CATATAN: Menyambut Tiga Tahun Saya Pensiun sebagai dosen Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala-USK, yang jatuh pada bulan Oktober 2022 ( saya mulai pensiun tanggal 1 Oktober 2019); bersama ini saya posting artikel terkait kegiatan sambilan saya dalam melestarikan warisan Endatu rakyat Aceh. Semoga bermanfaat!!!.
HIKAYAT ACEH TELAH MATI (?)
Bermula dari membaca berita meninggalnya Syeh Rih Krueng Raya, maka tergeraklah semangat saya untuk mencetak hikayat-hikayat yang telah saya alihkan dari huruf Arab Jawoe ke aksara Latin. Berita itu dimuat dalam Harian Serambi Indonesia, 16 April 1997 halaman 3. Syeh Rih Krueng Raya adalah penyair Hikayat Aceh terkenal,dan saya salah seorang pengagum beliau.
Kegiatan menyalin hikayat Aceh ke huruf Latin memang sudah sejak tahun 1992 saya lakoni. Hal ini terkait Harian Serambi Indonesia yang saat itu sedang memuat Hikayat Aceh setiap hari secara bersambung. Pemuatan hikayat oleh koran itu berlangsung pada awal 1992 sampai akhir tahun 1994.
Dari 12 judul hikayat yang sempat dimuat koran itu, tujuh (7) judul diantaranya adalah hasil alih aksara saya. Ketujuh hikayat Aceh itu ialah: (1) Hikayat Meudeuhak; (2) Hikayat Nasruwan Ade, (3) Hikayat Abunawah, (4) Hikayat Banta Keumari(5) Hikayat Aulia Tujoh, (6) Hikayat Tajussalatin, dan (7) Hikayat Zulkarnaini.
Bila dihitung jumlah hari pemuatannya, berarti hampir seribu hari/tiga tahun lebih Harian Serambi Indonesia telah memuat hasil kegiatan alih aksara hikayat yang saya kerjakan. Walaupun ditahun 1995 hikayat tidak dimuat lagi dalam koran, namun karena sudah mencintai/ketagihan; saya terus melanjutkan kerja alih aksara hikayat dari satu judul ke judul lainnya.
Judul-judul dan ringkasan isi dari Hikayat-Nadham-Tambeh dan naskah Jawoe yang telah saya salin dari Arab Melayu/Jawoe ke huruf Latin dari tahun 1992 sampai 2009 sebagai berikut :
(1) Hikayat Meudeuhak : Keberhasilan seseorang pemimpin/Raja turut ditentukan oleh para penasihatnya namun sang pemimpin perlu selalu menguji kesetiaan mereka (434 halaman) ,(2) Hikayat Banta Keumari: Sikap saling membantu dalam perjuangan hidup akan menghasilkan kebahagiaan bersama (650 halaman),
(3) Hikayat Tajussalatin: Tajussalatin = mahkota raja-raja. Membicarakan sejumlah pedoman bagi para pemimpin. Ditulis pertama dalam bentuk prosa, bahasa Melayu oleh Bukhari Al Juhari tahun 1603 M. Tahun 1937 atas anjuran Uleebalang Keumangan,Pidie disusun ke bentuk Hikayat Aceh (420 halaman), (4) Hikayat Aulia Tujoh: Mengisahkan tentang tujuh orang pemuda yang melawan seorang penguasa yang zalim. Begitu angkuhnya raja ini sampai-sampai mengakui dirinya sebagai Tuhan (54 halaman),
(5) Hikayat Kisason Hiyawan: Kisason Hiyawan merupakan kisah sejumlah hewan/binatang. Kehidupan ini penuh dengan teka-teki, tipu muslihat dan saling bersaing. Oleh karena itu perlu hati-hati dan waspada dalam setiap tindakan. Di beberapa tempat di Aceh, naskah ini diberi nama Hikayat Nasruwan Ade Hikayat ini berjiwa lingkungan hidup (176 halaman),
