Minggu, 28 Februari 2016

Sukristiawan.com:Teknik advokasi Perburuhan

Teknik Advokasi PerburuhanPosted onApril 1, 2013bywebmin—No Comments ↓Pendampingan atau pengadvokasian  merupakan  salah  satu tugas pokok keserikat-buruhan. Pekerja yang bergabungdalam sebuah organisasi (SB/SP) tentu berkeinginan untuk mendapatkan perlindungan atau rasa aman dari tekanan pihak pengusaha. Dalam banyak kasus, pekerja akan memilih bergabung dengan organisasi buruh (SB/SP) yang memiliki reputasi selalu berjuang dengan sepenuh tenaga untuk kaum buruh. Dalam situasi krisis industrial seperti sekarang, pekerja akan mengambil jalan pragmatis. Mereka akan memilih serikat pekerja yang resiko berbenturan dengan pengusaha minim, akan tetapi punya reputasi sukses dalam menangani kasus. Tentunya, persoalan ini merupakan tantangan berat bagi kita (FNPBI) dalam memenangkan dukungan kuat dan kepercayaan kaum buruh.Oleh  karena  itu, sudah menjadi keharusan bagi pengurus dari  tingkat pabrik  sampai nasional  dan  organiser untuk menguasai, mengetahui dan menguasai Undang-undangperburuhan, Tehnik  dan  taktik   negosiasi di perusahaan sampai pengadilan  perselisihan   Hubungan  Industrial. Pengetahuan ini tentu akan menjadi senjata pengorganisiran dalam memperluas basis.Dalam melakukan perjuangan melingdungi kepentingan mendesak kaum buruh (normatif), kami biasanya mengambil langkah-langkah dan taktik sebagai berikut :INTERNAL*.Kita menanamkan sejak awal bahwa organisasi adalah milik semua anggota dan harus memperjuangan kepentingan setiap anggota secara bersama-sama. Sehingga, setiap anggota kita yang terkena kasus harus mendapatkan avokasi secara bersama-sama dari organisasi. Untuk itu, seluruh energi organisasi harus diarahkan untuk memberikan dukungan dan solidaritas kepada setiap anggota yang terkena kasus. Kita akan menyatakan bahwa setiap persoalan yang dialami oleh individu akan diselesaikan secara bersama-sama (kolektif). Dalam  tradisi FNPBI,jalur hukum menjadi pilihan (opsi) terakhir, sedangkan pilihan pertama adalah berjuang lewat jalur perundingan/negosiasi.  dalam melakukan negosisasi/perundingan, cara-cara untuk melipatgandakan daya-tawar pekerja dihadapan pengusaha harus dilakukan seperti; pemogokan, aksi duduki pabrik, penuruna produksi, dan lain-lain. Kita berkeyakina bahwa posisi buruhyang sangat krusial dalam produksi merupakan senjata utama kaum buruh dalam menghadapi pengusaha.*.Melakukan dan menggalang kerja-kerja solidaritas  dari  pabrik lain, kota lain    maupun  wilayah  lain  yang menjadi  anggota  FNPBI  untukmemberi dukungan dan solidaritas kepada kawan-kawan atau pabrik yang terkena masalah. Dukungan dapat diberikan berupa aksi-aksi solidaritas, ataupun pernyataan surat protes yang dilayangkan kepada pihak perusahaan,buyer, kedutaan, jika pemilik  modalnya  milik  Asing dll.EKSTERNAL·         Mengkampanyekan  kasus  tersebut  lewat  media  masa baik di  dalam maupun diluar  negeri. Metode yang bisa dilakukan adalah menggelar press release, surat protes terbuka, menggalang petisi, ataupunmelakukan konferensi pers guna menekan pengusaha. Dukungan dari kelompok luar (serikat buruh, masyarakat, pejabat DPR) akan menaikkan moril (semangat juang) pekerja yang sedang berjuang, sedangkan disisi lain akan menjatuhkan moril dari pengusaha karena banyaknya kecaman.·         menggalang  solidaritas  dari  organisasi buruh (SB/SP) lain ataupun organisasi non-buruh seperti mahasiswa, petani, kaum miskin kota dan NGO. organisasi-organisasi tersebut dapat memberikan  solidaritas  terhadap  kasus  tersebut  dengan  cara  dukungan  masa  dan membuat surat solidaritas  yang  di  kirimkan ke  perusahaan,buyer  dan  instansi  yang  terkait.Langkah-langkah Umum  sebelum  pendampingan  Langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum seorang pendamping melakukan proses pengadvokasian;1.      Mempelajari  Kasus  yang  akan  di  negosiasiSeorang pendamping/pengurus harus mempelajari kasus yang akan dihadapi. Proses analisas terhadap kasus ini akan memberikan kita kesimpulan berupa; pemetaan terhadap jenis kasus; apakah  kasus  tersebut  Hak, kepentingan  atau pidana, memikirkan langkah dan upaya hukum untuk menyelesaikannya;2.      Pembacaan  Kondisi  PerusahaanBahwa  kita sebagai  kuasa  hukum /pendamping  harus  mengetahui  asal  modal perusahan  (modal asing atau  modal dalam  negri), Jenis  Produksi, Oner  perusahaan, jenis produksi, dan  produksi apa yang di hasilkan saat itu. pembacaan yang objektif dan detail akan kondisi perusahaan akan menguntunkan kita dalam hal penyusunan taktik, metode dan hari (H) yang tepat untuk melancarkan serangan kepada pengusaha. Serangan terbuka yang dilancarkan pada saat pengusaha sedang melemah akan membuat pengusaha tidak dapat berbuat banyak menghadapi tuntutan pekerja.3.      Mencari  dasar-dasar hukumnyaBeberapa peraturan perburuhan memberikan jaminan hukum atas hak-hak mendasar dari kaum buruh (normatif). Hal ini memberikan ruang legal bagi pekerja untuk melakukan tuntuan kepada pengusaha untuk memenuhinya. Jika pengusaha mengelak, maka serikat pekerja dapat membawa hal ini kepada sipembuat hukum(negara). Oleh karena itu, dalam melakukan proses pendampingan/ advokasi, kita harus mempelajari kasus itu dengan cermat dan mencari dasar-hukumnya. Kita lihat  Peraturan  perusahan (PP), Perjanjian  Kerja Bersama (PKB), Undang-undang ketenagakerjaan, PeraturanPemerintah, Konvrensi ILO, Keputusan  Mentri bahkan  Surat Edaran Mentri.  Kita harus mengkroscek pasal demi pasal, agar dapat melihat klausul yang menguntungan  pihak  buruh. Sebagai contoh, pasal 168 UU Nomor13  tahun  2003 dikatakan bahwa jikapekerja tidak masuk  kerja  selama  lebih  dari  5 (lima) hari berturut-turut, maka perusahaan  dapat memPHK pekerja  tanpa pesangon  dengan  kualifikasi  mangkir. Hal itu dapat kita bantah atau mentahkan dengan mengatakan bahwa si  pekerja  tidakdi panggil  secara  lisan  maupun  tertulis. Karena tak sesuai dengan prosedur yang persis digarisakn UU  maka  hal  tersebut  batal  demi  hukum dan  pengusha wajib mempekerjakan  buruh tersebut.4.      Mempersiapkan  Kekuatan  untuk  Menaikkan  Posisi  Tawar (Bargain Position)Berhadapan dengan sistem peradilan industrial yang kapitalistik, sudah pasti akan menguntungkan pengusaha. Dengan kekuatan modalnya, pengusaha dapat membeli segala-galanya, termasuk membeli aparatus penegak hukumnya. Sehinga tidak ada jalan lain, pekerja dan serikat pekerja harus menaikan posisi tawar dengan melakukan serangakaian tekanan terhadap pengusaha. Sebagai posisi  tawar dalam negoisasi  baik ditingkat pabrik  (Bipartit ) sampai  jalur hukum Tripatit, PHI, MA. Maka  serikat  harus menyusun strategi-taktik untuk menekan posisi pengusaha dipabrik. Metodenya bisa macam-macam; pemogokan, perlambatan produksi (slowdown production), aksi-aksi massa di kantor perusahaan atau kantor pemerintah,dan lain-lain.  aksi-aksi yang yang terkoordinasi dengan baik akan memiliki daya pukul yang lebih kuat. Hal ini akan menambah kepercayaan diri bagi seluruh pekerja/anggota serikat buruh, dan disisi lain, akan menjatuhkan moril pengusaha dalam proses negosiasi.ADMINISTRATIF 1. Pembuatan  Kronologi  kasusKronologi adalah rangkaian urutan kejadian/peristiwa yang dialami oleh korban (pekerja), bentuk-bentuk tekanan, bentuk-bentuk perlakuan/pelanggaran, dan faktor-faktor yang melatarbelakangi kejadian itu. Kronologi  harus meliputi  nama,Masa kerja, Upah perbulan (upah pokok, tunjangan  tetap). Dalam menuliskan rentetan kejadiannya, kronologi harus dituliskan berdasarkan urutan waktu dan  tempat kejadian.2.Tuntutan  secara  tertulisTuntutan harus ditulisan dengan bahasa formal yang jelas, lugas, singkat dan tidak berbelit-belit. Semua jenis tuntutan (maksimum dan minimum) bisa saja dituliskan, meskipun nantinya akan terjadi kompromi, hanya sebagai saja dari tuntutanyang dapat dipenuhi. Selain itu, tuntutan yang dibuat harus  secara tertulis dan cantumkan  landasan-landasan hukum nya.  Landasan hukum tersebut akan menjadi alasan kuat bagi kita menuntut pengusaha dan tidak ada jalan lain bagi pengusaha untuk mengelak. Landasan hukum penyusunan tuntutan bisa diambil berdasarkan ketentuan hukum yang berlakubaik diperusahan maupun perundang-undangan.3. Surat  TugasSurat tugas adalah surat yang diberikan oleh organisasi kepada pendamping untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan memang ditunjuk oleh organisasi dan punyawewenang. Kuasa hukum /pendamping  mempersiapkan  surat tugas  dari  serikatnya  sebagai  identitas si  pendamping.  Surat tugas harus ditandatangani oleh pengurus dan dibubuhi dengan stempel.4.Surat KuasaSurat kuasa adalah surat yang menyebutkanpengalihan wewenang/hak dari pihak pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan hal-hal yang dicantumkan dalam surat kuasa tersebut. Surat kuasa harus menyertakan nama dan tanda tangan kedua belah pihak  yang memberi  kuasa dan  di  berikuasa, serta di bubuhi  materai  6000  (contoh terlampir)5. Memori  bandingMemori banding adalah tanggapan yang diberikan oleh kuasa hukum (pendamping) kepada jawaban pengusaha atas tuntutan pekerja. Biasanya  memori bading  di  buat pada saat kita  menolak  argumen-argumen pengusaha di  jalur  hukum (Tripartit, PHI, MA)6. Risalah  PerundinganTidak semua perundingan membawa hasil yang menguntungkan kepada kedua-belah pihak. Kalau perundingan berakhir tanpa ada keputusan, maka kita harus membuat risalah perundingan, yakni hal-hal yang belum (tidak) disepakati oleh kedua belah pihak. Risalah  harus memuat Nama  perusahan, Team Negosiator  kedua belah pihak, Hari, tanggal, jam dan  di tandatangani oleh kedua belah pihak. Risalah Dapat dipergunakan kalau salah satupihak akan membawa kasus ini pada proses hukum yang lebih lanjut.7. Surat  Pengaduan  ke Jalur  hukum  (Subdinaskertrans, PHI, MA)1.   Jika  kasus yang ditangai kemungkinan melewati jalur hukum, maka harus ada kita harus mempersiapkan beberapa hal sebelum pengaduan diantarnya; Surat  permohonana  penyelesaian  masalah untukdi mediasikan ( mediator, Konsilasi dan  Arbitase). Sebelum memasukkan kasus, hendaknya seorang pendamping sudah memahami kategori dari kasus tersebut; kasus hak, kepentingan, atau pidana. Kalau tidak, hal itu akan memperlambat jalannya proses hukum kasus tersebut.2.   Harus  mencantumkan  risalah perundingan; dalam beberapa kasus, karenarisalah perundingan tidak dicantumkan maka surat permohonannya dikembalikan.3.   Mencatumkan  semua bukti-bukti secara  tertulis  yang menguatkan  kita.4.   Surat tugas dan  Surat  Kuasa.Tagged with:advokasiPosted inMateri Bacaan


