Minggu, 11 November 2018

sukristiawan.com:Mau Relokasi Perusahaan? Cermati Dulu Ketentuannya

Mau Relokasi Perusahaan? Cermati Dulu Ketentuannya
ADY TD ACHMAD
Perusahaan bisa mengikutsertakan pekerja untuk relokasi atau melakukan PHK. Transparansi rencana relokasi penting.
Ilustrasi: BAS
Begitu isu PHK massal merebak, Pemerintah sibuk mengklarifikasi. Termasuk isu perusahaan elektronik hengkang dari Indonesia. Pemerintah, baik Kementerian Ketenagakerjaan maupun Badan Koordinasi Penanaman Modal, menjelaskan yang terjadi adalah relokasi perusahaan.
Relokasi adalah peristiwa perpindahan lokasi suatu perusahaan ke tempat lain karena pertimbangan tertentu. Secara umum, relokasi dilakukan untuk efisiensi. Pertanyaan yang muncul, apa yang harus diperhatikan perusahaan sehubungan dengan kewajiban ketenagakerjaan jika ingin melakukan relokasi? Secara umum, perusahaan harus benar-benar mencermati ketentuan UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dosen FH Universitas Airlangga, Hadi Subhan, mengingatkan UU No. 7 Tahun 1981 telah mengatur bahwa perusahaan yang akan pindah, membuka atau menutup usahanya wajib lapor ke Dinas Ketenagakerjaan atau Kementerian Ketenagakerjaan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Perusahaan juga harus menjelaskan alasan pindah, menutup atau membuka usahanya. Untuk relokasi, perusahaan juga harus menjelaskan alasannya perpindahan domisili itu kepada pekerja. Perusahaan wajib melapor ke instansi ketenagakerjaan 30 hari sebelum pindah (relokasi), menutup atau membuka usahanya.
Perusahaan yang melakukan relokasi atau menutup usahanya, dikatakan Subhan, tidak boleh meninggalkan persoalan khususnya di bidang ketenagakerjaan. Jika memberi dampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja/buruh, maka pesangon dan penghargaan harus diberikan sesuai ketentuan. “Ketika dampaknya PHK maka hak-hak pekerja/buruh harus menjadi perhatian utama,” katanya kepada
hukumonline, Selasa (9/2).
Subhan menjelaskan, UU Ketenagakerjaan mengatur skema untuk perusahaan yang melakukan akuisisi, merger atau konsolidasi. Antara lain, pengusaha dapat melakukan PHK ketika terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Kewajiban yang perlu ditunaikan pengusaha yakni membayar pesangon kepada pekerja/buruh sebesar satu kali ketentuan. Namun, jika perusahaan tidak bersedia menerima pekerja maka pekerja berhak menerima uang pesangon sebesar dua kali ketentuan.
Relokasi menimbulkan dampak bagi pekerja. Misalnya, lokasi perusahaan setelah pindah jaraknya lebih jauh dari rumah pekerja. Sehingga pekerja harus berangkat kerja lebih awal dan pulang ke rumah lebih lama daripada biasanya. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur kewajiban pengusaha untuk memberi insentif kepada buruh sebagai dampak dari relokasi, tetapi menurut Subhan, bukan berarti pemberian insentif itu tidak mungkin dilakukan. Kedua pihak dapat mengaturnya dalam Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama atau kesepakatan bersama.
UU Ketenagakerjaan hanya mengatur relokasi antar daerah di wilayah Indonesia. Jika perusahaan pindah ke luar negeri, itu erarti sama saja dengan tutup. Jika alasan tutup karena merugi maka besaran peangon yang berhak diterima pekerja/buruh sebesar satu kali ketentuan. Kalau perusahaan tutup dengan alasan efisiensi, pekerja berhak menerima pesangon sebesar dua kali ketentuan.
Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kemenaker, Sahat Sinurat, mengatakan relokasi pasti memberikan dampak terhadap pekerja dan keluarganya. Jika lokasi pindah masih berada di satu daerah, yang berubah biasanya jarak tempuh sehingga perusahaan perlu juga menyediakan transportasi antar jemput untuk pekerja.
Tapi jika perusahaan relokasi ke daerah lain maka perusahaan perlu menyiapkan sarana yang dibutuhkan buruh untuk pindah. Misalnya, perusahaan menyediakan mess atau tempat tinggal dan biaya pindah untuk buruh dan keluarganya.
“Paling penting diperhatikan bagi perusahaan yang ingin melakukan relokasi yakni menjalin komunikasi dengan pekerja. Kenapa perusahaan melakukan relokasi, insentif apa yang akan diterima pekerja,” ujar Sahat.
Namun, tidak semua pekerja mau ikut perusahaan relokasi. Jika itu terjadi, Sahat mengatakan perusahaan harus melakukan perundingan dengan pekerja bersangkutan. Secara umum UU Ketenagakerjaan mengatur hak-hak apa saja yang bisa diterima pekerja ketika di PHK sebagai dampak perusahaan yang berubah status, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan. Tidak jarang perusahaan yang melakukan relokasi sebagai akibat dari berubahnya status perusahaan, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan.
Jika perusahaan yang mau relokasi tidak ingin membawa buruh, Sahat mengatakan buruh berhak mendapat pesangon sebesar dua kali ketentuan. “Resiko hukumnya seperti itu,” tukasnya.
Menurut Sahat perusahaan perlu menyediakan fasilitas bagi pekerj yang ikut relokasi seperti tempat tinggal, biaya pindah dan insentif. Itu bisa dilihat sebagai bentuk itikad baik dan keseriusan perusahaan yang ingin melakukan relokasi. Jika perusahaan tidak menyediakan apapun maka itu bisa disebut sebagai moral hazard.
Upah yang diterima pekerja di lokasi baru harus sama dengan yang diterima selama ini. Intinya, tidak boleh merugikan buruh yang ikut relokasi. Untuk pekerja yang baru direkrut oleh perusahaan dengan masa kerja kurang dari setahun dan lajang, acuan besaran upahnya terserah kebijakan perusahaan, yang terpenting tidak dibayar lebih rendah dari upah minimum di daerah yang bersangkutan.
Sahat menjelaskan salah satu perusahaan yang melakukan merger sehingga melakukan relokasi yakni PT Panasonic Lighting Indonesia. Perusahaan elektronik asal Jepang itu relokasi dari Kawasan Industri EJIP Cikarang ke Pasuruan dan Bogor. Pihak perusahaan memberi tawaran kepada pekerja apakah mau ikut relokasi atau PHK.
1 Komentar | Kirim Komentar
BERITA TERKAIT:
Perusahaan Migas Janji Hindari PHK Massal
Ini Paket Kebijakan ESDM Respon Kelesuan Ekonomi
Pemerintah Diminta Sikapi Ancaman PHK Massal