(6) Hikayat Gomtala Syah: Kisah monyet raksasa yang berasal dari manusia. Intinya menceritakan kesetiaan sang monyet membela kepentingan pamannya. Hikayat ini bernuansa lingkungan hidup (548 halaman), (7) Hikayat Keumala Indra: Keberhasilan menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, akan memperlancar kehidupan. Tokoh ceritanya berasal dari Turki (594 halaman),
(8)Hikayat Nabi Yusuf: Penderitaan yang disertai kesabaran-ketabhan, akan mewujudkan kemenangan. Sementara kedengkian dan iri hati akan menerima rugi dan kekalahan. Naskahnya sudah cukup tua yang berasal dari kecamatan Titeue, Pidie (281 halaman),
(9) Hikayat Abu Nawah: Setiap pemimpin /raja harus tahan menerima kritik. Kritikan itu perlu dikemas dalam dua bentuk, yaitu bentuk halus dan tajam/keras (301 halaman), (10) Hikayat Zulkarnaini: Kisah Iskandar Zulkainaini dan Nabi Khaidir/Hidhir ini menyebut asal usul nama Aceh dengan sebutan Pulo Ruja( bekas kain serban Sultan Iskandar Zulkarnani). Dan setiap kedengkian akan menerima balasan Tuhan (226 halaman),
(11) Hikayat Akhbarul Karim: Menjelaskan mengenai Ilmu Fiqh, Tasawuf dan Ilmu Tauhid. Hikayat ini juga mengandung nasihat-nasehat agar umat Islam melaksanakan syari’at Islam secara kaffah. Pengarang Hikayat Akhbarul Karim digelar Teungku Seumatang. Tapi masih diperdebatkan apakah beliau asal Geudong-Aceh Utara atau dari Busu dan Gampong Cot,Pidie(139 halaman),
(12) Nadham Akhbarul Hakim: Berisi nasihat dan kritikan tajam terhadap ummat Islam dalam segala umur, yaitu remaja, orang dewasa,dan kakek-nenek. Kritik disebut secara lantang/pedas dan kadang-kadang lucu. Terkesan, sebagian isi naskah ini dikutip dari bagian akhir Tambeh Tujoh Blah. (81 halaman),
(13) Tambeh Tujoh: Tambeh (Arab adalah tanbihi, artinya peringatan/tuntunan). Berisi tujuh masalah/ 7 bab. Dua bab di antaranya termasuk masalah yang amat langka dibahas dalam syair/hikayat Aceh, yaitu masalah kerangka tubuh manusia dan Ilmu Ketabiban/kedokteran . Karya ini ditulis tahun 1208 H oleh Syekh Abdussalam(155 halaman). Syekh Abdussalam adalah kakek dari Teungku Chiek Di Tiro, yang Pahlawan Nasional Indonesia asal Aceh.
(14) Tambeh 95: Berisi 95 masalah/bab, terdiri dari nasihat, pelajaran Ilmu Agama, Ilmu Tasawuf, contoh-contoh yang bermanfaat; demi kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Tambeh ini diterjemahkan dari bahasa Arab tahun 1242 H (1827 M) oleh Syekh Jalaluddin alias Teungku Di Lam Gut (catatan: nama asli dari naskah ini ialah Tambihul Ghafilin, yang baru saya ketahui kemudian) (623 halaman). Dari 95 bab kitab ini, 6 bab merupakan Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil) yang memompa semangat rakyat Aceh untuk melawan Belanda, hingga Pemerintah Belanda nyaris berputusasa. Inilah sejarah awal Hikayat Prang Sabi di Aceh yang sebenarnya, walaupun kini telah kita lupakan...!.
