti “Siapa suruh kalian mau ikut saya?” dan malah memberi jabatan tinggi kepada SBY yang memimpin rapat Operasi Naga Merah; Sutiyoso komando lapangan penyerbuan Operasi Naga Merah; dan tidak lupa Agum Gumelar dan AM Hendropriyono yang pura-pura melawan koleganya. Sama saja Megawati bunuh diri bila dia sampai menyelidiki kejahatannya sendiri! Fakta-fakta di atas juga membuktikan bahwa dokumen yang ditemukan pasca ledakan di Tanah Tinggi tanggal 18 Januari 1998 yang menyebutkan ada rencana revolusi dari Benny Moerdani; Megawati; CSIS dan Sofjan-Jusuf Wanandi membiayai gerakan PRD adalah dokumen asli dan otentik serta bukan buatan intelijen untuk mendiskriditkan PRD sebagaimana pembelaan mereka selama ini. Bunyi salah satu dokumen yang berupa email di laptop adalah: “Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima, sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya.” (Majalah Gatra edisi 31 Januari 1998) B. Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Gerakan Benny Moerdani Menggulung Soeharto; Prabowo; dan Menaikan Megawati Soekarnoputri Ke Kursi Presiden. Pernah dengar kisah Kapten Prabowo melawan usaha kelompok Benny Moerdani dan CSIS mendeislamisasi Indonesia? Kisah ini fakta dan sudah banyak buku sejarah yang membahas kisah-kisah saat itu, salah satunya cerita Kopassus masa kepanglimaan Benny. Saat Benny menginspeksi ruang kerja bawahan dia melihat sajadah di kursi dan bertanya “Apa ini?,” jawab sang perwira, “Sajadah untuk shalat, Komandan.” Benny membentak “TNI tidak mengenal ini.” Benny juga sering rapat staf saat menjelang ibadah Jumat sehingga menyulitkan perwira yang mau sholat Jumat. Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan perwira Kopassus sangat diskriminatif terhadap yang beragama Islam, misalnya kalau direkrut 20 orang, 18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam. Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang sama bahwa perwira yang menonjol keislamannya, misalnya mengirim anak ke pesantren kilat pada masa libur atau sering hadiri pengajian diperlakukan diskriminatif dan tidak mendapat kesempatan sekolah karena dianggap fanatik, singkatnya karirnya pasti suram. Perhatikan perwira tinggi yang menduduki pos penting ketika Benny Moerdani berkuasa: Sintong Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto; TB Silalahi; TB Hasanuddin; R.S. Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Jonny Lumintang; Tyasno Sudarto; Albert Inkiriwang; HBL Mantiri; Fachrul Razi; Adolf Rajagukguk; Theo Syafei; Soebagyo HS dll, maka terlihat pola tidak terbantahkan bahwa perwira tinggi pada masa kekuasaan Benny Moerdani adalah non Islam atau Islam abangan (“non-fanatik” atau “non-Islam santri” menurut versi Benny). Ketidakadilan inilah yang dilawan Prabowo antara lain bersama BJ Habibie membentuk ICMI yang sempat dilawan habis-habisan oleh kelompok Benny Moerdani. Tidak heran anggota kelompok Benny Moerdani yang masih tersisa membenci Prabowo karena dia menghancurkan cita-cita mendeislamisasi Indonesia. Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia? Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis namun setelah “Bahaya Merah”(komunis) teratasi, dia membuat analisa bahwa lawan Amerika Serikat berikutnya ada dua yaitu: “Hijau ABRI” dan “Hijau Islam,” lalu menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya: Sofjan, Jusuf Wanandi, Harry Tjan, dan mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Soedjono Hoemardani (lihat: tulisan George Junus Aditjondro, mantan murid Pater Beek: CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan LB Moerdani). Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem-Demokrat berhubungan dengan kelompok anti Islam yang dihancurkan Prabowo? Perhatikan pendukung Jokowi-JK: Sutiyoso (Gubernur DKI saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998; Agus Widjojo; Fachrul Razi (klik Wiranto dan pengusul Jonny Lumintang, orang Benny, Pangkostrad pengganti Prabowo), Ryamizard Ryacudu (menantu wapres Try Sutrisno periode 1993-1998, agen Benny Moerdani); Agum Gumelar-Hendropriyono (bodyguard Megawati suruhan Benny); Andi Widjajanto (anak Theo Syafei); Fahmi Idris (rumahnya lokasi ketika ide Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998 pertama kali dilontarkan); Luhut Panjaitan; Tyasno Sudarto; Soebagyo HS (KSAD saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998; Wiranto; TB Silalahi; TB Hasanuddin dll. Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar, dan Jusuf Wanandi dalam memoarnya menulis bahwa ketika Presiden Soeharto berhasil menetralisir pengaruh Try Soetrisno dengan menempatkan Feisal Tanjung dan Prabowo Subianto dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan klik Benny Moerdani, maka mereka menempatkan semua harapan kepada Wiranto. Selain itu setelah dilantik sebagai Panglima ABRI, diketahui Wiranto menghadap Benny Moerdani dan meminta bertemu setiap bulan. Tanggapan Benny menurut Jusuf Wanandi dan Salim Said adalah: “Jangan berilusi, orang tua itu [Soeharto] tidak menyukai saya, tidak percaya kepada saya. Anda harus tetap di sana karena Anda satu-satunya yang kita miliki. Jangan membuat kesalahan karena kariermu akan selesai jika Soeharto tahu Anda dekat dengan saya.” (Menyibak Tabir Orde Baru, hal. 365-366; Salim Said, hal. 320) Wiranto memang membantah memiliki hubungan dekat dengan Benny, namun ada cara membuktikan Wiranto telah berbohong. Pertama, dalam memoarnya, Jusuf Wanandi bercerita pasca jatuhnya Soeharto, Wiranto menerima dari Benny daftar perwira yang dinilai sebagai “ABRI Hijau”, dan dalam sebulan semua orang dalam daftar nama tersebut disingkirkan Wiranto. Ketika dikonfrontir mengenai hal ini, Wiranto mengatakan cerita “daftar nama” adalah bohong, namun bila kita lihat kembali masa-masa setelah Soeharto jatuh maka faktanya banyak perwira “hijau” yang dimutasi Wiranto dan sempat menuai protes. Wiranto orang Benny di samping Presiden Soeharto menjawab alasan Wiranto menjatuhkan semua kesalahan terkait Operasi Setan Gundul kepada Prabowo; menghasut BJ Habibie bahwa Prabowo mau kudeta sehingga Prabowo diberhentikan dari dinas militer; dan adu domba Soeharto dengan menantunya seolah Prabowo dan BJ Habibie bekerja sama menjatuhkan Soeharto sehingga dipaksa bercerai dari Titiek Soeharto. Alasannya tidak lain Wiranto adalah eksekutor dari rencana Benny menistakan Prabowo Subianto. Bicara “kebejatan” Prabowo tentu tidak lengkap tanpa mengungkit Kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang ditudingkan pada dirinya padahal jelas-jelas Wiranto sebagai Panglima ABRI pergi ke Malang membawa Kasau, Kasal, Kasad dan Pangkostrad serta menolak permohonan Prabowo untuk mengerahkan pasukan demi mengusir perusuh. Berdasarkan temuan fakta di atas bahwa Benny Moerdani mau menjatuhkan Soeharto melalui kerusuhan rasial dan Wiranto adalah satu-satunya orang Benny di lingkar dalam Soeharto maka patut diduga Wiranto sengaja melarang pasukan keluar dari barak karena berniat membiarkan kerusuhan, tapi rencananya