Rabu, 05 Agustus 2020

sukristiawan.com:Sejarah Gunungkidul

Sejarah Gunungkidul


Babad Alas Nongko Doyong Redi Kidul 
(Mengenal lebih dekat Sejarah Gunungkidul) 

Awalnya Gunungkidul merupakan hutan lebat di mana kemudian tumbuh sebuah desa dengan dihuni beberapa orang yang merupakan pelarian dari kerajaan Majapahit. Desa itu dikenal bernama Pongangan yang dipimpin Raden Dewa Katong, yang masih memiliki hubungan saudara dengan Prabu Brawijaya V. Di desa tersebut Dewa Katong bertapa dengan maksud agar anak cucunya kelak dapat menjadi orang terkemuka serta dapat memegang tampuk pemerintahan. 

Setelah cukup lama Dewa Katong bertapa, ia memperoleh wangsit bahwa permintaannya dikabulkan oleh dewa. kemudian Dewa Katong pindah kehutan di sebelah utara Desa Pongangan, 10 km dari tempat pertapaannya. ia bertempat tinggal di daerah tersebut sampai meninggalnya. oleh karena itu desa tersebut dinamakan Desa Katongan.

Sepeninggalan ayahnya, anaknya yang bernama Raden Suromejo giat membangun Desa Pongangan sehingga lama kelamaan desa tersebut menjadi semakin ramai dan banyak dihuni orang. setelah daerah tersebut banyak dihuni orang, maka Suromejo berpindah tempat tinggalnya mengambil tempat di bawah pohon maja yang tumbuh di dekat batu karang dan sampai sekarang desa tersebut dinamakan Desa Karangmojo.

Lama kelamaan Desa Karangmojo makin padat penduduknya. perkembangan penduduk di daerah Gunungkidul yang semakin padat terdengar oleh prajurit Mataram dan dilaporkan kepada Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kraton Kartasura. Penguasa Mataram tersebut lantas mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso agar membuktikan kebenaran kabar yang didengarnya tersebut.

Setelah ditelisik oleh mata-mata dan telik sandi kraton, ternyata benar bahwa ada penguasa daerah di Redi Kidul, sehingga utusan yang di pimpin Tumenggung Prawiropekso mendatangi desa Pongangan dan mengajak kepada Ki Suromejo supaya datang ke kraton untuk meminta ijin penguasa Mataram tersebut. Sebab wilayah yang dihuni merupakan kekuasaan Kerajaan Mataram.

Ajakan Tumenggung Prawiropekso kepada Ki Suromejo ini mendapat tanggapan dingin, bahkan ditolaknya. Ki Suromejo tidak mau minta ijin karena tidak ada dasar dasar yang menentukan bahwa pulau jawa itu milik Raja Kartosuro, tetapi terjadinya dari Tuhan sendiri dan disediakan kepada setiap manusia yang mau menghuninya. Terjadilah perselisihan pendapat antara Tumenggung Pawiropekso dari Kartosuro dengan Ki Suromejo dari Karangmojo.

Tumenggung Prawiropekso selaku utusan kraton Mataram memberikan laporan kepada Sunan Amangkurat Amral. Penolakan ini pada akhirnya membuat sang raja murka dan kemudian Kerajaan Mataram menyerang Pongangan. Pertempuran pun terjadi, tetapi oleh karena tentara Ki Suromejo jauh lebih kecil maka mereka dapat di lumpuhkan. Ki Suromejo sendiri diakhir hayatnya dimakamkan di Babadan Ponorogo tempat asal ayahnya. 

===============================

Pasca kepemimpinan Ki Suromejo, wilayah Redi Kidul dipegang oleh trah Arya Mangkunegoro dari Surakarta. Kanjeng Pangeran Arya karena suatu fitnah yang dikarang oleh Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo, dua orang wali raja Pakubuwono II karena raja (masih berumur 16 tahun). dibuang oleh Belanda ke Srilangka (Ceylon). 