(15) Nadham Ruba’I: Membahas banyak hal masalah ajaran Islam namun secara ringkas (serba-serbi Agama Islam). Naskah ini tidak lengkap lagi (31 halaman),
(16) Nadham Nasihat: Nasihat-nasihat mengenai pentingnya Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan (34 halaman), (17) Hikayat Nabi Meucuko: Kisah pencukuran rambut Nabi Muhammad SAW yang dilakukan Malaikat Jibril (20 halaman), (18) Hikayat Qaulur Ridwan: Qaulur Ridwan ialah perkataan yang disenangi/ridha Tuhan. Hikayat ini ditulis dalam bentuk cerpen yang mengajak orang mau mengerjakan Shalat, kisahnya diramu dengan muatan local. Hikayat ini ditulis Syekh Abdussalam tahun 1220 H (18 halaman),
(19) Tambeh Tuhfatul Ikhwan: Menjelaskan 12 bab masalah agama dan kemasyarakatan. Tuhfatul Ikhwan = persembahan kepada sahabat/saudara. Tambeh ini diterjemahkan Syekh Abdussalam tahun 1224 H (294 halaman),
(20) Tambeh Tujoh Blah, karya Syekh Abdussamad alias Teungku Di Cucum yang ditulis tahun 1257 H. Bahwa beliau sebagai pengarang kitab ini, ‘secara kebetulan’ baru saya ketahui hari Jum’at siang, 10 Ramadhan 1434 H/19 Juli 2013, ketika saya membaca satu bait Tambeh 17 yang berbunyi:”Bahkeu dumnan adab guree, Le kadilee lon hareutoe/Lam hikayat Akhbarul Na’im,Keudeh Polem kalon keudroe!”. Bait terakhir bab ke 7 Tambeh Tujoh Blah itu menyebutkan, bahwa pengarang Tambeh 17 sama dengan penulis kitab Akhbarul Na’im.
Sementara pengarang kitab Akhbarul Na’im adalah Syekh Abdussamad atau Teungku Di Cucum. Saya menjadi sangat ingat dengan Akhbarul Na’im serta penulisnya Teungku Di Cucum, karena pada malam Makmeugang Puasa, 9 Juli 2013 yang lalu baru saja berlangsung pembacaan “Nadham Teungku Dicucum” oleh Tgk. Ismail alias Cut ‘E di Bale Tambeh halaman rumah saya. Nadham Tgk. Dicucum adalah nama lain atau nama populer bagi kitab Akhbarul Na’im.
Syekh Abdussamad mememiliki beberapa nama samaran atau nama pena, yaitu Teungku Muda, Teungku Do dan Teungku Di Cucum.
Tambeh Tujoh Blah berisi 17 bab, yang membahas masalah hubungan dengan Allah, hubungan sesama Manusia dan dengan binatang/Lingkungan hidup. Tempo dulu Tambeh 17 termasuk salah satu kitab tambeh yang sangat populer di Aceh. Saya memiliki salinan Tambeh ini berangka tahun 1306 H (236 halaman),
(21) Hikayat Banta Amat: Kisah seorang anak Raja yang yatim sejak kecil. Negeri dan semua kekayaan di rampas Pamannya. Berkat ‘azimat’ yang diberikan Raja Ular ia berhasil menjadi Raja kembali. Hikayat ini berjiwa lingkungan hidup (318 halaman), (22) Nadham Mikrajus Shalat: Membahas seluk-beluk shalat serta yang berkaitan dengannya dalam bentuk nadham Aceh. Nadham ini ditulis Teungku Sulaiman Abdullah, Lala-Andeue, Pidie (41 halaman),
(23) Cuplikan: Hikayat Indra Bangsawan: Mengisahkan kehidupan dua orang Putra Raja yang berjuang menemukan permintaan Ayah mereka. Ternyata yang paling menderita; dialah yang mencapai kemenangan dan menjadi Raja menggantikan sang Ayah (79 halaman),
(24) Kitab Qawai’idul Islam: Dalam sebutan masyarakat tempo dulu naskah ini dinamakan “Kitab Bakeumeunan” ; menjelaskan mengenai Ilmu Tauhid (Ilmu Kalam) secara panjang lebar dan mendalam. Keistimewaan kitab ini ditulis dalam bahasa Aceh. Selain Bahasa Aceh, bahasa pengantar naskah ini juga menggunakan bahasa Melayu serta bahasa Arab.