berantakan ketika pasukan marinir berinisiatif keluar kandang menghalau perusuh. Selain itu tiga fakta yang menguatkan kesimpulan bahwa klik Benny Moerdani dalang Kerusuhan 13-14 Mei 1998 adalah sebagai berikut: 1. Menjatuhkan lawan dengan “gerakan massa” adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny Moerdani) dan CSIS yang terkenal sejak Peristiwa Malari’74 yang meletus karena provokasi Hariman Siregar, binaan Ali Moertopo (selengkapnya lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat Heru Cahyono dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 terbitan Sinar Harapan). 2. Menurut temuan TGPF Kerusuhan 13-14 Mei 1998, penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer yang sangat cekatan memprovokasi warga untuk menjarah dan membakar. Ini ciri-ciri orang yang terlatih sebagai intelijen, padahal baik Wiranto atau Prabowo adalah perwira tipe komando dan bukan tipe intelijen, sedangkan saat itu hanya Benny Moerdani yang memiliki kemampuan merekayasa kerusuhan skala besar karena dia mewarisi taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan dimaksud bisa dibaca di Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan Tempo-Gramedia). Lagipula saat kejadian terbukti Benny sedang rapat di Bogor dan ada laporan intelijen bahwa provokator kerusuhan 27 Juli 1996 dan 13-14 Mei 1998 dilatih di Bogor!! 3. Saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Fachrul Razi yang saat itu menjabat sebagai Kasum melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam Jaya menghentikan kerusuhan sistematis dan penjarahan. Perlu ditambahkan Fachrul Razi adalah anggota klik Wiranto yang di atas sudah terbukti adalah binaan Benny di dalam kabinet Presiden Soeharto yang terakhir. (http://www.liputan6.com/fullnews/77958.html). Penutup Benarkah Benny Moerdani tega membasahi tangannya dengan darah rakyat tidak berdosa? Tidak ada keraguan: Benny Moerdani berprinsip membunuh sebagian rakyat demi selamatkan negara layak dilakukan, sebagaimana diungkap David Jenkins, wartawan senior Australia yang memiliki jaringan luas dengan jenderal Orba dalam orbituari kepada Benny Moerdani, “Charismatic, Sinister Soeharto Man”: “Hardened in battle and no stranger to violence, Moerdani believed that the ends justify the means…He once shocked members of an Indonesian parliamentary committee by saying, in effect, that if he had to sacrifice the lives of 2 million Indonesians to save the lives of 200 million Indonesians he would do so.” Para murid Benny Moerdani pendukung Jokowi tampaknya mewarisi kekejaman sang guru, misalnya Luhut Panjaitan pernah menghujani mahasiswa yang sedang berdemo dengan peluru tajam, menimbulkan banyak korban jiwa, dan hal ini diceritakan tanpa rasa bersalah: “Letusan peluru itu tidak digubris para pendemo. Mereka terus melempari tentara dengan batu. Merasa terdesak Luhut [Panjaitan] memerintahkan anak buahnya menembak kaki para pendemo. Situasi makin kacau karena mereka kocar-kacir. Tentara yang mengejar tidak lagi mengarahkan moncong ke aspal, tapi sudah mengincar sasaran. Luhut menduga banyak yang tewas saat kejar-kejaran itu.” (Massa Misterius Malari, Tempo, hal. 71) Kekejaman Luhut Panjaitan membuatnya menjadi anak emas Benny Moerdani, sehingga wajar Luhut Panjaitan menyimpan kebencian begitu besar terhadap Prabowo karena dia kehilangan status dan fasilitas istimewa setelah Benny Moerdani tersingkir: “Berbeda dengan panglima-panglima sebelum dan sesudahnya, Benny memang memelihara sejumlah orang yang