Kamis, 24 Desember 2015

Sukristiawan.com:Partai Rakyat revolusioner adalah kaum buruh

Partai Rakyat Revolusioner!
Menurut Bung Karno, Politieke toestand sangat terkait dengan masa depan gerakan buruh, yaitu penciptaan syarat-syarat politik untuk tumbuh-suburnya gerakan buruh.
Lebih jauh lagi, Soekarno juga mengatakan, jika kaum buruh menginginkan kehidupan yang layak, naik upah, mengurangi tempo-kerja, dan menghilangkan ikatan-ikatan yang menindas, maka perjuangan kaum buruh harus bersifat ulet dan habis-habisan. Jika ingin merubah nasib, Soekarno telah berkata, kaum buruh harus menumpuk-numpukkan tenaganya dalam serikat sekerja, menumpuk-numpukkan machtvorming dalam serikat sekerja, dan membangkitkan kekuasaan politik di dalam perjuangan.
“Politik minta-minta satu kali akan berhasil, tetapi sembilan puluh sembilan kali niscaya akan gagal”, demikian dikatakan Soekarno saat mengeritik serikat sekerja yang hanya menuntut perbaikan nasib. Soekarno telah berkata, “politik meminta-minta tidak akan menghapuskan kenyataan antitesa antara modal dan kerja”.
Soekarno juga tidak lupa mengeritik Robert Owen, Louis Blanc, dan Ferdinand Lassalle, yang mana mereka dianggap menganjurkan perdamaian antara modal dan kerja. Karena itu, dalam tulisan Mencapai Indonesia Merdeka, Soekarno sudah menggaris-bawahi pentingnya kaum buruh dan rakyat Indonesia untuk menghancurkan stelsel (sistem) imperialisme dan kapitalisme.
Dalam hal alat politik, seperti juga kaum Leninis, Soekarno menganjurkan pendirian sebuah partai pelopor, sebuah partai yang konsekwen-radikal dan berdisiplin. Partai ini, seperti dikatakan Soekarno, harus merupakan partai yang kemauannya cocok dengan kemauan marhaen, partai yang segala-galanya cocok dengan natuur (alam), partai yang terpikul natuur dan memikul natuur. Sebuah partai yang merubah pergerakan rakyat itu dari onbewust menjadi bewust (sadar), demikian dikatakan Soekarno. (Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/soekarno-dan-pergerakan-buruh/#ixzz3vF1y5dae ).
Rasa kesakitan kaum buruh, petani, nelayan dan kaum miskin semakin tak tertahankan di era rezim terbaru saat ini. dimana kekuasaan sepenuh penuhnya dikuasai oleh kaum kapitalis rakus yang berhasil menduduki posisi posisi penting kenegaraan pembuat kebijakan. bagaimana pukulan demi pukulan terhadap perjuangan rakyat menuntut keadilan satu demi satu terasa begitu telak dan menyakitkan.
rasanya tidak perlu berlama lama lagi, untuk mewujudukan sebuah partai rakyat yang berjuang secara revolusioner dan militan. (Bung DJ)
Keluar
Beri tahu saya
Beri komentar sebagai:
Publikasik Pratinjau
Tidak ada koment


Sukristiawan.com: usut kasus blbi yg merugikan negara 640 trilyun

- Kronologi Kasus BLBI 11 Juli 1997 s/d 6 Mei 2009 -
11 Juli 1997
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8 persen) menjadi 304 (12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat.
14 Agustus 1997
Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.
1 September 1997
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.
3 September 1997
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
1 November 1997
16 bank dilikuidasi.
26 Desember 1997
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus.
27 Desember 1997
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut.
10 April 1998
Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998
Mei 1998
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp 26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.
4 Juni 1998
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah nterpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).
21 Agustus 1998
Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.
21 September 1998
Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi administratif pun tak terdengar.
26 September 1998
Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima tahun.
27 September 1998
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun.
18 Oktober 1998
Hubert Neiss melayangkan surat keberatan. Dia minta pelunasan lima tahun.
10 November 1998
Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO (bank take-over) dan BBO (bank beku operasi) saat itu adalah Rp 111,29 triliun.
8 Januari 1999
Pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun sebagai tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.
6 Februari 1999
BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun
8 Februari 1999
Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-003/MK/1998.
13 Maret 1999
Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank
Februari 1999
DPR RI membentuk Panja BLBI
19 Februari 1999
Ketua BPKP Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.
