Rabu, 07 Oktober 2020

sukristiawan.com:Revolusi Bisa Terjadi Apabila Terjadi gejolak sosial.

Revolusi Bisa Terjadi Apabila Apabila gejolak sosial.
Revolusi adalah perubahan sosial yang menggantikan struktur sosial, struktur politik dan ekonomi serta kadangkala struktur budaya masyarakat atau peradaban. Perubahan ini umumnya diwarnai dengan kepemimpinan perubahan yang kuat dan perlawanan yang terorganisasi serta acapkali dengan kekerasan.

Pembicaraan tentang revolusi ini perlu kita kaji mengingat 5 hal atau situasi sebagai berikut:

1) Gerakan mahasiswa dan buruh sebagai garda terdepan telah memenuhi jalan jalan sepanjang beberapa hari ini.

2) Gerakan Islam dan khususnya yang di bawah komando Habib Rizieq (HRS) telah mengepung terus ibukota, dengan tema Pancasila dan Kembalikan Habib Rizieq.

3) Pernyataan Guru Besar UGM, yang terkenal dengan isu pemerintahan bersih, Professor Zainal Mochtar telah menyerukan adanya pembangkangan sipil atas situasi sosial paska pengesahan UU Omnibus Law kemarin.

4) Adanya spirit kebangkitan purnawirawan militer untuk mewarnai perubahan sosial melalui jalur gerakan masyarakat sipil.

5) Adanya respon negatif ormas Islam terbesar NU dan Muhammadiyah terhadap pemerintah dalam kasus Pilkada. Serta kaum ulama pada isu RUU HIP.

Tentu banyak fenomena sosial lainnya belakangan ini yang dapat dilihat sebagai fenomena penting dalam menganalisa situasi yang ada. Antara lain kegagalan pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19, administrasi negara yang melemah karena transformasi digital yang gagal dan ekenomi semakin memburuk.

Lalu mengapa perlu menganalisa revolusi itu?

Pentingnya melakukan analisa atas hal ini karena jika revolusi datang pada sebuah bangsa, namun gagal di "bimbing", yang terjadi biasanya adalah kehancuran bangsa, seperti kasus kasus kegagalan revolusi di Afganistan, Filipina terkait penggulingan Ferdinan Marcos dan beberapa di Amerika latin.

Sebaliknya, Revolusi Bolshevik di Rusia, Revolusi di Iran, Revolusi di China, umpamanya, karena terarah dan terbimbing, bangsa tersebut terselamatkan.

Sebab-Sebab Revolusi

Ilmu sosial telah melahirkan berbagai teori tentang revolusi, baik mencari sebab sebab munculnya revolusi maupun sejarah revolusi. Sebab sebab revolusi dikaji oleh ahli ahli sosiologi, seperti Skocpol, dalam bukunya "State and Social Revolution", 1979, yang membandingkan revolusi Prancis, China dan Rusia.

Sebagai seorang strukturalis fungsional, Skocpol melihat pergeseran equilibrium sebuah masyarakat yang terguncang (disequlibrium) akibat ada kemerosotan eksistensi negara dan pemberontakan petani di 3 negara yang dia bandingkan. Namun, kaum strukturalis, baik Marxis maupun fungsional, kurang memberi perhatian pada analisa agensi atau tokoh maupun ideologi gerakan. Sosiolog dan historian lainya, banyak yang juga melihat peranan ideologi, organsisasi aksi dan peranan tokoh dalam sebuah revolusi dan sebab sebabnya.

Sebab sebab revolusi dalam teori kenabian umumnya dikaitkan dengan adanya bala atau bencana yang ditimpakan kekuatan ilahiah pada sebuah rezim dan masyarakatnya serta munculnya seorang pemimpin yang membawa perubahan peradaban.

Melihat berbagai spektrum pemikiran dan analisa, secara umum sebuah revolusi itu terjadi karena adanya 1) Meluasnya kekecewaan rakyat atas rezim yang berkuasa, 2) Terjadinya kooptasi negara dengan melakukan politik tirani dan berbagi kekuasaan dengan kaum oligarki modal, 3) Terjadi kemerosotan peran dan eksistensi negara akibat perang atau wabah ataupun keuangan negara, 4) munculnya tokoh2 revolusioner, 5) adanya ideologi yang mempersatukan gerakan perlawanan.

Meluasnya kekecewaan rakyat Indonesia saat ini sudah meluas dan mendalam. Meluas itu terbukti dari kecaman dua ormas besar agama Islam atas sikap pemerintah yang mengorbankan nasib rakyat ditengah pandemi Covid-19 demi mendorong pilkada. Di luar NU dan Muhammadiyah sesungguhnya hampir seluruh kekuatan masyarakat sudah menyatakan menolak pilkada. Apalagi sinyalamen Pilkada 92% dibiayai cukong2 diumumkam sendiri oleh tokoh sentral pemerintahan, yakni Menkopolhukam.

Kekecewaan dalam spektrum lainnya adalah kekecewaan buruh yang menolak UU Omnibus Law. Buruh sebagai kekuatan rakyat di perkotaan dan semi urban melihat bahwa pemaksaan secara cepat legalisasi UU ini adalah simbol kesombong rezim dan kaum kapitalis untuk mengekploitasi nasib mereka. Vis a vis secara kepentingan. Yang menariknya adalah di luar buruh, kelompok2 identitas, intelektual dan lingkungan ikut mengecam UU Omnibus ini, seperti mahasiswa, kalangan dosen, ulama, masyarakat sipil lainnya, pecinta lingkungan, masyarakat adat dan terakhir lembaga2 pro lingkungan hidup internasional.

Selain itu, kekecewaan masyarakat terjadi karena kegagalan pemerintah menangani pandemi. Meskipun pemerintah beralibi telah menangani dengan baik, dengan membandingkan hasil faktual antar negara, namun rakyat sudah sedemikian jauh mengalami frustasi sosial dan kemerosotan hidup selama 8 bulan pandemi ini.

Krisis kepercayaan meluas dan dalam kepada pemerintah akibat adanya ketertutupan pemerintah soal pandemi ini di masa awal, serta kegagalan dalam mengontrol penyebaran pandemi pada masa nasa yang disebut "golden time". Disamping publik melihat arogansi pemerintah  dalam masa masa awal menyepelekan isu Covid-19 ini.

Banyak lagi berbagai kekecewaan masyarakat yang muncul. Khususnya, kekecewaan ummat Islam dan eks militer atas isu di seputar bangkitnya Komunisme. Dan klaim bahwa mayoritas masyarakat kecewa dengan Jokowi sudah pasti mempunyai landasan analitis.

Dalam hal kooptasi negara atas semua kekuatan yang ada ditunjukkan dengan upaya cepat pemerintah memberlakukan perpu corona, kemudian menjadi UU Corona No. 1/2020, yang intinya pemusatan kekuasaan secara hampir mutlak pada pemerintah. Pada saat Jokowi mengkritik menteri menterinya yang dianggap gagal bekerja ekstra ordinary, setelah 3 bulan pandemi, Jokowi mengobral akan membuat Perpu Corona lainnya jika dianggap kurang dalam konsolidasi power. Ini menunjukkan sistem politik kita yang membagi kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta pemeriksaan keuangan independen, terdistorsi.

Bahkan terakhir adalah upaya rezim Jokowi membuat Dewan Moneter untuk mengendalikan Bank Sentral, yang selama ini independen, dibawah kontrol pemerintah.

Pemusatan kekuasaan ditangan Jokowi dan rezimnya bersamaan dengan rencana RUU HIP dan UU Omnibus Law. RUU HIP adalah upaya pemusatan tafsir ideologis atas Pancasila. Dengan genggaman itu maka pemerintah mempunyai alat pembungkaman lawan-lawan politik secara legal. Sedangkan Omnibus Law, yang luas ditentang saat ini, adalah upaya pemerintah membagi kesenangan kepada kaum kapitalis dan oligari modal.

Dalam tafsir pemikiran Marxian, model negara seperti ini adalah negara proxy kapitalis, bukan sebuah negara ala Weberian atau ala Leviathan Hobbes yang melihat adanya eksistensi negara.

Tafsir Marxian memperlihatkan bahwa cita cita Jokowi dengan Revolusi Mental yang ke kiri2an hanyalah seperti "violin Obama", sebuah term yang pernah dituduhkam pada Obama, berpura2 kiri tapi faktanya kapitalis habis.

Namun, perjalan situasi saat ini tidak menguntungkan rezim Jokowi. Krisis pandemi Covid-19 telah menghancurkan negara baik ekonomi maupun sektor kesehatan. Ekonomi mengalami krisis dan depresi tanpa jalan keluar. Harapan bantuan "teman baik" RRC tidak terjadi karena RRC juga mengalami kemerosotan ekonomi, yang membuat ratusan juta pengangguran di sana.

Mengandalkan lembaga lembaga multilateral untuk menolong atau hutang juga sulit, karena, misalnya IMF, harus membantu 150 an negara anggotanya. Beberapa bulan lalu IMF hanya berhasil memberikan pinjaman rerata $ 0,3 Milyar per negara (Bandingkan Indonesia pada krisis moneter tahun 98, mendapat bantuan $75 Milyar).

Kemerosotan negara akan terus memperburuk adminsistrasi dan pelayanan serta kemampuan aparatur militer menjaga negara. Memperkuat peranan polisi pada social order, belum tentu efektif, jika keresahan dan perlawanan rakyat menguat.

Selanjutnya adalah munculnya tokoh2 revolusioner ke depan. Dalam gejolak sosial seperti saat ini, kelompok2 sosial terus memproduksi "tokoh2 baru" atau maksudnya tokoh2 yang menjadi revolusioner. Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin misalnya, dua tokoh baru dari masyarakat sipil dan eks militer yang muncul membawa pesan pesan revolusioner serta solidaritas. Tentu saja tokoh2 seperti Agus Harimurti Yudhoyono, misalnya yang acap dianggap sepele sebelumnya, namun karena keberaniannya melawan rezim dalam kasus UU Omnibus Law, telah berubah menjadi sosok heroik. Dan tentu saja akan muncul banyak tokoh2 baru lainnya ke depan.

Tokoh2 Revolusioner baru ini akan bersinergi dengan tokoh revolusioner lama, Habib Rizieq Sihab. Situasi dan momentum akan membuat mereka membangun front bersama dalam membimbing perubahan.