disenanginya. “Mereka itu semacam golden boys Benny Moerdani,” kata Schwarz. Salah satu yang dikenal sebagai “anak emas” itu adalah Luhut Binsar Panjaitan.” (Salim Said, hal. 343) Kekejaman yang sama turut dimiliki AM Hendropriyono, murid Benny lain yang juga mendampingi Jokowi karena dia pelaku pembantaian Talangsari, Lampung; DOM di Aceh, lalu bersama Muchdi Pr dan Ass’at (keduanya mendukung Jokowi-JK) adalah dalang pembunuhan Munir (lihat: http://www.wikileaks.org/plusd/cables/07JAKARTA163_a.html). Sudah tidak bisa dibantah bahwa alasan klik Benny Moerdani mendukung Jokowi-JK sekalipun mengorbankan keutuhan partai masing-masing (PDIP, Hanura, Golkar, Demokrat) sekedar untuk melawan Prabowo adalah dendam kesumat yang belum terpuaskan sebab Prabowo menghalangi usaha mendeislamisasi Indonesia. Menutup artikel ini saya akan mengutip Jusuf Wanandi, sahabat baik Benny Moerdani: “But, maybe Benny’s biggest nemesis was Soeharto son-in-law, Prabowo Subianto.” (Shades of Grey, hal. 240) “…Saya menganggap lawan utama Benny adalah Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto.” (Menyibak Tabir Orde Baru, hal. 327) Kita harus berterima kasih kepada Julian Assange karena mendirikan website Wikileaks yang membocorkan berbagai dokumen rahasia milik Amerika Serikat sebab tanpanya kita tidak akan mengetahui bahwa Jokowi sudah menjalankan agenda Amerika di Indonesia sejak tahun 2005. Berdasarkan dokumen rahasia CIA tertanggal 7 April 2006 yang diunggah Wikileaks kita mengetahui bahwa pada tanggal yang sama agen rahasia CIA bernama Pierangelo dan David S. Williams bertemu Jokowi selaku Walikota Solo yang baru dilantik 7 bulan sebelumnya. Agenda pertemuan adalah membahas Abu Bakar Ba’asyir dari Ponpres Ngruki yang disebut oleh pelaku serangan 9/11 bernama Riduan Isamuddin alias Hambali terkait jaringan Al Qaeda di Indonesia bernama Jamaah Islamiyah. Dalam pertemuan agen CIA tersebut minta Jokowi mengendalikan Abu Bakar Ba’asyir dan disanggupi oleh Jokowi. Setelah itu Jokowi mendekati Abu Ba’asyir secara pribadi dan hubungan keduanya menjadi sangat dekat bagai seorang ayah dan anak, terbukti kendati sedang mendekam di dalam penjara namun pada tanggal 30 Januari 2013 Abu Bakar Ba’asyir sempat mengirim utusan menemui Jokowi sekedar menyampaikan salam; yang dibalas oleh Jokowi dengan ucapan terima kasih dan salam balik. Jokowi memang berhasil mengontrol Abu Bakar Ba’asyir dan mendapat pujian dari Dubes AS bernama Cameron R. Hume pada tahun 2008 sebagaimana bocoran kawat diplomatik di Wikileaks yang dikirim ke Pentagon dengan judul “Solo, From Radical Hub To Tourist Heaven,” yang intinya melaporkan bahwa Jokowi telah berhasil mengendalikan Abu Bakar Ba’asyir dan menekan tingkat kemilitanan Ponpres Ngruki yang terkenal radikal. Selanjutnya pada tahun yang sama yaitu tahun 2008, Jokowi kedatangan Agus Widjojo, Luhut Binsar Pandjaitan dan Hendropriyono lalu Luhut bekerja sama dengan Jokowi membentuk perusahaan patungan bernama PT Rakabu Sejahtera dengan modal awal dari Luhut Rp. 15,5miliar dan dari anak Jokowi bernama Gibran Rakabumi Raka sebesar Rp. 19,2miliar (anak dua puluh tahun yang pelihara tuyul tampaknya). Perlu dicurigai bahwa perusahaan hanya kedok sebuah operasi intelijen karena tidak lama setelah Jokowi menjadi Gubernur DKI, kantor perusahaan tersebut dua kali terbakar dalam waktu berdekatan. Kehadiran Hendropriyono dan Luhut Pandjaitan semakin melekatkan pengaruh Amerika pada kehidupan Jokowi sebab mereka adalah murid langsung dan anak emas Jenderal