Jumat, 15 Maret 2019

sukristiawan.com:Tahap menghadapi mutasi dari perusahaan.

Istri saya bekerja di sebuah PT di daerah Cikembar, dan sekarang akan dipindah ke PT yang sama di daerahCimangkok. Karena domisili yang jauh, istri saya keberatan, dan untuk transportasi juga bertambah biaya. Apakah boleh istri saya menolak untuk dipindah, dan langkah apa yang harus ditempuh apabila perusahan melakukan pemindahan secara sepihak? Terima kasih.

Punya pertanyaan lain ?

Silakan Login, atau Daftar ID anda.

Kirim Pertanyaan 

Jawaban

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 

Intisari:

 

 

Istri Anda harus melihat kembali ketentuan dalam Peraturan Perusahaan ("PP") tempat ia bekerja atau perjanjian kerja ia dengan perusahaan. Jika memang menolak mutasi dikualifikasikan sebagai “menolak perintah kerja”, atau melanggar perintah kerja, konsekuensinya adalah istri Anda dianggap melanggar PP atau perjanjian kerja.

 

Akan tetapi jika mengenai mutasi tidak diatur dalam PP atau perjanjian kerja, maka istri Anda dapat menolak untuk dimutasi. Demikian juga konsekuensi lainnya, istri Anda mempunyai hak memohon pengakhiran hubungan kerja (PHK) alasan telah diperintahkan untuk bekerja di luar dari pekerjaan yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja.

 

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

 

 

 

Ulasan:

 

Prinsip Penempatan Kerja (Mutasi) Menurut Undang-undang

Mutasi atau penempatan pekerja ke tempat lain harus memperhatikan berlakunya Pasal 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”):

 

(1)  Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.

(2)  Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.

(3)  Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.

 

Serupa dengan apa yang pernah dijelaskan dalam artikelBolehkah Karyawan Menolak Penempatan Kerja/Mutasi?, seandainya benar perusahaan akan melakukan mutasi dan istri Anda ingin menolak mutasi tersebut, istri Anda harus melihat kembali ketentuan dalam Peraturan Perusahaan ("PP") atau perjanjian kerja istri Anda dengan perusahaan. Jika memang menolak mutasi dikualifikasikan sebagai “menolak perintah kerja”, atau melanggar perjanjian kerja, konsekuensinya adalah istri Anda dianggap melanggar PP atau perjanjian kerja dan dapat digugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”).

 

Langkah yang Dapat Dilakukan 

Namun, sebelumnya istri Anda dapat mengupayakan cara kekeluargaan dengan menyampaikan latar belakang dari keberatan istri Anda untuk dimutasikan ke tempat lain karena alasan biaya transportasi yang besar. Upaya awal yang dapat Anda lakukan adalah melalui perundingan bipartit.

 

Jika istri Anda keberatan dimutasi karena alasan bertambah besarnya biaya transportasi, istri Anda dapat mengajukan keberatan atau setidaknya meminta dipenuhinya hak istri Anda seperti penambahan uang transportasi. Hal ini karena sudah menjadi kewajiban pemberi kerja dalam penempatan kerja untuk memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.[1]

 

Berkaitan dengan apa yang Anda sampaikan, di Hukumonline pernah ada berita berjudul Menolak Mutasi Berarti Menolak Perintah Kerja. Di dalam berita tersebut diceritakan soal seorang pekerja (Bambang Prakoso) yang diputus hubungan kerjanya (di-PHK) oleh Bank Mega karena menolak mutasi. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta mengabulkan gugatan PHK yang dilayangkan Bank Mega terhadap Bambang Prakoso gara-gara menolak mutasi. Hakim menganggap, menolak mutasi sama dengan menolak perintah kerja. Sehingga tindakan Bambang dapat dikualifikasi mengundurkan diri sesuai Pasal 168 UU Ketenagakerjaan.

 

Jika melihat dari putusan hakim di atas, menurut hemat kami, konsekuensinya, tidak ada istilah dimutasi secara sepihak. Hal ini karena sifat mutasi itu yang merupakanperintah perusahaan dan hubungan kerja itu terdiri dariunsur pekerjaan, upah, dan perintah.[2] Jika istri Anda keberatan dimutasi karena alasan bertambah besarnya biaya transportasi, istri Anda dapat mengajukan keberatan atau setidaknya meminta dipenuhinya hak istri Anda seperti penambahan uang transportasi.