Terakhir soal ideologi perjuangan. Ideologi dalam pengertian sederhana adalah alat untik sebuah tujuan. Pengertian dapat dikembangkan bahwa ideologi adalah seperangkat nilai2 yang mengikat dan mewarnai sebuah gerakan sosial untuk mencapai tujuannya. Nilai2 di sini adalah nilai2 yang berkontestasi dengan nilai2 "establishment" dari penguasa.

Saat ini ideologi perjuangan dan perlawanan telah melahirkan nilai2 yang mengikat collective ideas, yakni anti kapitalisme, anti Oligarki dan cukong2 dan mendorong nilai2 sosialistik menggantikan kapitalis liberal.

Habib Rizieq yang dulu sendirian menggelegarkan anti 9 naga, sebagai anti cukong alias anti kapitalis telah mendapatkan sekutu perlawanan dari berbagai tokoh2 dan elemen perjuangan. Dengan pernyataan yang sama dari Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin, misalnya, persekutuan ideologis terjadi dalam suasana perlawanan sosial mereka.

Sebab-sebab munculnya sebuah revolusi telah terlihat sebagai sebuah fenomena sosial kita. Ketegangan sosial dan keruntuhan sosial lama telah dan akan terjadi. Dalam situasi keruntuhan sebuah sistem sosial lama, sebab sebab tersebut tidak dapat dipersepsikan sebagai sebuah kejahatan bernegara. Sebab sebab tersebut adalah sebuah konsekwensi sosial dalam situasi dan momentum yang terjadi karena berbagai sebab sebab sebelumnya.

Misalnya, ketika kita memaknai seorang Professor ahli Hukum UGM, yang menyerukan pembangkangan sosial, tentunya bukan sebuah kejahatan. Sebab, seruan itu adalah reaksi atas aksi. Dan UGM selama ini dikenal sebagai kampus loyalis pendukung Jokowi.

Mengapa Revolusi Mental Gagal?

Revolusi yang digaungkan Jokowi sebagai upaya perubahan besar ketika berkuasa adalah Revolusi Mental. Revolusi ini adalah gagasan untuk menghancurkan kehidupan materialistik dan memperkaya diri dalam masyarakat. Selain itu, sebagaimana tulisan Jokowi di Kompas, April 2014, gagasan lainnya adalah menghancurkan budaya korupsi di Indonesia.

Dua tahun setelah berkuasa, Jokowi melembagakan gerakan revolusi itu melalui Inpres 12/2016. Inpres itu menyatakan ada 5 program Gerakan Nasional Revolusi Mental, yaitu Program Gerakan Indonesia Melayani, Program Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu.

Namun, sebagaimana kita ketahui, gagasan Indonesia bersih itu telah gagal total saat ini. Setelah Jokowi & sekutu partainya "melumpuhkan" KPK tahun lalu, maka pembicaraan dan keraguan tentang rezim Jokowi yang semakin korup menjadi semakin nyata. Berbagai gerakan sipil dibidang pemberantasan korupsi melihat pelumpuhan KPK tersebut sebagai situasi terburuk upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Berbagai korupsi besar seperti skandal asuransi Jiwasraya dan ketua KPK menggunakan fasilitas swasta untuk kepentingan pribadi serta banyak lainnya, menandai membesarnya prkatek korupsi di Indonesia. Skandal perlindungan kasus korupsi Djoko Tjandra oleh petinggi kepolisian dan kejaksaan, menunjukkan situasi tidak berdaya rezim Jokowi dalam penegakan hukum. Mahfud MD, sebagai pemerintah, mengakui ketidakmampuan dan ketidakberdayaan pemerintah, bahkan presiden soal penegakan hukum ini. Bulan lalu, berbagai media mengungkap tanggapan atas pernyataan Mahfud ini sebagai sebuah kekalahan negara, meskipun dia dengan alasan adanya pembagian kewenangan yang terpisah.

Lalu mengapa Revolusi Mental Jokowi gagal?

Kegagalan Revolusi Mental terjadi setidaknya karena 3 hal:

1) Jokowi terjerat pada persekutuan oligarki partai dan pemilik modal yang sebagiannya sudah terbiasa korupsi. Dalam kasus Jiwasraya, contohnya, ditenggarai bahwa seorang mantan direktur Jiwasraya yang terlibat skandal Jiwasraya tersebut adalah pejabat di kantor Staf Presiden (KSP). Elit sekutu partai Jokowi lainnya, seperti Romi P3, Setya Novanto dan Idrus Marham, Golkar, serta Imam Nachrowi, PKB juga koruptor.

2) Jokowi tidak mempunyai basis sosial yang kuat dalam gagasan revolusi mental. Hal ini ditandai dengan tidak adanya kekuatan masyarakat yang mengusung tema ini secara besar besaran dan serius.

3) Gagasan ini mungkin bersifat artifisial. Artinya Jokowi hanya ingin gagah gagahan unjuk gagasan dalam menuju kekuasaan. Hal ini ditunjukkan bahwa pada pilpres 2019, Jokowi tidak lagi mempersoalkan keberadaan gagasan ini.

Penutup

Kekecewaan rakyat meluas dan mendalam. Spektrum kekecewaan itu datang dari berbagai persoalan bangsa, seperti isu kebangkitan Komunisme, isu Omnibus Law, isu Pilkada, isu krisis ekonomi dan kesehatan, serta berbagai isu terkait pelanggaran HAM dan anti demokrasi. Kekecewaan ini telah meliputi ormas2 besar, misalnya dalam kasus penolakan pilkada, dan elemen elemen progresif revolusioner, yakni kaum buruh dan mahasiswa, dalam kasus Omnibus Law. Sebagai manifestasi kekecewaan, buruh dan mahasiswa sudah melakukan aksi perlawanan pada rezim Jokowi, meskipun mereka mengetahui adanya resiko pandemi yang mematikan. Dan diperkirakan kekecewaan ini tidak mudah berhenti dan sulit dikendalikan.

Krisis ekonomi dan sektor kesehatan, di sisi lainnya, telah menggerogoti negara. Skocpol, seorang sosiolog America, misalnya melihat faktor kegagalan negara menjadi salah satu sebab lainnya revolusi sosial, ketika pemberontakan rakyat terjadi.

Dua hal ini, perlawanan dan krisis negara, menjadi syarat adanya sebuah revolusi sosial, sebagai mana studi Theda Skocpol pada revolusi Prancis, Rusia dan China. Namun, berbagai ahli tentang revolusi lainnya mengaitkan adanya tokoh2 atau "social agent" dan ideologi bersama.

Dari sisi ini ideologi, norma anti "establishment", anti kapitalis, anti neo liberal dan anti Komunisme telah mewarnai ruh berbagai gerakan yang ada, dan dapat menjadi ideologi bersama. Sedangkan tokoh2 seperti Habib Rizieq, Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo, diantaranya, telah menjadi tokoh2 nasional yang terlibat dalam perlawanan. Bisa jadi juga Agus Harimurti Yudhoyono dan Said Iqbal yang menolak UU Omnibus Law,  Professor Zainal Mochtar Arifin  yang menyerukan pembangkangan sosial bergeser menjadi tokoh2 revolusioner pula. Berbagai tokoh2 gerakan tentu saja akan muncul beberapa atau banyak lainnya dalam momentum revolusioner, di manapun dalam sejarah.

Itulah situasi sosial kita saat ini, sebuah situasi besar pergeseran "Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial". Memang Revolusi akan selalu mencari jalannya sendiri. rmol.id

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke CircleRevolusi adalah perubahan sosial yang menggantikan struktur sosial, struktur politik dan ekonomi serta kadangkala struktur budaya masyarakat atau peradaban. Perubahan ini umumnya diwarnai dengan kepemimpinan perubahan yang kuat dan perlawanan yang terorganisasi serta acapkali dengan kekerasan.

Pembicaraan tentang revolusi ini perlu kita kaji mengingat 5 hal atau situasi sebagai berikut:

1) Gerakan mahasiswa dan buruh sebagai garda terdepan telah memenuhi jalan jalan sepanjang beberapa hari ini.

2) Gerakan Islam dan khususnya yang di bawah komando Habib Rizieq (HRS) telah mengepung terus ibukota, dengan tema Pancasila dan Kembalikan Habib Rizieq.

3) Pernyataan Guru Besar UGM, yang terkenal dengan isu pemerintahan bersih, Professor Zainal Mochtar telah menyerukan adanya pembangkangan sipil atas situasi sosial paska pengesahan UU Omnibus Law kemarin.

4) Adanya spirit kebangkitan purnawirawan militer untuk mewarnai perubahan sosial melalui jalur gerakan masyarakat sipil.

5) Adanya respon negatif ormas Islam terbesar NU dan Muhammadiyah terhadap pemerintah dalam kasus Pilkada. Serta kaum ulama pada isu RUU HIP.

Tentu banyak fenomena sosial lainnya belakangan ini yang dapat dilihat sebagai fenomena penting dalam menganalisa situasi yang ada. Antara lain kegagalan pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19, administrasi negara yang melemah karena transformasi digital yang gagal dan ekenomi semakin memburuk.

Lalu mengapa perlu menganalisa revolusi itu?

Pentingnya melakukan analisa atas hal ini karena jika revolusi datang pada sebuah bangsa, namun gagal di "bimbing", yang terjadi biasanya adalah kehancuran bangsa, seperti kasus kasus kegagalan revolusi di Afganistan, Filipina terkait penggulingan Ferdinan Marcos dan beberapa di Amerika latin.

Sebaliknya, Revolusi Bolshevik di Rusia, Revolusi di Iran, Revolusi di China, umpamanya, karena terarah dan terbimbing, bangsa tersebut terselamatkan.

Sebab-Sebab Revolusi

Ilmu sosial telah melahirkan berbagai teori tentang revolusi, baik mencari sebab sebab munculnya revolusi maupun sejarah revolusi. Sebab sebab revolusi dikaji oleh ahli ahli sosiologi, seperti Skocpol, dalam bukunya "State and Social Revolution", 1979, yang membandingkan revolusi Prancis, China dan Rusia.

Sebagai seorang strukturalis fungsional, Skocpol melihat pergeseran equilibrium sebuah masyarakat yang terguncang (disequlibrium) akibat ada kemerosotan eksistensi negara dan pemberontakan petani di 3 negara yang dia bandingkan. Namun, kaum strukturalis, baik Marxis maupun fungsional, kurang memberi perhatian pada analisa agensi atau tokoh maupun ideologi gerakan. Sosiolog dan historian lainya, banyak yang juga melihat peranan ideologi, organsisasi aksi dan peranan tokoh dalam sebuah revolusi dan sebab sebabnya.