Pada umumnya bentuk penulisan bahasa Aceh adalah dalam jenis syair/puisi secara bersanjak, tapi kitab ini bahasa Acehnya dalam bentuk prosa (28 halaman), (25) Tambeh Gohna Nan: Naskah ini ditulis dalam bentuk penyampaian “wasiat dari seorang Ayah kepada anaknya”. Inti wasiat sang Ayah supaya si Anak mengamalkan kehidupan ‘suluk dan tarikat’ yang amat berkembang di Aceh pada akhir zaman. Kitab ini ditulis kira-kira pada masa awal Perang Aceh-Belanda.Tambeh ini ditulis Syekh Abdussamad alias Teungku Di Cucum, Aceh Besar Naskah ini belum diberi nama oleh pengarang, karena itu saya berilah judul sementara “Tambeh Gohna Nan” (175 halaman),
(26) Adat Aceh: Berisi adat/tradisi dan protokoler Kerajaan Aceh sejak masa Sultan Iskandar Muda. Sesungguhnya, inilah yang disebut dalam sepotong pribahasa Aceh: “Adat bak Poteumereuhom Hukom Bak Syiahkuala” (162 halaman), (27) Tazkirah Thabaqat: Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk prosa. Isinya menjelaskan tentang susunan tata pemerintahan Kesultanan Aceh sejak jabatan Geuchik sampai sultan Aceh. Naskah ini ditulis tahun 947 H pada masa Sultan ’Alaiddin Mahmud ‘Abdul Qahar ’Ali Riayat Syah dan terus-menerus direvisi oleh sultan-sultan Aceh sesudahnya.
Penyalin/revisi terakhir dilakukan Sayed Abdullah Jamalullail alias Teungku Di Mulek atas anjuran Sultan Ibrahim Mansur Syah tahun 1270 H, yakni 20 tahun sebelum perang Belanda-Aceh tahun 1290 H (115 halaman),
(28) Resep Obat Orang Aceh: Cuplikan/saduran dari kitab obat Tajul Muluk karya Haji Ismail Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh Ibrahim Mansur Syah. Judul “Resep Obat Orang Aceh” hanyalah pemberian saya,karena berupa cuplikan (55 halaman),
(29) Hikayat Malem Dagang: Menceritakan pelayaran Sultan Iskandar Muda bersama pasukannya menyerang Raja Si Ujut di Johor dan Malaka. Raja si Ujut adalah lambang dari bangsa Portugis yang telah menjajah Malaka sejak tahun 1511 M(163 halaman). Tahun 2015 Hikayat Malem Dagang menjadi kajian Tesis saya di Pascasarjana UIN Ar Raniry.
(30) Hikayat Nabi Yusuf : Isi ringkasnya tidak jauh berbeda dari Hikayat Nabi Yusuf versi Pidie tersebut di atas, namun ditulis mengikut selera novel moderen. Dalam hal percintaan Siti Zalikha misalnya, sengaja tak saya salin beberapa kalimat karena ’lucahnya’. Naskah Arab Jawoe berasal dari kabupaten Nagan Raya, selesai ditulis tahun 1980(230 halaman). Maka dari 30 judul naskah yang telah disalin ke huruf Latin berjumlah 6680 halaman.
Kita kembali ke pokok pembahasan!. Bahwa sebelum membaca berita berpulangnya Syeh Rih Krueng Raya, yang meninggal Jum’at, 12 April 1997 dalam usia 62 tahun; niat mencetak hikayat itu memang pernah muncul dalam pikiran saya, tetapi selalu padam kembali. Pendorong utama untuk mencetak hikayat adalah Drs. Ameer Hamzah, yang ketika itu sebagai Redaktur Budaya Harian Serambi Indonesia.
Namun semua ajakan itu yang selalu disampaikan setiap ketemu; hanya tertanam di hati. Saat itu saya berpikir logis, bahwa hikayat tidak mempunyai “pasaran” lagi di Aceh. Jadi, kalau saya mengeluarkan dana untuk mencetak hikayat berarti saya telah berperilaku “meuwot lam bruek ruhueng”(masak bubur dalam tempurung berlobang). Alias melulu rugi!.
Kalau pun disebut Tauke hanyalah sebatas “Toke gambang alias Tukang gambe”, yang bermakna pedagang miskin!.