Dalam fitnah itu ia dikatakan telah berzinah dengan seorang selir PB II (yakni Mas Ayu Larasati). Pada mulanya ia dijatuhi hukuman mati, namun kemudian diubah menjadi hukuman buang. Peristiwa ini terjadi ketika putranya, R.M Said masih berumur 2 tahun.

Menjelang berumur 14 tahun, Raden Mas Said diangkat menjadi Mantri Gandek Keraton Kartasuro atas kehendak PB II, dengan nama R.M. Ng Suryo Kusumo. Untuk jabatan ini ia memperoleh tanah lungguh sebesar 50 jung. Adik-adiknya, Raden Rambia bergelar R. M. Ng. Martokusumo dan R. M. Sabar bergelar R. M. Ng Wirakusumo. Mereka mendapat tanah lungguh masing-masing seluas 25 jung. 

Raden Mas Sabar saudara Pangeran Samber Nyawa yang bergelar Wira Kusuma / Mangku Kusuma / Narakusura yang merasa tidak bisa menetap di Surakarta dan berpandangan sama dengan kakaknya Raden Mas Said (Pangeran Samber Nyawa) mengembara ke Ponjong dan menjadi penguasa di Pati, Genjahan menggantikan Ki Suromejo. 

Makam Eyang Wira Kusuma/Mangku Kusuma ada di atas Gunung Tutup, pedukuhan Gedaren desa Sumbergiri Ponjong. Diatas bukit ini, beliau menutup diri dari kejaran pasukan Hindia Belanda kala itu supaya tidak ada orang yang tahu bahwa beliau bersembunyi di bukit tersebut sehingga disebut Gunung Tutup. 

~~~~~~~~~~~~~~~

Pengganti beliau di Pati Genjahan Ponjong selanjutnya adalah Tumenggung Pontjadirdjo. Tumenggung Pontjodirdjo adalah putra Ronggo Pontjo djiwo asal Ngawen. Pontjodjiwo mempunyai 4 saudara yaitu Ny. Minto Widjoyo, Pontjo Sadewo, Tambak Ganggeng dan Pontjo Benawi. 

Berhubung Ki Mintowijoyo, Ki Poncobenawi serta Ki Poncosedewo mati terbunuh dalam perang Mangkubumen, Pangeran Samber Nyawa menempatkan Ki Pontjodirdjo sebagai bupati Pati, Genjahan Ponjong Gunungkidul menggantikan adik beliau Pangeran Wirakusuma / Mangku Kusuma yang dimakamkan di Gunung Tutup. 

Wilayah yang berada di bawah kendali Tumenggung Pontjodirdjo waktu itu dari utara, timur ke area barat dari Karangmojo, Pati, hingga Sumingkar (sekarang Sambipitu) yang meliputi Pongangan Nglipar, Karangmojo, Pati Genjahan dan Semanu.

Pada saat Ki Tumenggung Pontjodirdjo melaksanakan jalannya pemerintahan, di beberapa wilayah telah ada pejabat seperti Pandji, Ronggo, Demang, Bekel dan sebutan lainnya. Salah satu pejabat yang berada di Semanu saat itu adalah Raden Pandji Hardjodipuro atau sebagai Kepala Distrik, putra dari Ngabehi Pontjodrono, sehingga wilayah ini dikenal dengan sebutan Kepanjen Semanu.

Dalam menjalankan tugasnya, Poncodirjo berulang kali melaksanakan pertemuan dengan demang, panji, ronggo maupun bekel untuk membahas kesejahteraan rakyatnya. 

Pada masa itu, Kesultanan Mataram yang ada di Surakarta di pecah menjadi 2 bagian setelah adanya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Jadilah Surakarta Hadiningrat yang diperintah oleh Susuhunan Pakubuwono lll dan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diperintah oleh Pangeran Mangkubumi. 

Pangeran Mangkubumi diberi wilayah kekuasaan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan luasan wilayah barat hingga Tegal Wangi atau Tegal Slawi, ke timur sampai tlatah bumi Sukowati, Mantingan. Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Karena hendak menata negara, di pegunungan sewu waktu itu telah ada kabupaten namun namanya bukan Gunungkidul, melainkan Kabupaten Pati yang beribukota di Ponjong, sekarang masih ada letaknya di Padukuhan Pati, Desa Genjahan Ponjong dibawah kekuasaan Pangeran Sambernyawa, pendiri Kadipaten Mangkunegaran yang menjadi rival Pangeran Mangkubumi kala itu. 