Sebab sebab revolusi dalam teori kenabian umumnya dikaitkan dengan adanya bala atau bencana yang ditimpakan kekuatan ilahiah pada sebuah rezim dan masyarakatnya serta munculnya seorang pemimpin yang membawa perubahan peradaban.

Melihat berbagai spektrum pemikiran dan analisa, secara umum sebuah revolusi itu terjadi karena adanya 1) Meluasnya kekecewaan rakyat atas rezim yang berkuasa, 2) Terjadinya kooptasi negara dengan melakukan politik tirani dan berbagi kekuasaan dengan kaum oligarki modal, 3) Terjadi kemerosotan peran dan eksistensi negara akibat perang atau wabah ataupun keuangan negara, 4) munculnya tokoh2 revolusioner, 5) adanya ideologi yang mempersatukan gerakan perlawanan.

Meluasnya kekecewaan rakyat Indonesia saat ini sudah meluas dan mendalam. Meluas itu terbukti dari kecaman dua ormas besar agama Islam atas sikap pemerintah yang mengorbankan nasib rakyat ditengah pandemi Covid-19 demi mendorong pilkada. Di luar NU dan Muhammadiyah sesungguhnya hampir seluruh kekuatan masyarakat sudah menyatakan menolak pilkada. Apalagi sinyalamen Pilkada 92% dibiayai cukong2 diumumkam sendiri oleh tokoh sentral pemerintahan, yakni Menkopolhukam.

Kekecewaan dalam spektrum lainnya adalah kekecewaan buruh yang menolak UU Omnibus Law. Buruh sebagai kekuatan rakyat di perkotaan dan semi urban melihat bahwa pemaksaan secara cepat legalisasi UU ini adalah simbol kesombong rezim dan kaum kapitalis untuk mengekploitasi nasib mereka. Vis a vis secara kepentingan. Yang menariknya adalah di luar buruh, kelompok2 identitas, intelektual dan lingkungan ikut mengecam UU Omnibus ini, seperti mahasiswa, kalangan dosen, ulama, masyarakat sipil lainnya, pecinta lingkungan, masyarakat adat dan terakhir lembaga2 pro lingkungan hidup internasional.

Selain itu, kekecewaan masyarakat terjadi karena kegagalan pemerintah menangani pandemi. Meskipun pemerintah beralibi telah menangani dengan baik, dengan membandingkan hasil faktual antar negara, namun rakyat sudah sedemikian jauh mengalami frustasi sosial dan kemerosotan hidup selama 8 bulan pandemi ini.

Krisis kepercayaan meluas dan dalam kepada pemerintah akibat adanya ketertutupan pemerintah soal pandemi ini di masa awal, serta kegagalan dalam mengontrol penyebaran pandemi pada masa nasa yang disebut "golden time". Disamping publik melihat arogansi pemerintah  dalam masa masa awal menyepelekan isu Covid-19 ini.

Banyak lagi berbagai kekecewaan masyarakat yang muncul. Khususnya, kekecewaan ummat Islam dan eks militer atas isu di seputar bangkitnya Komunisme. Dan klaim bahwa mayoritas masyarakat kecewa dengan Jokowi sudah pasti mempunyai landasan analitis.

Dalam hal kooptasi negara atas semua kekuatan yang ada ditunjukkan dengan upaya cepat pemerintah memberlakukan perpu corona, kemudian menjadi UU Corona No. 1/2020, yang intinya pemusatan kekuasaan secara hampir mutlak pada pemerintah. Pada saat Jokowi mengkritik menteri menterinya yang dianggap gagal bekerja ekstra ordinary, setelah 3 bulan pandemi, Jokowi mengobral akan membuat Perpu Corona lainnya jika dianggap kurang dalam konsolidasi power. Ini menunjukkan sistem politik kita yang membagi kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta pemeriksaan keuangan independen, terdistorsi.

Bahkan terakhir adalah upaya rezim Jokowi membuat Dewan Moneter untuk mengendalikan Bank Sentral, yang selama ini independen, dibawah kontrol pemerintah.

Pemusatan kekuasaan ditangan Jokowi dan rezimnya bersamaan dengan rencana RUU HIP dan UU Omnibus Law. RUU HIP adalah upaya pemusatan tafsir ideologis atas Pancasila. Dengan genggaman itu maka pemerintah mempunyai alat pembungkaman lawan-lawan politik secara legal. Sedangkan Omnibus Law, yang luas ditentang saat ini, adalah upaya pemerintah membagi kesenangan kepada kaum kapitalis dan oligari modal.

Dalam tafsir pemikiran Marxian, model negara seperti ini adalah negara proxy kapitalis, bukan sebuah negara ala Weberian atau ala Leviathan Hobbes yang melihat adanya eksistensi negara.

Tafsir Marxian memperlihatkan bahwa cita cita Jokowi dengan Revolusi Mental yang ke kiri2an hanyalah seperti "violin Obama", sebuah term yang pernah dituduhkam pada Obama, berpura2 kiri tapi faktanya kapitalis habis.

Namun, perjalan situasi saat ini tidak menguntungkan rezim Jokowi. Krisis pandemi Covid-19 telah menghancurkan negara baik ekonomi maupun sektor kesehatan. Ekonomi mengalami krisis dan depresi tanpa jalan keluar. Harapan bantuan "teman baik" RRC tidak terjadi karena RRC juga mengalami kemerosotan ekonomi, yang membuat ratusan juta pengangguran di sana.

Mengandalkan lembaga lembaga multilateral untuk menolong atau hutang juga sulit, karena, misalnya IMF, harus membantu 150 an negara anggotanya. Beberapa bulan lalu IMF hanya berhasil memberikan pinjaman rerata $ 0,3 Milyar per negara (Bandingkan Indonesia pada krisis moneter tahun 98, mendapat bantuan $75 Milyar).

Kemerosotan negara akan terus memperburuk adminsistrasi dan pelayanan serta kemampuan aparatur militer menjaga negara. Memperkuat peranan polisi pada social order, belum tentu efektif, jika keresahan dan perlawanan rakyat menguat.

Selanjutnya adalah munculnya tokoh2 revolusioner ke depan. Dalam gejolak sosial seperti saat ini, kelompok2 sosial terus memproduksi "tokoh2 baru" atau maksudnya tokoh2 yang menjadi revolusioner. Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin misalnya, dua tokoh baru dari masyarakat sipil dan eks militer yang muncul membawa pesan pesan revolusioner serta solidaritas. Tentu saja tokoh2 seperti Agus Harimurti Yudhoyono, misalnya yang acap dianggap sepele sebelumnya, namun karena keberaniannya melawan rezim dalam kasus UU Omnibus Law, telah berubah menjadi sosok heroik. Dan tentu saja akan muncul banyak tokoh2 baru lainnya ke depan.

Tokoh2 Revolusioner baru ini akan bersinergi dengan tokoh revolusioner lama, Habib Rizieq Sihab. Situasi dan momentum akan membuat mereka membangun front bersama dalam membimbing perubahan.

Terakhir soal ideologi perjuangan. Ideologi dalam pengertian sederhana adalah alat untik sebuah tujuan. Pengertian dapat dikembangkan bahwa ideologi adalah seperangkat nilai2 yang mengikat dan mewarnai sebuah gerakan sosial untuk mencapai tujuannya. Nilai2 di sini adalah nilai2 yang berkontestasi dengan nilai2 "establishment" dari penguasa.

Saat ini ideologi perjuangan dan perlawanan telah melahirkan nilai2 yang mengikat collective ideas, yakni anti kapitalisme, anti Oligarki dan cukong2 dan mendorong nilai2 sosialistik menggantikan kapitalis liberal.

Habib Rizieq yang dulu sendirian menggelegarkan anti 9 naga, sebagai anti cukong alias anti kapitalis telah mendapatkan sekutu perlawanan dari berbagai tokoh2 dan elemen perjuangan. Dengan pernyataan yang sama dari Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin, misalnya, persekutuan ideologis terjadi dalam suasana perlawanan sosial mereka.

Sebab-sebab munculnya sebuah revolusi telah terlihat sebagai sebuah fenomena sosial kita. Ketegangan sosial dan keruntuhan sosial lama telah dan akan terjadi. Dalam situasi keruntuhan sebuah sistem sosial lama, sebab sebab tersebut tidak dapat dipersepsikan sebagai sebuah kejahatan bernegara. Sebab sebab tersebut adalah sebuah konsekwensi sosial dalam situasi dan momentum yang terjadi karena berbagai sebab sebab sebelumnya.

Misalnya, ketika kita memaknai seorang Professor ahli Hukum UGM, yang menyerukan pembangkangan sosial, tentunya bukan sebuah kejahatan. Sebab, seruan itu adalah reaksi atas aksi. Dan UGM selama ini dikenal sebagai kampus loyalis pendukung Jokowi.

Mengapa Revolusi Mental Gagal?

Revolusi yang digaungkan Jokowi sebagai upaya perubahan besar ketika berkuasa adalah Revolusi Mental. Revolusi ini adalah gagasan untuk menghancurkan kehidupan materialistik dan memperkaya diri dalam masyarakat. Selain itu, sebagaimana tulisan Jokowi di Kompas, April 2014, gagasan lainnya adalah menghancurkan budaya korupsi di Indonesia.

Dua tahun setelah berkuasa, Jokowi melembagakan gerakan revolusi itu melalui Inpres 12/2016. Inpres itu menyatakan ada 5 program Gerakan Nasional Revolusi Mental, yaitu Program Gerakan Indonesia Melayani, Program Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu.

Namun, sebagaimana kita ketahui, gagasan Indonesia bersih itu telah gagal total saat ini. Setelah Jokowi & sekutu partainya "melumpuhkan" KPK tahun lalu, maka pembicaraan dan keraguan tentang rezim Jokowi yang semakin korup menjadi semakin nyata. Berbagai gerakan sipil dibidang pemberantasan korupsi melihat pelumpuhan KPK tersebut sebagai situasi terburuk upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Berbagai korupsi besar seperti skandal asuransi Jiwasraya dan ketua KPK menggunakan fasilitas swasta untuk kepentingan pribadi serta banyak lainnya, menandai membesarnya prkatek korupsi di Indonesia. Skandal perlindungan kasus korupsi Djoko Tjandra oleh petinggi kepolisian dan kejaksaan, menunjukkan situasi tidak berdaya rezim Jokowi dalam penegakan hukum. Mahfud MD, sebagai pemerintah, mengakui ketidakmampuan dan ketidakberdayaan pemerintah, bahkan presiden soal penegakan hukum ini. Bulan lalu, berbagai media mengungkap tanggapan atas pernyataan Mahfud ini sebagai sebuah kekalahan negara, meskipun dia dengan alasan adanya pembagian kewenangan yang terpisah.