Akibat dorongan Drs. Ameer Hamzah yang tak pernah “absen”, pernah juga saya mendatangi beberapa percetakan di Banda Aceh. Drs. Ameer Hamzah berujar; kalau saya tak menerbitkan hikayat-hikayat itu, dikala tua saya akan menyesal tidak melakukannya!.
Begitu pula dengan saran UU.Hamidy, seorang pakar Hikayat Aceh asal Universitas Riau,Pekanbaru dalam surat beliau 26 September 1996, yang mendorong mencetak karya-karya saya. “Sediakan dana barang sejuta, dan cetak karya Anda yang kira-kira paling digemari masyarakat”, demikian pesan UU.Hamidy yang pernah setahun penuh meneliti hikayat di Aceh tahun 1974.
Saat menyurati saya itu UU.Hamidy sendiri telah menerbitkan 35 judul buku tentang budaya Melayu-Riau dan sekarang sudah 60 judul jumlahnya.
Di tahun 1995, yang mula-mula saya pilih adalah sebuah perrcetakan di kampus Darusslam. Dalam pikiran saya, keren juga nanti bila hikayat saya terpampang nama percetakan kampus!. Dan sekaligus ikut mempopulerkan nama kampus Darussalam ke pelosok-pelosok kampung. Naskah yang hendak saya cetak saat itu adalah Hikayat Akhbarul Karim.
Namun apa daya, ongkos cetaknya di luar kemampuan kantong saya, dan mesti dibayar tunai sekaligus senilai Rp. 1200000(satu juta dua ratus ribu rupiah). Akibat ketiadaan modal, terhambat pula angan-angan saya hendak mencetak hikayat. Dan saat itu perhitungan untung-rugi masih menjadi acuan utama saya dalam “berdagang” hikayat tersebut.
Namun, setelah membaca berita duka “meninggalnya Syekh Rih Krueng Raya”, sikap saya berubah total. Perhitungan untung-rugi dalam ‘bisnis’ hikayat serta-merta tenggelam dan memunculkan cita-cita melestarikan Hikayat Aceh agar tidak ditelan zaman. Paling kurang tersambunglah kembali rentangan tali penerbitan hikayat yang “sudah putus” setelah Syeh Rih Krueng Raya berpulang ke alam baqa. Paling lama setahun-dualah, pikir saya waktu itu.
Tindakan spontanitas itu saya mulai dengan mengumpulkan hikayat-hikayat karya Syeh Rih Krueng Raya yang masih dijual di toko-toko buku. Sebelumnya, saya memang sudah memiliki dua judul, yaitu Kisah Nasib Aneuk Meuntui yang saya beli di pasar Kotabakti,Pidie tahun 1971 sepulang sekolah dari SMP Beureunuen pada hari Senin yang merupakan uroe gantoe .
Satu lagi Hikayat Golongan Karya terbitan 1977 yang saya peroleh di Yogyakarta tahun 1987. Dengan ditemani Azhari, seorang mahasiswa FKIP Unsyiah -, famili yang tinggal bersama saya; – berkelilinglah kami ke semua toko buku di Banda Aceh.
Hasilnya adalah beberapa judul hikayat yang diterbitkan pada tahun-tahun yang berbeda, yaitu Fitnah Bak Matuan(1993), Tapeugot Nanggroe(Aceh Rayek-1994), Beusapeue Pakat(1996), Laksamana Keumala Hayati(1996) dan Ie Mata dalam Gurita(1996). Hanya itulah koleksi hikayat Syeh Rih Krueng Raya yang saya miliki sampai hari in. Padahal karya beliau puluhan judul jumlahnya; yang entah dimana sekarang berada(?).
Berbekal nasehat UU.Hamidy, saya pilihlah Hikayat Akhbarul Karim menjadi hikayat cetakan pertama saya sebaga “Toke Hikayat”. Hikayat Akhbarul Karim adalah karya ‘hikayat agama’yang masih populer dibaca orang sampai akhir tahun 60-an. Percetakan yang saya pilih yaitu KUD.Rahmat yang terletak di kawasan Peniti, Banda Aceh yang dikelola Pak Adi.