 

Melakukan Pekerjaan di Luar yang Diperjanjikan

Namun, pendapat berbeda disampaikan oleh Umar Kasim dalam artikel Bolehkah Pengusaha Merotasi Karyawan Secara Sepihak?. Menurut Umar, sah-sah saja penolakan mutasi asalkan memang sebelumnya tidak ada klausul penyimpangan dalam perjanjian kerja berkenaan mutasi itu. Bilamana pengusaha memaksa melakukan mutasi tanpa adanya persetujuan pihak lainnya (karyawan), maka menurut Umar, kemungkinan yang bisa terjadi, antara lain adalah bahwa pelaksanaan mutasi (tanpa kesepakatan) dapat diartikan sebagai pengusaha telah memerintahkan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, sementara karyawan hanya bersedia bekerja sesuai dengan isi perjanjian kerja.[3]

 

Konsekuensinya, lebih lanjut menurut Umar, jika karyawan menolak, bisa menjadi perselisihan hak (norma) bilamana karyawan tetap bertahan pada pendiriannya. Demikian juga konsekuensi lainnya, karyawan mempunyai hak memohon pengakhiran hubungan kerja (PHK) sesuai dengan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan dengan alasan karyawan telah diperintahkan untuk bekerja di luar dari pekerjaan yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja.

 

Jika istri Anda bekerja di luar yang diperjanjikan akibat mutasi, karena diatur di dalam PP, Perjanjian Kerja, atau Perjanjian Kerja Bersama, maka apabila ada perselisihan di antara buruh dan pengusaha mengenai mutasi sepihak, perselisihan tersebut termasuk dalam perselisihan hak.

 

Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[4]

 

Soal langkah hukum, Anda sebagai pekerja dapat menempuh upaya bipatrit, yaitu membicarakan secara musyawarah terlebih dahulu mengenai masalah ini antara pengusaha dan pekerja.[5]

 

Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lambat 30 hari sejak tanggal dimulainya perundingan.[6] Apabila perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempatdengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[7]

 

Nantinya, pekerja dan pengusaha ditawarkan upaya penyelesaian perselisihan. Untuk perselisihan hak, upaya penyelesaian perselisihan yang dapat dipilih salah satunya adalah Mediasi Hubungan Industrial.

 

Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaianperselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.[8]

 

Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[9]Namun kami tetap menekankan agar istri Anda dan pengusaha dapat mengedepankan upaya perdamaian.

 

Oleh karena itu, istri Anda sebaiknya mencermati isi dari PP atau perjanjian kerja di kantornya untuk bisa menyimpulkan apakah mutasi itu memang perintah perusahaan yang wajib ia taati atau mutasi itu diputuskan di luar perjanjian sehingga istri Anda berhak menolak.

 

Contoh Kasus

Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 698 K/Pdt.Sus/2012. Pemohon Kasasi/Penggugat di sini adalah seorang karyawan yang telah melaksanakan kewajibannya dengan baik selama bertahun-tahun pada perusahaan (Termohon Kasasi/Tergugat), namun timbul perselisihan antara keduanya karena adanya mutasi yang dilakukan secara sepihak tanpa adanya penilaian dan kriteria ada kesalahan penggugat apa.  Tiba-tiba perusahaan melakukan mutasi karena pekerja sering tidak masuk kerja karena sakit yang dibuktikan surat keterangan.

 

Pekerja dimutasi pada bagian kebersihan dengan menarik gerobak terbuat dari besi yang awalnya pekerjaan itu dilakukan biasanya dengan 5 orang dengan dibantu seorang tenaga kerja pria yang kemudian dikurangi oleh Tergugat hanya 3 orang karyawati saja. Kemudian tanpa diawali adanya teguran, pemberitahuan sama sekali karena Penggugat karena sering

tidak masuk karena benar-benar sakit, ia dimutasi sepihak dan diskorsing.

 

Atas hal-hal di atas, pekerja tidak keberatan untuk diputus hubungan kerjanya. Akhirnya, Hakim menyatakan bahwa Tergugat melanggar UU Ketenagakerjaan. Hakim juga menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat putus, menghukum Tergugat membayar hak-hak Penggugat sebesar Rp 30.553.200,00 (tiga puluh juta lima ratus lima puluh tiga ribu dua ratus Rupiah), dan menghukum Tergugat membayar upah skorsing kepada Penggugat.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

1.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

2.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
#sukristiawan.com
 

Putusan:

Putusan Mahkamah Agung Nomor 698 K/Pdt.Sus/2012.