13 Maret 1999
Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank
14 Maret 1999
Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah
17 Mei 1999
UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden Habibie. Dalam UU itu disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh siapa pun.
1 September-7 Desember 1999
BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa jumlah BLBI yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, sedangkan Rp 89 triliun tidak dapat dipertangggungj
awabkan. BPK menyatakan disclaimer laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI menolak hasil audit. Alasannya, dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan kabinet.
28 Desember 1999
Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program penjaminan terhadap kewajiban bank.
Desember 1999
BPK telah menyelesai-kan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI sebesar Rp 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI, terutama karena penggunaannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
5 Januari 2000
Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah menyebut BLBI sebesar Rp 144,5 triliun plus Rp 20 triliun untuk menutup kerugian Bank Exim (Mandiri). Tapi, menurut BI, masih ada Rp 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana sebanyak itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama November 1997-Januari 1998.
10 Januari 2000
Bocoran hasil audit KPMG yang ditunjuk BPK untuk mengaudit neraca awal BI beredar di kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa penyelewengan BLBI berjumlah Rp 80,25 triliun.
29 Januari 2000
Audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp 144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung-j
awabkan.tersangka dalam kasus cessie Bank Bali.
21 Juni 2000
Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung dengan status sebagai tersangka
9 Oktober 2000
Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh BI sejak 1991 hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya bertanggung jawab saat krisis saja.
18 Oktober 2000
Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI yang ditanggung BI hanya sebesar Rp 24,5 triliun. “Jumlah ini merendahkan hasil audit BPK,” kata anggota dewan
26 Oktober 2000
Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI.
1 November 2000
DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan
Sumber di BI menyatakan, tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun, terhitung sejak 3 September 1997-29 Januari 1999, bukan sebelum dan sesudahnya
2 November 2000
BPK mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap laporan neraca BI jika dana BLBI tidak  dapat dituntaskan.
17 November 2000
Pukul 16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang mundur adalah Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, Dono Iskandar, Achwan, dan Baharuddin Abdullah, dengan alasan tak mendapat dukungan politik pemerintah dan DPR. Sedangkan Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI ditetapkan. Berdasarkan kesepakatan ini, BI menanggung beban Rp 24,5 triliun dan sisanya menjadi beban Pemerintah.
3 Januari 2001
Dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke penyidikan berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam penyalahgunaan dana BLBI
7 Maret 2001
DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan Pansus ini dipicu oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp 24,5 miliar.
10 Maret 2001
Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI
22 Maret 2001
Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI
9 April 2001
Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka penyelewengan dana BLBI dicekal Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya (Sertivia) dan Samandikun Hartono (Bank Modern) juga dicekal.
29 Maret 2001
Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri (Jusup Kartadibrata), Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono).
2 April 2001
Pelaksanaan Program Penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara BI dan BPPN diubah dengan SK BPPN No 1036/BPPN/0401 tahun 2001.
30 April 2001
Kejagung membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan BLBI. Selain itu, Kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji selama 1 tahun.
2 Mei 2001
Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI (Samandikun Hartono dan Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi tahanan rumah.
19 Juni 2001
Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan dikenai denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 583,4 miliar
21 Juni 2001
Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat Kejagung.
31 Mei 2002
Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyampaikan Laporan Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim dan Sudono Salim untuk memenuhi Kewajiban-kewaj
ibannya dalam MSAA tanggal 21 September 1998. Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah memenuhi sebagian besar kewajiban-kewajibannya, namun secara yuridis formal telah terjadi pelanggaran, atau kelalaian atau cidera janji atau ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA yang berpotensi merugikan BPPN.
2004
Sampai 2004, pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada lima obligor MSAA dan 17 obligor PKPS APU padahal mereka belum lunas membayar utang mereka.
11 Januari 2007
Dua petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani pemeriksaan di Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang telah diserahkan kepada BPPN sebagai bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan mesin-mesin di perusahaan gula Sugar Grup
19 Februari 2007
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang bermasalah, pemerintah akan menggunakan kesepakatan awal APU plus denda. “Kami tetap akan menjalankan sesuai keyakinan pemerintah bahwa mereka (delapan obligor BLBI, red) default. Tagihan kepada mereka adalah Rp 9,3 triliun,” tegas. Ke delapan obligor itu adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (Bank Namura), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Lidia Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Omar Putihrai (Bank Tamara), Atang Latief (Bank Bira), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat).