Kamis, 25 Februari 2016

Sukristiawan.com:20 waktu yg dilarang Rasulullah berhubungan intim dng istri

Inilah 20 WAKTU YANG DILARANG RASULULLAH BERHUBUNGAN BADAN DENGAN ISTERIBerhubungan suami istri harus dilakukan penuh adab dan ada waktu-waktu yang dibolehkan dan ada waktu– waktu yang dilarang untuk melakukan hubungan suami istri. Hal ini disebabkan karena dalam Islam hubungan suami istri adalah ibadah dan bernilai pahala.Adapun waktu waktu yang dilarang untuk berjima’ yaitu:1. “Wahai Ali..! janganlah engkau berjima’ dengan isterimu pada awal (hari pertama) bulan, pada pertengahannya (sehari) dan pada akhir (dua hari) di hujung bulan. Maka sesungguhnya penyakit gila, gila babi dan sopak mudah mengenainya dan anaknya.”2. “Wahai Ali..! janganlah berjima’ dengan isterimu selepas zuhor, sesungguhnya jika Allah s.w.t. mengurniakan kepada kamu berdua anak kerana jima’ pada waktu itu, maka ia akan bermata juling dan syaitan sangat suka kepada manusia yang bermata juling.”3. “Wahai Ali..! janganlah bercakap-cakap semasa jima’, sesungguhnya jika Allah s.w.t. mengurniakan kepada kamu berdua anak dengan jima’ yang demikian, maka anak itu tidak selamatdaripada bisu.”4. “Wahai Ali..! janganlah berjima’ dengan perempuanmu dengan syahwat terhadap perempuan lain, maka sesungguhnya yang demikian itu jika Allah s.w.t. mengurniakan kepadamu berdua anak, anak itu akanmenjadi pondan yang bersifat benci dan hina.”5. “Wahai Ali..! jika kamu berjunub di tempat tidur, janganlah membaca Al-Quran, maka sesungguhnya aku bimbang akan turun kepada kamu berdua api (bala) dari langit yang membakar kamu berdua.”6. “Wahai Ali..! janganlah berjima’ dengan isterimu kecuali ada padamu satu tuala dan pada isterimu satu tuala.”7. “Wahai Ali..! janganlah kamu berduamenyapu dengan menggunakan satu tuala, nanti akan jatuh syahwat keatassyahwat (salah seorang akan kuat syahwatnya daripada yang lagi satu), maka sesungguhnya yang demikian itu akan mengakibatkan permusuhan kemudian membawa kamu berdua kepada berpecah dan talak.”8. “Wahai Ali..! janganlah berjima’ dengan isterimu pada malam ‘Aidil Fitri (Raya Puasa), maka sesungguhnya jika Allah s.w.t. mengurniakan kepada kamu berdua anak anak itu seorang yang cacat dan tidak mendapat anak baginya kecuali sudah tua.”9. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu pada malam‘Aidil Adha, maka sesungguhnya jika kamu berdua berjima’ pada malam tersebut, apabila Allah s.w.t. mengurniakan kepada kamu berdua anak aku bimbang ia akan menjadi seorang yang berjari enam atau empat.”10. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu di bawah cahaya matahari (secara langsung – direct) dan terkena warna (cahayanya), kecuali kamu mengenakan tutupan (bumbung), jika tidak maka sesungguhnya kalau Allah mengurniakan kepada kamu berdua anak, nanti anak itu akan menjadi seorang sentiasa hidup dalam meminta-minta dan faqir sehingga mati.”11. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu di bawah pohon kayu yang berbuah, maka sesungguhnya jika Allah s.w.t. mengurniakan kamu berdua anak, nanti anak itu akan menjadi seorang tukang gojo, tukang sebat atau seorang ketua yang bengis,”12. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu sewaktu antara azan dan iqomah, jika berjima’ pada waktu demikian, sesungguhnya jika Allah mengurniakan anak pada kamu berdua, nanti ia menjadi seorang yang menumpahkan darah.”13. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu semasa ia hamil kecuali kamu berdua berwudhu’, jika tidak maka sesungguhnya jika Allah s.w.t. mengurniakan kamu berdua anak, nanti ia akan menjadi seorang yang buta hati dan bakhil tangan.”14. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu pada pertengahan (Nisfu) Sya’ban, maka sesungguhnya yang demikian itu jika Allah s.w.t. mengurniakan kamu berdua anak,nanti anak itu akan mempunyai tanda yang jelek pada muka dan rambutnya.”15. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu pada akhir bulan (yakni tinggal dua hari) maka sesungguhnya yang demikian itu jika Allah s.w.t. mengurniakan kepada kamu berdua anak nanti anak tersebut menjadi seorang yang sentiasa perlu meminta-minta. “16. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu dengan syahwat terhadap saudara perempuannya ! (ipar kamu) kerana yang demikian itu sesungguhnya kalauAllah s.w.t. mengurniakan kepada kamu berdua anak, nanti anak itu akanmenjadi penolong dan pembantu kepada orang yang zalim dan pada tangannya membuat kebinasaan kepada manusia.”17. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu di atas loteng maka sesungguhnya yang demikian itu jika Allah s.w.t. mengurniakan anak kepada kamu berdua nanti anak itu menjadi seorang munafiq, pelampau yang melewati batas.”18. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu pada malamkamu hendak keluar musafir kerana yang demikian itu sesungguhnya kalauAllah s.w.t. mengurniakan kepada kamu berdua anak, ia akan membelanjakan harta kepada yang tidak Haq,” dan Rasulullah s.a.w. membaca ayat Al-Quran : “Innal Mubazziriina kaanu – ikhwan Nas – Syayathin.”19. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu bila kamu keluar bermusafir dalam tempoh tiga hari tiga malam, maka yang demikian itu sesungguhnya bila Allah s.w.t. mengurniakan kepada kamu berdua anak, nanti ia menjadi seorang pembantu kepada setiap orang yang zalim.”20. “Wahai Ali..! janganlah kamu berjima’ dengan isterimu pada awal malam, maka sesungguhnya jika dikurniakan anak kepada kamu berdua, ia menjadi seorang tukang sihir, sunglap, dan menghendaki duniadaripada akhirat.”Sumber:“WAHAI ALI PELIHARALAH WASIATKU INI SEBAGAIMANA AKU TELAH MEMELIHARANYA DARI JIBRIL A.S.”..1* (1*) Al-Ikhtisyaah, ms 132-135, As-Saduq, Al-Faqih ms 456,Al- Ilal ms 174.


Rabu, 24 Februari 2016

Sukristiawan.com:Bolehkan menolak atau keberataan di mutasi.