Bupati Ponco Dirjo di Pati bersikukuh belum bersedia takluk kepada Pangeran Mangkubumi, tetapi meski begitu, banyak para punggawa yang sudah mulai takluk kepada Pangeran Mangkubumi. Antara lain Panji Harjo Dipuro di Semanu, Adipati Wiro Negoro di Sumingkar, Ronggo Puspo Wilogo di Seneng atau Siraman, Noto Semito atau Nitisari yang kala itu tinggal di dusun, serta Demang Pengalasan dari tlatah Ngawen.

Namun pada suatu hari, Bupati Gunungkidul Mas Tumenggung Pontjodirdjo menderita sakit mata atau Gerah Paningal, yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan tugas-tugas keluar. Oleh karenanya, untuk melaksanakan tugas-tugas keluar, di tunjuklah Pandji Hardjodipuro yang berkedudukan di Kepanjen Semanu, maka sejak itulah Pandji Harjodipuro diijinkan dan sudah berhak menggunakan Pakaian Kebesaran Bupati dan sudah diijinkan pula untuk menggunakan Cinde dan kebesaran lainnya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kisah kebutaan Tumenggung Pontjodirjo diawali saat beliau melakukan rutinitas atau kegemaran sabung ayam bersama para Pangeran di Ngayogyakarta. Disebutkan, kegiatan itu merupakan kebiasaan bangsawan atau orang-orang yang mempunyai kedudukan.

Pada salah satu kegiatan sabung ayam, ayam jago aduan milik Pontjodirjo hendak kalah. Saat jeda, seperti biasa ayam jago dibasahi air (dibanyoni). Merasa akan menang, pemilik ayam musuh Pontjodirjo mengejek dengan berujar, ”masak iya ayam dari Nggunung mau menang lawan ayam Yogyakarta”.

Tapi kenyataannya, ayam Pontjodirjolah yang akhirnya berhasil menang. Atas kemenangannya, ia berbalik sesumbar. Sembari mengangkat kaki, dirinya mengatakan, ”walaupun jago Gunungkidul, memiliki keampuhan untuk menang,”. lantas ia meminta bayaran atas taruhan yang disepakati. 

Menyanggupi apa yang telah menjadi perjanjian, pihak yang kalah akan membayar. Namun, pembayaran menunggu waktu setelah petang. Setelah itu, barulah dipersilahkan pulang ke Gunungkidul.

Dalam perjalanan pulang bersama abdinya, Jonantang, sesampainya di daerah Pakualaman, sebelah timur kali Code), oleh orang yang tidak dikenal, Pontjodirjo di tombak. Tidak begitu dirasakan, tombak didekap dengan lengannya. Setelah diperhatikan, ternyata senjata tombak tersebut berasal dari Kraton.

Pontjodirjo bermaksud mengembalikan tombak tersebut. Namun, atas usulan Jonantang, niat itu urung dilakukan. Jonantang berpendapat, jika nanti mengembalikan, bisa jadi dituduh mencuri senjata Kraton. 

Bergegaslah mereka melanjutkan perjalanan. Sesampainya di kediaman, barulah dirasakan efek tombak tersebut yang mengakibatkan sakit mata hingga mengalami kebutaan.

Karena itulah pada awalnya sempat ada perintah dari Kasultanan Yogyakarta untuk dilakukan penggantian bupati. Bupati agar dijabat Panji Harjodipuro. Namun, Pontjodirjo belum bersedia. Sebagaimana budaya yang berlaku, bahwa penggantian kepemimpinan berdasarkan umur atau setelah pemimpin yang hendak diganti meninggal dunia.