Benny Moerdani, seorang petinggi CSIS, sebuah lembaga yang didirikan agen CIA bernama Pater Beek. CSIS dan Pater Beek bukanlah satu-satunya hubungan CIA dengan Jokowi, sebab penanggung jawab proses memoles citra Jokowi dari walikota gagal menjadi “pemimpin muda masa depan” hingga masuk gerbang pencapresan adalah Goenawan Mohamad yang kerap menerima uang negara asing dan anak didik Ivan Kats, seorang agen CIA. Khusus CSIS, sejak awal mereka memiliki hubungan dengan Ali Moertopo yang terkenal dengan Opsus dan pernah merekayasa kerusuhan Malari pada 15 Januari 1974 dan setelah kematian Ali Moertopo, tampaknya Opsus diwariskan kepada Jusuf Wanandi, pemimpin tertinggi CSIS saat ini karena Wikileaks menemukan Jusuf Wanandi adalah orang Opsus: “6. ASIDE FROM MURTONO, HOWEVER, ALI MURTOPO AND OPSUS SEEM TO HAVE DONE RATHER WELL. NUMBER TWO MAN (MARTONO) HAS LONG BEEN KNOWN AS OPSUS MAN IN OLD KOSGORO ORGANIZATION. JUSUF WANANDI (LIM BIAN KIE) HAS KEY POSITION HEADING LIST OF SECRETARIES ORGANIZED ACCCORDING TO FUNCTION, AND OPSUS STALWARTS DOMINATE AT THIS WORKING LEVEL.” https://www.wikileaks.org/plusd/cables/1973JAKART10795_b.html Kemunculan anak emas Benny Moerdani dari CSIS yang merupakan kepanjangan tangan kepentingan Amerika di Solo dan dilengkapi perangkat rekayasa ala Opsus sangat patut diduga terkait usaha mempersiapkan Jokowi sebagai presiden boneka Amerika Serikat. Jokowi dan timsesnya berhak membantah dia adalah boneka Amerika dan CSIS namun keberadaan Ajianto Dwi Nugroho yang dikader oleh murid-murid Pater Beek di dalam Jasmev untuk memenangkan Jokowi pada Pilkada DKI dan sekarang melalui cabang Jasmev, PartaiSocmed untuk memenangkan pilpres tidak bisa dibantah. Selain itu kita ingat kejadian memalukan di mana Jokowi membawa mantan Presiden Megawati menghadap Duta Besar Amerika, Inggris dan Kanada di rumah petinggi CSIS bernama Jacob Soetoyo dan kembali menyerahkan lehernya beberapa hari sebelum deklarasi pencapresannya adalah fakta umum yang tidak bisa dibantah. Sebelum kita melanjutkan, apakah anda tahu bahwa salah satu taktik deislamisasi yang dilakukan oleh CSIS adalah melalui kebijakan kader mereka Daoed Joesoef yang saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melarang sekolah libur pada hari Ramadhan dan siswi beragama Islam dilarang menggunakan jilbab yang mana serupa dengan kebijakan Benny Moerdani yang melarang sajadah di lingkungan ABRI dan selalu mempersulit prajurit yang bermaksud sholat Jumat? http://tikusmerah.com/?p=1204 Dengan fakta di atas maka sangat tidak mengherankan bila beberapa hari lalu seorang Dubes AS Robert Blake mencoba melakukan kampanye hitam menyerang Prabowo demi membantu meningkatkan peluang bagi capres boneka Amerika memenangkan pertarungan pilpres mendatang. Selain itu tidak heran juga ketika menjelang pilpres terbit sebuah fitnah keji bahwa Prabowo menghina kebutaan Gus Dur yang dilancarkan oleh media massa Time melalui tulisan jurnalis anti Indonesia bernama Yenny Kwok yang bersumber dari tulisan jurnalis anti Indonesia lain bernama Allan Neirn karena artikel tersebut memang hampir dapat dipastikan pesanan dari Pemerintah Amerika Serikat. Belum selesai serangan kampanye hitam dari Dubes AS; dan Time melalui tangan duo Yenny Kwok dan Allan Neirn yang terafiliasi dengan mantan pelaku G30S/PKI bernama Carmel Budiardjo yang selama 50 tahun melancarkan kampanye anti Indonesia di dunia internasional, sekarang datang serangan dari Sofyan Wanandi, pemimpin para pengusaha-pengusaha di Indonesia