…MUTASI….?12 Juni 2013 11.17Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) memang tidak mengatur bahwa salah satu alasan pengunduran diri adalah karena penolakan kebijakan mutasi oleh perusahaan.Oleh karenanya, Saudara dapat merujuk pada ketentuan pada peraturan perusahaan, perjanjian kerja, dan atau perjanjian kerja bersama.Biasanya, kebijakan memutasi karyawan adalah hak prerogratif perusahaan. Oleh karenanya tak jarang perusahaan mencantumkan ketentuan bahwapekerja harus bersedia ditempatkan di manapun di dalam peraturan perusahaannya atau di dalam perjanjian kerja. Tak jarang juga ada perusahaan-perusahaan tertentu yang mencantumkan ketentuan sanksi bagi pekerja yang menolak dimutasi. Dengan ketentuan itu selintas terlihat bahwa pekerja harus mengikuti kebijakan perusahaan dalam hal mutasi kerja.Namun demikian, pasal 31 dan pasal 32 UUK memberikan hak dan kesempatan kepada pekerja untuk ditempatkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan pekerja. Dengan demikian, seharusnya perusahaan juga harus memperhatikan bakat, minat,dan kemampuan seorang pekerja sebelum yang bersangkutan dimutasi.Mengenai kasus Saudara yang akan dimutasi ke luar kota tetapi tidak mendapatkan tunjangan, Saudara bisa merujuk pasal 88 ayat 1 UUK yang menyebutkan bahwa setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ditambah lagi ketentuan pasal 15 ayat 1 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan suatu ketentuan dalam perjanjian pekerja-pengusaha yang merugikan kepentingan pekerja akan menjadi batal menurut hukum.Dengan demikian, ketika saat ini Saudara mendapatkan penghasilkan yang layak, maka ketika dipindahkan pun Saudara seharusnya mendapatkan penghasilan yang layak pula. Untuk masalah penghidupan yang lebih layak kita bisa merujuk ke Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005.Jika perusahaan menyatakan Saudara dianggap mengundurkan diri karena tidak mau dipindahkan maka Saudara bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial di daerah tempat Saudara bekerja. Sebelum ke sana, Saudara harus berusaha menyelesaikan masalah ini secara bipartit (antara Saudara dengan pengusaha) dan tripartit (antara Saudara, pengusaha, dan pihak ketiga antaralain mediator dari dinas tenaga kerja, konsiliator, atauarbiter).Dengan Hormat, saya adalah seorang karyawan di BUMN konstruksi di Jakarta. Pada saat ini saya menghadapi sebuah pilihan yang sulit, antara karir dan keluarga, di mana saya baru mendengar selentingan berita bahwa saya akan dimutasi ke luar Jakarta, dalam hal ini ke Makasar. Akan tetapi dari pihak manajemen perusahaan belum menyampaikan hal tersebut secara langsung kepada saya. Kalau hal ini memang benar terjadi kepada saya nantinya, terus terang saya akan menolak mutasi ini, dengan alasan tidak bisa jauh dari keluarga karena memang keluarga saya di Jakarta, dan anak-anak saya masih kecil-kecil. Pertanyaannya adalah apakah saya boleh menolak mutasi tersebut dengan alasan keluarga, dan saya merasa bahwa dengan mutasi ini secara tidak langsung memberhentikan karyawannya secara halus. Sebab hal ini sudah sangat sering terjadi kepada teman-teman saya sebelumnya dengan alasan mutasi ke luar Jakarta, akhirnya berakhir kepada pengunduran diri dari yang bersangkutan karena berbagai macam alasan. Terus terang saya pun menjadi tidak nyaman lagi bekerja pada saat ini, ditambah dengan sikap atasan langsung saya yaitu Project Manager yang memberikan laporan ke manajemen perusahaan bahwa saya sering tidak ada di project, meskipun kenyataannya tidak seperti itu. Dari segi hukum buruh dan ketenagakerjaan, apakah saya boleh menolak mutasi tersebut, dan kalau saya menolak mutasi tersebut apakah konsekuensi hukumnya? Mohon penjelasannya. terima kasih.Mutasi atau penempatan pekerja ke tempat lain harus memperhatikan berlakunyaPasal 32 UU No. 13Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:(1). Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.(2). Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepatsesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.(3). Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.Berkaitan dengan apa yang Anda sampaikan, di Hukumonline pernah ada berita berjudul Menolak Mutasi Berarti Menolak Perintah Kerja. Di dalam berita tersebut diceritakan soal seorang pekerja (Bambang Prakoso) yang diputus hubungan kerjanya(di-PHK) oleh Bank Mega karena menolak mutasi. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pimpinan Supraja mengabulkan gugatan PHK yang dilayangkan Bank Mega terhadap Bambang Prakoso gara-gara menolak mutasi. Hakim menganggap, menolak mutasi sama dengan menolak perintah kerja. Sehingga tindakan Bambang dapat dikualifisir mengundurkan diri sesuai Pasal 168 UUK.Dalam perkara Bambang melawan Bank Mega, memang disebutkan dalam Pasal 5 Peraturan Perusahaan Bank Mega bahwa perusahaan berwenang untuk mengangkat, menetapkan, atau mengalihtugaskan satu jabatan ke jabatan lainnya atau satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan perusahaan.Hal serupa pernah pula dialami oleh Bambang Wisudo yang digugat PHK oleh Kompas. Gugatan Kompas dikabulkan oleh Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta dengan dalil Bambang menolak mutasi. Lebih jauh simak artikel Mutasi Adalah Hak Mutlak Perusahaan, PHK Wartawan ‘Kompas’ Sah.Kesamaan dari dua kasus tersebut di atas yaitu kedua karyawan tersebut sudah pernah menandatangani pernyataan bersedia ditempatkan di mana saja. Menolak mutasi berarti sama saja melanggar syarat perjanjian kerja.Kembali ke pertanyaan Anda, seandainya benar perusahaan akan melakukan mutasi terhadap Anda dan Anda ingin menolak mutasi tersebut, Anda harus melihat kembali ketentuan dalam Peraturan Perusahaan (“PP”) tempat Anda bekerja atau perjanjian kerja Anda dengan perusahaan. Jika memang menolak mutasi dikualifikasikan sebagai “menolak perintah kerja”, atau melanggar perjanjian kerja, konsekuensinya adalah Anda dianggap melanggar PP atau perjanjian kerja dan dapat digugat ke PHI.Namun, sebelumnya Anda dapat mengupayakan cara kekeluargaan dengan menyampaikan latar belakang dari keberatan Anda untuk dimutasikan ke tempat lain karena alasan keluarga. Upaya awal yang dapat Anda lakukan adalah melalui perundingan bipartit. Lebih jauh simak artikel Hubungan Industrial.Merujuk pada Pasal 32 UUK di atas, penempatan tenaga kerja memang harus memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum pekerja. Dengan demikian, memang sebaiknya pihak perusahaan memperhatikan kondisi pekerja yang akan dimutasi, termasuk kondisi keluarganya.Jadi, menurut hemat kami, seandainya Anda terkenamutasi, Anda bisa saja menyampaikan keberatan Anda atas mutasi tersebut secara baik-baik atau “menawar” kebijakan mutasi tersebut agar perusahaan mempertimbangkan alasan Anda untuk tidak jauh dari keluarga. Dengan harapan, perusahaan akan mempertimbangkan kembali rencana mutasi tersebut.Akan tetapi, jika kewenangan perusahaan untuk melakukan mutasi ini diatur dalam PP atau perjanjian kerja, maka perusahaan sangat mempunyai dasar untuk memutus hubungan kerja Anda jika Anda menolak mutasi.Dasar hukum:Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.Di rumahkan.Jika dikaitkan dengan masalah Saudara, peraturan perundang-undangan sendiri tidak mengatur/memberi penjelasan mengenai yang dimaksud dengan “dirumahkan”. Namun, di dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja kepada pimpinanperusahaan di seluruh Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (“SE 907/2004”) pada butir f menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja haruslah sebagai upaya terakhir, setelah dilakukan upaya berikut :“f. Meliburkan atau Merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu.”Sehingga dari isi SE 907/2004 di atas dapat dipahami bahwa merumahkan karyawan sama dengan meliburkan/membebaskan pekerja untuk tidak melakukan pekerjaan sampai dengan waktu yang ditentukan oleh perusahaan. Hal mana dilakukan perusahaan sebagai langkah awal untuk mengurangi pengeluaran perusahaan atau karena tidak adanya kegiatan/produksi yang dilakukan perusahaan sehingga tidak memerlukan tenaga kerjauntuk sementara waktu.Mengenai perusahaan tempat Saudara bekerja yang kondisinya sedang tidak menentu, tidak ada aturan yang memberikan hak agar perusahaan hanya dapat membayar upah karyawannya sebesar 50% saja. Namun, terdapat Surat Edaran Menteri Tenaga KerjaNo. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja yang ditujukan kepada Kakanwil Disnaker yang isinya antara lain:“Sehubungan banyaknya pertanyaan dari pengusahamaupun pekerja mengenai peraturan merumahkan pekerja disebabkan kondisi ekonomi akhir-akhir ini, yang mengakibatkan banyak perusahaan mengalami kesulitan, sehingga sebagai upaya untuk penyelamatan perusahaan maka perusahaan menempuh tindakan merumahkan pekerja untuk sementara waktu.Mengingat belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai upah pekerja selama dirumahkan maka dalam hal adanya rencana pengusaha untuk merumahkan pekerja, upah selamadirumahkan dilaksanakan sebagai berikut:1. Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan,kecuali telah diatur lain dalam Perjanjian Kerja peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama.2. Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan.3. Apabila perundingan melalui jasa pegawai perantara ternyata tidak tercapai kesepakatan agar segera dikeluarkan surat anjuran dan apabila anjurantersebut ditolak oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berselisih maka masalahnya agar segera dilimpahkan ke P4 Daerah, atau ke P4 Pusat untuk PHK Massal”Artinya, pengusaha sebenarnya dapat membayarkanupah karyawan yang dirumahkan hanya 50% (lima puluh persen), namun hal tersebut harus dirundingkan terlebih dahulu dengan serikat pekerja maupun pekerjanya serta disepakati bersama.Kemudian dalam Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dikatakan“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeure), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4).Jadi, meskipun Saudara mengatakan perusahaan tersebut keadaaannya tidak menentu, tetap saja jikaSaudara disuruh bekerja seperti biasa, maka Saudara berhak atas upah penuh sebagaimana ketentuan yang berlaku. Kecuali, jika telah ada kesepakatan dengan serikat pekerja atau pekerja mengenai pemotongan upah tersebut. Jika perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar upah penuh Saudara atau karyawannya, maka pengusaha tersebut dapat melakukan pemutusan hubungan kerja sebagaimana aturan yang berlaku dengan memberikan hak-hak karyawannyaDasar hukum:1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 tahun 1998tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan KerjaPHK.Berdasarkan Pasal 151 ayat (2) UU No. 13/2003 jo Pasal 3 ayat (1) UU No. 2/2004, bahwa setiap pemutusan hubungan kerja (“PHK”) wajib dirundingkan antara pengusaha (management) dengan pekerja/buruh (karyawan) yang bersangkutan atau dengan (melalui) serikat pekerja/serikat buruh-nya. Dalam perundingan dimaksud, disamping merundingkan –- kehendak -– PHK-nya, juga merundingkan