Lalu mengapa Revolusi Mental Jokowi gagal?

Kegagalan Revolusi Mental terjadi setidaknya karena 3 hal:

1) Jokowi terjerat pada persekutuan oligarki partai dan pemilik modal yang sebagiannya sudah terbiasa korupsi. Dalam kasus Jiwasraya, contohnya, ditenggarai bahwa seorang mantan direktur Jiwasraya yang terlibat skandal Jiwasraya tersebut adalah pejabat di kantor Staf Presiden (KSP). Elit sekutu partai Jokowi lainnya, seperti Romi P3, Setya Novanto dan Idrus Marham, Golkar, serta Imam Nachrowi, PKB juga koruptor.

2) Jokowi tidak mempunyai basis sosial yang kuat dalam gagasan revolusi mental. Hal ini ditandai dengan tidak adanya kekuatan masyarakat yang mengusung tema ini secara besar besaran dan serius.

3) Gagasan ini mungkin bersifat artifisial. Artinya Jokowi hanya ingin gagah gagahan unjuk gagasan dalam menuju kekuasaan. Hal ini ditunjukkan bahwa pada pilpres 2019, Jokowi tidak lagi mempersoalkan keberadaan gagasan ini.

Penutup

Kekecewaan rakyat meluas dan mendalam. Spektrum kekecewaan itu datang dari berbagai persoalan bangsa, seperti isu kebangkitan Komunisme, isu Omnibus Law, isu Pilkada, isu krisis ekonomi dan kesehatan, serta berbagai isu terkait pelanggaran HAM dan anti demokrasi. Kekecewaan ini telah meliputi ormas2 besar, misalnya dalam kasus penolakan pilkada, dan elemen elemen progresif revolusioner, yakni kaum buruh dan mahasiswa, dalam kasus Omnibus Law. Sebagai manifestasi kekecewaan, buruh dan mahasiswa sudah melakukan aksi perlawanan pada rezim Jokowi, meskipun mereka mengetahui adanya resiko pandemi yang mematikan. Dan diperkirakan kekecewaan ini tidak mudah berhenti dan sulit dikendalikan.

Krisis ekonomi dan sektor kesehatan, di sisi lainnya, telah menggerogoti negara. Skocpol, seorang sosiolog America, misalnya melihat faktor kegagalan negara menjadi salah satu sebab lainnya revolusi sosial, ketika pemberontakan rakyat terjadi.

Dua hal ini, perlawanan dan krisis negara, menjadi syarat adanya sebuah revolusi sosial, sebagai mana studi Theda Skocpol pada revolusi Prancis, Rusia dan China. Namun, berbagai ahli tentang revolusi lainnya mengaitkan adanya tokoh2 atau "social agent" dan ideologi bersama.

Dari sisi ini ideologi, norma anti "establishment", anti kapitalis, anti neo liberal dan anti Komunisme telah mewarnai ruh berbagai gerakan yang ada, dan dapat menjadi ideologi bersama. Sedangkan tokoh2 seperti Habib Rizieq, Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo, diantaranya, telah menjadi tokoh2 nasional yang terlibat dalam perlawanan. Bisa jadi juga Agus Harimurti Yudhoyono dan Said Iqbal yang menolak UU Omnibus Law,  Professor Zainal Mochtar Arifin  yang menyerukan pembangkangan sosial bergeser menjadi tokoh2 revolusioner pula. Berbagai tokoh2 gerakan tentu saja akan muncul beberapa atau banyak lainnya dalam momentum revolusioner, di manapun dalam sejarah.

Itulah situasi sosial kita saat ini, sebuah situasi besar pergeseran "Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial". Memang Revolusi akan selalu mencari jalannya sendiri. rmol.id

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Selasa, 25 Agustus 2020

Sukristiawan.com:Cara yang Dapat Ditempuh Jika Tergugat Tidak Membayar Uang Paksa.

    Cara yang Dapat Ditempuh Jika Tergugat Tidak Membayar Uang Paksa

    Pertanyaan

    Bagaimana cara pembayaran uang paksa atau dwangsom oleh tergugat kepada penggugat? Apabila tergugat/pengusaha tidak mau menjalankan putusan sidang dan tidak mau bayar dwangsom, apa sanksinya?

    Intisari:

    Ulasan:

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa putusan yang Anda maksud di sini adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

     

    Jenis-jenis Sanksi Dalam Hukum Administrasi Negara

    Uang paksa atau dwangsom merupakan salah satu jenis sanksi yang dikenal dalam Hukum Administrasi Negara. Menurut Ridwan HR dalam bukunya Hukum Administrasi Negara (hal. 303), jenis sanksi dalam Hukum Administrasi Negara secara umum yaitu:

    a.    Paksaan Pemerintahan (bestuursdwang);

    b.    Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi, pembayaran, dan sebagainya);

    c.    Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom);

    d.    Pengenaan denda administratif (administratieve boete).

     

    Lebih lanjut Ridwan menjelaskan bahwa macam-macam sanksi tersebut tidak selalu dapat diterapkan secara keseluruhan pada suatu bidang administrasi negara tertentu.

     

    Uang Paksa (Dwangsom)

    Uang paksa sebagai salah satu bentuk hukuman administratif ini juga disebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan (“PP 48/2016”), yakni sebagai sanksi administratif sedang.[1]

     

    Yang dimaksud dengan "uang paksa" adalah sejumlah uang yang dititipkan sebagai jaminan agar Keputusan dan/atau Tindakan dilaksanakan sehingga apabila Keputusan dan/atau Tindakan telah dilaksanakan, uang paksa tersebut dikembalikan kepada Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.[2]

     

    Dalam Hukum Administrasi Negara, pengenaan uang paksa dapat dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan.[3]

     

    Dalam Undang-Undang Hukum Administrasi Belanda disebutkan sebagai berikut:[4]

    Organ pemerintahan yang berwenang melaksanakan tindakan pemerintahan, dapat mengenakan uang paksa sebagai pengganti (dari bestuursdwang). Uang paksa tidak dapat dipilih (sebagai pengganti), jika kepentingan yang harus dilindungi peraturan tersebut tidak menghendakinya”.

     

    “Organ pemerintahan menetapkan uang paksa itu apakah sekali bayar ataupun dicicil berdasarkan waktu (tertentu) ketika pemerintah itu tidak dijalankan atau membayar sejumlah uang ketika pelanggaran itu (terjadi). Organ pemerintahan juga menetapkan jumlah maksimal uang paksa. Jumlah uang yang dibayar harus sesuai dengan beratnya kepentingan yang dilanggar dan (sesuai) dengan tujuan diterapkannya penetapan uang paksa itu”.

     

    “Dalam keputusan untuk penetapan uang paksa yang tujuannya menghilangkan atau mengkhiri pelanggaran, kepada pelanggar diberikan jangka waktu untuk melaksanakan perintah tersebut (dengan) tanpa penyitaan uang paksa”.

     

    Sementara itu, Lilik Mulyadi dalam bukunya  Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Teori dan Praktik (hal.108) menjelaskan bahwa jenis uang paksa yang dikenal dan diterapkan di Indonesia hanyalah 1 (satu) jenis saja yaitu dwangsom dengan jumlah tertentu apabila terhukum setiap harinya lalai memenuhi hukuman pokok.

     

    Contoh Pengenaan Dwangsom

    Lilik memberikan contoh: A (Penggugat) melakukan gugatan kepada B (Tergugat). Dalam petitum surat gugatannya pada pokoknya A menuntut agar B dihukum untuk memenuhi pretasi berupa C, D dan E serta apabila atas kelalaian memenuhi keseluruhan hukum membayar uang paksa/dwangsom sebesar Rp.6.000.000 setiap harinya, kemudian hakim mengabulkan gugatan A. Jadi, aspek pasif penerapan uang paksa haruslah dilakukan seluruhnya. Tidak dilaksanakannya salah satu prestasi bukanlah merupakan halangan, penghapus dan pengurangan uang paksa.[5]

     

    Sebagai contoh lain pengenaan dwangsom dalam kaitannya dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan yaitu pada izin. Biasanya pemohon izin disyaratkan untuk memberikan uang jaminan. Jika terjadi pelanggaran, maka uang jaminan itu dipotong sebagai dwangsom. Uang jaminan ini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan Paksaan Pemerintahan/bestuursdwang sulit dilakukan.[6]

     

    Eksekusi Hukuman Uang Paksa

    Lilik Mulyadi (hal. 117-118) menjelaskan bahwa eksekusi dwangsom dengan cara verthaal executie yang bertitik tolak pada ketentuan Pasal 195-208 Herzien Inlandsch Reglement  (HIR) dan kebiasaan praktik peradilan, yakni melalui tahap-tahap berikut:

     

    -    Adanya permohonan dari pemohon eksekusi terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Bentuk permohonan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Dalam praktik secara administratif setelah pemohon eksekusi membayar biaya eksekusi pada petugas urusan kepaniteraan perdata, maka akan diregister pada Buku Permohonan Eksekusi, Buku  Induk Keuangan Biaya Eksekusi dan apabila Ketua Pengadilan Negeri yakin bahwa permohonan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, maka Ketua Pengadilan Negeri lalu mengeluarkan “Penetapan” yang asasnya berisikan tentang:[7]

    a.  Perintah pemanggilan pihak tergugat/termohon eksekusi supaya pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta jam yang telah ditetapkan dalam penetapan agar datang ke Pengadilan Negeri untuk diberi peringatan/somasi menjalankan hukuman pokok dan uang paksa/dwangsom; dan[8]

    b.  Dalam persidangan yang dilakukan secara insidental tersebut Ketua Pengadilan Negeri memberi batas waktu kepada pihak tereksekusi untuk membayar uang paksa dalam waktu maksimal 8 hari.[9]

     

    -    Apabila setelah tenggang waktu somasi dilampaui belum juga tereksekusi melakukan pembayaran uang paksa, Ketua Pengadilan Negeri akan meneliti apakah perkara tersebut telah dilakukan sita jaminan atau tidak. Apabila diletakkan sita jaminan, maka dengan sendirinya berkekuatan eksekutorial. Sedangkan apabila tidak diletakkan sita jaminan, maka secara ex officio Ketua Pengadilan Negeri melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tereksekusi.