sukristiawan.com:BERHAK PESANGON TOLAK MUTASI LOKASI TEMPAT KERJA LEGAL OPINION

BERHAK PESANGON TOLAK MUTASI LOKASI TEMPAT KERJA
LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apa yang menjadi konsekuensi terburuk dari tidak patuh terhadap perintah perusahaan untuk mengikuti mutasi kerja? Apakah karyawan akan dipecat tanpa hak pesangon karenanya? Menakutkan sekali menolak dimutasi mengakibatkan dipecat tanpa pesangon, sementara pihak pengusaha dapat seenaknya memutasi karyawan. Sebenarnya apakah pekerja wanita dapat dimutasi lokasi tempat kerja oleh perusahaan ke luar daerah?
Brief Answer: Kalangan buruh/pekerja sebenarnya tidak perlu khawatir bila dirinya dimutasi kerja, karena tindakan buruh/pekerja yang menolak mutasi, akan dinilai Majelis Hakim sebagai sebatas pelanggaran indisipliner dengan alasan tidak patuh terhadap perintah atasan, dimana pihak pemberi kerja dapat mem-putus hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja yang menolak mutasi namun tetap diwajibkan pengadilan untuk membayar pesangon serta hak-hak normatif lainnya.
Mengenai dapat atau tidaknya seorang karyawati dimutasi lokasi kerja, disitulah letak “kekosongan hukum” regulasi dibidang ketenagakerjaan. Secara gegabah hukum ketenagakerjaan secara kurang bijak telah “menyama-ratakan” karakter pekerja wanita dengan pekerja pria—dimana dari segi fisik, sosiologis, maupun politis, adalah sukar bagi kaum wanita menerima mutasi lokasi kerja.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Medan perkara hubungan industrial register Nomor 63/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Mdn tanggal 18 Mei 2016, antara:
- PT. JAKARANA TAMA, sebagai Penggugat ; melawan
- NURHASANAH, sebagai Tergugat .
Tergugat merupakan karyawan Penggugat dengan masa kerja hampir 19 tahun. Adapun permasalahan bermula ketika Tergugat menolak melaksanakan mutasi kerja yang diperintahkan Penggugat dari PT. Jakarana Tama Medan (Sumatera Utara) ke PT. Jakarana Tama Ciawi (Jawa Barat), sesuai surat mutasi yang diberikan Penggugat kepada Tergugat, dengan jabatan baru sebagai Checker Packing.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan mutasi dimaksud pihak Penggugat telah menyediakan fasilitas untuk Terggugat, sebagai berikut :
1. Gaji pokok mengikuti upah minimum Kabupaten Bogor ditambah insentif sesuai KPI;
2. Tunjangan tidak tetap sebesar Rp. 750.000,-;
3. Akan diberikan rumah kontrak selama 2 tahun pertama;
4. Diberikan tiket pulang pergi (PP) Medan - Ciawi 1 tahun sekali;
5. Transport pemindahan keluarga dibiayai perusahaan;
Tergugat menyatakan menolak mutasi tersebut, dan mengajukan gugatan balik (rekonvensi ). Tergugat pun sebelumnya telah melaporkan tindakan Penggugat kepada Dinas Sosial Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Medan perihal Pelanggaran Kebebasan Berserikat, dimana Tergugat vokal menyerukan pelanggaran Penggugat atas Upah Minimum Sektoral yang menjadi hak normatif para buruh.
Tergugat yang merupakan ketua serikat pekerja, mengutip ketentuan Pasal 28 Butir (a) UU No. 21 tahun 2000 tentang Pengurus Serikat Buruh:
“Siapapun dilarang menghalangi-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/buruh dengan cara: Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi.”
Penggugat merasa dirinya dicemari nama baiknya karena Tergugat menyampaikan pelanggaran normatif oleh Penggugat terhadap para karyawan dengan membayar upah dibawah Upah Minimum Sektoral. Sementara itu dengan ganjilnya Penggugat merasa bahwa mengenai penggajian karyawan adalah rahasia perusahaan sehingga tidak boleh dibocorkan ke luar perusahaan, alhasil Tergugat mendapat surat peringatan demi surat peringatan.
Memang adalah tugas dan amanah bagi seorang ketua Serikat Pekerja untuk memperjuangkan hak normatif buruh. Adalah ketua Serikat Pekerja boneka yang justru membengkalaikan nasib rekan pekerjanya.
Senyatanya Tergugat hanya mengutarakan fakta nasib para pekerja Penggugat yang diberikan upah jauh dibawah Upah Minimum meski telah belasan tahun bekerja pada Tergugat. Nasib yang dialami para pekerja bukanlah rahasia perusahaan, namun fakta hukum yang dialami para buruh itu sendiri.