hak-hak yang (dapat) diperoleh dan/atau kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikanmasing-masing.Bilamana perundingan mencapai kesepakatan, dibuat PB (“Perjanjian Bersama”). Namun, sebaliknyaapabila perundingan gagal, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja (mem-PHK) setelah memperolehpenetapan (“izin”) dari lembagapenyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang, dalam hal ini PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Dalam kaitan (perundingan gagal) ini, wajib dibuat risalah perundingan, karena risalah tersebut merupakan syarat untuk proses pernyelesaian perselisihan PHK selanjutnya pada lembaga Mediasi atauKonsiliasi/Arbitrase (vide Pasal 151 ayat [3] UU No. 13/2003 jo Pasal 2 ayat [3] Permenakertrans. No. Per-31/Men/VI/2008).Dengan demikian, pengusaha tidak boleh (sewenang-wenang) melakukan PHK secara sepihak tanpa penetapan dari PHI, kecuali PHK dengan alasan-alasan tertentu: karyawan masih dalam masa percobaan (probation), karyawan mengundurkan dirisecara sukarela atau mangkir yang dikualifikasikansebagai mengundurkan diri (resign), pensiun, ataukah meninggal dunia, dengan ketentuan, PHK yang tanpa penetapan tersebut adalah batal demi hukum,nietig van rechtswege (vide Pasal 154 jo Pasal 60 ayat [1], Pasal 162 dan Pasal 168, Pasal 166 dan Pasal 167 serta Pasal 170 UU No. 13/2003).Sehubungan dengan kasus Saudara, apabila Saudaradianggap (melakukan) mangkir, maka pengusaha harus dapat membuktikannya, dengan syarat telah dilakukan pemanggilan 2 (dua) kali secara patut dan tertulis. Kalau belum ada upaya (proses) pemanggilan, maka Saudara belum (memenuhi syarat untuk) dapat dikatakan mangkir, walaupun telah tidak masuk –- bolos -– setidaknya dalam waktu 5 (lima) hari kerja (lihat Pasal 168 ayat [1] UU No. 13/2003).2. Apabila Saudara di-PHK (melalui perundingan), maka pada dasarnya Saudara berhak atas uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja (jika memenuhi syarat) serta uang penggantian hak –- sekurang-kurangnya -– sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003. Namun apabila Saudara di-PHK yang dikualifikasikan mangkir, maka Saudara hanya berhak uang penggantian hak sesuai ketentuanPasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003 dan uang pisah sesuai dengan ketentuan (yang diatur) dalam perjanjian kerja dan/atau peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama (lihat Pasal 168 ayat [3] UU No. 13/2003).3. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, kamisangat mendukung (men-support) apabila Saudara bermaksud (merencanakan) untuk menggugat hak-hak Saudara, namun kami sarankan untuk mencoba kembali menyelesaikan permasalahan Saudara dengan pihak management — secara bipartit — melalui upaya-upaya perundingan (secaramusyawarah untuk mufakat). Dengan cara itu, proses PHK tidak harus melalui jalan yang panjang dan lama yang menguras tenaga, pikiran dan biaya. Demikian juga, dengan musyawarah kesan PHK Saudara akan lebih baik dan mewarnai nama baikSaudara jika hendak masuk (bekerja) di perusahaan lain. Tidak ada black list, dan tidak menang jadi arang, kalah jadi abu (sia-sia).Demikian saran dan dukungan kami, semoga bermanfaat.Dasar Hukum:1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan TransmigrasiNo.Per-31/Men/XII/2008Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit.Alasan PHK mengada-adaPertama, perlu diluruskan bahwa UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) tak mengenal ‘tidak menjalankan perintah atasan’ sebagai salah satu alasan PHK. Kewajiban bagi pekerja untuk senantiasa menjalankan perintah atasan lazimnya tertuang dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja dan atau perjanjian kerja bersama.Di dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja danatau perjanjian kerja bersama biasanya juga mengatur sanksi apa yang akan dijatuhkan kepada pekerja yang tak manut dengan perintah atasan. Umumnya, sanksi itu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pembinaan, skorsing atau bahkan pemutusan hubungan kerja.Ketika ada pekerja yang dianggap melanggar peraturan perusahaan, perjanjian kerja dan atau perjanjian kerja bersama itu, maka Pasal 161 UU Ketenagakerjaan bisa diterapkan.Pasal 161 UU Ketenagakerjaan lengkapnya berbunyi:(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yangbersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).Dari ketentuan di atas terdapat ketentuan bahwa pengusaha dapat memecat pekerjanya yang dianggap telah melanggar perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau perjanjian kerja bersama. Namun kepada pekerja bersangkutan haruslah diberi surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.Kemudian masuk ke pertanyaan Anda.Mengacu pada Pasal 57 UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), maka hukum acara yang diberlakukan di PHI adalah hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain dalam UU PPHI.Sementara dalam hukum acara perdata, khususnya mengenai teori pembuktian, kita mengenal asas yang menyatakan, “siapa yang mendalilkan, maka diayang harus membuktikan.”Terkait dengan jawaban pengusaha di sidang yang mendalilkan bahwa “pekerja tidak menjalankan perintah atasannya, Mr. X lewat email,” maka akan menimbulkan dua konsekuensi:1. Pengusaha harus membuktikan kalau pekerja telah membangkang dari perintah atasan. Dihubungkan dengan Pasal 161 UU Ketenagakerjaandi atas, pengusaha harus menunjukkan adanya suratperingatan tentang adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja.2. Pengusaha juga harus membuktikan bahwa Mr. X adalah memang atasan pekerja.Kalau Anda menganggap bahwa Mr. X bukan atasan pekerja, Anda juga harus membuktikannya. Mudahnya, bisa lihat bagaimana struktur organisasi (organigram)di perusahaan itu. Apakah Mr. X memang menjabat sebagai atasan pekerja bersangkutan atau bukan. Selain itu, juga dapat dilihat dari fungsi jabatan Mr. X. Ada atau tidak relevansinya dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh si pekerja.Terkait dengan Tindak pidana “pemberian keterangan palsu,”, hal itu diatur dalam pasal 242 KUHP. Pasal 242 ayat (1) KUHP menentukan bahwa “Barangsiapa dalam hal-hal yang menurut peraturan undang-undang menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”Dalam hal ini, apabila Mr. X bukan atasan dari pekerjayang bersangkutan, maka dalil yang dikemukakan Pengusaha tersebut tidak ada dasarnya. Namun demikian, pengusaha yang bersangkutan memberikan keterangan tersebut dalam jawaban atas gugatan, tidak di atas sumpah, sehingga tidak memenuhi unsur tindak pidana pemberian keterangan palsu, yaitu bahwa keterangan harus dilakukan dengan sumpah. Jawaban tersebut tidak diberikan di atas sumpah. Oleh karena itu, menurut hemat kami, pemberian keterangan dalam jawaban tidak dapat dikategorikan dalam “pemberian keterangan palsu” menurut pasal 242 KUHP.Keadaan akan berbeda ketika Mr. X dihadirkan sebagai saksi di PHI. Ketika ia sudah disumpah sebagai saksi, maka ia harus mengatakan yang sejujurnya. Jika ia tetap mengaku sebagai atasan pekerja, dan Anda tetap memiliki bukti bahwa ia berbohong, maka di sini Mr. X bisa dikenakan tuduhan Pasal 242 KUHP.Sebagai tambahan, karena masih dalam proses jawab-menjawab di persidangan, pekerja punya kesempatan untuk membantah bahwa dalil-dalil yang dikemukan pengusaha adalah tidak benar.Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga Bermanfaat.Dasar hukum:1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang KetenagakerjaanSabtu –minggu masuk terus-menerusMengenai waktu kerja shift ini pernah kami tulis dalam artikel Pengaturan Waktu Kerja Shift. Disebutkan dalam artikel tersebut bahwa ketentuan mengenai waktu kerja pekerja ini dapat kita temui dalam Paragraf 4UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UUK”), khususnya Pasal 77 s/d Pasal 85 UUK.Pasal 77 ayat (1) UUKmewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakanketentuan waktu kerja. Ketentuan waktu kerja ini telah diatur oleh pemerintah yaitu:a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; ataub. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima hari kerja dalam 1 (satu) minggu.Secara umum, sesuai ketentuan dalam Pasal 85 ayat(1) UUK, pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.Akan tetapi, ada pula pekerjaan-pekerjaan tertentu yang harus dijalankan terus-menerus, termasuk pada hari libur resmi (lihat Pasal 85 ayat [2] UUK). Boleh jadi pekerjaan di tempat kerja Anda termasuk dalam pekerjaan yang harus dijalankan terus-menerus ini.Dalam penerapannya tentu pekerjaan yang dijalankan terus-menerus ini dijalankan dengan pembagian waktu kerja ke dalam shift-shift. Pengaturan mengenai pekerjaan yang terus-menerus ini lebih jauh diatur dalam Kepmenakertrans No. Kep-233/Men/2003 Tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus.Jika memang pekerjaan di tempat kerja Anda adalah termasuk dalam jenis dan sifat pekerjaan yang dijalankan secara terus-menerus, maka pimpinan (management) perusahaan dapat mengatur jam kerja (baik melalui Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja maupun Perjanjian Kerja Bersama) dan membaginya dalam shift-shift, sepanjang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Masih dalam artikel yang sama, dijelaskan bahwa pengaturan jam kerja harus disesuaikan dengan ketentuan:a. Jika jam kerja di lingkungan suatu perusahaan atau badan hukum lainnyaditentukan 3 (tiga) shift, pembagian setiap shift adalah maksimum 8 (delapan) jam per-hari, termasuk istirahat antar-jam kerja (Pasal 79 ayat [2] huruf a UUK);b. Jumlah jam kerja secara akumulatif masing-masing shift tidak boleh lebih dari 40 (empat puluh) jam per minggu (Pasal 77 ayat [2] UUK);c. Setiap pekerja yang bekerja melebihi ketentuan waktu kerja 8 (delapan) jam/hari per-shift atau melebihi jumlah jam kerja akumulatif 40 (empat puluh) jam per minggu, harus sepengetahuan dan dengan surat perintah (tertulis) dari pimpinan (management) perusahaan yang diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur (Pasal 78 ayat [2] UUK).Sebagai kesimpulan, menjawab pertanyaan Anda, tidak ada ketentuan yang melarang adanya shift yang dilakukan pada hari Sabtu dan/atau Minggu terus-menerus sepanjang tidak menyalahi waktu kerja yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.Akan tetapi, adalah lebih memenuhi rasa keadilan jikadalam pembagian shift tersebut dapat dilakukan rolling (perputaran) shift sehingga masing-masing grup pekerja juga dapat merasakan hari libur resmi Sabtu dan/atau Minggu. Terutama, jika ada pekerja yang beragama Nasrani yang harus beribadah pada Sabtu atau Minggu (Pasal 80 UUK). Juga, hak pekerjauntuk bersosialisasi dengan keluarga serta lingkungannya pasti akan berkurang jika pekerja tersebut terus-menerus bekerja pada Sabtu dan Minggu. Hal-hal ini juga perlu diperhatikan pihak manajemen perusahaan ketika menyusun pembagian shift kerja.Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.Dasar hukum:1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-233/Men/2003 Tahun 2003tentangJenis dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Meneru


