Jumat, 05 Oktober 2018

Sukristiawan. com:Tanya Jawab: Hukum Jual Beli Kredit

Tanya Jawab: Hukum Jual Beli Kredit
 Jan 06, 2010  Artikel, Tanya Jawab Syariah  0
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bagaimana hukumnya kalau kita menyewakan atau menjual barang dengan harga beda? Misalnya untuk sewa 1 bulan = 100.000 dan sewa 2 minggu = 70.000. Serta untuk menjual barang cash = 100.000, kredit selama 2 bulan @ 70.000. Bagaimana hukum keduanya (sewa atau beli harga beda)? Kalau hukumnya haram, bagaimana sebaiknya? Jazakallah atas petunjuknya,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah, shalwat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Langsung saja, masalah hukum perkreditan yang ditanyakan di sini insya Allah boleh, walaupun terjadi perbedaan harga, asalkan transaksinya jelas. Ketika pembeli pergi membawa barang, telah ada kepastian pilihan harga yang ia ambil.
Untuk lebih lanjutnya bisa baca artikel yang telah saya tulis tentang hkum jual beli kredit.
Wassalamu’alaikum
HUKUM PERKREDITAN
Macam-Macam Praktek Perkreditan.
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua : Pemilik barang.
Pihak ketiga : Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﺗَﺪَﺍﻳَﻨْﺘُﻢْ ﺑِﺪَﻳْﻦٍ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺟَﻞٍ ﻣُﺴَﻤّﻰً ﻓَﺎﻛْﺘُﺒُﻮﻩُ . ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha .
ﺍﺷﺘﺮﻯ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﻳﻬﻮﺩﻱٍّ ﻃﻌﺎﻣﺎً ﻧﺴﻴﺌﺔً ﻭﺭﻫﻨﻪ ﺩﺭﻋَﻪ . ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga : Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu .
ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﻣﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﺠﻬﺰ ﺟﻴﺸﺎ ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻇﻬﺮ ﻗﺎﻝ ﻓﺄﻣﺮﻩ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺒﺘﺎﻉ ﻇﻬﺮﺍ ﺇﻟﻰ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺪﻕ ﻓﺎﺑﺘﺎﻉ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻟﺒﻌﻴﺮ ﺑﺎﻟﺒﻌﻴﺮﻳﻦ ﻭﺑﺎﻷﺑﻌﺮﺓ ﺇﻟﻰ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺪﻕ ﺑﺄﻣﺮ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻲ ﻭﺣﺴﻨﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
ﻣﻦ ﺃﺳﻠﻒ ﻓﻠﻴﺴﻠﻒ ﻓﻲ ﻛﻴﻞ ﻣﻌﻠﻮﻡ ﻭﻭﺯﻥ ﻣﻌﻠﻮﻡ ﺇﻟﻰ ﺃﺟﻞ ﻣﻌﻠﻮﻡ . ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻣﻦ ﺑَﺎﻉَ ﺑَﻴْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻓﻲ ﺑَﻴْﻌَﺔٍ ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﻭْﻛَﺴُﻬُﻤَﺎ ﺃﻭ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﻏﻴﺮﻩ
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻗﺎﻝ : ﻟﻌﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺁﻛﻞ ﺍﻟﺮﺑﺎ ﻭﻣﻮﻛﻠﻪ ﻭﻛﺎﺗﺒﻪ ﻭﺷﺎﻫﺪﻳﻪ، ﻭﻗﺎﻝ : ﻫﻢ ﺳﻮﺍﺀ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu , ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ : ﻣﻦ ﺍﺑﺘﺎﻉ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻓﻼ ﻳﺒﻌﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻘﺒﻀﻪ . ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﻭﺃﺣﺴﺐ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﺑﻤﻨﺰﻟﺔ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ . ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu , ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit t berikut:
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ : ﺍﺑﺘﻌﺖ ﺯﻳﺘﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻮﻕ، ﻓﻠﻤﺎ ﺍﺳﺘﻮﺟﺒﺘﻪ ﻟﻨﻔﺴﻲ ﻟﻘﻴﻨﻲ ﺭﺟﻞ ﻓﺄﻋﻄﺎﻧﻲ ﺑﻪ ﺭﺑﺤﺎ ﺣﺴﻨﺎ، ﻓﺄﺭﺩﺕ ﺃﻥ ﺃﺿﺮﺏ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻩ، ﻓﺄﺧﺬ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺧﻠﻔﻲ ﺑﺬﺭﺍﻋﻲ، ﻓﺎﻟﺘﻔﺖ ﻓﺈﺫﺍ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻓﻘﺎﻝ : ﻻ ﺗﺒﻌﻪ ﺣﻴﺚ ﺍﺑﺘﻌﺘﻪ ﺣﺘﻰ ﺗﺤﻮﺯﻩ ﺇﻟﻰ ﺭﺣﻠﻚ ﻓﺈﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ e ﻧﻬﻰ ﺃﻥ ﺗﺒﺎﻉ ﺍﻟﺴﻠﻊ ﺣﻴﺚ ﺗﺒﺘﺎﻉ ﺣﺘﻰ ﻳﺤﻮﺯﻫﺎ ﺍﻟﺘﺠﺎﺭ ﺇﻟﻰ ﺭﺣﺎﻟﻬﻢ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas t ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
ﻗﻠﺖ ﻻﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﻛﻴﻒ ﺫﺍﻙ؟ ﻗﺎﻝ : ﺫﺍﻙ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺑﺪﺭﺍﻫﻢ ﻭﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻣﺮﺟﺄ .
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang . Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
ﻭَﺇِﺫْ ﺗَﺄَﺫَّﻥَ ﺭَﺑُّﻜُﻢْ ﻟَﺌِﻦ ﺷَﻜَﺮْﺗُﻢْ ﻷَﺯِﻳﺪَﻧَّﻜُﻢْ ﻭَﻟَﺌِﻦ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺇِﻥَّ ﻋَﺬَﺍﺑِﻲ ﻟَﺸَﺪِﻳﺪٌ . ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.
ﻭﻣﻦ ﻳﺘﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻪ ﻣﺨﺮﺟﺎ ﻭﻳﺮﺯﻗﻪ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻻ ﻳﺤﺘﺴﺐ
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama’:
ﻣﻦ ﺗﺮﻙ ﺷﻴﺌﺎ ﻟﻠﻪ ﻋﻮﺿﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻣﻨﻪ
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallau Ta’ala a’alam bisshowab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com
Footnote:
[1] ) Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud .
[2] ) Sebagian showroom tidak mensyaratkan pembayaran uang muka.
[3] ) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab At Tahqiq . Baca Nasbur Rayah 4/43 , dan At Tahqiq 2/181.
[4] ) Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5] ) Fathul Bari , oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.
***


Tanya Jawab: Hukum Jual Beli Kredit
 Artikel, Tanya Jawab Syariah  0
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bagaimana hukumnya kalau kita menyewakan atau menjual barang dengan harga beda? Misalnya untuk sewa 1 bulan = 100.000 dan sewa 2 minggu = 70.000. Serta untuk menjual barang cash = 100.000, kredit selama 2 bulan @ 70.000. Bagaimana hukum keduanya (sewa atau beli harga beda)? Kalau hukumnya haram, bagaimana sebaiknya? Jazakallah atas petunjuknya,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah, shalwat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Langsung saja, masalah hukum perkreditan yang ditanyakan di sini insya Allah boleh, walaupun terjadi perbedaan harga, asalkan transaksinya jelas. Ketika pembeli pergi membawa barang, telah ada kepastian pilihan harga yang ia ambil.
Untuk lebih lanjutnya bisa baca artikel yang telah saya tulis tentang hkum jual beli kredit.
Wassalamu’alaikum
HUKUM PERKREDITAN
Macam-Macam Praktek Perkreditan.
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua : Pemilik barang.
Pihak ketiga : Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﺗَﺪَﺍﻳَﻨْﺘُﻢْ ﺑِﺪَﻳْﻦٍ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺟَﻞٍ ﻣُﺴَﻤّﻰً ﻓَﺎﻛْﺘُﺒُﻮﻩُ . ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha .
ﺍﺷﺘﺮﻯ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﻳﻬﻮﺩﻱٍّ ﻃﻌﺎﻣﺎً ﻧﺴﻴﺌﺔً ﻭﺭﻫﻨﻪ ﺩﺭﻋَﻪ . ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga : Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu .
ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﻣﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﺠﻬﺰ ﺟﻴﺸﺎ ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻇﻬﺮ ﻗﺎﻝ ﻓﺄﻣﺮﻩ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺒﺘﺎﻉ ﻇﻬﺮﺍ ﺇﻟﻰ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺪﻕ ﻓﺎﺑﺘﺎﻉ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻟﺒﻌﻴﺮ ﺑﺎﻟﺒﻌﻴﺮﻳﻦ ﻭﺑﺎﻷﺑﻌﺮﺓ ﺇﻟﻰ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺪﻕ ﺑﺄﻣﺮ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻲ ﻭﺣﺴﻨﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
ﻣﻦ ﺃﺳﻠﻒ ﻓﻠﻴﺴﻠﻒ ﻓﻲ ﻛﻴﻞ ﻣﻌﻠﻮﻡ ﻭﻭﺯﻥ ﻣﻌﻠﻮﻡ ﺇﻟﻰ ﺃﺟﻞ ﻣﻌﻠﻮﻡ . ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻣﻦ ﺑَﺎﻉَ ﺑَﻴْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻓﻲ ﺑَﻴْﻌَﺔٍ ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﻭْﻛَﺴُﻬُﻤَﺎ ﺃﻭ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﻏﻴﺮﻩ
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻗﺎﻝ : ﻟﻌﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺁﻛﻞ ﺍﻟﺮﺑﺎ ﻭﻣﻮﻛﻠﻪ ﻭﻛﺎﺗﺒﻪ ﻭﺷﺎﻫﺪﻳﻪ، ﻭﻗﺎﻝ : ﻫﻢ ﺳﻮﺍﺀ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu , ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ : ﻣﻦ ﺍﺑﺘﺎﻉ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻓﻼ ﻳﺒﻌﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻘﺒﻀﻪ . ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﻭﺃﺣﺴﺐ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﺑﻤﻨﺰﻟﺔ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ . ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu , ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit t berikut:
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ : ﺍﺑﺘﻌﺖ ﺯﻳﺘﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻮﻕ، ﻓﻠﻤﺎ ﺍﺳﺘﻮﺟﺒﺘﻪ ﻟﻨﻔﺴﻲ ﻟﻘﻴﻨﻲ ﺭﺟﻞ ﻓﺄﻋﻄﺎﻧﻲ ﺑﻪ ﺭﺑﺤﺎ ﺣﺴﻨﺎ، ﻓﺄﺭﺩﺕ ﺃﻥ ﺃﺿﺮﺏ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻩ، ﻓﺄﺧﺬ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺧﻠﻔﻲ ﺑﺬﺭﺍﻋﻲ، ﻓﺎﻟﺘﻔﺖ ﻓﺈﺫﺍ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻓﻘﺎﻝ : ﻻ ﺗﺒﻌﻪ ﺣﻴﺚ ﺍﺑﺘﻌﺘﻪ ﺣﺘﻰ ﺗﺤﻮﺯﻩ ﺇﻟﻰ ﺭﺣﻠﻚ ﻓﺈﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ e ﻧﻬﻰ ﺃﻥ ﺗﺒﺎﻉ ﺍﻟﺴﻠﻊ ﺣﻴﺚ ﺗﺒﺘﺎﻉ ﺣﺘﻰ ﻳﺤﻮﺯﻫﺎ ﺍﻟﺘﺠﺎﺭ ﺇﻟﻰ ﺭﺣﺎﻟﻬﻢ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas t ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
ﻗﻠﺖ ﻻﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﻛﻴﻒ ﺫﺍﻙ؟ ﻗﺎﻝ : ﺫﺍﻙ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺑﺪﺭﺍﻫﻢ ﻭﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻣﺮﺟﺄ .
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang . Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
ﻭَﺇِﺫْ ﺗَﺄَﺫَّﻥَ ﺭَﺑُّﻜُﻢْ ﻟَﺌِﻦ ﺷَﻜَﺮْﺗُﻢْ ﻷَﺯِﻳﺪَﻧَّﻜُﻢْ ﻭَﻟَﺌِﻦ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺇِﻥَّ ﻋَﺬَﺍﺑِﻲ ﻟَﺸَﺪِﻳﺪٌ . ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.
ﻭﻣﻦ ﻳﺘﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻪ ﻣﺨﺮﺟﺎ ﻭﻳﺮﺯﻗﻪ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻻ ﻳﺤﺘﺴﺐ
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama’:
ﻣﻦ ﺗﺮﻙ ﺷﻴﺌﺎ ﻟﻠﻪ ﻋﻮﺿﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻣﻨﻪ
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallau Ta’ala a’alam bisshowab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com
Footnote:
[1] ) Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud .
[2] ) Sebagian showroom tidak mensyaratkan pembayaran uang muka.
[3] ) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab At Tahqiq . Baca Nasbur Rayah 4/43 , dan At Tahqiq 2/181.
[4] ) Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5] ) Fathul Bari , oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.
***


sukristiawan.com:PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARYAWAN OLEH PERUSAHAAN TANPA PENETAPAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL LEGAL OPINION

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARYAWAN OLEH PERUSAHAAN TANPA PENETAPAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
LEGAL OPINION
Question: Apakah boleh perusahaan mem-PHK buruh atau karyawannya secara sepihak, dengan alasan apapun, tanpa adanya penetapan dari PHI? Apakah direktur dilindungi pula oleh hak-hak layaknya seorang karyawan?
Brief Answer: Kecuali bila karyawan telah terbukti dinyatakan melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka sekalipun karyawan telah melakukan “kesalahan berat”, maka pihak pemberi kerja wajib mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawannya melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Namun terdapat satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa struktur manajerial dalam Perseroan Terbatas (PT) seperti Direksi maupun Dewan Komisaris, bukanlah karyawan yang tunduk pada hukum ketenagakerjaan, karena Direksi dan Dewan Komisaris adalah salah satu organ Perseroan Terbatas. Direksi dan Dewan Komisaris memiliki masa kerja yang limitatif, dalam arti dibatasi dalam Anggaran Dasar PT (biasanya lima tahun masa jabatan). Kedua, Direksi dan Dewan Komisaris adalah jabatan yang mana pejabatnya ditunjuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sehingga Direksi dan Dewan Komisaris dapat dipecat sewaktu-waktu oleh RUPS tanpa dapat menimbulkan hak normatif layaknya buruk/karyawan . Sehingga dalam kasus dipecatnya seorang direktur suatu PT, tidak melahirkan hak atas pesangon bagi direktur tersebut.
Untuk lebih jelasnya lihat kasus PT. Jobs DB Indonesia yang pada tahun 2008 memecat secara tidak hormat Eddy Santoso Tjahja selaku mantan Direktur karena menyalahgunakan wewenang jabatannya dengan memeras tenaga serta waktu sumber daya manusia PT. Jobs DB Indonesia untuk kepentingan pribadi sang Direktur (Eddy Santoso Jjahja disaat bersamaan memiliki usaha pribadi sejenis dibidang recruitment pegawai bernama PT. Auditsi Utama serta PT. Metro Pacific sehingga memiliki conflict of interest ). Eksploitasi tenaga kerja oleh Eddy Santoso Tjahja yang kini memimpin PT. Auditsi Utama, hingga kini tetap menggunakan cara-cara eksploitatif seperti tidak membayar Upah pekerja, tidak memberikan kontrak kerja, hingga praktik-praktik penipuan terhadap tenaga kerjanya sendiri.
PEMBAHASAN :
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 418 K/PDT.SUS/2009 tanggal 6 Agustus 2009 antara:
- NENNY LORICA, selaku Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat pada PHI; melawan
- PT. TAINAN ENTERPRISES INDONESIA, selaku Termohon Kasasi, dahulu Tergugat.