Sampai dengan tanggal 30 November 2015, masa kerja Tergugat adalah 18 tahun 8 bulan, dan Tergugat terakhir menerima gaji pokok sebesar Rp2.037.000,-. Jauh dibawah espektasi pekerja manapun.
Terhadap gugatan tersebut, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak sebagaimana tersebut diatas dalam kaitannya satu sama lain yang ternyata bersesuaian Majelis Hakim berpendapat bahwa sengketa Penggugat dengan Tergugat adalah Tergugat di-PHK karena tidak melaksanakan mutasi ke Ciawi, Bogor, Jawa Barat;
“Menimbang, bahwa Tergugat sudah di PHK oleh Penggugat sejak tanggal 30 November 2015, dengan alasan telah melakukan pelanggaran Peraturan Perusahaan dalam hal Menolak Perintah Kerja / Mutasi Kerja ;
“Menimbang, bahwa bukti P-9, berupa surat keputusan pemberhentian Tergugat terhitung pada tanggal 30 November 2015, dinyatakan Diberhentikan karena melakukan Pelanggaran Peraturan Perusahaan berupa menolak perintah kerja / mutasi kerja, Tergugat melakukan pelanggaran peraturan perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 161 ayat (1), (2), maka Tergugat berhak memperoleh uang pesangon sebanyak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4);
“Menimbang, bahwa Tergugat sudah bekerja sejak 10 Maret 1997 sampai dengan 30 November 2015, dengan demikian masa kerja Penggugat adalah 18 tahun 8 bulan, dan terbukti dipersidangan Tergugat melanggar peraturan perusahaan dengan menolak mutasi, dengan demikian dikategorikan pelanggaran indispliner sesuai Pasal 161 ayat (1), (2), (3) dan Tergugat memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3) dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4), UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan perincian sebagai berikut :
Uang Pesangon = 9 x Rp 2.037.000,- = Rp 18.333.000,-
Uang Penghargaan Masa Kerja = 7 x Rp 2.037.000,- = Rp 14.259.000.-
Jumlah = Rp 32.592.000,-
Penggantian Hak = 15% x Rp 32.592.000,- = Rp 4.888.800,- +
Total = Rp 37.480,800.-
“ M E N G A D I L I
DALAM KONPENSI
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Penggugat membayar hak - hak Tergugat berdasarkan Pasal 161 (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara tunai sebesar Rp = Rp 37.480,800,-
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
DALAM REKONPENSI:
“Menolak gugatan Penggugat dalam Rekonpensi untuk seluruhnya.”
SHIETRA & PARTNERS menilai, untuk seorang karyawan/pekerja yang merupakan wanita berumah tangga, adalah tidak tepat bila harus dimutasi ke luar daerah, mengingat tidaklah mungkin mengajak suami dan anaknya untuk turut pindah ke lokasi kerja baru. Sang suami mungkin berkeberatan karena dirinya pun memiliki pekerjaan tetap di tempat tersebut, tidak mungkin akan mengundurkan diri hanya demi ikut pindah dengan sang istri. Bila suami-istri tidak hidup satu atap, maka kendala sosiologis rumah tangga akan tercipta, begitupula terhadap tumbuh-kembang sang anak.
Majelis Hakim seyogianya menilik kasus penolakan mutasi secara kasuistis. Bila pekerja/karyawan yang menolak adalah seorang pria kepala keluarga, sementara sang istri adalah ibu rumah tangga, adalah wajar penolakan sang pekerja akan diberi kompensasi pesangon dengan hitungan 1 (satu) kali ketentuan normal.
Namun SHIETRA & PARTNERS berpendapat, untuk kasus perkara wanita pekerja yang telah berumah tangga, wajib diberi pesangon 2 (dua) kali ketentuan karena perusahaan besar kemungkinan hanya mencari alibi guna mem-PHK sang karyawati—disamping asas kepatutan tentunya, karena seorang wanita bukanlah seorang “ adventurer ” layaknya seorang laki-laki yang tidak terlampau mempermasalahkan hidup pada daerah baru.
Mengapa dalam contoh kasus yang diangkat diatas besar kemungkinan pihak perusahaan hendak mem-PHK sang karyawati? Perhatikan, masa kerja sang karyawati ialah hampir 19 tahun, sementara gaji hanya masih setaraf Upah Minimum Kota. Apakah Anda sudi, dimutasi ke luar pulau dengan upah sebatas UMR?