Sukristiawan.com:Tak ingin di bebankan 2 kali.apindo gugat pasal PHK pensiun di hapus.

Tak Ingin Dibebankan Dua Kali, APINDO Gugat Pasal PHK Pensiun:Februari 24, 2016In:Berita KonstitusiNo Comments(Ki-Ka) Arifin Djauhari Munafrizal, John Pieter Nazar, Zafrullah Salim selaku kauasa hukum Pemohon saat menyampaikan pokok-pokok permohonan dalam sidang perdana uji materi UU Ketenagakerjaan, Selasa (23/02) di Ruang Sidang Panel Gedung MK. Foto Humas/Ganie.Jakarta| Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) melalui kuasa hukumnya John Pieter Nazar, dkk menyampaikan pokok-pokok permohonannya dihadapan sidang pendahuluan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/2) kemarin. Dalam permohonannya, APINDO meminta ketentuanPasal 167 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun2003 tentang Ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945 dan agar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.Pasal 167 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan,“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruhkarena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”APINDO merasa keberatan dengan adanya pengaturan kewajiban pembayaran uang penggantian hak, yang terdiri dari cuti tahunan pekerja, biaya atau ongkos pulang untuk pekerja kembali ketempat saat pekerja diterima pekerja, uang penggantian perumahan serta pengobatan danperawatan sebesar 15% (lima belas perseratus), serta hal-hal lain yang diatur dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama.Diwakili Kuasa Hukumnya yang lain, Munafrizal, APINDO menilai telah terjadi tumpang tindih norma pengaturan mengenai pemberian pesangon dan pembayaran pensiun yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, termasuk tumpang tindih dengan aturan terkait program jaminan pensiun sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. “Hal ini mengakibatkan pemberi kerja, pengusaha tidak memperoleh jaminan kepastian dan perlindungan hukum karena adanya dualisme pengaturan ini,” papar Munafrizal kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar didampingiHakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Suhartoyo di ruang sidang pleno MK.Terhadap dalil tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai APINDO banyak menyampaikan pertentangan antara satu UU dengan UU lain. Padahal, itu tugas DPR dan Pemerintah, bukan wewenang MK. “Karena MK hanya memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD. Selain itu, saya belum melihat adanya kerugian potensial yang diderita Pemohon,” ujar Wahiduddin sebagai hakim anggota.Sementara Hakim Konsitusi Suhartoyo sependapat dengan Hakim Konstitusi Wahiduddin, agar permohonan lebih merinci kerugian konstitusional yang dialami. Sedangkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengomentari, bahwa MK tidak dapat menilai UU mana yang lebih baik ketimbang UU lainnya. Sebab, MK hanya memberikan penilaian sebuah UU bertentangan atau tidak dengan UUD.MK memberi kesempatan kepada APINDO, untuk memperbaiki permohonan yang diregister dengan perkara No. 1/PUU-XIV/2016 itu, paling lambat diserahkan ke Kepaniteraan MK tanggal 7 Maret 2016. (***Hz)Share5Tweet


Selasa, 09 Februari 2016

Sukristiawan.com:Gerakan Revolusi buruh indonesia Mengugat.

GERAKAN REVOLUSI BURUH INDONESIA MENGGUGAT
En Jacob Ereste :
Hasil Rekapitulasi Data Keanggotaan Konfederasi dan Non Konfederasi Organiasi Buruh di Indonesia Yang Dilakukan Kemenakar RI Tahun 2015 Tidak Bisa Dijadikan Rujukan
Data terakhir yang dihimpun Komunitas Buruh Indonesia mencatat jumlah organisasi buruh di Indonesia 63 organisasi tingkat nasional. baik yang berbentuk konfederasi maupun non konfederasi. Diantaranya yang tidak terliput dalam laporan hasil rekapitulasi Kemenaker RI tahun 2015 ialah Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Reformasi (SPSI Reformasi).Jl. Elang Mas I, C5/17, Perumahan Tanjung Emas, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jakarta . Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), l.Tanah Tingg 2 No. 25 Jakarta Pusat 10450. Kesatuan Pekerja Nasional Indonesia (KPNI), Jl. Buncit Raya Ujung no. 1-A, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12550. Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia (KBKI) Rungkut Harapan Blok E-8, Surabaya 60293 Jawa Timur
Kecuali itu, ada juga Asosiasi Karyawan Pendidikan Swasta Indonesia ( ASOKADIKTA) Jl. Pinang Ranti no. 68 TMII, Jakarta Timur 13560. Serikat Pekerja Keadilan (SPK) Jl. Mesdjid no. 11, Kebon Baru, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) Jl. Raya Pondok Gede no. 5, Kramat Jati, Jakarta Timur 13550. Dewan Pengurus Pusat Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Gedung Pola, Jl. Proklamasi Jakarta Pusat. Dan Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSP BUMN). Gedung Garuda, lantai 17 Jl. Medan Merdeka Selatan no. 13, Jakarta Pusat
Boleh jadi tidak terdaftarnya sejumlah organisasi buruh dan organsiasi pekerja tersebut sebagai bentuk pembangkangan terhadap ajakan atau himbauan pihak Kementerian Tenaga Kerja RI yang mereka anggap tidak memberikan kontribusi apapun terhadap masalah yang selama ini harus dihadapi oleh pihak organsiasi buruh dan organisasi pekerja itu sendiri. Tetapi juga, bisa jadi akibat himbauan dan ajakan yang tidak tersosialisasi secara meluas dan benar, sehingga dapat memperoleh sambutan yang sepatutnya pula dari pihak organisasi buruh maupun organisasi pekerja.
Dari sumber data yang dimiliki Komunitas Buruh Indonesia juga dapat diketahui pula sejumlah organsiasi buruh lainnya yang tidak tercantum dalam hasil rekapitulasi Kemenaker RI tahun 2015 itu, diantaranya adalah Serikat Buruh Merdeka "Setiakawan" (SBM SK), Jl. Timbul Jaya no. 19, Cengkareng, Jakarta Barat 11750. Serikat Pekerja Nasional Indonesia (SPNI)Jl. Dr. Sahardjo no. 29B, Jakarta Selatan 12850. Gabungan Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (GOBSI) Jl. Prof. Dr. Latumenten Barat no. 16, Grogol, Jakarta Barat. Federasi SP Penegak Keadilan Kesejahteraan dan Persatuan ( SPKP) Jl. Lapangan Tembak Ruko/Blok A no. 13, Cibubur Indah, Jakarta Timur. Federasi SP Rakyat Indonesia (SPRI) Jl. KH. Hasyim Azhari Km. 3, Cipondoh Kodya Tangerang. Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).Jl. Rawajati Timur II/8, RT 02/02, Kalibata, Jakarta Selatan 12750, dan Federasi Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Jl. LAN I no. 12 A, Pejompongan, Jakarta Pusat 10210
Sejumlah organisasi buruh yang tidak masuk dalam rekapitulasi akhir Kemenaker RI tahun 2015 seperti yang dipantau Komunitas Buruh Indonesa antara lan adalah Federasi Gabungan Serikat Pekerja PT Rajawali Nusantara Indonesia (GSPRNI)Jl. Denpasar Raya KAV. D III, Kuningan, Jakarta. Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia Baru (GASPERMINDO BARU) Jl. Sunter Mitra Blok D no. 3A, Sunter Jaya, Jakarta Utara 14350. Gabungan Serikat Buruh Indonesia 2000 (GSBI 2000). Komplek Pacuan Kuda, Blok I/16, Pulomas, Jakarta Timur 13210. Federasi SP KAHUTINDO. Jl. Tebet Timur III J/1B, Tebet, Jakarta Selatan. Federasi Serikat Pekerja Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (SP TKI LN) Jl. Raya Pasar Minggu, Km. 17 no. 9, Jakarta Selatan 12740.
Kecuali itu, menurut data Komunitas Buruh Indonesia ada juga yang terlalaikan, yaitu Federasi Serikat Buruh Karya Utama (F SBKU). Jl. Kalimantan Blok B No. 78 Perum Cimone Mas Permai I, Tangerang. Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (F SP BUN). Jl. K.H. Fachrudin no. 14, Jakarta Pusat. Federasi Serikat Pekerja Industri Semen Indonesia (F SP ISI), Graha Irama Lantai XI, Jl. H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Serikat Pekerja Islam (SERPI) Jl. Kincir IV no. 3, Rawamangun, Jakarta Timur 13220. Begitu juga dengan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang dipimpin Prof. Dr. Muchtar Pakpahan SH, MA, tidak tercatat dalam hasil rekapitualasi Kemenaker RI yang tidak dapat dipercayai itu, karena tidak akurat dan tidak lengkap mendatanya.
Masalahnya sungguhkah hasil rekapitulasi Kemenaker RI itu yang digunakan untuk menentukan keterwakilan organsiasi buruh untuk lembaga Tripartiet Nasional yang mewakili organisasi buruh. Tampak pihak Kemenaker RI terlalu ceroboh melakukan pendataan mengenai organisasi buruh yang ada di Indonesia, sehingga keterwikilan organisasi buruh yang sesungguhnya sulit dipercaya dapat mewakili kepentingan kaum buruh yang ada.Disamping itu, cara yang Kemenaker RI melakukan pendataan seperti itu jelas tidak akan mendorong kemajuan organisas buruh yang diharap mampu mengatasi masalah perburuhan di tanah air kita. Oleh karena itu, bukan hanya rekapitulasi Kemenaker RI tahun 2015 itu tidak bisa digunakan sebaga acuan, tetapi juga bisa menyesatkan, baik untuk bahan kajian atau rujukan dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang terkait dengan masalah perburuhan di Indonesia. ***
Penulis adakah aktivis buruh. Sekretaris Jendral Sektir MIG serta & Humas Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Juga Dewan Pengarah Komunitas Buruh Indonesia.
En Jacob Ereste:
Results Summary of Data Membership Non Confederation and the Confederation of Organizations of Workers in Indonesia conducted Kemenakar RI 2015 Not Be Used as Reference
The latest data compiled by the Labor Community of Indonesia recorded a number of labor organizations in Indonesia 63 national-level organization. either incorporated or non confederation confederation. Among which were not covered in the report on the recapitulation Kemenaker RI 2015 is the Federation of All Indonesian Workers Union Reformasi (Reform SPSI) .Jl. Elang Mas I, C5 / 17 Housing Tanjung Emas, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jakarta. Indonesian Prosperity Trade Union (SBSI), l.Tanah tow 2 No. 25 Unitary Workers Central Jakarta 10450. Nasional Indonesia (KPNI), Jl. Distended Kingdom tip no. 1-A, ragunan 12550. Indonesian National Labor Unity (KBKI) Rungkut Harapan Blok E-8, Surabaya 60293 East Java
Besides, there is also the Association of Indonesian Private Education Employees (ASOKADIKTA) Jl. Pinang Ranti no. 68 TMII, East Jakarta 13560. Unions Justice (SPK) Jl. Mesdjid no. 11, Kebon Baru, Kampung Melayu, East Jakarta. Indonesian Metal Workers Union (SPMI) Jl. Raya Pondok Gede no. 5, Kramat Jati 13550. Central Board of the Indonesian Civil Servants Corps (KORPRI) Pattern Building, Jl. Proclamation of Central Jakarta. SOE and the Federation of Trade Unions (FSP BUMN). Garuda Building, 17th Floor Jl. Medan Merdeka Selatan no. 13, Jakarta Pusat
May not be registered for a number of trade unions and workers 'organizations exist as a form of defiance against solicitation or an appeal to the Ministry of Manpower that they consider to have contributed nothing to the problems that had been faced by the workers and workers' organizations organsiasi itself. But also, it could be a result of an appeal and invitation that is not socialized widely and correctly, so as to obtain a fitting welcome also from the labor organizations and workers' organizations.
From source data owned by Community of Indonesian Workers also can note also a number of other labor organizations exist that are not listed in the recapitulation Kemenaker RI in 2015, one of them is the Trade Union Freedom "Setiakawan" (SBM SK), Jl. Jaya arise no. 19, Cengkareng, West Jakarta 11750. Indonesian National Workers Union (SPNI) Jl. Dr. Sahardjo no. 29B, South Jakarta 12850. Association of All Indonesian Workers Organization (GOBSI) Jl. Prof. Dr. West Latumenten no. 16, Grogol, West Jakarta. Federation of Welfare and Justice SP Enforcement Association (SPKP) Jl. Shooting office / Block A no. 13, Cibubur Indah, East Jakarta. SP Federation Rakyat Indonesia (SPRI) Jl. KH. Hasyim Azhari Km. 3, Cipondoh Tangerang municipality. National Front for Indonesian Workers Struggle (FNPBI) .Jl. East Rawajati II / 8, RT 02/02, Kalibata, South Jakarta 12750, and the Federation of Independent Journalists Alliance (AJI) Jl. LAN I no. 12 A, potty, Jakarta Pusat 10210
Some labor organizations are not included in the final recapitulation Kemenaker RI 2015 as Community Workers Indonesa monitored between lan is the Federation of Trade Unions Joint PT Rajawali Nusantara Indonesia (GSPRNI) Jl. Denpasar Raya KAV. D III, Kuningan, Jakarta. Combined Unions Merdeka Indonesia Baru (GASPERMINDO NEW) Jl. Mitra Sunter Blok D no. 3A, Sunter Jaya, North Jakarta 14350. Association of Indonesian Labor Union in 2000 (GSBI 2000). Horse Racing Complex, Block I / 16, Pulomas, East Jakarta 13210. SP KAHUTINDO Federation. Jl. Tebet Timur III J / 1B, Tebet, South Jakarta. Federation of Trade Unions of Indonesian Workers Abroad (SP TKI LN) Jl. Raya Pasar Minggu, Km. 17 no. 9, South Jakarta 12740.
Except that, according to data from the Labor Community of Indonesia there are also neglected, namely the Federation of Trade Unions Karya Utama (F SBKU). Jl. Kalimantan Blok B No. 78 Mas Permai I Perum Cimone, Tangerang. Federation of Trade Unions Perkebunan Nusantara (F SP BUN). Jl. K.H. Fachrudin no. 14, Central Jakarta. Cement Industry Federation of Trade Unions of Indonesia (F SP ISI), Graha Irama XI Floor, Jl. H.R. Rasuna Said, Kuningan, South Jakarta. Unions Islam (SERPI) Jl. Windmills IV no. 3, Rawamangun, East Jakarta 13220. Likewise with Indonesian Prosperity Trade Union (SBSI) led by Prof. Dr. Muchtar Pakpahan SH, MA, is not recorded in the results rekapitualasi Kemenaker RI that can not be believed that, because of inaccurate and incomplete reports them.
The problem is it really recapitulation Kemenaker RI was used to determine the representation of labor organizations exist for the National Tripartiet institutions representing labor organizations. RI Kemenaker party looked too sloppy to collect data about the organizations that are in Indonesia, so the actual labor organizations keterwikilan difficult believed to represent the interests of the workers who ada.Disamping the way Kemenaker RI to collect data as it was clearly not going to push the progress of the Organization worker which is expected to be able to overcome the problem of labor in our country. Therefore, not only a recapitulation Kemenaker RI 2015 it could not be used as the reference, but can also be misleading, either for study or reference material in conducting further research on issues related to labor issues in Indonesia. ***
The author is there a labor activist. Secretary General Sektir MIG and & PR Indonesian Prosperous Labor Union. Workers Community Steering Board also Indonesia.
10 mnt · Publik