yang mengatakan bahwa para pengusaha kuatir bila Prabowo menjadi presiden. Siapa Sofyan Wanandi? Dia adalah adik Jusuf Wanandi dan orang yang memulai salah satu pembusukan karakter paling keji terhadap Prabowo ketika diwawancara Adam Schwarz mengatakan seolah Prabowo pernah bilang akan mengusir semua orang cina sekalipun hal itu akan membuat ekonomi Indonesia muncur 20-30 tahun tapi 14 tahun setelah rumor tersebut merasuk ke sumsum rakyat Indonesia atau tahun 2012, barulah Sofyan Wanandi membantah bahwa ia pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu dengan alasan “jurnalis salah paham.” Sebagai adik penguasa Opsus, Sofyan Wanandi memang bukan pengusaha biasa, terbukti dia adalah donatur utama banyak penggarapan yang dilakukan Opsus era pimpinan Jusuf Wanandi dan CSIS seperti membiayai Kongres PDI di Medan ketika Benny Moerdani merekayasa politik dizolimi dengan “menjatuhkan” Megawati dari kursi Ketua Umum PDI dan diganti oleh “antek Orde Baru” Dr. Soerjadi yang menurut kesaksian dari Rachmawati Soekarnoputri sebenarnya adalah orang binaan Benny Moerdani juga. Nama Sofyan Wanandi juga kembali disebut dalam dua dokumen yang ditemukan pasca meledaknya bom rakitan di Rumah Susun Johar di Tanah Tinggi, Tanah Abang.tanggal 18 Januari 1998. Saat aparat menyisir lokasi ledakan ditemukan sebuah laptop berisi arsip e-mail dan dokumen notulen rapat “Kelompok Pro Demokrasi” di Leuwiliang, Bogor, pada tanggal 14 Januari 1998 yang merencanakan revolusi dan dihadiri oleh 19 aktivis mewakili 9 organisasi terdiri dari kelompok senior dan kelompok junior. Adapun kelompok senior terdiri atas: Pertama, CSIS yang bertugas membuat analisis dan menyusun konsep perencanaan aktivitas ke depan. Kedua, Benny Moerdani. Ketiga, PDI Pro Megawati Soekarnoputri. Keempat, kekuatan ekonomi diwakili oleh Sofjan Wanandi dan Yusuf Wanandi. Sedangkan isi email: “Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima, sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex [Widya Siregar] bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya.” Sumber: Majalah Gatra edisi 31 Januari 1998 Kedua dokumen di atas selain membuktikan Sofyan Wanandi, Jusuf Wanandi, CSIS, Benny Moerdani dan Megawati adalah bagian dari kelompok yang bermaksud membuat sebuah kerusuhan yang dibungkus sebagai revolusi, ternyata terungkap juga bahwa Hendardi dari PBHI yang beberapa bulan terakhir konsisten meributkan pencapresan Prabowo dengan membawa isu HAM dan penculikan adalah bagian dari kelompok tersebut dengan tugas mencari pendanaan. Aksi-aksi Hendardi mempolitisasi penangkapan terduga teroris pada tahun 1998 tersebut juga dilakukan oleh Tempo, majalah milik anak didik agen CIA yaitu Goenawan Mohamad dan Haris Azhar dari Kontras yang pernah meminta Uni Eropa melanggar kedaulatan Indonesia dengan melakukan intervensi terhadap pemerintah Indonesia. Selain itu politisasi juga dilakukan Metro TV, tapi Surya Paloh hanya politisi oportunis, jadi dia bukan CSIS atau antek CIA. http://protectioninternational.org/video/haris-azhar-on-the-role-of-kontras/ Bagi kalangan aktivis yang sampai sekarang masih memegang teguh idealisme, orang seperti Hendardi, Goenawan Mohamad, dan Haris Azhar dimasukan ke dalam kelompok “Pedagang Orang Hilang,” sebab mereka memperdagangkan isu “Orang Hilang” melalui serangkaian politisasi demi untuk mencapai keinginan mereka baik berupa uang donasi, jabatan, kedudukan sosial, atau mendiskriditkan lawan mereka. Hal ini terbukti dari fakta bahwa para orang yang berkumpul