© Hak Cipta HERY SHIETRA .
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah , Hak Cipta , Hak Moril , dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.


sukristiawan.com:RELOKASI PERUSAHAAN BOLEH ASAL TAAT KETENTUAN

RELOKASI PERUSAHAAN BOLEH ASAL TAAT KETENTUAN
Jul 17, 2018 |
Artikel , JABAR 6 ,
Kontributor,
Nasional ,
SiaranPers ,
Uncategorized | 0
|
Perusahaan dapat melakukan PHK atau mengikutsertakan pekerja untuk relokasi dengan kesepakatan
Relokasi adalah peristiwa perpindahan lokasi suatu perusahaan ke tempat lain karena pertimbangan tertentu. Secara umum, relokasi dilakukan untuk efisiensi. Dalam melakukan relokasi, perusahaan harus benar-benar mencermati ketentuan UU No 7/1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan dan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU No 7/1981 mengatur bahwa perusahaan yang akan pindah, membuka atau menutup usahanya wajib lapor ke Dinas Ketenagakerjaan atau Kementerian Ketenagakerjaan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Perusahaan juga harus menjelaskan alasan pindah, menutup atau membuka usahanya. Untuk relokasi, perusahaan juga harus menjelaskan alasannya perpindahan domisili itu kepada pekerja. Perusahaan wajib melapor ke instansi ketenagakerjaan 30 hari sebelum pindah (relokasi), menutup atau membuka usahanya.
Perusahaan yang melakukan relokasi atau menutup usahanya, tidak boleh meninggalkan persoalan khususnya di bidang ketenagakerjaan. Jika memberi dampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja/buruh, maka pesangon dan penghargaan harus diberikan sesuai ketentuan.
Relokasi menimbulkan dampak bagi pekerja. Misalnya, lokasi perusahaan setelah pindah jaraknya lebih jauh dari rumah pekerja. Sehingga pekerja harus berangkat kerja lebih awal dan pulang ke rumah lebih lama daripada biasanya. UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur kewajiban pengusaha untuk memberi insentif kepada buruh sebagai dampak dari relokasi, tetapi bukan berarti pemberian insentif itu tidak mungkin dilakukan. Kedua pihak dapat mengaturnya dalam Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama atau kesepakatan bersama.
Relokasi pasti memberikan dampak terhadap pekerja dan keluarganya. Jika lokasi pindah masih berada di satu daerah, yang berubah biasanya jarak tempuh sehingga perusahaan perlu juga menyediakan transportasi antar jemput untuk pekerja. Tapi jika perusahaan relokasi ke daerah lain maka perusahaan perlu menyiapkan sarana yang dibutuhkan buruh untuk pindah. Misalnya, perusahaan menyediakan mess atau tempat tinggal dan biaya pindah untuk buruh dan keluarganya.
Namun, tidak semua pekerja mau ikut perusahaan relokasi. Jika itu terjadi maka perusahaan harus melakukan perundingan dengan pekerja bersangkutan. Secara umum UU Ketenagakerjaan mengatur hak-hak apa saja yang bisa diterima pekerja ketika di PHK sebagai dampak perusahaan yang berubah status, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan. Tidak jarang perusahaan yang melakukan relokasi sebagai akibat dari berubahnya status perusahaan, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan. Jika perusahaan yang mau relokasi tidak ingin membawa buruh, maka buruh berhak mendapat pesangon sebesar dua kali ketentuan.
Perusahaan perlu menyediakan fasilitas bagi pekerja yang ikut relokasi seperti tempat tinggal, biaya pindah dan insentif. Itu bisa dilihat sebagai bentuk itikad baik dan keseriusan perusahaan yang ingin melakukan relokasi. Jika perusahaan tidak menyediakan apapun maka itu bisa disebut sebagai moral hazard.
Upah yang diterima pekerja di lokasi baru harus sama dengan yang diterima selama ini. Intinya, tidak boleh merugikan buruh yang ikut relokasi. Untuk pekerja yang baru direkrut oleh perusahaan dengan masa kerja kurang dari setahun dan lajang, acuan besaran upahnya terserah kebijakan perusahaan, yang terpenting tidak dibayar lebih rendah dari upah minimum di daerah yang bersangkutan.
Shanto dari berbagai sumber/Editor
SHARE:
RATE: RELATED POSTS
UANG JAMINAN BAGI PENGGUNA PEKERJA MIGRAN INDONESIA DI SINGAPURA
Mei 13, 2018
DEMO BURUH DI PT NUSA INDOMETAL KABUPATEN TANGERANG
Maret 23, 2018
KECELAKAAN KERJA DI PT BEES FOOTWEAR INC
Agustus 18, 2018
MEMBERSHIP MEETING SPN di JAWA TENGAH
November 24, 2016
Kongres SPN Ke-7 7 Januari 2019 "Pilihan Anda menentukan masa depan SPN" #SerikatPekerjaNasional #SPNNews #BerserikatItuKeren #KitaKerenKarenaSPN KONTRIBUSI KANTOR PUSAT
TOTAL DANA YANG TERKUMPUL
RP.323.602.000
UNTUK LEBIH DETAILNYA KLIK.
BERITA POPULER
"EKA PRASETYA PANCAKARSA”
KEUNTUNGAN & KERUGIAN PEKERJA OUTSOURCING
MEKANISME PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
MEMAHAMI SEMANGAT DARI AD/ART
REKOMENDASI UMK TANGERANG 2019 DISERAHKAN KE GUBERNUR SELASA DEPAN
SISTEM UPAH DI INDONESIA
PENGAWALAN RAPAT PLENO UPAH