Sabtu, 06 Februari 2016

Adit Sopo Jarwo terbaru 2015 saingan upin ipin

Sukristiawan.com:Lahirnya serikat yg majemuk dan melawan penindasan pemodal

Serikat Buruh/Serikat Pekerja di Indonesia
Sebuah Potret Pasca Reformasi
Indrasari Tjandraningsih
SECARA legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia, dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 tahun 1998, tentang pendaftaran serikat buruh. Ini sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).
Dirintis sejak pemerintahan B.J. Habibie yang singkat (1998—1999) melalui ratifikasi terhadap konvensi ILO no. 87 mengenai kebebasan berserikat, dua tahun kemudian, di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (2000—2001), era serikat buruh tunggal yang dikontrol negara diakhiri pada tahun 2000 dengan diundangkannya kebebasan berserikat melalui Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus 2000. Undang-undang ini mengatur pembentukan, keanggotaan, pemberitahuan dan pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan, pembubaran dan hal-hal lain yang menyangkut serikat buruh.
Sejak saat itu, diawali dengan pecahnya FSPSI menjadi FSPSI dan FSPSI Reformasi, mulai bermunculan serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) baru. Sejak tahun 2000, pertumbuhan SB/SP baru tersebut bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Ribuan serikat buruh di berbagai tingkat bermunculan dan mendaftarkan dirinya ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3 konfederasi (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat pabrik. Dari ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi serikat terbesar yang menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari empat juta orang anggota. Posisi kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi dan anggota lebih dari dua juta orang, serta KSBSI dengan anggota mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga. Sementara itu, data tahun 2002 yang dikeluarkan FES menunjukkan, jumlah populasi serikat buruh tersebut berada dalam situasi di mana jumlah anggota serikat mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan kerja di sektor formal. Data verifikasi terakhir yang dilakukan Depnakertrans untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan konfederasi terbesar dengan 16 federasi serikat pekerja, meskipun, seperti juga kedua konfederasi yang lain, mengalami penurunan jumlah anggota yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia secara umum memiliki tiga ciri pokok. Ciri pertama, adalah pada sifatnya yang rentan terhadap perpecahan; kedua, adalah perbedaan orientasi serikat; dan ketiga, sifatnya yang eksklusif. Ciri-ciri tersebut dijelaskan lebih jauh di bawah ini.
Kategorisasi Serikat
Asal-muasal serikat menunjukkan kerentanan dan kurangnya keterampilan berorganisasi di kalangan serikat pekerja/serikat buruh, yang menyebabkan pecahnya serikat dan pemisahan diri sekelompok orang untuk membentuk organisasi serikat pekerja/serikat buruh baru. Munculnya serikat-serikat baru dengan nama yang sama dengan dibubuhi kata ‘reformasi’ atau ‘baru’ di belakangnya, antara lain membuktikan kerentanan tersebut.
Mengacu pada sejarah SB/SP masa Orde Baru, serikat-serikat buruh yang ada saat ini dapat digolongkan setidaknya menjadi tiga kelompok besar yakni, kelompok SPSI, kelompok eks-SPSI, dan kelompok non-SPSI. Kelompok eks-SPSI adalah serikat sektoral yang memisahkan diri dari SPSI, sementara kelompok non-SPSI adalah serikat yang samasekali tidak memiliki keterkaitan dengan atau independen dari SPSI. Kelompok non-SPSI ini juga dapat dikelompokkan setidaknya dalam dua kategori yakni, kelompok serikat di masa Orde Lama yang muncul kembali dan SB/SP yang sama sekali baru. Serikat buruh baru kategori terakhir ini selain muncul dengan basis buruh sektor industri manufaktur, juga muncul di sektor jasa antara lain keuangan, pariwisata, dan jurnalistik. Dasar kategorisasi tersebut tergambarkan dengan jelas dalam pohon silsilah asal mula serikat buruh. Sebagian besar SB/SP yang berdiri, secara institusional maupun individual, memiliki keterkaitan dengan SPSI. Ini menjelaskan mengapa di serikat-serikat pekerja pecahan SPSI, hampir tidak ada pendekatan pengorganisasian dan strategi baru yang berbeda dari SPSI.
Pohon silsilah juga menunjukkan, perpecahan serikat tidak hanya melanda SPSI, tetapi juga serikat-serikat eks-SPSI dan non-SPSI. Perbedaan-perbedaan yang sifatnya pragmatis--dalam arti lebih disebabkan oleh hal-hal praktis daripada hal-hal prinsip—lebih mewarnai sebab perpecahan serikat (lihat juga Hadiz 2005). Pada umumnya perpecahan diikuti oleh perebutan atau pembagian anggota. Ada kalanya anggota bahkan tidak tahu bahwa di tingkat nasional serikatnya sudah pecah. Keputusan anggota untuk bergabung di salah satu serikat yang pecah lebih didasari oleh kedekatan personal dengan para pengurus dibanding hal-hal yang bersifat prinsip organisasi.
Pengelompokan serikat tersebut tidak mencerminkan pengelompokan orientasi dan ideologi serikat, sebagai ciri kedua. Secara umum SB/SP di Indonesia, menganut prinsip unitaris dan tripartisme serta, dapat dikategorikan sebagai economic unionism atau
business unionism yang membatasi perjuangan kepentingannya pada kesejahteraan anggota dalam kerangka hubungan kerja. Hal itu merupakan buah dari kebijakan rezim Orde Baru yang secara sistematis menghapus orientasi politik serikat/gerakan buruh dan menanamkan orientasi ekonomi melalui sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang diakui merupakan sebuah konsep yang ideal dan menjadi koridor gerak serikat pekerja/serikat buruh.
Eksklusivisme adalah ciri ketiga SB/SP. Ada dua jenis eksklusivisme di sini: antara SB/SP dengan kelompok masyarakat lain dan di antara serikat sendiri. Arena dan agenda perjuangan serikat sangat terbatas pada isu-isu hubungan kerja di dalam pabrik, sementara dinamika sosial-ekonomi-politik di luar dinding pabrik luput dari perhatian (lihat AKATIGA-TURC-LABSOSIO, 2006). Tuntutan-tuntutan dalam aksi buruh juga tidak menarik bagi kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mendukung dan memperluas dukungan terhadap perjuangan buruh. Hubungan dan aliansi SB/SP dengan kelompok masyarakat lainnya seperti kelompok tani, nelayan, dan lain-lain sangat terbatas. Kalaupun terjadi aliansi dengan kelompok-kelompok miskin lainnya, aliansi tersebut sifatnya di permukaan saja dan bukan merupakan strategi yang permanen dan melekat dalam keseluruhan strategi perjuangan mereka. Eksklusivisme juga melanda hubungan di antara sesama serikat, yang disebabkan oleh perebutan pengaruh dan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Situasi itu selain menjadi bibit perpecahan, juga menyebabkan soliditas gerakan serikat pekerja/serikat buruh menjadi rentan.
Pergeseran politik keserikatburuhan yang cukup penting tersebut, terjadi dalam kerangka sistem hubungan industrial di Indonesia yang tidak berubah yakni, Hubungan Industrial Pancasila. HIP berfilosofikan hubungan perburuhan atau hubungan buruh-majikan atau hubungan industrial yang serba harmonis, di mana posisi buruh dan majikan adalah setara dan keduanya memiliki kepentingan yang sama serta di mana negara berperan untuk mengayomi keduanya (lihat juga Hadiz 1997; Manning 1998; Ford 2001). Meskipun istilah ini makin jarang terdengar tetapi, secara prinsip konsep ini masih mendominasi para aktor hubungan industrial. Meskipun demikian, dalam praktik untuk mengakomodasi tuntutan modal global dalam kerangka persaingan antar negara dalam merebut investasi, pendulum keberpihakan negara lebih sering bergerak ke arah majikan. Berbagai kebijakan yang melonggarkan ruang gerak pengusaha diciptakan, yang membawa implikasi langsung pada meningkatnya tantangan bagi pengorganisasian buruh.
Dimulainya era kebebasan berserikat, sangat bertolak belakang dengan situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis ekonomi telah meledakkan angka pengangguran, karena bergugurannya unit-unit usaha yang mengandalkan mata uang dollar AS dalam transaksi input-output produksinya. Pabrik-pabrik tutup meninggalkan barisan penganggur baru yang adalah anggota serikat buruh. Penting dicatat, sebelum krisis maupun setelahnya, serikat buruh di Indonesia didominasi oleh buruh kerah biru atau buruh pabrik. Ketika krisis melanda, barulah bermunculan serikat-serikat buruh di kalangan buruh kerah putih terutama, buruh sektor perbankan dan keuangan serta pariwisata. Para penganggur tersebut praktis menanggalkan keanggotaannya dari organisasi serikat buruh. Ini berarti populasi anggota serikat buruh berkurang. Pada saat yang sama, dengan persyaratan minimum anggota yang sangat mudah dipenuhi (10 orang sudah dapat mendirikan serikat buruh), muncul serikat-serikat buruh baru.
Makna Kebebasan Berserikat
Implikasi yang muncul dari kondisi obyektif ketenagakerjaan tersebut adalah terjadinya konflik di antara serikat, karena memperebutkan anggota. Konflik ini rupanya sudah diantisipasi oleh negara, baik di dalam UU SP/SB no. 21 tahun 2000 maupun dalam UU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan no.04 tahun 2004, yang membuat kategorisasi konflik dengan menyebut konflik antar serikat sebagai salah satu kategorinya.
Sebagaimana disinggung oleh Herawati, banyaknya jumlah serikat buruh tidak berarti bertambahnya jumlah buruh yang diorganisasi dan menjadi anggota serikat buruh. Hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, pada paruh pertama sewindu kebebasan berserikat, serikat-serikat buruh yang muncul masih terfokus pada sektor industri manufaktur dan memiliki kecenderungan ‘memancing di kolam yang sama,’ dengan merekrut anggota yang sudah menjadi anggota serikat buruh lain (lihat juga Tjandraningsih 2002). Mereka tidak mengorganisasikan buruh yang belum mengenal serikat buruh atau yang belum menjadi anggota serikat buruh. Dalam paruh kedua perkembangan, pengorganisasian buruh meluas ke sektor-sektor jasa perdagangan, keuangan, transportasi, pos, perkebunan, dan lain-lain yang membawa implikasi, penyebaran kesadaran berorganisasi kepada kaum pekerja dan buruh yang sebelumnya tidak terorganisasi. Penyebab kedua , tidak bertambahnya jumlah anggota serikat buruh adalah makin berkurangnya minat buruh untuk berserikat karena bekerjanya rezim fleksibilitas.