Ada tiga hal yang mendorong saya memilih percetakan ini, yakni (1) Ongkos cetak murah, (2) Boleh bayar cicilan, dan (3) Mau diantarkannya ke Toko Buku sebagai barang titipan saya. Masalah murahnya ongkos cetak betul-betul menggembirakan saya.
Betapa tidak,seperti tersebut di atas di tahun 1995 saya telah mencoba cetak Hikayat Akhbarul Karim di percetakan kampus Darussalam,te tapi batal karena ongkosnya di luar kemampuan saya. Walau sudah berselang dua tahun(1997), namun ongkos cetaknya hanya Rp.600.000,-(enam ratus ribu rupiah) dan boleh bayar cicilan(bacut-bacut). Tetapi yang terjadi kemudian adalah penerbitan Hikayat Akhbarul Karim dalam dua jilid itu didanai percetakan. Setiap jilid dicetak 1000 eksemplar buku saku. Sebagai uang jerih-payah alih aksara kepada saya diberi “honor” Rp.25000,-(duapuluh lima ribu rupiah). Uang itu segera saya pakai buat bayar iklan bagi hikayat itu pada media “Gema Baiturrahman”.
Mungkin Anda heran; kenapa saya yang membayar ongkos iklan, padahal buku-buku hikayat tersebut sudah menjadi milik orang lain!. Jawaban logis memang tak ada, tapi begitulah setrategi dagang ‘Toke hikayat’.
Selain itu, saya pun sudah berkali-kali gagal dalam berurusan dengan hasil alih aksara Hikayat Akhbarul Karim ini. Pertama, gagal/batal dimuat pada sebuah koran lokal, yang semula dijanjikan sehingga saya bekerja menyalin naskahnya ke huruf Latin. Kedua, gagal dicetak oleh pimpinan koran lokal itu sebagai usaha pribadi. Ketiga, batal dicetak dengan dana sebuah Toko Buku yang telah dijanjikan pimpinannya. Barulah pada kali keempat saya menang atas bantuan percetakan itu!.
Alhamdulillah, niat menyambung usaha Syeh Rih Krueng Raya sudah terwujud!.
Masih tahun 1997, dengan selang dua-tiga bulan setiap judul ;saya pun mencetak Hikayat Aulia Tujoh,Nadham Akhbarul Hakim dan Hikayat Meucuko Nabi Muhammad Saw. Masing-masing judul dicetak 1000 buah buku saku dengan dana sendiri yang dibayar secara cicilan.
Sebelum Hikayat Aulia tujoh selesai dicetak, saya berkeliling ke Toko-toko Buku menawarkan titipan hikayat. Sebagian menolak dengan alasan takut tidak laku, tetapi ada pula yang menerima.Pemilik toko buku yang menerima ini,ternyata sejak lama sudah menjual hikayat dan kadang-kadang menjadi sponsor dana untuk mencetak hikayat, khususnya hikayat/nadham tipis berisi kasidah-Like Aceh yang mudah terjual. Maka diantarlah oleh karyawan Pak Adi/KUD.Rahmat buku-buku hikayat ke toko-toko buku tersebut.
Tidak lah semua buku hikayat diantarkan ke toko buku. Biasanya antara 50 sampai 100 eksemplar saya ambil sendiri. Hikayat-hikayat ini, nantinya saya “hadiahkan” kepada teman-taulan saya. Beberapa sekolah, fakultas, dan pustaka di kampus Darussalam dan Tungkop mulai TK sampai Pasca Sarjana sering saya hadiahkan hikayat-hikayat itu.
Karena yang saya gunakan strategi ‘bisnis modern‘, maka iklan pun saya pasang lagi pada buletin “Gema Baiturrahman“ Mesjid Raya Banda Aceh dengan dana Rp.25000(duapuluh lima ribu rupiah) untuk tiga kali terbit. Hanya saja gemar “berhadiah-hadiah” itu; mungkin yang berlawanan dengan sifat pedagang sebenarnya!.