Sukristiawan.com:Hak Karyawan yang Terkena Relokasi Perusahaan

Hak Karyawan yang Terkena Relokasi Perusahaan
Kategori:Buruh & Tenaga Kerja
Perusahaan (PT) akan melakukan relokasi ke kabupaten yang berbeda tetapi masih dalam satu provinsi. Dalam Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur secara jelas mengenai relokasi, tetapi hanya menyebutkan istilah 'perubahan status'. Apakah relokasi dapat dikategorikan sebagai 'perubahan status'? karena karyawan yang tidak bersedia ikut relokasi menuntut pesangon sesuai ketentuan Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sementara perusahaan menolak memberikan pesangon. Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Jawaban:
Intisari:
Meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, walau masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili.
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan perubahan status perusahaan.
Lalu apa hak-hak yang didapat karyawan yang terkena relokasi perusahaan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Adapun permasalahan Anda hadapi terkait dengan relokasi yang dilakukan perusahaan apakah termasuk sebagai perubahan status atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui dahulu apa itu relokasi dan perubahan status.
Relokasi (Perubahan Domisili) Perusahaan
Relokasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemindahan tempat. Relokasi terkait perubahan domisili perusahaan diatur dalam
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:
Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.
Oleh karenanya, meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, meskipun masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili.
Jika perusahaan Anda melakukan relokasi, maka harus tunduk pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (“UU 7/1981”) yang berbunyi:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali , memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Lalu dalam Pasal 6 ayat (1) UU 7/1981 dijelaskan lebih lanjut:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau
memindahkan perusahaan.
Perubahan Status Perusahaan
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas .
Sedangkan jika perusahaan Anda merupakan perusahaan BUMN, maka ketentuan perubahan status perusahaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .
Itulah perbedaan relokasi dan perubahan status.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan perubahan status perusahaan.
Selanjutnya, jika perusahaan melakukan relokasi, maka pihak manajemen perusahaan tidak boleh meninggalkan persoalan mengenai tenaga kerjanya.
Relokasi karena Alasan Efisiensi
Relokasi termasuk dalam kategori efisiensi karena salah satu alasan perusahaan untuk melakukan relokasi adalah alasan kemudahan biaya alat-alat produksi. Jika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dalam kaitannya dengan efisiensi , maka perusahaan wajib memberikan hak-hak kepada pekerjanya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , yaitu uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan .
Namun, perlu diingat bahwa jika pengunduran diri dilakukan atas kemauan sendiri, maka berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Anda tidak berhak atas pesangon dan penghargaan masa kerja, namun hanya bisa mendapatkan uang penggantian hak.
PHK Wajib Diupayakan Agar Tidak Terjadi
Selanjutnya, Pasal 151 UU ketenagakerjaan mencantumkan bahwa pemutusan hubungan kerja wajib diupayakan untuk tidak terjadi. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu memiliki serikat pekerja) atau dengan bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu tidak memiliki serikat pekerja). Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan bapak/ibu setelah memperoleh penetapan dari pengadilan hubungan industrial.
Menurut hemat kami, perusahaan dapat memberikan insentif bagi pekerja untuk menunjang kebutuhan yang berkaitan mengenai relokasi. Sayangnya, dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur mengenai kewajiban perusahaan memberikan insentif jika melakukan relokasi, tetapi perusahaan dapat memberikan insentif sesuai dengan Peraturan Perusahaan (“PP”) masing-masing, maupun Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”).
Jika pekerja/buruh tidak mau ikut relokasi, maka hal tersebut dapat dirundingkan dengan pihak pengusaha, atau jika hal tersebut di atur dalam PP atau PKB, maka ketentuan dalam PP atau PKB tersebut lah yang bisa menjadi acuan ketika perusahaan melakukan relokasi.
Namun jika tidak diatur, pekerja bisa menempuh mekanisme perundingan bipartit sesuai ketentuan hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan .
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Ni
Dasar hukum :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas ;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .


Hak Karyawan yang Terkena Relokasi Perusahaan
Kategori:Buruh & Tenaga Kerja
Perusahaan (PT) akan melakukan relokasi ke kabupaten yang berbeda tetapi masih dalam satu provinsi. Dalam Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur secara jelas mengenai relokasi, tetapi hanya menyebutkan istilah 'perubahan status'. Apakah relokasi dapat dikategorikan sebagai 'perubahan status'? karena karyawan yang tidak bersedia ikut relokasi menuntut pesangon sesuai ketentuan Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sementara perusahaan menolak memberikan pesangon. Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Jawaban:
Intisari:
Meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, walau masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili.
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan perubahan status perusahaan.
Lalu apa hak-hak yang didapat karyawan yang terkena relokasi perusahaan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Adapun permasalahan Anda hadapi terkait dengan relokasi yang dilakukan perusahaan apakah termasuk sebagai perubahan status atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui dahulu apa itu relokasi dan perubahan status.
Relokasi (Perubahan Domisili) Perusahaan
Relokasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemindahan tempat. Relokasi terkait perubahan domisili perusahaan diatur dalam
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:
Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.
Oleh karenanya, meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, meskipun masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili.
Jika perusahaan Anda melakukan relokasi, maka harus tunduk pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (“UU 7/1981”) yang berbunyi:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali , memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Lalu dalam Pasal 6 ayat (1) UU 7/1981 dijelaskan lebih lanjut:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau
memindahkan perusahaan.
Perubahan Status Perusahaan
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas .
Sedangkan jika perusahaan Anda merupakan perusahaan BUMN, maka ketentuan perubahan status perusahaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .
Itulah perbedaan relokasi dan perubahan status.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan perubahan status perusahaan.
Selanjutnya, jika perusahaan melakukan relokasi, maka pihak manajemen perusahaan tidak boleh meninggalkan persoalan mengenai tenaga kerjanya.
Relokasi karena Alasan Efisiensi
Relokasi termasuk dalam kategori efisiensi karena salah satu alasan perusahaan untuk melakukan relokasi adalah alasan kemudahan biaya alat-alat produksi. Jika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dalam kaitannya dengan efisiensi , maka perusahaan wajib memberikan hak-hak kepada pekerjanya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , yaitu uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan .
Namun, perlu diingat bahwa jika pengunduran diri dilakukan atas kemauan sendiri, maka berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Anda tidak berhak atas pesangon dan penghargaan masa kerja, namun hanya bisa mendapatkan uang penggantian hak.
PHK Wajib Diupayakan Agar Tidak Terjadi
Selanjutnya, Pasal 151 UU ketenagakerjaan mencantumkan bahwa pemutusan hubungan kerja wajib diupayakan untuk tidak terjadi. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu memiliki serikat pekerja) atau dengan bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu tidak memiliki serikat pekerja). Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan bapak/ibu setelah memperoleh penetapan dari pengadilan hubungan industrial.
Menurut hemat kami, perusahaan dapat memberikan insentif bagi pekerja untuk menunjang kebutuhan yang berkaitan mengenai relokasi. Sayangnya, dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur mengenai kewajiban perusahaan memberikan insentif jika melakukan relokasi, tetapi perusahaan dapat memberikan insentif sesuai dengan Peraturan Perusahaan (“PP”) masing-masing, maupun Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”).
Jika pekerja/buruh tidak mau ikut relokasi, maka hal tersebut dapat dirundingkan dengan pihak pengusaha, atau jika hal tersebut di atur dalam PP atau PKB, maka ketentuan dalam PP atau PKB tersebut lah yang bisa menjadi acuan ketika perusahaan melakukan relokasi.
Namun jika tidak diatur, pekerja bisa menempuh mekanisme perundingan bipartit sesuai ketentuan hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan .
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas ;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .


Sukristiawan.com:Dianggap Mangkir Karena Menolak Relokasi, PHI Perintahkan Bayar Kekurangan Pesangon

Dianggap Mangkir Karena Menolak Relokasi, PHI Perintahkan Bayar Kekurangan Pesangon
Dibaca : 1.237 Kali
Bandung | Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Bandung, Senin (1/2/2016) mengabulkan sebagian gugatan Teguh Imam Santoso, dkk (18 orang), yang menuntut pembayaran uang pesangon terhadap PT. Selectrix Indonesia. Selain itu, mereka juga meminta agar PHI Bandung meletakkan sita jaminan terhadap tanah dan bangunan perusahaan yang berada di Gedebage, Bandung.
Gugatan yang diregister oleh Kepaniteraan PHI Bandung Nomor : 199/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg pada 9 Oktober 2015 lalu itu, didasari pada tindakan perusahaan yang menganggap para pekerja telah mengundurkan diri sejak 15 April 2015, karena menolak dipindahkan dari pabrik yang awal berlokasi di Cikarang Utara, Bekasi ke Gedebage, Bandung. Sedangkan perusahaan menganggap kewajibannya telah tidak ada lagi. Sebab, pada tanggal 1 Agustus 2015, perusahaan telah melakukan pembayaran uang pisah melalui transfer bank kepada seluruh pekerja yang mengajukan gugatan.
Terhadap alasan keduanya, Majelis Hakim PHI Bandung berpendapat, bahwa meskipun mutasi merupakan hak perusahaan, tetapi terlebih dahulu harus diperhitungkan secara matang mengenai posisi pekerjaan dan lokasi perusahaan. Dalam hal tersebut, perusahaan harus berpedoman pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 150/Kep/2000, yang mengatur tentang akibat hukum dari pekerja yang tidak bersedia iktu bekerja ditempat yang baru.
“Menimbang, bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada para Penggugat dengan berdasarkan kepada Pasal 168 UU No. 13 Tahun 2003 tidak tepat, sehingga harus dinyatakan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku,” tandas Hakim Wasdi Permana selaku Ketua Majelis Hakim. Lebih lanjut ia menyatakan, “Bahwa karena pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada para Penggugat tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, oleh karena para Penggugat nyata-nyata tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan Tergugat di lokasi kerja baru di Kota Bandung maka cukup alasan apabila hubungan kerja antara para Penggugat dengan Tergugat diakhiri”.
Atas pertimbangan hukum tersebut, Maj elis Hakim menghukum perusahaan untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003, yang setelah dikurangi uang pisah seluruhnya berjumlah sebesar Rp.782,1 juta. Sedangkan terhadap tuntutan sita jaminan, Hakim Wasdi menganggap para pekerja tidak mampu membuktikan menunjukkan bukti-bukti terhadap objek sita sebagai milik perusahaan, sehingga dinyatakan ditolak.
#sukristiawan#


Senin, 05 November 2018

Sukristiawan.com:2019GANTIPRESIDEN ATAU PUNAH* Oleh Insanial Burhamzah, (Koalisi Ummat Madani) *POKOK-POKOK MASALAH*



*#2019GANTIPRESIDEN ATAU PUNAH*
Oleh Insanial Burhamzah, (Koalisi Ummat Madani)

*POKOK-POKOK  MASALAH*

Pilpres 2019 bukan sekedar pergantian Presiden tetapi akan menjadi pertarungan hidup matinya NKRI. Pilpres  2019  adalah pertarungan antara rakyat bangsa ini menghadapi hegemoni China Komunis yang sudah berhasil menempatkan “Boneka”-nya di negeri ini.

Patut diduga bahwa  Pilpres 2019, akan menjadi Pilpres tercuramg yang dipersiapkan secara massive, sistematis dan terstruktur dengan melibatkan hampir semua aparat dan elemen bangsa ini. Apalagi didukung dana besar  sumbangan dari China Komunis dan para Taipan serta hasil korupsi proyek APBN dan Hutang Negara.

Persoalan yang kita hadapi adalah ada sebagian tokoh politik, organisasi Islam  dan bahkan ber label ulama mau pasang badan untuk rezim yang memiliki agenda sistematis dan massiv untuk  melumpuhkan Islam di negeri ini.

Sadar atau tidak sadar, mereka yang telah mendukung rezim yang sudah memberikan kedaulatan bangsa ini pada China Komunis itu, akan dicatat sebagai  pengkhianat bangsa ini.

Mereka yang mendukung rezim ini terdiri dari yang paham dan tidak paham keadaan bangsa ini. Yang paham, mungkin karena diberi kedudukan atau pemenuhan sahwat duniawi di zona aman, sehingga  hilang logika sehatnya, tipe seperti ini bagaikan *“Katak Rebus”* .  Sementara yang gagal paham adalah mereka yang pada umumnya terkena *“Stockholm Syndrome”.*

*INDIKASINYA*

Bangsa ini terpaksa menanggung beban kehampaan dan kenestapaannya, atas proses *“Devide et Impera”* atau di adu domba oleh _*konspirasi global*_ yang telah berhasil melancarkan *Asymmetric War* nya,  guna melemahkan persatuan dan kedaulatan rakyat bangsa. Sehingga, fondasi ekonomi bangsa ini yang  dulunya mencapai 16% adalah pernah menjadi terkuat di ASEAN, namun  saat ini GDP Indonesia hanya tinggal 10% sementara Thailand 19%, hal  ini dipastikan semakin tidak berdaya lagi, ditengh gelombang krisis keuangan global ke dua, yang lebih berbahaya dari  krisis keuangan keuangan global tahun 2008 lalu. Diperparah lagi oleh pelaksanaan penegakan hukum yang semakin jauh dari rasa keadilan rakyat bangsa ini.