Rabu, 13 Maret 2019

sukristiawan.com:RELOKASI PERUSAHAAN BOLEH ASAL TAAT KETENTUAN

RELOKASI PERUSAHAAN BOLEH ASAL TAAT KETENTUAN

 

 

 

 

 

Perusahaan dapat melakukan PHK atau mengikutsertakan pekerja untuk relokasi dengan kesepakatan

Relokasi adalah peristiwa perpindahan lokasi suatu perusahaan ke tempat lain karena pertimbangan tertentu. Secara umum, relokasi dilakukan untuk efisiensi. Dalam melakukan relokasi, perusahaan harus benar-benar mencermati ketentuan UU No 7/1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan dan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

UU No 7/1981 mengatur bahwa perusahaan yang akan pindah, membuka atau menutup usahanya wajib lapor ke Dinas Ketenagakerjaan atau Kementerian Ketenagakerjaan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Perusahaan juga harus menjelaskan alasan pindah, menutup atau membuka usahanya. Untuk relokasi, perusahaan juga harus menjelaskan alasannya perpindahan domisili itu kepada pekerja. Perusahaan wajib melapor ke instansi ketenagakerjaan 30 hari sebelum pindah (relokasi), menutup atau membuka usahanya.

Perusahaan yang melakukan relokasi atau menutup usahanya, tidak boleh meninggalkan persoalan khususnya di bidang ketenagakerjaan. Jika memberi dampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja/buruh, maka pesangon dan penghargaan harus diberikan sesuai ketentuan.

Relokasi menimbulkan dampak bagi pekerja. Misalnya, lokasi perusahaan setelah pindah jaraknya lebih jauh dari rumah pekerja. Sehingga pekerja harus berangkat kerja lebih awal dan pulang ke rumah lebih lama daripada biasanya. UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur kewajiban pengusaha untuk memberi insentif kepada buruh sebagai dampak dari relokasi, tetapi bukan berarti pemberian insentif itu tidak mungkin dilakukan. Kedua pihak dapat mengaturnya dalam Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama atau kesepakatan bersama.

Relokasi pasti memberikan dampak terhadap pekerja dan keluarganya. Jika lokasi pindah masih berada di satu daerah, yang berubah biasanya jarak tempuh sehingga perusahaan perlu juga menyediakan transportasi antar jemput untuk pekerja. Tapi jika perusahaan relokasi ke daerah lain maka perusahaan perlu menyiapkan sarana yang dibutuhkan buruh untuk pindah. Misalnya, perusahaan menyediakan mess atau tempat tinggal dan biaya pindah untuk buruh dan keluarganya.
Namun, tidak semua pekerja mau ikut perusahaan relokasi. Jika itu terjadi maka perusahaan harus melakukan perundingan dengan pekerja bersangkutan. Secara umum UU Ketenagakerjaan mengatur hak-hak apa saja yang bisa diterima pekerja ketika di PHK sebagai dampak perusahaan yang berubah status, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan. Tidak jarang perusahaan yang melakukan relokasi sebagai akibat dari berubahnya status perusahaan, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan. Jika perusahaan yang mau relokasi tidak ingin membawa buruh, maka buruh berhak mendapat pesangon sebesar dua kali ketentuan.

Perusahaan perlu menyediakan fasilitas bagi pekerja yang ikut relokasi seperti tempat tinggal, biaya pindah dan insentif. Itu bisa dilihat sebagai bentuk itikad baik dan keseriusan perusahaan yang ingin melakukan relokasi. Jika perusahaan tidak menyediakan apapun maka itu bisa disebut sebagai moral hazard.

Upah yang diterima pekerja di lokasi baru harus sama dengan yang diterima selama ini. Intinya, tidak boleh merugikan buruh yang ikut relokasi. Untuk pekerja yang baru direkrut oleh perusahaan dengan masa kerja kurang dari setahun dan lajang, acuan besaran upahnya terserah kebijakan perusahaan, yang terpenting tidak dibayar lebih rendah dari upah minimum di daerah yang bersangkutan.

#sukristiawan.com

   


sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...