dalam Asosiasi Pedagang Orang Hilang ini tidak meliput pernyataan Andi Arief, salah satu “korban penculikan 1998″ bahwa Wiji Thukul, orang yang kerap menjadi salah satu ikon para Pedagang Orang Hilang ternyata masih hidup dengan sehat setidaknya dua bulan setelah reformasi dan fakta ini diketahui oleh Goenawan Mohamad dan Stanley dari Tempo, dan Jaap Erkelens. http://m.inilah.com/read/detail/2114481/akhirnya-andi-arief-bercerita-soal-widji-thukul http://m.rmol.co/news.php?id=161521 Selain fakta Wiji Thukul masih hidup dan sehat, para Pedagang Orang Hilang juga menyembunyikan fakta bahwa sejak 16 tahun lalu tim SiaR bentukan Goenawan Mohamad sudah menemukan bukti bahwa Prabowo tidak bersalah dan hanya difitnah. Mereka juga sengaja tidak meliput berita penyerahan dokumen kepada Komnas HAM berisi notulen rapat pembahasan Operasi Kuningan di antara para jenderal Orde Baru untuk memfitnah Prabowo. Temuan tim SiaR adalah: “Tapi, teknik ABRI menyelesaikan intern soal penculikan ini, agaknya memang sengaja ditempuh untuk menghindari terbongkarnya orang-orang di belakang Prabowo. Sebuah sumber di Mabes ABRI mengatakan, sebetulnya Prabowo punya surat perintah penculikan itu, yang diteken oleh Jenderal Feisal Tanjung, Pangab sebelumnya. Surat itu, konon, akan dibeberkan kalau Prabowo diseret ke Mahmilub. Akibatnya, Wiranto berkompromi dengan menjatuhkan hukuman yang ringan untuk Prabowo.” http://www.minihub.org/siarlist/msg00741.html Dokumen yang diserahkan kepada Komnas HAM adalah notulen rapat terbatas tanggal 17 Juli 1998 di rumah Wiranto yang dihadiri oleh Agum Gumelar, Soebagio HS, Fachrul Rozi, dan Yusuf Kartanagara yang mana Agum Gumelar mengemukakan pendapat mengenai perlunya menciptakan “aktor” yang akan dijadikan dalang segala dalang kerusuhan Mei dan “penculikan aktivis,” selanjutnya Soebagyo HS menyarankan agar kepergian ke Malang tanggal 14 Mei 1998 dijadikan alibi untuk mengarahkan Prabowo sebagai aktor utama kerusuhan di Jakarta dan penangkapan aktivis. Letjend Fachrul Rozi juga mengusulkan pembentukan Dewan Kehormatan Perwira tanpa Mahkamah Militer untuk memberhentikan Prabowo sekaligus menciptakan opini bahwa Prabowo adalah dalang kerusuhan di Jakarta. Terakhir Wiranto memberi perintah agar para “aktivis” yang belum dilepas untuk “disukabumikan.” Untuk membuktikan keaslian atau kepalsuan dokumen tersebut cukup mudah yaitu melakukan pemeriksaan forensik terhadap tanda tangan para peserta rapat yang dibubuhkan di dalam dokumen notulensi. Bila tanda tangannya asli, maka BOOM!!, tidak ada alasan untuk tidak membawa Wiranto, Soebagyo HS, Fachrul Razi, dan Agum Gumelar ke pengadilan. http://m.aktual.co/politik/145428operasi-kuningan-wiranto-perintahkan-13-aktifis-98-dibumihanguskan Kenapa Tempo; Media Indonesia; Metro TV; Jawa Pos dll yang biasa “peduli HAM” dan “penculikan aktivis” tidak membuat laporan kejadian tersebut? Padahal bila dokumen ternyata asli, maka kita akan bisa mengungkap penembakan Trisakti sampai Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Namanya juga Pedagang Orang Hilang, yang membantu dagangan pasti dijadikan bahan marketing sedangkan yang merusak dagangan akan disingkirkan dan dianggap tidak ada. Kendati demikian terbukti kunci membuka misteri 1998 bukan di Bukit Hambalang, melainkan di Tanah Abang, Utan Kayu, Salatiga dan Semarang. sumber: horabolt Share Facebook Twitter Google + Stumbleupon Tags KRONOLOGI REFORMASI 1998 MEI 1998 REFORMASI 1998

sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...