Mas Tumenggung Pontjodirdjo meskipun telah di upayakan agar bisa sembuh dari sakitnya, tetapi tetap tidak membawa hasil yang akhirnya beliau meninggal dunia dan di makamkan di dusun Kerjo, Genjahan, Ponjong dengan sebuah prasasti dengan suryo sengkolo yang berbunyi; ”Nyoto wignyo manggalaning noto” atau tahun 1831 dan condrosengkolo ”Hanyipto tumataning swaprojo” yang berarti tahun Jawa 1758.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Untuk sementara waktu, jalannya pemerintahan dilakukan oleh Pandji Hardjodipuro dan untuk mengadakan pertemuan-pertemuan juga dilaksakan di Kepanjen Semanu, meskipun jabatannya adalah seorang Pandji.

Adapun kisah di Mataram, karena sudah banyak wilayah yang takluk, Pangeran Mangkubumi kemudian memanggil para punggawa dari Redi Kidul untuk menghadap beliau ke Ngayogyakarta. Semuanya bergegas menghadap termasuk Panji Harjo Dipuro di Semanu, Adipati Wiro Negoro di Sumingkar, Ronggo Puspo Wilogo di Seneng atau Siraman, Noto Semito atau Nitisari yang kala itu tinggal di dusun, serta Demang Pengalasan dari tlatah Ngawen.

Pangeran Mangkubumi memerintahkan kepada Panji Harjo Dipura di Semanu selaku bupati sementara dari Kadipaten Pati Genjahan Ponjong untuk babat alas membangun tempat Kadipaten Baru yang lebih dekat dari Ngayogyakarta tetapi juga bisa menjangkau semua wilayah di Redi Kidul. Panji Harjo Dipura pun menyanggupinya. 

Menurut Buku Sara Silah Narakasuran Eyang Panji Herjodipuro merupakan keturunan Kyai Ngabehi Pontjodrono. Kyai Ngabehi Pontjodrono merupakan buyut dari Raden Wonokusumo (anak turun dari Prabu Brawijaya V) dari dukuh Wonotoro, Jatiayu Karangmojo. Versi lain putra turun dari Bondan Surati, seorang bangsawan Majapahit dari pernikahannya dengan putri Ki Guacoka. 

Eyang Panji Herjodipuro menikah dengan putri dari Kyai Setrolesono dari daerah Sampar, Paliyan. Makamnya ada di Jeblongan Pracimantoro. Beliau memiliki 4 keturunan, satu putra dan tiga putri, anak laki-laki yakni Eyang Perut, ia meninggal tenggelam di laut selatan diusia muda. dan ketiga putrinya masing-masing menikah dengan Rm. Surosaroyo, Ronggo Penatus Jurangjero, Ngawen, satunya lagi dengan R. Ng. Pontjotaruno II di Praci. Adapun yang bungsu Roro Sudarmi menikah dengan Demang Wonopawiro dari Piyaman.

Kemudian untuk memenuhi permintaan dari Pangeran Mangkubumi membangun bangsal Kadipaten baru maka Panji Harjo Dipura bermusyawarah dengan para Demang dan Bekel di Redi Kidul dan ditetapkan alas Nongko Doyong sebagai bakal tempatnya dan Demang kepercayaannya Wonopawiro dari Piyaman sebagai ketua pelaksananya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Berdasarkan cerita turun temurun sosok Wonopawiro atau Bagus Damar adalah tedak turuning Prabu Brawijaya V yang memiliki putra turun dari garwo selir bernama Raden Ngabehi Suwondo Harjo Dinomo. Raden Ngabehi Suwondo Harjo Dinomo  berputra dua orang. Yang pertama diberi nama Bagus Damar yang menjadi Demang di Piyaman dan kedua Bagus Geneng yang  menjadi demang di Karang Rejek bergelar Demang Mangun Genengan.

Tetapi membabat atau membuka hutan alas Nangka Dhoyong bukanlah pekerjaan yang mudah bagi Wanapawira. Berulang kali dilakukan, namun tetap saja gagal. Hutan belantara yang terdapat banyak berbagai hewan buas, juga dikenal gawat, angker atau wingit. Sebutan hutan atau Alas Nangka Dhoyong karena pada salah satu sudut hutan tersebut jika diamati dari atas terdapat pohon nangka yang tumbuh tidak tegak, tetapi miring atau condong (Bhs Jawa: dhoyong). Menurut beberapa kisah, pohon tersebut berada di sebelah Kali Besole.