18 September 2007
Sejumlah anggota DPR mengajukan hak Interpelasi mengenai BLBI kepada Pimpinan DPR
4 Desember 2007
Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas Penyelesaian KLBI dan BLBI yang diajukan 62 pengusul.
21 Januari 2008
Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam “Jihad Melawan Koruptor BLBI” memberikan penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai benar-benar serius hendak mengungkap kasus BLBI.
28 Januari 2008
DPR – RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar memberikan keterangan di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak Interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI.
29 Januari 2008
Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para obligor BLBI.
12 Februari 2008
Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono menyampaikan jawaban pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian BLBI di depan Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan keterangan, lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang sidang. Pada awalnya, Rapat Paripurna diwarnai hujan interupsi yang mempersoalkan ketidakhdiran SBY dan lembaran jawaban yang hanya ditandatangani Boediono saja.
29 Februari 2008
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan Tim 35 yang melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Menurut Kemas Yahya, sesuai dengan surat penyelesaian utang Master Settlement for Acquisition Agreement atau MSAA, kewajiban debitor kepada pemerintah dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah. “Kami sudah berbuat semaksimal mungkin dan kami kaitkan dengan fakta perbuatannya. Hasilnya tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum yang mengarah pada tindakan korupsi,” kata Kemas Yahya Rachman.
2 Maret 2008
Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II dicokok aparat KPK seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Syamsul Nursalim di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, Dari tangan Urip, penyidik KPK menyita uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Uang ini diduga sebagai uang suap terkait kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga menahan Artalyta Suryani, seorang pengusaha yang diketahui dekat dengan Sjamsul Nursalim dan juga
Anthony Salim
2 Maret 2008
Wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka di kalangan anggota DPR menyusul tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan.
8 Maret 2008
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli Atmasasmita. mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurut dia, kasus BLBI telah masuk ranah pidana, karena obligor yang tidak membayar menyebabkan negara rugi. Selain itu, ada unsur penipuan di dalamnya, karena tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi utangnya. Saran ini mengacu pada pasal 8 ayat 2 UU KPK yang memberi wewenang KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan polisi atau jaksa.
10 Maret 2008
Usulan hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota DPR. Usulan hak angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI secara hukum yang dirintis Kejaksaan Agung ternyata berakhir antiklimaks. Kejagung menghentikan penyelidikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha kelas kakap itu. “Apalagi dengan adanya jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Inilah yang menyebabkan kami akan menggunakan hak angket,” ujar Dradjad Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PAN
13 Maret 2008
Empat orang inisiator hak angket BLBI, Soeripto, Dradjad Wibowo , Abdullah Azwar Anas dan Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan draft hak angket kasus BLBI ke pimpinan DPR, Draft tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di ruang kerjanya. Sebanyak 55 anggota DPR telah memberikan tanda tangan sebagai bentuk dukungan.
6 Mei 2008
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia terhadap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung atas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim. Kejaksaan Agung langsung menyatakan banding.