     

    -    Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan pendapat dengan perintah kepada panitera ata wakilnya yang sah untuk melakukan pelelangan.

     

    Jika Tergugat Tidak Patuh Atas Putusan Pengadilan

    Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana telah terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (“UU 51/2009”), jika tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.[10]

     

    Hukuman dwangsom adalah bersifat accesoir dan merupakan hukuman tambahan dari hukuman pokok. Ini berarti bahwa tidak ada dwangsom tanpa hukuman pokok, dan dengan demikian tidak mungkin ada putusan dwangsom tersendiri. Dwangsom selalu diletakkan bersama dengan hukuman pokok, di mana fungsi dwangsom di sini sebagai alat eksekusi bagi terhukum agar ia dengan segera memenuhi prestasi.[11] 

     

    Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya kewajiban.[12] Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat, ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.[13]

     

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jika tergugat tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh putusan pengadilan, maka ia akan dikenakan uang paksa atau dwangsom. Kemudian akan diumumkan di media masa setempat bahwa tergugat tidak mematuhi putusan pengadilan. Jika tidak membayar dwangsom, maka akan tergugat diberikan somasi. Namun, jika tergugat tetap tidak melaksanakannya, maka Ketua Pengadilan Negeri akan meneliti apakah perkara tersebut telah dilakukan sita jaminan atau tidak. Apabila diletakkan sita jaminan, maka dengan sendirinya berkekuatan eksekutorial. Sedangkan apabila tidak diletakkan sita jaminan, maka secara ex officio Ketua Pengadilan Negeri melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tereksekusi.  

     

    Contoh Kasus

    Untuk lebih jelas lagi, contoh kasus terkait dengan hukuman pembayaran uang paksa dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor: 591/Pdt.G-LH/2015/PN. Jkt. Sel, dimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memenangkan gugatan perkara perdata terkait pembakaran hutan yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang lalai mengantisipasi kerusakan hutan dalam terjadinya kebakaran. Salah satu amar putusan majelis hakim yaitu menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 50 juta setiap hari apabila tergugat lalai dalam melaksanakan putusan ini.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.   Herzien Inlandsch Reglement

    2.  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

    3.    Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan.

     

    Putusan:

    Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor: 591/Pdt.G-LH/2015/PN. Jkt. Sel.

     

    Referensi:

    Lilik Mulyadi. 2001. Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Djambatan.


    Ridwan HR. 2016. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.



    [1] Pasal 9 ayat (2) huruf a jo. Pasal 4 huruf b PP 48/2016

    [2] Penjelasan Pasal 9 ayat (2) huruf a PP 48/2016

    [3] Ridwan HR hal. 315

    [4] Ridwan HR hal. 315

    [5] Lilik Mulyadi hal. 108-109

    [6] Ridwan HR hal. 316

    [7] Lilik Mulyadi hal. 117-118

    [8] Lilik Mulyadi hal.118

    [9] Lilik Mulyadi hal.118 jo Pasal 196 ayat (2) HIR / Pasal 207 ayat (2) RBg

    [10] Pasal 116 ayat (4) UU 51/2009

    [11] Lilik Mulyadi hal. 112

    [12] Pasal 116 ayat (5) UU 51/2009

    [13] Pasal 116 ayata (6) UU 51/2009

    #sukristiawan.com#

Senin, 17 Agustus 2020

Sukristiawan.com:Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus law.

Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus law.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah saat ini tengah menggodok RUU Omnibus Law yang mencakup aturan cipta lapangan kerja dan aturan perpajakan.

Aturan ini dibuat untuk mengakomodir aturan-aturan lama yang dinilai terpecah-pecah dan menghambat sektor ekonomi untuk berkembang.

Namun, serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai RUU omnibus law bukan cara terbaik untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja.

Presiden KSPI, Said Iqbal menilai omnibus law merupakan cara terbaik untuk menghancurkan kesejahteraan para pekerja.

Baca juga: Poin-poin Omnibus Law Perpajakan Beres, Tapi Cipta Lapangan Kerja Belum Rampung

Maka dari itu, kata Iqbal, ada 6 hal yang menjadi poin penolakan dari serikat buruh terkait dengan RUU Omnibus Law, antara lain sebagai berikut.

1. Menghilangkan upah minimum

Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam.

Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.

"Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," kata Iqbal, Selasa (7/1/2020).

Iqbal menilai hal ini akan semakin menyengsarakan bagi pekerja yang sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, atau cuti melahirkan. Dimana upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.

Baca juga: Kontroversi Upah Per Jam: Ditolak Buruh, Didukung Pengusaha

Namun demikian, menurutnya, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.

Lagipula, penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum.

"Upah minimum adalah upah minimum, berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan upah minimum per jam," terang Iqbal.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan.

Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.

"Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," tegasnya.

2. Menghilangkan pesangon

Iqbal menyebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.

Terkait hal ini, Iqbal mengatakan, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 masalah pesangon sudah diatur bagi buruh yang terkena PHK.

Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah. Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari toal pesangon atau penghargaan masa kerja.

"Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih," ujarnya.

Baca juga: Omnibus Law Bakal Atur Tunjangan PHK 6 Bulan Upah, Bagaimana Aturan Saat Ini?

3. Fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan outsourcing dan buruh kontrak diperluas

Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja. Iqbal menilai, istilah ini dapat diartikan tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT).

"Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa di-outsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan," sebut Iqbal.

4. Lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) Unskill

Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu.

TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia.

Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasional, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.

Baca juga: Menko Airlangga: Omnibus Law Permudah Perekrutan Tenaga Kerja Asing

Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3 – 5 tahun, dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal.

Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan sang TKA .

"Dalam omnibus law terdapat wacana, semua persyaratan yang sudah diatur akan dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mestinya bisa diempati oleh orang lokal diisi oleh TKA," ujar Iqbal.

5. Jaminan sosial terancam hilang

Menurutnya, jaminan sosial yang hilang diakibatkan karena sistem kerja yang fleksibel. Sebagaimana diketahui, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.

"Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun," ungkap Iqbal.

Baca juga: Poin-poin Omnibus Law Perpajakan Beres, Tapi Cipta Lapangan Kerja Belum Rampung

6. Menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha

Dalam omnibus law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Dalam  UU 13/2003, disebutkan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh.

Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum, bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun.

Jika sanksi pidana ini dihilangkan, kata Iqbal, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum.

“Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak berikan pengusaha. Karena tidak ada efek jera,” ujar dia.

#sukristiawan.com#

Sukristiawan. com:Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja Fakultas Hukum UGM".

"Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja Fakultas Hukum UGM".

Tim penyusun policy paper  Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) :

Bidang Ketenagakerjaan :
RUU Cipta Kerja lebih fokus pada tujuan peningkatan ekonomi, dan abai terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia. Pasal 88 RUU Cipta Kerja. Pasal itu menyebutkan pengaturan baru yang diatur dalam RUU bertujuan menguatkan perlindungan dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi.

Hal ini menguatkan paradigma developmentalisme yang cukup sentral dalam RUU ini, yang mana tersirat bahwa investasi dan pembangunan ekonomi merupakan hal paling utama dalam pembangunan suatu negara.

Sebagian besar peraturan yang diubah dalam RUU ini banyak berbicara mengenai efisiensi dan peningkatan produktifitas tenaga kerja, namun RUU ini justru tidak mengubah atau membuat peraturan baru yang berkaitan dengan pelatihan kerja atau peningkatan kompetensi pekerja.

Padahal, berbicara mengenai penciptaan lapangan kerja seharusnya justru berkaitan erat dengan upaya untuk meningkatkan kompetensi calon tenaga kerja.

Alih-alih perlindungan pekerja, RUU Cipta Kerja justru berpotensi membuat pasal ketenagakerjaan kembali terpinggirkan, tergerus oleh kebutuhan investasi dan ekonomi. Padahal, dalam hubungan industrial Pancasila, perlindungan pekerja merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah

Beberapa catatan lebih lanjut dalam bidang ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:

1. Banyaknya Ketentuan yang Perlu Diatur Lebih Lanjut

Ada banyak pengaturan di RUU Cipta Kerja yang harus diterjemahkan dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah.

Pada bab ketenagakerjaan, terdapat 17 (tujuh belas) ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, dan 2 (dua) ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Artinya, dapat dikatakan bahwa Rancangan Undang-Undang ini tidak menyelesaikan masalah hiper-regulasi.

2. Penghapusan Batas Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang tadinya terbatas untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun,13 menjadi tidak dibatasi oleh Undang-Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) UU a quo.

Dengan demikian secara tidak langsung RUU Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkannya pada kesepakatan para pihak. Artinya, peran pemerintah menjadi lemah, karena tidak dapat mengintervensi jangka waktu PKWT.

Hal ini dilanjutkan dengan dihapuskannya ketentuan mengenai kemungkinan perubahan PKWT menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/perjanjian kerja tetap), yang mana output dari ketentuan ini akan menyebabkan semakin menjamurnya jenis pekerja kontrak.

Ketentuan ini sudah banyak dikritik oleh kalangan pekerja karena menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pekerja.

3. Aturan Alih Daya yang Ganjil

RUU menghapuskan Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan namun tetap mempertahankan Pasal 66. Penghapusan pasal tersebut menekankan alih daya atau outsourcing masih diperbolehkan oleh Undang-Undang.

Hanya saja akan semakin membuka peluang menjamurnya jenis hubungan kerja alih daya atau outsourcing, padahal sudah terbukti bahwa bentuk hubungan triangular layaknya outsourcing ini sangat tidak menguntungkan bagi pekerja.

4. Perubahan Ketentuan Upah Minimum

Jika sebelumnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, Upah Minimum dapat didasarkan pada wilayah provinsi (UMP) atau kabupaten/kota (UMK), serta upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral), maka ketentuan ini tidak lagi berlaku dalam RUU Cipta Kerja.

RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa diantara Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-Undang Ketenagakerjaan akan disisipkan 7 (tujuh) pasal tambahan, salah satunya adalah Pasal 88C yang berbunyi: (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

Artinya, jika RUU disetujui, maka tidak akan ada lagi Upah Minimum Kabupaten/Kota maupun Upah Minimum Sektoral, karena Upah Minimum yang berlaku hanyalah Upah Minimum Provinsi.

Masalahnya, tidak ada alasan yang mendasari penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Sektoral ini. Selama ini UMK dan Upah Minimum Sektoral wajib dipatok lebih tinggi dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi.