Setelah setahun, saya pun mengumpulkan uang hasil penjualan buku-buku hikayat. Ternyata hasilnya amat jauh dari harapan. Karena itu pada tahun 1998 hanya Hikayat Abunawah jilid I yang dapat saya cetak. Jumlah cetakan pun saya kurangi dari 1000 ke 500 buku perjilid,begitu pula buat seterusnya. Hikayat-hikayat yang saya cetak selanjutnya adalah: Hikayat Lingkongan Udep Wajeb Tajaga(karya sendiri-1999), Abunawah II(2000). Pada tahun 2000 sebuah iklan saya pasang di Radio Rapa-I Aceh-Lambaro untuk 3 kali siar.
Tahun kedua buku hikayat lebih banyak laku; karena itu pada tahun 2001 lebih banyak hikayat dapat saya cetak, yakni: Hikayat Wajeb Tasayang Binatang Langka, Hikayat Binatang Ubit Kadit Lam Donya(keduanya karya sendiri),Hikayat Kisason Hiyawan II,II,Hikayat Banta Amat I,II, dan Hikayat Meudeuhak I,II. Saya buat berjilid agar mudah pemasarannya,dan setiap jilid rata-rata 60 halaman. Buku ukuran saku ini berisi enam bait setiap halaman
.
Jumlah toko buku yang menampung titipan hikayat bertambah dua lagi tahun 2002 di Banda Aceh. Di tahun ini juga saya pasang iklan hikayat di koran Aceh Ekspres. Pada tahun 2003 tambah satu toko buku di kampus Darussalam. Tapi akibat tidak satu buku hikayat pun laku, maka setelah setahun saya ambil kembali, dan habis saya bagi-bagikan kepada kenalan.
Pertengahan tahun 2004,sebuah toko buku mengembalikan semua titipan hikayat saya dengan alasan sukar dipasarkan. Hikayat satu kardus besar itu saya hadiahkan kepada Lembaga Bahasa Banda Aceh; dengan pesan agar dihadiahkan lagi kepada pihak lain. Akhirnya, semua hikayat ini dibagi-bagikan kepada para peserta Seminar Budaya Pekan Kebudayaan Aceh(PKA IV) tahun 2004 itu di ACC Dayan Dawod kampus Darussalam.
Musibah/Bala Ie Beuna/tsunami,26 Desember 2004 telah mendatangkan bencana dahsyat bagi “bisnis hikayat” saya. Semangat melestarikan hikayat nyaris mati, namun bisa bangkit kembali pada ujung tahun 2005. Tetapi saya lagi-lagi mengalami hambatan. Hikayat-hikayat yang sudah saya salin dari huruf Arab Jawoe ke huruf Latin hanyalah ketikan mesin Tik biasa, karena itu bila hendak dicetak perlu disalin ulang dengan komputer.
Selama ini tugas salin ke komputer dilakukan Pak Adi (asal Jawa Tengah) yang sejak beberapa tahun lalu sudah memiliki usaha percetakan milik sendiri, yakni UD.Selamat Sejahtera yang juga terletak di kawasan Peniti, Banda Aceh. Karena Pak Adi sedang sakit, maka usaha saya pun terhambat.
Sukar memang mencari usaha komputer milik orang Aceh yang mau menyalin bahasa Aceh. ”Menyalin bahasa Aceh lebih sukar dari bahasa Inggris!”, begitu alasan mereka. Namun, setelah lama dicari ketemu juga tempat pengetikan komputer tersebut. Tapi banyak pula yang dilakukan Pak Adi sendiri.
Naskah yang akan dicetak adalah Tambeh Tujoh Blah, yakni tujuh belas peringatan/nasehat yang terkait agama Islam. Kitab tambeh ini terbagi tiga jilid.
Jilid I dicetak pada ujung tahun 2006, yang ongkos cetaknya saya bayar dengan honor mengajar di jurusan ekstensi semester itu.
Honor mengajar semester depannya dibayar bertahap/tidak serentak, maka tertundalah niat mencetak jilid kedua. Begitulah, jilid II dan III Tambeh Tujoh Blah berhasil dicetak pada akhir semester tahun ajaran 2008
dengan honor mengajar dua semester di tahun itu.