Hari ini jam 16:54 · Privasi: Publik


Jumat, 18 Desember 2015

Sukristiawan.com

Pintu MEA Dibuka Lebar – Buruh China Migrasi Ke Indonesia, Bagaimana Masa Depan Anak Indonesia???OPINI-18/12/2015Oleh : PRIMA VANDAYANI, ST., MMMahasiswa Program Doktor Ilmu ManajemenFakultas Ekonomi Dan BisnisUniversitas Padjadjaran, BandungGarisDua.com– Belum usai upaya buruh Indonesia memperjuangkan kebutuhan minimumnya, isu lain muncul yang semakin mendorong buruh jauh dari kesejahteraan. Di samping isu PP 78 tahun2015 yang masih menjadi polemik sampai saat ini, isu terkait pertimbangan kalangan pengusaha di Indonesia untuk mempekerjakan buruh asal China menyeruak bersamaan dengan dibukanya pintu gerbang MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) di penghujung tahun ini.Penyerbuan buruh China ke Indonesia ini dimungkinkan seiring dengan permintaan Presiden Jokowi lewat pidatonya di KTT APEC di Beijing, 8-12 November 2014 agar negara-negara Asia Pasifik menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini mendorong antusias China untuk berinvestasi besar-besaran di Indonesia, mengingat China sebagai Negara yang menempati urutan pertama berpopulasi terbanyak di dunia dengan jumlah sekitar 1,36 milliar jiwa atau tepatnya adalah 1.367.485.388 jiwa di Juli 2015 (lihat Tabel 1). Karena upah dan harga tanah naik, dan keuntungan buruh China yang murah berkurang, negara seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam, muncul sebagai tujuan yang menarik untuk manufaktur Cina (ILO, 2014). Tampak di sini pemerintah China berupaya untuk menyelamatkan tenaga kerja mereka dengan memberikan banyak peluang kerja di Indonesia. Tapi bagaimana bagi pemerintah Indonesia menyelamatkan anak bangsa sendiri yang masih banyak membutuhkan pekerjaan.NegaraPopulasi (juta)China1361.51India1251.70United States321.36Indonesia255.99Brazil204.26Pakistan199.09Nigeria181.56Bangladesh168.96Russia142.42Japan126.92Mayoritas investasi China di Indonesia mengisyaratkan sepaket dengan tenaga kerjanya yang tidak hanya untuk level manajer (skilled-labor) namun juga level buruh kasar (unskilled-labor). Hal ini menunjukkan terjadinya pelanggaran terhadap UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 43 bahwa Tenaga Kerja Asing (TKA) dipekerjakan di Indonesiahanya dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu. Ditambahkan pada pasal 44 bahwa adanya TKA bertujuan untuk mentransfer ilmu kepada pendambingnya yakni warga negara Indonesia dengan waktu yang ditentukan. Tampak hal ini berlaku untuk level manajer(skilled -labor) bukan untuk level buruh kasar (unskilled-labor).Meskipun begitu keberadaan buruh kasar (unskill-labor) asal China disambut terbukabagi sejumlah pengusaha yang umumnya dilatarbelakangi anggapan bahwa buruh China memiliki etos kerja yang tinggi, mampu bekerja lebih cepat, dan bersedia menerima upah di bawah upah minimum yang diperjuangkan buruh Indonesia, teranyar buruh asal China di Surabaya bersedia dibayar dengan upah sebesar Rp.2 juta/bulan padahal UMK Surabaya tahun2016 sebesar Rp. 3.045.000.Di samping itu, khusus pada industri padat modal yang umumnya ketergantungan menggunakan peralatan asal China, keberadaan buruh China mempermudah pengoperasionalan alat dimana penjelasan penggunaan alat kebanyakan menggunakan bahasa China. Sementara itu bagi industri konstruksi pada proyek-proyek China dengan kontraktor asal China, keberadaan buruh China ini membantu kelancaran komunikasi sehingga proyek dapat selesai tepat waktu. Dengan demikian masa depan buruh Indonesia sudah dapat diperkirakan, di saat Indonesia sendiri cukup dikenal sebagai Negara penyedia buruh berupah murah, yaitu tersingkir yang berujung kehilangan pekerjaan.Memang implikasi kerjasama China-indonesia ini dapat menguntungkan Indonesia dengan mendapat investasi besar-besaran dari Cina demi mempercepat pembangunan Indonesia. Namun sebaliknya bisa juga berpotensi merugikan Indonesia terutama memunculkan isu-isu strategis khususnyaberkenaan dengan ketenagakerjaan. Syarat-syarat terselubung di balik investasi tersebut seperti harus dikerjakan oleh warga negara si pemilik investasi membutuhkan pemerintah di samping cerdas untuk menarik investasi asing namun tidak mengorbankan anak bangsa sendiri. Dalam hubungan internasional ini, Pemerintah harus menggunakan strategi negosiasi yang tepat yang menjamin kesejahteraan buruhIndonesia terpenuhi di sisi lain kepentingan dunia usaha juga kondusif.