Alas Nongko Doyong tersebut dipercayai sebagai sebagai Keraton Kajiman (keraton bangsa jin). Sudah kondang bahwa Alas Nongko Doyong adalah tempat wingit (gawat) dimana "sato moro sato mati, jalmo moro jalmo keplayu" (hewan mendekat mati, manusia mendekat lari terbirit-birit ketakutan. rumahnya para dhanyang atau lelembut, sehingga rakyat Piyaman, Beji, Pampang dan Paliyan yang dikerahkan untuk membuka hutan selalu gagal.

Atas upaya yang tak kunjung berhasil, Wanapawira mengeluh. Ia lantas meminta bantuan Mbok Nitipawira yang masih terhitung kakak Wanapawira yang dikenal sebagai orang sakti di Kademangan Piyaman, bahkan Kadipaten Gunungkidul waktu itu. Mereka berdua diyakini merupakan keturunan keluarga pelarian Majapahit.

Dari Mbok Nitisari Demang Pawiro mendapat senjata keris Kyai Carubuk (Crubuk). Konon pusaka ini berasal dari Majapahit kemuduan berpundah ke Demak, Pajang dan terakhir menjadi pusaka andalan Bagys Damar menghadapi Nyi Gadung Mlati. Selain itu ia mendapatkan senjata tombak Kyai Muntap, keris Kyai Kala Wisani dan cemeti Kyai Pamuk. 

Akhirnya, Mbok Nitipawira ikut andil dalam tugas Demang Wanapawira. Mbok Nitipawira memberikan saran kepada adiknya berupa wangsit yang diterimanya, bahwa sebelum membabat alas Nangka Dhoyong harus meminta ijin kepada penunggunya, yaitu Nyi Gadung Mlati. Permohonan ijin dilakukan dengan syarat melakukan ritual atau semedi atau nenepi di hutan tersebut selama tujuh hari tujuh malam.

Atas saran sang kakak, berangkatlah Wanapawira ke Alas Nangka Dhoyong untuk semedi. Kemudian wangsit atau wisik yang diterimanya selama semedi, menyebutkan, bahwa Nyi Gadung Mlati mengijinkan hutan dibabat dengan syarat pohon (nangka) yang ditempatinya tidak ikut ditebang. Biarlah ia (Nyi Gadung Mlati) menjadi penunggu pohon atau wilayah tersebut selama-lamanya. Siapa saja yang berani menebangnya, maka akan berhadapan dengannya. Menurut legenda, hal itu merupakan perintah Nyi Roro Kidul lewat abdi kinasihnya Nyai Nilamsari. 

Kemudian dengan dibantu Kademangan Beji, Kademangan Pampang, Kademangan Palutan serta Kepanjen Semanu (desa-desa tua waktu itu) berhasilah pembukaan hutan tersebut. Bersamaan dengan itu, Bupati Pantjadirdja di Kadipaten Pati Genjahan Ponjong yang sakit penglihataanya wafat. 

Tidak lama setelah Bupati Pantjadirdja wafat, Panji Hardjadipura menyusul wafat. Diriwayatkan meningga Eyang Panji, selepas beliau mendapat peringatan keras atau marah dari Sri Sultan Hamengkubuwono ke V. Permasalahan tersebut, sewaktu beliau diutus oleh Sultan membuat sungai Larangan dari Kali Winongo masuk Cepuri Kraton Nyayogyakarta. 

Dalam pengerjaannya, Eyang Panji tidak menggunakan cangkul dan peralatan lainnya. Tetapi ia hanya menghanyutkan Kepis, suatu wadah dari anyaman bambu, biasanya untuk tempat ikan. Lantas aliran sungai yang tadinya hanya kecil menjadi sungai yang luas. Setelah Sultan mendengar berita ini lalu marah dan menyebut Eyang Panji terlalu menunjukkan kesaktiannya.