Timbul pula persoalan saat dilakukan penitipan ke toko-toko buku.Pemilik KUD Selamat Sejahtera, saat itu dipimpin Ibu Jasmani,isteri Pak Adi(Pak Adi alias Tgk.H.Siswadi Asnawi sudah meninggal pada 22 Nopember 2006). Ibu Jasmani memberitahukan saya, bahwa ada toko buku yang menolak titipan hikayat.Setelah saya cek, jelaslah alasan mereka menolak karena amat minim lakunya.
Sebenarnya, selama ini pada toko buku itulah yang paling banyak saya titipkan hikayat. Apa hendak dikata,kondisi sudah berubah dan pemilik toko buku pun sudah berganti generasi pemiliknya. Pada awal September 2008, ketika saya datangi toko buku lainnya; pemiliknya yang baru berganti juga memberitahukan agar saya tidak menitipkan hikayat banyak-banyak.” Maksimal 20 buah buku setiap judul”,katanya.
Menanggapi keluhan-keluham itu, saya pun mengambil sikap, yaitu memutuskan berhenti sebagai Toke Hikayat yang sudah saya jalani selama sebelas tahun.
Akhirnya, semua hikayat saya tarik dari toko-toko buku, dan saya kumpulkan di Percetakan UD. Selamat Sejahtera. Sesudah saya bagi-bagikan dalam tujuh kotak kardus, maka saya hadiahkanlah kepada enam lembaga yang memiliki perpustakaan di Banda Aceh,yakni 1)Pustaka Sekolah Menulis Dokarim, 2) Pustaka Ali Hasjmy, 3) Pustaka Aceh Culture Institute, 4) Pustaka Balai Bahasa, 5) Pustaka Wilayah, dan 6) Pustaka Induk Unsyiah, yaitu tiga milik negeri dan tiga lembaga milik swasta. Sementara satu kotak kardus saya ambil sendiri sebagai dokomentasi dan “bungong jaroe” atau buah tangan Toke Hikayat bagi sahabat dan kenalan baru saya.
Penghargaan :
1. Sebagai Pengarang, Berprestasi Unggulan Peraih KEHATI Award 2001 dari Yayasan KEHATI (Keanekaragaman Hayati Indonesia), Jakarta tanggal 7 Maret 2001. Yayasan ini dipimpin Prof.Dr. Emil Salim mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI.
2. Sebagai Sastrawan; Memperoleh Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI tanggal 14 Agustus 2003. Anugerah Bintang Budaya ini disematkan Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta.
3. Mendapatkan Penghargaan sebagai “Penulis Karya Terbaik Sastra Aceh 2003” dari Dinas Kebudayaan NAD, tanggal 29 September 2003.
4. Menerima Anugerah Budaya “TAJUL ALAM” dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh Ke 5 (PKA V) dari Pemerintah Aceh yang diserahkan oleh Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar, S.Ag di Anjong Mon Mata, Banda Aceh pada malam Selasa tanggal 10 Agustus 2009.
Catatan paling akhir:
1. Alhamdulillah, manuskrip Adat Aceh (no. 26) telah dikaji sebagai disertasi di University Sains Penang, Malaysia tahun 2017 dan diterbitkan oleh M. Adli Abdullah, Ph.D tahun 2019, dengan judul “MA BAIN- AS-SALATIN (ADAT ACEH)” dan saya telah membelinya dengan uang honor mengajar paling akhir sebelum pensiun.
2. Jumlah manuskrip yang sudah saya alihkan ke huruf Latin hingga hari ini sebanyak 40 judul.
3. Selain menyalin hikayat, nazam dan tambeh ke huruf Latin, saya juga telah menulis puluhan artikel budaya Aceh, yang dimuat dalam koran dan majalah, baik media lokal dan nasional.
Bale Tambeh, Jeumeu’at, 18 Molod 1444 TH atawa 18 Rabil Awal 1444 H bersamaan 14 Oktober 2022 M, poh 10.10 wib.
( T.A. Sakti )
#Peminat budaya dan sastra Aceh.