​Di era globalisasi ini kita tidak bisa lepas dari pergaulan internasional dan kesepakatan internasional, seperti pemberlakuan MEA. Buruh Indonesia tidak hanya akan bersaing dengan buruh asal China tapi juga dimungkinkan dengan buruh asal Negara lainnya. Untuk itu buruh Indonesia harus meningkatkan kemampuan berdaya saing dan ini tidak lepas dari peran pemerintah dan pengusaha yang harus terus membina danmembantu dalam peningkatan kapasitas buruh Indonesia. Dengan demikian keadaan ini menuntut semua pihak (pemerintah, pengusaha dan buruh) untukbersinergis dan bersatu menciptakan hubungan industrial yang kondusif dengan menumbuhkan kembali nilai-nilai Pancasila yang mendasarinya setiap peran.Pada peran pemerintah, terkait kedatangan TKA ke Indonesia, diharapkan pemerintah lebih mampu membuat kebijakan yang lebih mendahulukan perlindungan bagi buruh Indonesia. Seperti hanya memberi peluang kerja bagi TKA untuk sekelas manajer dengan batas waktu tertentu. Dari hal ini diharapkan meskipun Indonesia tidak menutup pintu akan masuknya TKA dari berbagai Negara, namun berdasarkan kebijakan tersebut TKA sendiri harus menyadari kompetensinya sendiri sebelum bersaing dengan level manajer di Indonesia. Di samping itu kebijakan ini akan mengerem kedatangan buruh kasar dari Negara lain yang dapat berdampak pada peningkatan tingkat kemiskinan di Indonesia apabila mereka menjadi penduduk tetap dan makin mempersempit peluang kerja untukwarga pribumi dimana tingkat pengangguran di Indonesia memang sudah tinggi (lihat Gambar 1). Apabila TKA (misalkan China) tidak dibatasi keberadaannya di Indonesia, secara berlahan akan mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada perannya di sektor-sektor strategis di Indonesia serta akan mendorong terjadinya persaingan budaya dan konflik sosial.Gambar 1. Perbandingan Tingkat Pengangguran Antara Negara-Negara ASEAN (ILO, 2014)Arus migrasi yang besar dapat menekan upah pekerja lokal khususnya di industri padat karya, sehingga Pemerintah harus mampu merumuskan upah minimum untuk semua perusahaan yang berlaku untuk pekerja lokal dan asing guna mencegah satu kelompok meremehkan kelompok yang lain (ILO, 2014). Pemerintah seharusnya tidak lagi mengandalkan upah murah untuk mendapatkan minat investor namun beralih pada orientasi ekonomi berproduktivitas tinggi. Terlihat dari hasil survey ILO, upah dan produktivitas tenagakerja di Indonesia dibanding Negara anggota ASEAN lainnya, masuk dalam levelendah (lihat Gambar 2 dan 3). Upah murahtidak selalu menghasilkan keunggulan kompetitif, namun bahkan akan menahan laju ekonomi. Upah yang kecil berakibat pada lemahnya konsumsi, mengakibatkan PDB Indonesia mengecil, artinya melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, laju ekonomi yang lamban akan menahan tingkat kesejahteraan (Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi, 2014). Namun kenaikan upah yang tidak diimbangi dengan kenaikan produktivitas, mengakibatkan biaya buruhper unit output mengalami kenaikan.Gambar 2. Perbandingan Rata-Rata Upah Antara Negara-Negara ASEAN (ILO, 2014)Gambar 3. Perbandingan Rata-Rata Tenaga Kerja Antara Negara-Negara ASEAN (ILO, 2014)Dengan demikian, Pemerintah diharapkan di samping merumuskan upah minimum yang memadai juga mampu merumuskan sejumlah kebijakan lainnya yang tepat baik bagi keberlangsungan perusahaan. Misalnya terkait biaya produksi perusahaan seperti listrik, infastruktur, birokrasi, sumber daya alam, keamanan dan lain-lain, sehingga tidak ada upaya mengatasi biaya produksi dengan pengurangan biaya pada tenaga kerja. Pemerintah juga diharapkan aktif mensosialisasikan