Akhirnya pembangunan Politik Indonesia semakin mengarah pada perpecahan bangsa dan puncaknya sejak pada tahun 2014. Apakah kata NKRI dan Pancasila ini masih tetap memiliki makna ?  

Tertangkapnya ratusan ton Narkoba yang masuk ke Indonesia patut diduga hanya puncak gunung es dari yang telah masuk di Indonesia. Sementara yang telah kecanduan sepanjang tahun 2017, BNN telah mengungkap 46.537 kasus narkoba di seluruh wilayah Indonesia.

Seorang dokter rekan kami memperkirakan Indonesia ada 8 juta pengguna (narkoba), 1,2 juta pengguna (narkoba) ada di Jakarta. Sementara kapasitas rehabilitasi pemerintah, hanya 12 ribu orang per tahun. Bisa dibayangkan berapa puluh tahun waktu diperlukan untuk merawat kondisi saat ini.

Angka *Incremental Capital Output Ratio (ICOR)* kita adalah 6.0 yang semestinya hanya 2.0. Ini angka darurat. Sepanjang rezim Soeharto, angka ICOR tertinggi adalah 3.0 akibat korupsi, ekonomi rente dan oligopoli. Di rezim Jokowi terus naik menjadi 6.0, atau 60% kebocoran pembangunan. Artinya korupsinya dan rentenya naik dua kali lipat dibanding Orde Baru. Sayangnya KPK, seakan menutup mata terhadap indikasi ini.

Untuk membayar gaji pegawai negeri pada tahun 2018, Mentri keuangan akan melakukan pinjaman dana lagi pd bank dunia sebesar 28 milyar USD. Sementara, tenaga kerja China bukan saja menjadi ancaman lapangan kerja nasional, tetapi semakin menguat dugaan bahwa kehadiran tenaga kerja yang semakin dimudahkan dalam jumlah tidak terbatas di Indonesia bukan tidak mungkin adalah sudah menjadi ancaman terhadap pertahanan territorial yang  dipersiapkan secara sistematis. 

Sementara itu, menurut sumber yang terpecaya untuk mempertahankan NKRI jika terjadi serangan militer, maka Hankam memprediksi logistic TNI hanya mampu bertahan tidak lebih dari 3 hari saja. Belum lagi logistic nasional (Pangan, Papan dan lainnya) dibuat semakin  tergantung dengan impor.

Belum lagi pasokan TKA China yang sudah tedak dapat terukur dan ridak dapat dikendalikan lagi

Melihat fakta diatas sangat naif jika masih ada elit bangsa yang tidak paham dan masih mau membela rezim yang telah memposisikan bangsa ini berada di tepi kepunahannya. 

*KONFLIK GEO-POLITIK GLOBAL*

Streotype NKRI justru mengalami paradoks. Kini fenomena NKRI berada ditepi kepunahannya. Bahkan, jika semua pihak mau jujur pada  fakta yang ada saat ini, kepunahan bangsa ini tidak perlu menunggu tahun 2030 lagi, sebagaimana prediksi novel *“ghost fleet”*, sebab hampir disemua sendi pilar ketahanan nasional  kita sudah mengalalami “disability” untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI. Dalam bidang kesejahteraan dan kesehatan enam bulan lalu bank dunia telah mengeluarkan pernyataan bahwa 37 % anak anak indonesia mengalami gizi buruk.

Kita memang belum tentu bersepakat bahwa persaingan global Amerika Serikat (AS) versus Cina di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, akan mengarah pada konflik bersenjata sebagaimana diprediksi oleh *Dr Samuel Huntington* pada dekade 1990-an. Namun ada satu tren global yang saat ini tak terbantahkan: Persaingan global antar negara-negara adidaya, yaitu antara AS versus Cina-Rusia, telah bergeser dari kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, ke kawasan Asia Pasifik. Artinya, Asia Pasifik akan menjadi “Medan Perang” baru berbaga kepentingan negara-negara adidaya. Sehingga Indonesia, otomatis juga akan menjadi “Sasaran Arena Pertarungan” berbagai negara-negara adidaya, melalui perang Asymetris.

Sasaran perang asimetris ini ada tiga: (1) _membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme_, (2) _melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat,_ dan (3) _menghancurkan food security [ketahanan pangan] dan energy security (jaminan pasokan dan ketahanan energy) sebuah bangsa_, selanjutnya _”menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal food and energy security”._

Masalah krusial yang dihadapi Cina dalam pertarungan global dengan AS di kawasan ini adalah, Konfigurasi perairannya baik di Laut Cina Selatan maupun Laut Cina Timur sangatlah mudah diblokade pihak luar. Laut Cina Timur contohnya, terbentang di antara wilayah Korea, Jepang dan Taiwan, sedangkan Laut Cina Selatan pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia dan Singapura.

Keprihatinan besar Beijing hingga kini adalah rencana blokade oleh AS di Laut Cina yang niscaya akan berdampak langsung terhadap perekonomian secara menyeluruh apabila hal itu terjadi.

*Oleh karena itu kami ingatkan bahwa bahaya laten imperialis China Komunis bukan isapan jempol, mereka bisa hadir dalam berbagai bentuk.*

Sudah waktunya kita semua melek mata dan hati untuk tidak dibohongi oleh pencitraan jahat rezim ini.

*KATAK REBUS*

Friederich Goltz pernah melakukan penelitian tentang ‘katak rebus’, katak yang direbus. Ini bukan masak-memasak melainkan sebuah penelitian yang menguji sikap katak menghadapi perubahan lingkungan. Sederhananya seperti ini:

Awalnya katak dimasukkan ke dalam air panas yang mendidih. Tentu saja katak melompat karena kepanasan.

Akan tetapi ketika air itu diganti dengan air biasa/dingin dan ditaruh di atas kompor yang menyala; katak pun bersedia masuk ke dalam air tersebut karena belum panas. Nampaknya si katak merasa nyaman dengan kondisi air yang demikian.