Hal baru lain yang ditawarkan oleh RUU Cipta Kerja adalah adanya Upah Minimum Padat Kerja yang berpotensi menimbulkan polemik karena pengaturannya yang ambigu. RUU Cipta Kerja hanya menyebutkan bahwa upah minimum industri padat kerja dihitung dengan menggunakan formula tertentu.

Tidak ada penjelasan mengenai hal ini kecuali ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Artinya, lagi-lagi memperpanjang alur pengaturan upah minimum ke ketentuan yang lain, yang mana berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum.

5. Istilah Ambigu dalam Pemberian Cuti

Kritik lain bagi RUU Cipta Kerja adalah adanya pasal-pasal yang rentan menimbulkan misinterpretasi karena menggunakan istilah yang ambigu. Sebagai contoh, Pasal 93 ayat (2) RUU Cipta Kerja yang akan mengubah Pasal 93 Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait pengecualian dari asas ‘no work no pay’.

asal ini menyebutkan bahwa “pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan ‘berhalangan’ baik dalam pasal tersebut, maupun dalam penjelasan pasal.

Padahal, kata ‘berhalangan’ memiliki arti yang luas, sehingga rawan menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pemberian hak cuti bagi pekerja. Ketika kata ‘berhalangan’ berintepretasi bebas maka perlindungan hak cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin.

Ketidakjelasan pemilihan kata dalam Pasal 93 ayat (2) RUU Cipta Kerja dikhawatirkan justru akan berpotensi menghapuskan hak pekerja termasuk pekerja perempuan mendapatkan cuti sakit, cuti haid, cuti melahirkan, maupun cuti menikah dan menikahkan.

6. Perubahan Konsep Pemutusan Hubungan Kerja
 
Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tadinya berbunyi “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.” menjadi “Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh”.

Perubahan ini menghilangkan konsepsi mendasar mengenai PHK dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang harus dipandang sebagai sesuatu yang sangat dihindari.

Rumusan Pasal 151 ayat (1) di RUU Cipta Kerja  juga menghilangkan peran pemerintah dalam mengupayakan tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja; PHK menjadi hal yang privat di mana seluruhnya diserahkan pada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.

Selain itu, peranan serikat buruh untuk berunding dengan pengusaha terkait dengan pemutusan hubungan kerja juga terancam hilang, karena RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Lebih lanjut, Pasal 151 ayat (2) RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa: “Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Rumusan pasal ini membingungkan dan tidak tegas mengatur kewajiban pengusaha untuk menyelesaikan PHK melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Masih terkait dengan PHK, RUU Cipta Kerja juga memberikan keleluasaan lebih bagi pengusaha untuk melakukan PHK tanpa perlu kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal: perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur); atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.

Pengecualian-pengecualian ini tidak dikenal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan berpotensi menimbulkan banyak PHK baru, utamanya terkait perusahaan yang pailit.

Pasal 156 RUU Cipta Kerja juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak, menghapuskan ketentuan spesifik mengenai kompensasi untuk tiap-tiap alasan pemutusan hubungan kerja, serta mengurangi perhitungan maksimum uang penghargaan kerja.

Perubahan ketentuan-ketentuan ini menunjukkan bahwa RUU Cipta Kerja pada akhirnya memang lebih memudahkan terjadinya PHK, jika dibandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
#sukristiawan.com#

Rabu, 05 Agustus 2020

sukristiawan.com:Sejarah Gunungkidul

Sejarah Gunungkidul


Babad Alas Nongko Doyong Redi Kidul 
(Mengenal lebih dekat Sejarah Gunungkidul) 

Awalnya Gunungkidul merupakan hutan lebat di mana kemudian tumbuh sebuah desa dengan dihuni beberapa orang yang merupakan pelarian dari kerajaan Majapahit. Desa itu dikenal bernama Pongangan yang dipimpin Raden Dewa Katong, yang masih memiliki hubungan saudara dengan Prabu Brawijaya V. Di desa tersebut Dewa Katong bertapa dengan maksud agar anak cucunya kelak dapat menjadi orang terkemuka serta dapat memegang tampuk pemerintahan. 

Setelah cukup lama Dewa Katong bertapa, ia memperoleh wangsit bahwa permintaannya dikabulkan oleh dewa. kemudian Dewa Katong pindah kehutan di sebelah utara Desa Pongangan, 10 km dari tempat pertapaannya. ia bertempat tinggal di daerah tersebut sampai meninggalnya. oleh karena itu desa tersebut dinamakan Desa Katongan.

Sepeninggalan ayahnya, anaknya yang bernama Raden Suromejo giat membangun Desa Pongangan sehingga lama kelamaan desa tersebut menjadi semakin ramai dan banyak dihuni orang. setelah daerah tersebut banyak dihuni orang, maka Suromejo berpindah tempat tinggalnya mengambil tempat di bawah pohon maja yang tumbuh di dekat batu karang dan sampai sekarang desa tersebut dinamakan Desa Karangmojo.

Lama kelamaan Desa Karangmojo makin padat penduduknya. perkembangan penduduk di daerah Gunungkidul yang semakin padat terdengar oleh prajurit Mataram dan dilaporkan kepada Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kraton Kartasura. Penguasa Mataram tersebut lantas mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso agar membuktikan kebenaran kabar yang didengarnya tersebut.

Setelah ditelisik oleh mata-mata dan telik sandi kraton, ternyata benar bahwa ada penguasa daerah di Redi Kidul, sehingga utusan yang di pimpin Tumenggung Prawiropekso mendatangi desa Pongangan dan mengajak kepada Ki Suromejo supaya datang ke kraton untuk meminta ijin penguasa Mataram tersebut. Sebab wilayah yang dihuni merupakan kekuasaan Kerajaan Mataram.

Ajakan Tumenggung Prawiropekso kepada Ki Suromejo ini mendapat tanggapan dingin, bahkan ditolaknya. Ki Suromejo tidak mau minta ijin karena tidak ada dasar dasar yang menentukan bahwa pulau jawa itu milik Raja Kartosuro, tetapi terjadinya dari Tuhan sendiri dan disediakan kepada setiap manusia yang mau menghuninya. Terjadilah perselisihan pendapat antara Tumenggung Pawiropekso dari Kartosuro dengan Ki Suromejo dari Karangmojo.

Tumenggung Prawiropekso selaku utusan kraton Mataram memberikan laporan kepada Sunan Amangkurat Amral. Penolakan ini pada akhirnya membuat sang raja murka dan kemudian Kerajaan Mataram menyerang Pongangan. Pertempuran pun terjadi, tetapi oleh karena tentara Ki Suromejo jauh lebih kecil maka mereka dapat di lumpuhkan. Ki Suromejo sendiri diakhir hayatnya dimakamkan di Babadan Ponorogo tempat asal ayahnya. 

===============================

Pasca kepemimpinan Ki Suromejo, wilayah Redi Kidul dipegang oleh trah Arya Mangkunegoro dari Surakarta. Kanjeng Pangeran Arya karena suatu fitnah yang dikarang oleh Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo, dua orang wali raja Pakubuwono II karena raja (masih berumur 16 tahun). dibuang oleh Belanda ke Srilangka (Ceylon). 

Dalam fitnah itu ia dikatakan telah berzinah dengan seorang selir PB II (yakni Mas Ayu Larasati). Pada mulanya ia dijatuhi hukuman mati, namun kemudian diubah menjadi hukuman buang. Peristiwa ini terjadi ketika putranya, R.M Said masih berumur 2 tahun.

Menjelang berumur 14 tahun, Raden Mas Said diangkat menjadi Mantri Gandek Keraton Kartasuro atas kehendak PB II, dengan nama R.M. Ng Suryo Kusumo. Untuk jabatan ini ia memperoleh tanah lungguh sebesar 50 jung. Adik-adiknya, Raden Rambia bergelar R. M. Ng. Martokusumo dan R. M. Sabar bergelar R. M. Ng Wirakusumo. Mereka mendapat tanah lungguh masing-masing seluas 25 jung. 

Raden Mas Sabar saudara Pangeran Samber Nyawa yang bergelar Wira Kusuma / Mangku Kusuma / Narakusura yang merasa tidak bisa menetap di Surakarta dan berpandangan sama dengan kakaknya Raden Mas Said (Pangeran Samber Nyawa) mengembara ke Ponjong dan menjadi penguasa di Pati, Genjahan menggantikan Ki Suromejo. 