program-program pelatihan bersertifikasi dengan bekerja bersama pengusaha untuk mendanai dan melaksanakannya guna meningkatkan kapasitas buruh Indonesia. Di samping itu pemerintah dapat lebih terbuka dan melibatkan pengusaha dan serikat akan saran-saran dalam rangka peningkatan kompetensi dan kesejahteraan buruh Indonesia.Pada peran pengusaha, diharapkan melalui manajemennya lebih mampu menciptakan hubungan kerja yang kondusif di perusahaan tidak saja dengan buruh tetapi juga dengan serikat buruh di perusahaan guna pencapaian tujuan perusahaan. Terkait kedatangan TKA ke Indonesia, manajemen diharapkan lebih mendahulukan untuk memperkuat kompetensi buruh mereka sendiri daripada merekrut TKA untuk level buruh. Manajemen harus memiliki kompetensi dalam merumuskan kebijakan dan praktek-praktek pengelolaan pekerja khusus bagi level buruh di perusahaan dalam rangka peningkatan kompetensi. Buruh sebagai manusia dan asset bagi perusahaan tidak hanya perlu dihargai dengan imbalan finansial namun juga imbalan non finansial, dimana imbalan sebagai karakteristik kerja yang dihasilkandari interaksi pekerja dengan organisasi, tugas/pekerjaan dan hubungan sosial.Imbalan dari interaksi pekerja dengan organisasi, merupakan imbalan ekstrinsik yang disediakan perusahaan untuk memfasilitasi dan memotivasi kinerja. Imbalan ini dapat berupa pertama, imbalan berwujud (finansial), bernilai ekstrinsik, dan bersifat transaksional langsung dalam pertukaran ekonomi secara langsung sepertibasic salarydanvariabel/ contingent/ incentive pay. Kedua, imbalan berwujud (finansial), bernilai ekstrinsik, dan bersifat transaksional tidak langsung dengan nilai monetari yang tidak dapat diidentifikasi langsung dan menyiratkan biaya bagi perusahaan untuk pekerja sepertibenefitdaninsurance. Ketiga, imbalan tidak berwujud (non finansial), bernilai ekstrinsikdan bersifat relasional langsung sepertilearning, training and development,employment security, promotion,danperformance managementdan bersifat relasional tidak langsung sepertiphysical environmentdimana nilai monetari tidak langsung bagi perusahaan untuk praktek-praktek yang memotivasi kinerja.Imbalan dari interaksi pekerja dengan pekerjaan, merupakan imbalan intrinsik yang langsung berkenaan konten tugas-tugas dari pekerjaan yang dilakukan. Imbalan ini tidak berwujud (non finansial), bernilai intrinsik dan bersifat relasional tidak langsung sepertijob challange, variety,dansense of achievement. Imbalan ini tidak mengisyaratkan investasi monetari dari perusahaan, tetapi membutuhkan investasi pada aspek pekerjaan. Imbalan dari interaksi pekerja dalam pertukaran sosial, merupakan penghargaan yang dirasa dalam hubungan sosial yang terjadidi tempat kerja. Imbalan ini tidak berwujud(non finansial), bernilai ekstrinsik dan bersifat relasional langsung sepertirelationship, communication, leadership, non cash recognition, dancommunity involvement.Imbalan ini tidak menyiratkan investasi finansial dari perusahaan, tetapi membutuhkan investasi waktu dan perhatian dari atasan dan rekan sekerja ketika melakukan pekerjaan.Pada peran pekerja, terkait kedatangan TKA ke Indonesia, diharapkan pekerja menumbuhkan semangat dan disiplin kerja dengan meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang dapat meningkatkan produktivitas kerjanya. Seperti dengan mengikuti sebaikmungkin program pelatihan dan pengembangan diri yang disediakan pemerintah dan manajemen dengan kesadaran bahwa produktivitas mereka berdampak bagi kemajuan perusahaan dan peningkatan kesejahteraan mereka serta kesadaran akan persaingan dalam pasar tenaga kerja di era globalisasi ini. Dalam perusahaan yang memiliki serikat, diharapkan serikat mampu murni berjuanguntuk kesejahteraan anggotanya. Seperti bersama-sama dengan manajemen berkomitmen meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan pekerja serta hubungan industrial yang kondusif untuk beritikad baik bermusyawarah dengan memaksimalkan sarana perundingan bersama. Di samping itu memberi input kepada pemerintah dan