Setelah bupati Pantjadirja dan Panji Hardjodipura meninggal, sedianya Demang Wanapawira-lah yang berhasil membabat hutan Nangka Dhoyong dan membangun pendopo dan bangsal kabupaten yang mengantikannya. Namun, dikisahkan ia tidak bersedia, karena Wanapawira mengakui dirinya tidak pandai baca tulis atau menjalankan tugas pemerintahan sebagai bupati. Lantas dirinya mempersilahkan kepada siapa saja yang bersedia memimpin Gunungkidul.

Akhirnya ditunjuklah Prawirasetika oleh Sultan Hamengkubuwono V sebagai bupati kedua di Gunungkidul menggantikan Pantjadirja pada pada hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau 15 Besar Je 1758 melengkapi kabupaten yang telah ada sebelumnya di tlatah Nyayogyakarta yaitu Bantulkarang di selatan, Denggung di utara dan Kalasan di timur. 

Gunungkidul yang pada mulanya masuk wilayah Mangkunegaran akhirnya masuk Kasultanan Ngayogyakarta. Bumi Sukowati dari Sragen sampai Madiun berpindah tangan dari Kasultanan Ngayogyakarta kepada Kasunanan Surkarta. Adapun Kabupaten Karanganyar, Wonogiri masuk Kadipaten Mangkunegaran.

Begitupun sebagian kecamatan Ngawen dan Nglipar yang meliputi 7 desa yaitu Desa Beji, Jurang Jero, Kampung, Sambirejo, Tancep dan Desa Watusigar di kecamatan Ngawen satu desa yaitu Desa Tegalrejo di kecamatan Nglipar masuk enclave Kadipaten Mangkunegaran. 

==============================

Di balik kisah babad alas Nongko Doyong ternyata tersimpan kisah cinta dan heroisme seorang pemuda. Panji Hardjodipuro dari Semanu mempunyai seorang putri bernama Roro Sudarmi. Selaku pelaksana pemerintahan, Panji Harjodipuro memanggil Demang Wonopawiro di Piyaman menghadap. 

Dikisahkan Bagus Damar atau Demang Wonopawiro adalah seorang keturunan Majapahit yang sakti, patuh, dan bakti pada atasan. Harjodipuro menugaskan Demang Wonopawiro untuk menjadi pelaksana proyek membuka Alas Nongko Doyong. 

Demang Wonopawiro yang kala itu melihat kecantikan Roro Sudarmi akhirnya jatuh hati. Singkat cerita Demang Wonopawiro berhasil membuka las Nongko Doyong dan mendirikan pendopo dan bangsal di tempat baru yang diberi nama Wonosari yang konon terilgami juga dari nama WONOpawiro dan Mbok NitiSARI dengan harapan kelak menjadi tempat yang nyaman dan membawa kemakmuran. 

Melihat keberhasilan Demang Wonopawiro tersebut, Ronggo Puspowilogo, seorang demang dari Seneng, daerah Siraman, menjadi iri karena dia berharap pada mulanya dialah yang diberi tugas oleh Panji Harjodipuro untuk membuka hutan Nongko Doyong. Ronggo Puspowilogo pun mulai membangun Ibu kotanya sendiri. Pasar didirikan di daerah Seneng.

Konon dalam perjalanan pulang dari pisowanan di keraton Nyayogyakarta, Bagus Damar di cegat oleh Ronggo Puspo Wilogo. Diajaklah Demang Damar oleh Rangga Puspa Wilogo untuk berkelahi, beradu kehebatan. Awalnya Demang Damar sempat menolak, tetapi tetap saja perkelahian terjadi. Karena keduanya memiliki kemampuan yang sebanding maka perkelahian terhenti. 

Rasa benci yang berlebih pada diri Rangga Puspawilaga membuatnya menyumpah dan mengutuk Demang Damar, bahwa ia tidak akan berhubungan lagi dengannya, tidak akan menganggapnya sebagai saudara, dan memutus hubungan dengannya hingga keturunan ke-7. Suatu jumlah atau kuantitas untuk menunjukkan rentang waktu yang lama atau untuk selamanya.