Makam Eyang Wira Kusuma/Mangku Kusuma ada di atas Gunung Tutup, pedukuhan Gedaren desa Sumbergiri Ponjong. Diatas bukit ini, beliau menutup diri dari kejaran pasukan Hindia Belanda kala itu supaya tidak ada orang yang tahu bahwa beliau bersembunyi di bukit tersebut sehingga disebut Gunung Tutup. 

~~~~~~~~~~~~~~~

Pengganti beliau di Pati Genjahan Ponjong selanjutnya adalah Tumenggung Pontjadirdjo. Tumenggung Pontjodirdjo adalah putra Ronggo Pontjo djiwo asal Ngawen. Pontjodjiwo mempunyai 4 saudara yaitu Ny. Minto Widjoyo, Pontjo Sadewo, Tambak Ganggeng dan Pontjo Benawi. 

Berhubung Ki Mintowijoyo, Ki Poncobenawi serta Ki Poncosedewo mati terbunuh dalam perang Mangkubumen, Pangeran Samber Nyawa menempatkan Ki Pontjodirdjo sebagai bupati Pati, Genjahan Ponjong Gunungkidul menggantikan adik beliau Pangeran Wirakusuma / Mangku Kusuma yang dimakamkan di Gunung Tutup. 

Wilayah yang berada di bawah kendali Tumenggung Pontjodirdjo waktu itu dari utara, timur ke area barat dari Karangmojo, Pati, hingga Sumingkar (sekarang Sambipitu) yang meliputi Pongangan Nglipar, Karangmojo, Pati Genjahan dan Semanu.

Pada saat Ki Tumenggung Pontjodirdjo melaksanakan jalannya pemerintahan, di beberapa wilayah telah ada pejabat seperti Pandji, Ronggo, Demang, Bekel dan sebutan lainnya. Salah satu pejabat yang berada di Semanu saat itu adalah Raden Pandji Hardjodipuro atau sebagai Kepala Distrik, putra dari Ngabehi Pontjodrono, sehingga wilayah ini dikenal dengan sebutan Kepanjen Semanu.

Dalam menjalankan tugasnya, Poncodirjo berulang kali melaksanakan pertemuan dengan demang, panji, ronggo maupun bekel untuk membahas kesejahteraan rakyatnya. 

Pada masa itu, Kesultanan Mataram yang ada di Surakarta di pecah menjadi 2 bagian setelah adanya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Jadilah Surakarta Hadiningrat yang diperintah oleh Susuhunan Pakubuwono lll dan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diperintah oleh Pangeran Mangkubumi. 

Pangeran Mangkubumi diberi wilayah kekuasaan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan luasan wilayah barat hingga Tegal Wangi atau Tegal Slawi, ke timur sampai tlatah bumi Sukowati, Mantingan. Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Karena hendak menata negara, di pegunungan sewu waktu itu telah ada kabupaten namun namanya bukan Gunungkidul, melainkan Kabupaten Pati yang beribukota di Ponjong, sekarang masih ada letaknya di Padukuhan Pati, Desa Genjahan Ponjong dibawah kekuasaan Pangeran Sambernyawa, pendiri Kadipaten Mangkunegaran yang menjadi rival Pangeran Mangkubumi kala itu. 

Bupati Ponco Dirjo di Pati bersikukuh belum bersedia takluk kepada Pangeran Mangkubumi, tetapi meski begitu, banyak para punggawa yang sudah mulai takluk kepada Pangeran Mangkubumi. Antara lain Panji Harjo Dipuro di Semanu, Adipati Wiro Negoro di Sumingkar, Ronggo Puspo Wilogo di Seneng atau Siraman, Noto Semito atau Nitisari yang kala itu tinggal di dusun, serta Demang Pengalasan dari tlatah Ngawen.

Namun pada suatu hari, Bupati Gunungkidul Mas Tumenggung Pontjodirdjo menderita sakit mata atau Gerah Paningal, yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan tugas-tugas keluar. Oleh karenanya, untuk melaksanakan tugas-tugas keluar, di tunjuklah Pandji Hardjodipuro yang berkedudukan di Kepanjen Semanu, maka sejak itulah Pandji Harjodipuro diijinkan dan sudah berhak menggunakan Pakaian Kebesaran Bupati dan sudah diijinkan pula untuk menggunakan Cinde dan kebesaran lainnya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kisah kebutaan Tumenggung Pontjodirjo diawali saat beliau melakukan rutinitas atau kegemaran sabung ayam bersama para Pangeran di Ngayogyakarta. Disebutkan, kegiatan itu merupakan kebiasaan bangsawan atau orang-orang yang mempunyai kedudukan.

Pada salah satu kegiatan sabung ayam, ayam jago aduan milik Pontjodirjo hendak kalah. Saat jeda, seperti biasa ayam jago dibasahi air (dibanyoni). Merasa akan menang, pemilik ayam musuh Pontjodirjo mengejek dengan berujar, ”masak iya ayam dari Nggunung mau menang lawan ayam Yogyakarta”.

Tapi kenyataannya, ayam Pontjodirjolah yang akhirnya berhasil menang. Atas kemenangannya, ia berbalik sesumbar. Sembari mengangkat kaki, dirinya mengatakan, ”walaupun jago Gunungkidul, memiliki keampuhan untuk menang,”. lantas ia meminta bayaran atas taruhan yang disepakati. 

Menyanggupi apa yang telah menjadi perjanjian, pihak yang kalah akan membayar. Namun, pembayaran menunggu waktu setelah petang. Setelah itu, barulah dipersilahkan pulang ke Gunungkidul.

Dalam perjalanan pulang bersama abdinya, Jonantang, sesampainya di daerah Pakualaman, sebelah timur kali Code), oleh orang yang tidak dikenal, Pontjodirjo di tombak. Tidak begitu dirasakan, tombak didekap dengan lengannya. Setelah diperhatikan, ternyata senjata tombak tersebut berasal dari Kraton.

Pontjodirjo bermaksud mengembalikan tombak tersebut. Namun, atas usulan Jonantang, niat itu urung dilakukan. Jonantang berpendapat, jika nanti mengembalikan, bisa jadi dituduh mencuri senjata Kraton. 

Bergegaslah mereka melanjutkan perjalanan. Sesampainya di kediaman, barulah dirasakan efek tombak tersebut yang mengakibatkan sakit mata hingga mengalami kebutaan.

Karena itulah pada awalnya sempat ada perintah dari Kasultanan Yogyakarta untuk dilakukan penggantian bupati. Bupati agar dijabat Panji Harjodipuro. Namun, Pontjodirjo belum bersedia. Sebagaimana budaya yang berlaku, bahwa penggantian kepemimpinan berdasarkan umur atau setelah pemimpin yang hendak diganti meninggal dunia.

Mas Tumenggung Pontjodirdjo meskipun telah di upayakan agar bisa sembuh dari sakitnya, tetapi tetap tidak membawa hasil yang akhirnya beliau meninggal dunia dan di makamkan di dusun Kerjo, Genjahan, Ponjong dengan sebuah prasasti dengan suryo sengkolo yang berbunyi; ”Nyoto wignyo manggalaning noto” atau tahun 1831 dan condrosengkolo ”Hanyipto tumataning swaprojo” yang berarti tahun Jawa 1758.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Untuk sementara waktu, jalannya pemerintahan dilakukan oleh Pandji Hardjodipuro dan untuk mengadakan pertemuan-pertemuan juga dilaksakan di Kepanjen Semanu, meskipun jabatannya adalah seorang Pandji.

Adapun kisah di Mataram, karena sudah banyak wilayah yang takluk, Pangeran Mangkubumi kemudian memanggil para punggawa dari Redi Kidul untuk menghadap beliau ke Ngayogyakarta. Semuanya bergegas menghadap termasuk Panji Harjo Dipuro di Semanu, Adipati Wiro Negoro di Sumingkar, Ronggo Puspo Wilogo di Seneng atau Siraman, Noto Semito atau Nitisari yang kala itu tinggal di dusun, serta Demang Pengalasan dari tlatah Ngawen.

Pangeran Mangkubumi memerintahkan kepada Panji Harjo Dipura di Semanu selaku bupati sementara dari Kadipaten Pati Genjahan Ponjong untuk babat alas membangun tempat Kadipaten Baru yang lebih dekat dari Ngayogyakarta tetapi juga bisa menjangkau semua wilayah di Redi Kidul. Panji Harjo Dipura pun menyanggupinya. 

Menurut Buku Sara Silah Narakasuran Eyang Panji Herjodipuro merupakan keturunan Kyai Ngabehi Pontjodrono. Kyai Ngabehi Pontjodrono merupakan buyut dari Raden Wonokusumo (anak turun dari Prabu Brawijaya V) dari dukuh Wonotoro, Jatiayu Karangmojo. Versi lain putra turun dari Bondan Surati, seorang bangsawan Majapahit dari pernikahannya dengan putri Ki Guacoka. 

Eyang Panji Herjodipuro menikah dengan putri dari Kyai Setrolesono dari daerah Sampar, Paliyan. Makamnya ada di Jeblongan Pracimantoro. Beliau memiliki 4 keturunan, satu putra dan tiga putri, anak laki-laki yakni Eyang Perut, ia meninggal tenggelam di laut selatan diusia muda. dan ketiga putrinya masing-masing menikah dengan Rm. Surosaroyo, Ronggo Penatus Jurangjero, Ngawen, satunya lagi dengan R. Ng. Pontjotaruno II di Praci. Adapun yang bungsu Roro Sudarmi menikah dengan Demang Wonopawiro dari Piyaman.

Kemudian untuk memenuhi permintaan dari Pangeran Mangkubumi membangun bangsal Kadipaten baru maka Panji Harjo Dipura bermusyawarah dengan para Demang dan Bekel di Redi Kidul dan ditetapkan alas Nongko Doyong sebagai bakal tempatnya dan Demang kepercayaannya Wonopawiro dari Piyaman sebagai ketua pelaksananya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Berdasarkan cerita turun temurun sosok Wonopawiro atau Bagus Damar adalah tedak turuning Prabu Brawijaya V yang memiliki putra turun dari garwo selir bernama Raden Ngabehi Suwondo Harjo Dinomo. Raden Ngabehi Suwondo Harjo Dinomo  berputra dua orang. Yang pertama diberi nama Bagus Damar yang menjadi Demang di Piyaman dan kedua Bagus Geneng yang  menjadi demang di Karang Rejek bergelar Demang Mangun Genengan.

Tetapi membabat atau membuka hutan alas Nangka Dhoyong bukanlah pekerjaan yang mudah bagi Wanapawira. Berulang kali dilakukan, namun tetap saja gagal. Hutan belantara yang terdapat banyak berbagai hewan buas, juga dikenal gawat, angker atau wingit. Sebutan hutan atau Alas Nangka Dhoyong karena pada salah satu sudut hutan tersebut jika diamati dari atas terdapat pohon nangka yang tumbuh tidak tegak, tetapi miring atau condong (Bhs Jawa: dhoyong). Menurut beberapa kisah, pohon tersebut berada di sebelah Kali Besole.

Alas Nongko Doyong tersebut dipercayai sebagai sebagai Keraton Kajiman (keraton bangsa jin). Sudah kondang bahwa Alas Nongko Doyong adalah tempat wingit (gawat) dimana "sato moro sato mati, jalmo moro jalmo keplayu" (hewan mendekat mati, manusia mendekat lari terbirit-birit ketakutan. rumahnya para dhanyang atau lelembut, sehingga rakyat Piyaman, Beji, Pampang dan Paliyan yang dikerahkan untuk membuka hutan selalu gagal.