manajemen terkait hal-hal yang dapat meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan pekerja.Setiap peran yangdimainkan masing-masing pihak ini harus meyakini sejumlah nilai-nilai Pancasila yang melandasi Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang berlaku di Indonesia. Pertama, HIP menyakini bahwa bekerja bukan hanya bertujuan untuk sekedar mencari nafkah saja, akan tetapi sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, kepada sesama manusia, kepada masyarakat, Bangsa dan Negara. Kedua, HIP menganggap pekerja bukan hanya sekedarfaktor produksi belaka, tetapi sebagai manusia pribadi dengan segala harkat danmartabatnya. Ketiga, HIP menganggap pengusaha dan buruh bukanlah mempunyai kepentingan yang bertentangan, akan tetapi mempunyai kepentingan yang sama yaitu kemajuan perusahaan. Keempat, HIP menganggap  perbedaan pendapat antara pengusaha dan buruh harus diselesaikan dengan jalanmusyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan.  Kelima, HIP menganggap keseimbangan antara hak dan kewajiban antara pengusaha dan buruh dicapai bukan didasarkan atas perimbangan kekuatan (balance of power), akan tetapi atas dasar rasa keadilan dan kepatutan. (JF)TaggedBuruhburuh chinaprima vandayaniTKAUMKTinggalkan BalasanAnda harusmasuk loguntuk mengirim sebuah komentar.TERBARUPintu MEA Dibuka Lebar – Buruh China Migrasi Ke Indonesia, Bagaimana Masa Depan Anak Indonesia???Gaji Pebola Tak DIbayar, Suporter Bola Didampingi Serikat Buruh Siap Geruduk Disnaker SurabayaSepanjang 2015, 29 Ribu Buruh Asing Masuki Banten, Buruh China DominanIni Dia Besaran UMK Banten 2016Ekonomi Tak Stabil Dan UMK Terlalu Tinggi Akibatkan 3.000 Orang Ter-PHKLarangan Transportasi Online Ditunda, 200 Ribu Driver Go-Jek Selamat Dari Ancaman PengangguranKominfo : Edarkan Berita Bohong dan Menyesatkan Bisa Dibui 6 TahunUpah Naik: Buruh Tani Rp 46.881/Hari dan KuliBangunan Rp 80.946/Hari5 Pimpinan Baru Pilihan DPR Akan Membawa KPK ke Masa Depan Suram!Agus Rahardjo Pimpin KPK Periode 2015-201959700TENTANGGaris Dua adalah portal berita alternatif yang menyajikan kabar tentang perburuhan dan nasional. Kami hadir dengan tujuan memberi sebuah pandangan alternatif bagi kehidupan sosial ppm politik masyarakat Indonesia. Kami selalu berupaya untuk menerapkan standar jurnalisme yang kritis, tajam, dan berkualitas.TOPIK septemberAksiAPIapindoBPJSBudi WasesoBuruhbuwasDemodemo buruhDPREkonomiFSPMIGBIHanif DhakiriJokowijokowi-jkKemenakerkorupsikpkksbsiKSPImahasiswaMEAMenakermogok nasionalMudhofirpaket kebijakan ekonomiPHKpilkadaPP 78PP 78/2015PP no.78/2015PP Pengupahanrj linoRPP PengupahanRupiahSaid IqbalSerikat BuruhTekstiltkiUMKUpahUpah BuruhUU KPK


Minggu, 13 Desember 2015

Sukristiawan.com:contoh legal formil pengaduan ke sudin dinaker tentang pelangaran jamsostek

SURAT PENGADUAN KE DISNAKER
Jakarta, 21 Januari 2009
No.: 21/VRH&P-SP/I/2009
Kepada Yth.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Propinsi DKI Jakarta
Jl. Prapatan No. 52
Jakarta Pusat
Perihal : PENGADUAN DAN TINDAK LANJUT PERSELISIHAN HAK JAMSOSTEK EKS-PEKERJA P.T. HOTEL INDONESIA NATOUR
Dengan Hormat,
Untuk dan atas nama Klien kami,
……………. , selaku Pengurus Himpunan Mantan Karyawan Hotel Indonesia Natour dan Inna Wisata (HIMKHI), beralamat di Jl. Pangkalan Jati II, Gg. Seri No. 26 C,
Rt.04/02, Kel. Pangkalan Jati, Kec. Limo, Depok – Jawa Barat, yang telah dikuasakan oleh A. Haerudin, dkk. ( 1.115 orang), selanjutnya disebut sebagai “Eks-Pekerja/Pekerja ”, dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasanya, ……………… , berkedudukan di ………….., berdasarkan Surat Kuasa tertanggal 14 Januari 2009 (Terlampir), dengan ini mengajukan pengaduan dan tindak lanjut kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Prop. DKI Jakarta perihal perselisihan hak terkait adanya penyimpangan dana JAMSOSTEK yang dilakukan oleh PT. Hotel Indonesia Natour, beralamat di Jl. Thamrin No. 1, Jakarta Pusat dan/atau Jl. Warung Buncit Raya Kav. 38, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai “Pengusaha”.