Waktu berjalan, api kompor tetap menyala memanasi air, dan suhu air semakin lama semakin naik.

Air terasa hangat, dan si katak masih nyaman berendam di dalamnya merasakan kehangatan. Ia tidak sadar bahwa suhu air semakin panas. Hingga air itu mendidih, si katak tetap tidak keluar dari air, karena ia telah mati kepanasan sebagai Katak Rebus. Sekali lagi ia tidak menyadari hal itu.

Bisa jadi MEREKA YANG MENDUKUNG REZIM INI  seperti katak rebus, nyaman dengan kondisi yang ada saat ini, dan tidak menyadari perubahan di sekitar. *Dimana, China Konunis terus melancarkan Perang Asymetris melalui Devide Et Impera, atau adu domba,* dan tanpa kita sadari China sudah berhasil menancapkan kukunya, melalui  pemimpin Boneka-nya yg mereka dukung bersama para Taipan dan Islam munafiq di negeri ini.

Jika kita menganggap bahwa perubahan lingkungan itu biasa-biasa saja dan kita tidak peka; maka kita akan kalah bahkan mati, seperti Katak yg di rebus

Dan taruhannya NKRI akan hilang dan lenyap ditelan Naga yg sdh berubah menjadi Predator itu.

* TERJEBAK STOCHHOLM SYNDROME*

Lebih lima puluh tahun yang lalu, Tepanya pada pagi tanggal 23 Agustus 1973 lalu. seorang narapidana merampok  *Sveriges Kreditbanken* , di alun-alun Norrmalmstorg di Stockholm. Dari balik jaket lipat yang dibawanya ke dalam pelukannya, Jan-Erik Olsson nama perampiknya menarik senapan mesin ringan, menembaki langit-langit dan, menyamarkan suaranya terdengar seperti orang Amerika, berteriak dalam bahasa Inggris, "Pesta baru saja dimulai!" dan menyandera orang yang berada didalam.

Anehnya para tawanan membentuk ikatan solididaritas dengan para penculik mereka. Dan membela para perampok bank itu. Keterikatan para sandera yang tampaknya tidak rasional terhadap penangkap mereka membingungkan publik dan polisi, yang bahkan menyelidiki apakah Enmark telah merencanakan perampokan dengan Olofsson. Para tawanan juga bingung. Sehari setelah pembebasannya, Oldgren bertanya pada seorang psikiater, “Apakah ada yang salah dengan saya? Mengapa saya tidak membenci mereka? ”Psikiater membandingkant perilaku.

*Stochholm Syndrome* sepertinya telah melanda sebagian elit dan rakyat bangsa ini, sehingga mereka kehilangan logika sehatnya. Sebab, mereka lebih memilih untuk  membantu para musuh yang menyandera bangsanya sendiri. Oleh karenyanya diperlukan psikiateruntuk  theraphy massive, systematic guna menyadarkan anak bangsa yang tersesat itu.

*PENUTUP*

Suka atau tidak suka, situa sosial politik/hukum dan kondisi ekonomi negeri ini sudah semakin tidak terkendali. Patut diduga bahwa *kedaulatan negara dan bangsa sudah dibawah kendali asing melalui tangan-tangan jahil  boneka / Komprador yang menjadi pengkhianat bangsanya sendiri*.  Sehingga, Rakyat Indonesia yang mayoritas Islam menjadi semakin resah akibat di-diskriminasi baik ekonomi maupun hukum dan di tindas secara anarkis.   Bahkan, kalangan yang menyebut dirinya  _”Silent Majority”_ yang mndukung petahana telah mengeksploitasi ketegangan-ketegangan yang ada dalam segmen kecil, namun mereka didukung *media mainstream dan dana yang besar*, sehingga mereka terkesan minoritas kuat rakyat bangsa ini.

Dilain pihak, *sebagian dari kita hanya bisa mengedepankan issu-issu perbedaan bukan membangun persamaan-persamaan kita,* dan kita hanya mencari kesalahan-kesalah sema Ummat, bukan mencari kebaikan yang dapat mempererat silaturahim sesama ummat.  Sementara *penyelesaian masalah bangsa ini hanya bisa kita atasi melalui terbangunnya Koalisi Ummat yang kokoh, kuat dan berdaya juang tinggi*.

*Selama penyakit *Katak Rebus, dan Stochholm Syndrome* masih ada,  maka hubungan antara anak bangsa ini ditentukan oleh ego sectoral, ego Partai dan ego golongan, maka kita hanya akan memperkuat boneka asing yang telah menyebarkan kebencian bukan perdamaian di negei ini. Mereka yang mempromosikan konflik bukan kerja sama yang dapat membantu semua rakyat kita mencapai keadilan dan kemakmuran. Saatnya ego primordial tidak menjadi lingkaran kecurigaan dan permusuhan diantara ummat, kila kita imgin #2019Ganti Presiden, bisa terwujud*

Kita harus bicara dan  melakukan  berdasarkan nilai-nilai kebenaran yang lahir dari semangat merajut persamaan kebangsaan dan ummat. Sebab *kepentingan yang sama-sama kita miliki sebagai ummat merdeka jauh lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan yang ingin memisahkan kita. dan kekalahan kita pada Pilpres 2019 adalah kekalahan kita bersama, namun sebaliknya kemenangan kita pada Pilpres 2019 adalah kemenangan kita bersama pula.*

Oleh karenanya, kita tidak dapat bertindak gegabah mendukung tokoh yang tidak mendapat legitimasi ummat, guna menghadapi Petahana. Sebab, taruhannya adalah punahnya NKRI. Dan yang dapat merajut koalisi ummat saat ini adalah hanya tokoh yang lahir dan dibesarkan oleh  ummat, yang memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan ummat Islam.


sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...