Situasi yang kontradiktif tersebut menimbulkan pertanyaan, apa makna kebebasan berserikat ketika, kondisi objektif ketenagakerjaan di Indonesia sangat tidak mendukung lahirnya serikat buruh yang kuat? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana para elite serikat buruh baru membaca kondisi objektif tersebut dan apa motif utama melahirkan serikat-serikat buruh baru? Pertanyaan pertama mudah dijelaskan dalam kerangka arus besar proses demokratisasi dan tata pergaulan internasional. Reformasi yang terjadi di Indonesia, merupakan lambang ditinggalkannya sistem pemerintahan yang otoriter dan dimulainya pemerintahan yang demokratis. Berbagai instrumen demokrasi diselenggarakan termasuk, kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan SB/SP (Tornquist 2007).
Konteks menuju negara demokratis menjadi salah satu elemen tata pergaulan internasional. Di dalam tata pergaulan tersebut, Indonesia, sebagai negara berkembang, sangat membutuhkan pengakuan internasional dan modal internasional. Ratifikasi konvensi dan diundangkannya kebebasan berserikat, pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan pencitraan internasional bahwa Indonesia sedang berubah. Untuk itu, harus ada simbol perubahan yang diterima masyarakat internasional, dalam hal ini, UU kebebasan berserikat merupakan salah satu simbol tersebut.
Jawaban terhadap pertanyaan kedua adalah sebuah konsensus dan konsekuensi logis dari dibukanya sumbat kebutuhan berorganisasi: manifestasi keinginan berorganisasi dan sebuah euphoria, sebuah perayaan dari keinginan yang terpendam. Hasilnya, hampir sepuluh tahun masa kebebasan berorganisasi, serikat-serikat pekerja/buruh tumbuh dan layu atau tumbuh dan berkembang. Mereka yang layu sebelum berkembang adalah mereka yang sekedar ikut perayaan dan mencoba menggunakan kesempatan yang ada .
Tantangan Serikat
Bagaimanapun, sejarah mencatat, dalam dunia keserikatburuhan di Indonesia, pernah muncul berbagai serikat buruh dengan keragaman cirinya. Ini bisa dilihat dalam catatan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi hingga tahun 2004. Pada kenyataannya, ada lebih banyak SB/SP di Indonesia, dengan berbagai alasan tidak mendaftarkan diri di Depnakertrans. Serikat-serikat yang tercatat ini terkonsentrasi pada beberapa sektor padat karya seperti, tekstil, garmen dan kulit, kimia-energi-pertambangan, jasa keuangan dan pariwisata, kayu dan kehutanan, perkebunan, logam dan mesin, serta makanan-minuman-tembakau. Meskipun demikian, kebanyakan serikat mengklaim mempunyai basis di hampir semua sektor.
Dalam kaitannya dengan organisasi internasional, sebagian serikat buruh di Indonesia, berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, afiliasi tersebut secara umum belum menjadi strategi serikat buruh di Indonesia. KSPSI, misalnya, sebagai konfederasi terbesar karena sejarahnya sebagai serikat buruh kuning, hingga kini tidak berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, telah mendeklarasikan diri sebagai serikat independen pascareformasi. Ini berbeda dengan KSPI yang berafiliasi dengan ICFTU (International Confederation of Free Trade Unions) dan SBSI berafiliasi dengan World Congress of Labour. Kedua serikat internasional tersebut kini bersatu menggalang kekuatan dan mengubah namanya menjadi International Confederation of Trade Union.
Di samping kedua serikat internasional tersebut, serikat buruh di Indonesia juga berafiliasi dengan serikat internasional lainnya seperti, Global Union Federation (GUF). Dari seluruh populasi federasi serikat buruh, terdapat 19 serikat yang berafiliasi dengan anggota GUF: Union Network International: 1 serikat (ASPEK); Public Service International: 2 serikat ; International Union for Food: 2 serikat (SBNI dan FSPM); International Transport Federation: 6 serikat (SP KA, KPI, STA SBSI, SP TPK, IAK Garuda Indonesia, Trade union of JICT); International Textile Garment Leather Wear Federation: 1 serikat (SPN); International Metal Federation: 1 serikat (SPMI); International Federation for Journalist: 1 serikat (AJI); International Federation of Building and Wood Workers: 3 serikat (FSP Kahutindo, F-KUI, SP BPU); Education International: 2 serikat (PGRI, FESDIKARI SBSI).
Di lingkungan ketiga konfederasi, informasi mengenai afiliasi internasional dan kebijakan serta program yang muncul dari afiliasi tersebut, cenderung terpusat di konfederasi dan federasi. Sementara, di federasi-federasi yang baru informasi mengenai afiliasi tersebut diketahui para anggotanya hingga tingkat unit kerja. Hal itu merupakan konsekuensi dari struktur organisasi federasi non-SPSI, yang lebih sederhana dan langsung menjangkau serikat di unit kerja, dibandingkan dengan struktur organisasi SPSI yang bertingkat banyak (lihat tulisan Herawati). Faktor lain, adalah kebijakan federasi internasional, yang ingin langsung menurunkan programnya di tingkat basis sebagai kekuatan pokok serikat. Kesenjangan hubungan di dalam struktur organisasi serikat telah menjadi perhatian beberapa serikat dan donor internasional, setelah mengetahui lemahnya kualitas dan kapasitas basis meskipun, berbagai program pendidikan keserikatburuhan sudah dilaksanakan. Kesenjangan tesebut menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi kerjasama dengan serikat yaitu, orientasi kerjasama yang lebih kepada serikat di tingkat unit kerja daripada dengan serikat pusat. Program langsung dengan basis diyakini akan lebih efektif dalam upaya penguatan serikat pekerja/buruh.
Situasi krisis hingga kini menyajikan berbagai tantangan baru yang lebih rumit bagi serikat buruh. Tantangan eksternal yang dominan mencakup tingkat pengangguran yang tinggi (11 persen) dan bekerjanya rezim dan praktik fleksibilitas pasar tenaga kerja dan fleksibilitas produksi (Tjandraningsih & Nugroho 2007, akan terbit). Rezim ini dengan sangat efektif menggerogoti kekuatan basis anggota serikat buruh, melalui pergeseran status hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap. Padahal, serikat buruh tidak mengenal keanggotaan buruh tidak tetap. Selain itu, wujud fleksibilitas hubungan kerja yang muncul dalam bentuk kerja kontrak atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), mengikatkan hubungan kerja jangka pendek dan tanpa kepastian kerja. Situasi ini menciptakan kondisi dilematis bagi buruh, antara memilih berserikat atau tetap bekerja. Rezim fleksibilitas telah menciptakan kondisi dimana bekerja dan berserikat tak bisa lagi dipersatukan. Kondisi ini secara langsung menghapus keberadaan serikat buruh.
Tantangan eksternal lain datang dari strategi kapitalisme global, yang memunculkan persaingan ketat antarnegara dalam memperebutkan investasi dan dari kebijakan nasional menyangkut desentralisasi atau otonomi daerah. Tantangan-tantangan tersebut membawa implikasi, rendahnya posisi tawar serikat terhadap negara dan modal serta, masih kecilnya pengaruh serta keterlibatan serikat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah ketenagakerjaan dan pasar kerja.
Pada saat yang sama serikat buruh juga menghadapi tantangan internal klasik, yang mencakup masalah-masalah organisasi dan sumber daya manusia. Karakteristik tenaga kerja yang telah berubah, juga memerlukan pemikiran dan rumusan baru untuk bisa diorganisasi. Kelemahan organisasional dan sumber daya manusia, merupakan kondisi objektif yang masih terus harus dihadapi SB/SP. Hal ini sangat terkait dengan sejarah SB/SP semasa Orde Baru dan karakteristik objektif angkatan kerja di Indonesia. Angkatan kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga-tenaga berpendidikan rendah—lebih dari 50 persen berpendidikan tidak lulus SD —yang menunjukkan rendahnya posisi tawar mereka sebagai tenaga kerja. Selain menyangkut tingkat pendidikan, karakteristik angkatan kerja yang masuk ke pasar tenaga kerja adalah makin terpisahnya mereka dengan sejarah dan kesadaran berorganisasi sebagai pekerja/buruh karena bekerjanya secara simultan berbagai faktor, yang terutama didominasi oleh persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan kesempatan kerja sehingga menggerus semangat kolektif dan menghilangkan relevansi berorganisasi.
Tidak ada SB/SP yang bisa mengelak dari tantangan tersebut. Pada saat yang sama, kreativitas, inovasi pengorganisasian, dan tindakan kolektif adalah kebutuhan yang tak bisa lagi ditunda. Hanya melalui aksi kolektif yang terorganisasi secara rapi dan sistematislah, agenda SB/SP untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan pekerja/buruh akan lebih mudah dilakukan dan dicapai.****
Indrasari Tjandraningsih, adalah Peneliti Perburuhan AKATIGA-Pusat Analisis Sosial, Bandung.
Artikel ini dalam versi yang sedikit berbeda, sebelumnya merupakan Pengantar untuk Direktori Serikat Buruh di Indonesia, yang diterbitkan oleh AKATIGA, 2007.
Kepustakaan
AKATIGA-TURC-LABSOSIO UI. 2006.
"Promoting Fair Labour Regulations in Indonesia:A Study and Advocacy in Improving Local Level Investment Environment in Tangerang and Pasuruan." Laporan Penelitian. Bandung dan Jakarta: AKATIGA, TURC, LABSOSIO UI.
Ford, Michele. 2003. "NGO as Outside Intellectual: A History of Non-Governmental Organisations’ Role in the Indonesian Labour Movement." PhD thesis. Sidney: University of Wollongong.
Hadiz, Vedi. 1997. "Workers and the State in New Order Indonesia." London:Routledge.
__________. 2005. "Dinamika Kekuasaan:Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Suharto." Jakarta: LP3ES.
Manning, Chris. 1998. "Indonesian Labour in Transition: An East Asian Success Story?" Cambridge: Cambridge University Press
Priyono, AE, Samadhi, Willy Purna, Olle Tornquist, dkk. 2007. "Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia." Jakarta: DEMOS.
Tjandraningsih, Indrasari. 2002. "Fishing in the Same Pond: Research Paper for Masters degree." The Hague: Institute of Social Studies.
Tjandraningsih, Indrasari & Hari Nugroho. 2007. "The Flexibility Regime and Organised Labour: The Experience of Indonesia." (akan terbit).
Lain-lain:
http://www.fes.or.id/eng/labor.html
http://www.ifbww.org/index.cfm?n=161&l=2&t=p&t_id=129
http://www.itfglobal.org/about-us/affiliatelist.cfm
http://www.ei-ie.org/en/membership/
http://www.nakertrans.go.id/pusdatinnaker/BPS/AK/AK_dik_jekel_2006.php