Adapun duduk permasalahannya adalah sebagai berikut:
1. Bahwa antara Pengusaha dengan Pekerja telah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) ditandai dengan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (“P4P”) No. 956/561/99-5/IX/PHK/6-2005 dan No. 955/251/36-5/IX/PHK/6-2005 tertanggal 16 Juni 2005 yang telah berkekuatan hukum tetap;
2. Bahwa faktanya sejak Pekerja mulai bekerja hingga September 2003, ternyata terdapat penyimpangan/kesalahan dalam pelaporan keuangan oleh PT. Hotel Indonesia Natour (“PT. HIN”) yang harus disetorkan kepada Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (JAMSOSTEK). Di mana Pengusaha hanya melaporkan dan menyetorkan uang iuran kepesertaan didasarkan pada komponen Gaji Pokok Dasar Pensiun (PHDP), bukan atas komponen upah (gaji termasuk tunjangan baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarga/Take Home Pay) sesuai Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, sehingga akibat dari adanya penyimpangan pelaporan tersebut mempengaruhi jumlah saldo yang seharusnya diterima oleh Pekerja;
3. Bahwa Disnakertrans DKI Jakarta pernah mengirimkan surat kepada Dirut PT. Hotel Indonesia Natour melalui surat No. 6548A/-1.836.1 tertanggal 19 Oktober 2005 perihal pembayaran JHT (terlampir), yang isinya pada pokoknya mendesak PT. Hotel Indonesia Natour wajib membayar kekurangan Jaminan Hari Tua sesuai daftar terlampir;
4. Bahwa akan tetapi desakan Disnakertrans DKI Jakarta tersebut belum dilaksanakan sepenuhnya oleh PT. Hotel Indonesia Natour. Sehingga permasalahan hak normatif terkait JAMSOSTEK tersebut hingga saat ini belum terselesaikan;
5. Bahwa oleh karena hak normatif merupakan hak Pekerja yang dimiliki dan harus dipenuhi berdasarkan undang-undang, maka Pekerja masih mereserver (mencadangkan) hak-nya agar dipenuhi apabila Pengusaha belum melaksanakan kewajibannya tersebut;
6. Bahwa Dinas tenaga kerja dan transmigrasi Propinsi DKI Jakarta kerja selaku pejabat negara yang diberikan kewenangan melakukan pengawasan, sudah sepatutnya memanggil kembali para pihak pihak yang berselisih terkait dengan jamsostek yang belum diberikan secara penuh kepada eks-pekerja;
7. Bahwa hal ini mengingat Jamsostek berupa Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan hak mutlak bagi pekerja, yang harus di kembalikan secara utuh, sebab dana tersebut diambil dari potongan upah pekerja setiap bulannya sejak pekerja pertama kali bekerja s/d tahun 2003;
8. Bahwa dengan ini kami memohon kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi DKI Jakarta untuk menyelesaikan permasalahan ini hingga sampai dikeluarkannya Nota Anjuran.
Demikianlah surat ini kami sampaikan. Bahwa kami sangat menghargai apresiasi dan kerja keras Dinas Tenaga Kerja Prop. DKI Jakarta dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, khususnya dalam hal penyelesaian perselisihan hak normatif Pekerja atas JAMSOSTEK. Atas segala perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
Kuasa Hukum Penggugat
VIRZA ROY HIZZAL, S.H., M.H
LAMPIRAN :
1. Surat Kuasa tertanggal 14 Januari 2009
2. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat No. 955/561/99-5/IX/PHK/6-2005;
3. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat dan No. 956/251/36-5/IX/PHK/6-2005 tertanggal 16 Juni 2005;
4. Surat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Prop. DKI Jakarta No. 6548A/-1.836.1 tertanggal 19 Oktober 2005 Perihal pembayaran JHT;
5. Perhitungan Kekurangan JHT JAMSOSTEK Eks Karyawan Hotel Indonesia & Inna Wisata Periode 0 tahun s/d Okt 2001;
Tembusan   :
1. Gubernur Provinsi DKI Jakarta;
2. Asisten Kesejahteraan Masyarakat Provinsi DKI Jakarta;
3. Dir. Jen. Pembinaan dan Pengawasan Hubungan Industrial Depnakertrans;
4. Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Depnakertrans;
5. Direktur Pengawasan Norma Ketenagakerjaan Depnakertrans;
6. Direksi PT.Hotel Indonesia Natour;
7. Arsip.
Memuat


sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...