Tempat di mana peristiwa tersebut terjadi menjadi asal-usul nama tempat. Pada waktu itu kuda-kuda rombongan Demang Damar diikatkan pada Pohon Sambi. Ditambah adanya sumpah-serapah Rangga Puspawilaga yang tak mau berhubungan dengan wong ndeso (saat itu Bagud Damar hidup di pelosok desa) hingga keturunan ke-7, maka sebagai pengingat pada suatu saat di jaman kemakmuran kelak, oleh Demang Damar tempat tersebut dinamakan  Sambipitu. 

Pohon kesambi tempat berdebat dan menambatkan kuda itu sekarang bernama Sambi Pitu. Diambil dari sumpah Ronggo Puspo Wilogo yang turun temurun hingga tujuh keturunan.

Dikisahkan pada suatu hari Roro Sudarmi pergi ke Pasar Seneng ditemani oleh pembantunya. Roro Sudarmi pergi tanpa ijin ayahnya. Raden Puspoyudo, putra Ronggo Puspowilogo, menggodanya. Roro Sudarmi menolak. Puspoyudo jatuh hati kepada Roro Sudarmi. Roro Sudarmi melarikan diri ke Piyaman. Roro Sudarmi datang ke tempat Mbok Nitisari yang kebetulan masih saudara ayahnya. Roro Sudarmi menceritakan peristiwa yang terjadi di Pasar Seneng. Roro Sudarmi beserta pembantunya diantar pulang oleh Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari ke Semanu.

Puspoyudo sendiri meminta ayahnya, Ronggo Puspowilogo untuk melamarkan Roro Sudarmi ke Semanu. Panji Harjodipuro di rumahnya menerima rombongan Ronggo Puspowilogo dari Seneng yang datang untuk melamarkan Roro Sudarmi bagi anaknya. Lamaran Ronggo Puspowilogo belum dijawab dengan alasan banyak yang melamar Roro Sudarmi. Banyak pria yang berkenan ingin melamar Roro Sudarmi. 

Pada waktu itu Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari juga datang ke Semanu mengantarkan Roro Sudarmi yang sekaligus bermaksud pula untuk melamar Roro Sudarmi. Untuk menyelesaikan permasalahan pelik ini, Panji Harjodipuro mengadakan sayembara memanah babal (buah nangka yang masih muda) untuk mencarikan jodoh bagi Roro Sudarmi. 

Tak luput, Demang Wonopawiro dan Ronggo Puspoyudo mengikuti sayembara itu. Demang Wonopawiro pada akhirnya berhasil memenangkan sayembara dan memboyong Roro Sudarmi sebagai istrinya di Piyaman. 

Ronggo Puspowilogo marah dan menggalang pasukan hingga daerah Bantul untuk membunuh Demang Wonopawiro. Demang Wonopawiro kemudian juga memperkuat pasukan dengan 4 bregodo, yang terdiri dari pasukan timur, tengah, selatan dan utara. Semua pasukan dikerahkan untuk mengepung pasukan Demang Puspowilogo yang masuk ke desa-desa. 

Pasukan utara yang paling jauh berhenti di sebuah kampung, yang diberi nama Desa Ngalang (daerah Gedangsari) yang artinya memutar karena tempat pemberhentian tersebut dirasa terlalu berputar-putar dan sangat jauh. Dari selatan datang dari arah Dlingo. Keempat bregada pasukan bertemu di sebuah desa yang kemudian diberi nama Pathuk, artinya kepethuk atau bertemu.

Pertempuran terjadi di dekat Alas Nongko Doyong yang telah dibuka. Puspowilogo dan panji dari Bantul duel melawan Demang Wonopawiro. Untuk menghadapi pertempuran itu, Demang Wonopawiro diberi bekal tombak Kyai Muntab oleh Mbok Nitisari. Ronggo Puspowilogo dan seorang panji dari Bantul akhirnya tewas ditombak Demang Wonopawiro. Demang Wonopawiro yang menolak jabatan bupati akhirnya diberi hadiah oleh Sultan dan dijadikan penasehat para demang di tlatah Gunungkidul. 

==============================

( Diolah dari berbagai sumber )
#sukristiawan.com#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...