Rabu, 03 Februari 2016

Sukristiawan.com:melakukan phk atas kesalahan berat paska putusan MK

"KAPAN STAF YG MELAKUKAN PEMUKULAN DIPHK, KENAPA SP DIAM SAJA" (salah satu sms yg masuk)
Penerapan PHK Karena Kesalahan Berat Pasca Putusan MK Oleh: Willy Farianto *)
Sudah saatnya untuk menyamakan persepsi bahwa melakukan proses pidana terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat harus ditafsirkan sebagai hak pengusaha.
Pada awal diundangkanya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), salah satu alasan Pemutusan Hubungan Kerja adalah, karena “kesalahan berat”, yang diatur dalam ketentuan Pasal 158.
Alasan kesalahan berat pada pokoknya mengatur tentang perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHP, sehingga untuk menyatakan pekerja telah melakukan kesalahan berat harus atas dasar pekerja tertangkap tangan, ada pengakuan pekerja yang bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang, di perusahaan yang bersangkutan, dengan didukung oleh dua orang saksi.
Apabila hal tersebut terpenuhi maka pengusaha diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa wajib membayar uang penggantian hak, uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja.
UU Ketenagakerjaan sendiri tidak memberikan pengertian “kesalahan berat”, sehingga dalam praktik kualifikasi kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 ayat (1) menjadi terbatas. Atau dengan perkataan lain, tidak boleh ada kualifikasi perbuatan lain yang digolongkan menjadi kesalahan berat.
Padahal umumnya setiap sektor industri atau jasa memiliki kualifikasi kesalahan berat di luar ketentuan Pasal 158 ayat (1). Contohnya kesalahan berat bagi pekerja yang merokok di lokasi kerja berbahaya yang mudah terbakar seperti di perusahaan minyak dan gas. Atau penjaga perlintasan kereta yang membiarkan kereta lewat tanpa menutup pintu perlintasan.
Contoh kasus seperti di atas bagi perusahaan lain mungkin tidak merupakan kesalahan berat, namun beda ceritanya bagi perusahaan terkait. Dalam praktik, sebagian praktisi menganggap bahwa kesalahan berat harus selalu tindak pidana sedangkan yang lain berpandangan kesalahan berat tidak selalu harus tindak pidana.
Putusan MK dan Dampaknya
Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ini dinilai oleh pihak pekerja dan serikat pekerja telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah/ preassumption of innocence. Berdasarkan alas hukum tersebut maka dilakukan permohonan hak uji materi UU Ketenagakerjaan.
Atas permohonan pekerja dan serikat pekerja, Mahkamah Konsitusi (MK) menjatuhkan putusan No.012/PUU-I/
2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pasca putusan MK, muncul banyak penafsiran dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan perbuatan yang dikualifikasikan dalam ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan.
Menyikapi hal tersebut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 7 Januari 2005 menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005. Isi pokok dari surat edaran menteri itu adalah penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan dua hal. Yakni, PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, surat edaran menteri juga menyatakan, dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang berakibat hubungan kerja tidak dapat dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Belum tuntas perbedaan penafsiran mengenai “kesalahan berat” Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memunculkan istilah “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian yang jelas.
Berdasarkan penelusuran pustaka, “alasan mendesak” ternyata ditemukan pada buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1603 o, yang isinya sebagian besar sama dengan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Berbeda Penafsiran
Perbedaan penafsiran dan pandangan mengenai pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat pasca putusan MK dan SE Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi oleh pengusaha, mediator dan hakim ditafsirkan secara berbeda dengan argumentasi hukum masing-masing.
Dari pengalaman dan hasil pengamatan selama delapan tahun terakhir, dapat diidentifikasi bagaimana mereka menerapkan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat, sebagai berikut:
PENGUSAHA
1. Menerapkan Pasal 158 seperti sebelum adanya putusan MK, yakni melakukan PHK sepihak tanpa membayarkan pesangon dan penghargaan masa kerja.
2. Hanya melaporkan tindak pidana yang dilakukan pekerja ke Polisi sedangkan proses ketenagakerjaanya di biarkan atau menunggu putusan pidana.
3. Melaporkan pekerja terlebih dahulu ke polisi dan apabila di lakukan penahanan setelah 6 (enam) bulan tidak dapat menjalankan pekerjaan atau belum 6 (enam) bulan tetapi telah ada putusan bersalah dari pengadilan pidana maka pengusaha menerbitkan Surat Keputusan PHK sepihak sesuai Pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
4. Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi akan tetapi langsung melakukan proses PHK sesuai UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (bipartite, mediasi, PHI)
5. Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi asalkan pekerja bersedia mengundurkan diri atau diakhiri hubungan kerjanya tanpa pesangon dan penghargaan masa kerja.
6. Membuat pengakhiran hubungan kerja terlebih dahulu dengan pekerja setelah itu melakukan proses pidana dengan melaporkan kesalahan berat pekerja.
MEDIATOR
1. Menolak melakukan mediasi tanpa memberikan anjuran apabila belum ada putusan pidana.
2. Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran, apabila dalam proses mediasi pengusaha menyatakan bersedia memberikan kompensasi sebesar 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan.
3. Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran untuk mempekerjakan pekerja pada posisi semula atau melakukan pemutusan hubungan kerja dengan memberikan kompensasi pesangon sebesar 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2), penghargaan masa kerja sesuai pasal 156 ayat (3) & (4) UU Ketenagakerjaan.
PHI
1. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat belum memiliki putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
2. Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat apabila kesalahan berat diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan pengusaha dapat membuktikanya dalam persidangan.
Dalam hal ini pengadilan akan memberikan hukuman kepada pengusaha untuk membayarkan kompensasi sebesar 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan. Namun sebagian pengadilan ada yang memutuskan tanpa memberikan hak pesangon dan penghargaan masa kerja.
3. Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat meskipun dianggap tidak terbukti. Pada beberapa kasus hakim justru mendasarkan alasan pemutusan hubungan kerja karena efisiensi sebagaimana diatur dalam pasal 164 ayat 3 UU Ketenagakerjaan, dan apabila pengusaha dinilai telah kehilangan kepercayaan dan hubungan kerja menjadi disharmonis maka pengusaha akan dihukum untuk membayarkan pesangon sebesar 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Mendasarkan pada praktik penerapan pemutusan hubungan kerja di atas, diketahui bahwa pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat dapat diselesaikan melalui proses hukum acara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Melihat kenyataan tersebut kedepan diharapkan mediator tidak lagi menolak untuk melakukan mediasi dan hakim diharapkan bersedia memeriksa dan mengadili gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat.
Berdasarkan fakta yang terjadi dalam penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat maka sudah saatnya untuk menyamakan persepsi bahwa melakukan proses pidana terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat harus ditafsirkan sebagai hak pengusaha, sehingga mediator dan hakim tidak lagi mewajibkan kesalahan berat harus diproses secara pidana terlebih dahulu.
*) Advokat/ konsultan hukum ketenagakerjaan pada FARIANTO & DARMANTO Law Firm


sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...