Atas upaya yang tak kunjung berhasil, Wanapawira mengeluh. Ia lantas meminta bantuan Mbok Nitipawira yang masih terhitung kakak Wanapawira yang dikenal sebagai orang sakti di Kademangan Piyaman, bahkan Kadipaten Gunungkidul waktu itu. Mereka berdua diyakini merupakan keturunan keluarga pelarian Majapahit.

Dari Mbok Nitisari Demang Pawiro mendapat senjata keris Kyai Carubuk (Crubuk). Konon pusaka ini berasal dari Majapahit kemuduan berpundah ke Demak, Pajang dan terakhir menjadi pusaka andalan Bagys Damar menghadapi Nyi Gadung Mlati. Selain itu ia mendapatkan senjata tombak Kyai Muntap, keris Kyai Kala Wisani dan cemeti Kyai Pamuk. 

Akhirnya, Mbok Nitipawira ikut andil dalam tugas Demang Wanapawira. Mbok Nitipawira memberikan saran kepada adiknya berupa wangsit yang diterimanya, bahwa sebelum membabat alas Nangka Dhoyong harus meminta ijin kepada penunggunya, yaitu Nyi Gadung Mlati. Permohonan ijin dilakukan dengan syarat melakukan ritual atau semedi atau nenepi di hutan tersebut selama tujuh hari tujuh malam.

Atas saran sang kakak, berangkatlah Wanapawira ke Alas Nangka Dhoyong untuk semedi. Kemudian wangsit atau wisik yang diterimanya selama semedi, menyebutkan, bahwa Nyi Gadung Mlati mengijinkan hutan dibabat dengan syarat pohon (nangka) yang ditempatinya tidak ikut ditebang. Biarlah ia (Nyi Gadung Mlati) menjadi penunggu pohon atau wilayah tersebut selama-lamanya. Siapa saja yang berani menebangnya, maka akan berhadapan dengannya. Menurut legenda, hal itu merupakan perintah Nyi Roro Kidul lewat abdi kinasihnya Nyai Nilamsari. 

Kemudian dengan dibantu Kademangan Beji, Kademangan Pampang, Kademangan Palutan serta Kepanjen Semanu (desa-desa tua waktu itu) berhasilah pembukaan hutan tersebut. Bersamaan dengan itu, Bupati Pantjadirdja di Kadipaten Pati Genjahan Ponjong yang sakit penglihataanya wafat. 

Tidak lama setelah Bupati Pantjadirdja wafat, Panji Hardjadipura menyusul wafat. Diriwayatkan meningga Eyang Panji, selepas beliau mendapat peringatan keras atau marah dari Sri Sultan Hamengkubuwono ke V. Permasalahan tersebut, sewaktu beliau diutus oleh Sultan membuat sungai Larangan dari Kali Winongo masuk Cepuri Kraton Nyayogyakarta. 

Dalam pengerjaannya, Eyang Panji tidak menggunakan cangkul dan peralatan lainnya. Tetapi ia hanya menghanyutkan Kepis, suatu wadah dari anyaman bambu, biasanya untuk tempat ikan. Lantas aliran sungai yang tadinya hanya kecil menjadi sungai yang luas. Setelah Sultan mendengar berita ini lalu marah dan menyebut Eyang Panji terlalu menunjukkan kesaktiannya.

Setelah bupati Pantjadirja dan Panji Hardjodipura meninggal, sedianya Demang Wanapawira-lah yang berhasil membabat hutan Nangka Dhoyong dan membangun pendopo dan bangsal kabupaten yang mengantikannya. Namun, dikisahkan ia tidak bersedia, karena Wanapawira mengakui dirinya tidak pandai baca tulis atau menjalankan tugas pemerintahan sebagai bupati. Lantas dirinya mempersilahkan kepada siapa saja yang bersedia memimpin Gunungkidul.

Akhirnya ditunjuklah Prawirasetika oleh Sultan Hamengkubuwono V sebagai bupati kedua di Gunungkidul menggantikan Pantjadirja pada pada hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau 15 Besar Je 1758 melengkapi kabupaten yang telah ada sebelumnya di tlatah Nyayogyakarta yaitu Bantulkarang di selatan, Denggung di utara dan Kalasan di timur. 

Gunungkidul yang pada mulanya masuk wilayah Mangkunegaran akhirnya masuk Kasultanan Ngayogyakarta. Bumi Sukowati dari Sragen sampai Madiun berpindah tangan dari Kasultanan Ngayogyakarta kepada Kasunanan Surkarta. Adapun Kabupaten Karanganyar, Wonogiri masuk Kadipaten Mangkunegaran.

Begitupun sebagian kecamatan Ngawen dan Nglipar yang meliputi 7 desa yaitu Desa Beji, Jurang Jero, Kampung, Sambirejo, Tancep dan Desa Watusigar di kecamatan Ngawen satu desa yaitu Desa Tegalrejo di kecamatan Nglipar masuk enclave Kadipaten Mangkunegaran. 

==============================

Di balik kisah babad alas Nongko Doyong ternyata tersimpan kisah cinta dan heroisme seorang pemuda. Panji Hardjodipuro dari Semanu mempunyai seorang putri bernama Roro Sudarmi. Selaku pelaksana pemerintahan, Panji Harjodipuro memanggil Demang Wonopawiro di Piyaman menghadap. 

Dikisahkan Bagus Damar atau Demang Wonopawiro adalah seorang keturunan Majapahit yang sakti, patuh, dan bakti pada atasan. Harjodipuro menugaskan Demang Wonopawiro untuk menjadi pelaksana proyek membuka Alas Nongko Doyong. 

Demang Wonopawiro yang kala itu melihat kecantikan Roro Sudarmi akhirnya jatuh hati. Singkat cerita Demang Wonopawiro berhasil membuka las Nongko Doyong dan mendirikan pendopo dan bangsal di tempat baru yang diberi nama Wonosari yang konon terilgami juga dari nama WONOpawiro dan Mbok NitiSARI dengan harapan kelak menjadi tempat yang nyaman dan membawa kemakmuran. 

Melihat keberhasilan Demang Wonopawiro tersebut, Ronggo Puspowilogo, seorang demang dari Seneng, daerah Siraman, menjadi iri karena dia berharap pada mulanya dialah yang diberi tugas oleh Panji Harjodipuro untuk membuka hutan Nongko Doyong. Ronggo Puspowilogo pun mulai membangun Ibu kotanya sendiri. Pasar didirikan di daerah Seneng.

Konon dalam perjalanan pulang dari pisowanan di keraton Nyayogyakarta, Bagus Damar di cegat oleh Ronggo Puspo Wilogo. Diajaklah Demang Damar oleh Rangga Puspa Wilogo untuk berkelahi, beradu kehebatan. Awalnya Demang Damar sempat menolak, tetapi tetap saja perkelahian terjadi. Karena keduanya memiliki kemampuan yang sebanding maka perkelahian terhenti. 

Rasa benci yang berlebih pada diri Rangga Puspawilaga membuatnya menyumpah dan mengutuk Demang Damar, bahwa ia tidak akan berhubungan lagi dengannya, tidak akan menganggapnya sebagai saudara, dan memutus hubungan dengannya hingga keturunan ke-7. Suatu jumlah atau kuantitas untuk menunjukkan rentang waktu yang lama atau untuk selamanya.

Tempat di mana peristiwa tersebut terjadi menjadi asal-usul nama tempat. Pada waktu itu kuda-kuda rombongan Demang Damar diikatkan pada Pohon Sambi. Ditambah adanya sumpah-serapah Rangga Puspawilaga yang tak mau berhubungan dengan wong ndeso (saat itu Bagud Damar hidup di pelosok desa) hingga keturunan ke-7, maka sebagai pengingat pada suatu saat di jaman kemakmuran kelak, oleh Demang Damar tempat tersebut dinamakan  Sambipitu. 

Pohon kesambi tempat berdebat dan menambatkan kuda itu sekarang bernama Sambi Pitu. Diambil dari sumpah Ronggo Puspo Wilogo yang turun temurun hingga tujuh keturunan.

Dikisahkan pada suatu hari Roro Sudarmi pergi ke Pasar Seneng ditemani oleh pembantunya. Roro Sudarmi pergi tanpa ijin ayahnya. Raden Puspoyudo, putra Ronggo Puspowilogo, menggodanya. Roro Sudarmi menolak. Puspoyudo jatuh hati kepada Roro Sudarmi. Roro Sudarmi melarikan diri ke Piyaman. Roro Sudarmi datang ke tempat Mbok Nitisari yang kebetulan masih saudara ayahnya. Roro Sudarmi menceritakan peristiwa yang terjadi di Pasar Seneng. Roro Sudarmi beserta pembantunya diantar pulang oleh Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari ke Semanu.

Puspoyudo sendiri meminta ayahnya, Ronggo Puspowilogo untuk melamarkan Roro Sudarmi ke Semanu. Panji Harjodipuro di rumahnya menerima rombongan Ronggo Puspowilogo dari Seneng yang datang untuk melamarkan Roro Sudarmi bagi anaknya. Lamaran Ronggo Puspowilogo belum dijawab dengan alasan banyak yang melamar Roro Sudarmi. Banyak pria yang berkenan ingin melamar Roro Sudarmi. 

Pada waktu itu Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari juga datang ke Semanu mengantarkan Roro Sudarmi yang sekaligus bermaksud pula untuk melamar Roro Sudarmi. Untuk menyelesaikan permasalahan pelik ini, Panji Harjodipuro mengadakan sayembara memanah babal (buah nangka yang masih muda) untuk mencarikan jodoh bagi Roro Sudarmi. 

Tak luput, Demang Wonopawiro dan Ronggo Puspoyudo mengikuti sayembara itu. Demang Wonopawiro pada akhirnya berhasil memenangkan sayembara dan memboyong Roro Sudarmi sebagai istrinya di Piyaman. 

Ronggo Puspowilogo marah dan menggalang pasukan hingga daerah Bantul untuk membunuh Demang Wonopawiro. Demang Wonopawiro kemudian juga memperkuat pasukan dengan 4 bregodo, yang terdiri dari pasukan timur, tengah, selatan dan utara. Semua pasukan dikerahkan untuk mengepung pasukan Demang Puspowilogo yang masuk ke desa-desa. 

Pasukan utara yang paling jauh berhenti di sebuah kampung, yang diberi nama Desa Ngalang (daerah Gedangsari) yang artinya memutar karena tempat pemberhentian tersebut dirasa terlalu berputar-putar dan sangat jauh. Dari selatan datang dari arah Dlingo. Keempat bregada pasukan bertemu di sebuah desa yang kemudian diberi nama Pathuk, artinya kepethuk atau bertemu.

Pertempuran terjadi di dekat Alas Nongko Doyong yang telah dibuka. Puspowilogo dan panji dari Bantul duel melawan Demang Wonopawiro. Untuk menghadapi pertempuran itu, Demang Wonopawiro diberi bekal tombak Kyai Muntab oleh Mbok Nitisari. Ronggo Puspowilogo dan seorang panji dari Bantul akhirnya tewas ditombak Demang Wonopawiro. Demang Wonopawiro yang menolak jabatan bupati akhirnya diberi hadiah oleh Sultan dan dijadikan penasehat para demang di tlatah Gunungkidul. 

==============================

( Diolah dari berbagai sumber )
#sukristiawan.com#

sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...