Adapun duduk perkaranya, Penggugat merupakan karyawan tetap pada Tergugat yang mulai bekerja sejak tahun 2002 pada divisi Quality Control hingga tahun 2005, dan 2005 hingga Maret 2008 dipindahkan ke bagian Finishing dengan upah Rp. 1.562.192;-. Sehingga total masa kerja selama 6 tahun 1 bulan.
Selama masa kerja tersebut, Penggugat tidak pernah mendapat surat peringatan dari Tergugat selama bekerja. Adapun tugas Penggugat pada bagian Finishing ialah mengecek barang yang telah selesai dijahit dan siap untuk diekspor.
Pada tahun 2008, Penggugat selalu membubuhkan tanda pada setiap barang yang telah selesai disortir olehnya, namun setelah Penggugat selesai memberikan tanda pada barang, barang langsung dicampur dengan barang lain dan di-packing. Pada saat paket barang tersebut dicek kembali sebelum dikirim, terdapat masalah terhadap kualitas barang dimana bekas jahitan pada barang masih belum sempurna, sehingga paket harus dibongkar kembali yang mengakibatkan barang terlambat dikirim pada konsumen.
Akan tetapi pada kualitas barang yang bermasalah tersebut, tidak terdapat satu pun tanda dalam label berupa inisial nama Penggugat yang telah diberikan oleh Penggugat, sehingga barang yang bermasalah tersebut bukan merupakan barang yang telah dicek oleh Penggugat.
Atasan Penggugat selaku kepala bagian produksi, memanggil Penggugat untuk meminta ganti-kerugian sebesar Rp. 200.000.000;- kepada perusahaan dengan alasan untuk mengganti beban biaya pengiriman barang melalui pesawat terbang dimana barang tersebut biasa dikirim melalui darat.
Atas permintaan tersebut, Penggugat menolak, karena semua barang yang telah disortir Penggugat dibubuhkan tanda berupa inisial nama Penggugat, sedangkan pada barang yang bermasalah tidak ditemukan tanda yang telah diberikan Penggugat.
Alhasil, pada tanggal 31 Maret 2008, Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap Penggugat secara lisan dan tanpa diberkan hak-haknya dengan alasan bahwa Penggugat telah melakukan kesalahan berat yang menyebabkan kerugian bagi Tergugat.
Penggugat mendalilkan, alasan “kesalahan berat” sebagai alasan pembenar untuk melakukan PHK sepihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenagakerja), telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Bahkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 yang salah satu butirnya mengatur:
“Penyelesaian kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks) Pasal 158 ayat (1) maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
b. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Dalam hal terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial .”
Penggugat mendalilkan, berdasarkan kaidah tersebut diatas, maka unsur kesalahan berat yang dijadikan dasar oleh Tergugat selaku pengusaha untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja adalah tidak tepat, sehingga PHK terhadap Penggugat menjadi batal demi hukum.
Kaidah normatif sebenarnya telah jelas dan terinci dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial .
Tanpa adanya pembinaan apapun, Tergugat seketika melakukan PHK sepihak. Adapun Penjelasan Resmi Pasal 151 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.”
Tanpa diberikannya surat peringatan apapun, seketika Tergugat melakukan PHK, hal mana bertentangan dengan kaidah Pasal 161 UU ketenagakerjaan:
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Karena Penggugat menolak dilakukan perundingan bipartit maupun tripartit, maka Penggugat melayangkan gugatan ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial) sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial:
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Karena upaya penyelesaian secara bipartit dianggap gagal, Penggugat mencatatkan permasalahan ini ke Suku Dinas Tenaga Kerja di wilayah dimana tempat Penggugat bekerja di Jakarta Utara, secara tertulis melalui surat perihal Permohonan Pencatatan Perkara Hubungan Industrial antara Nenny Lorica melawan PT. Tainan, sebagaimana diatur Pasal 4 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004:
“Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.”
Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara kemudian mengadakan panggilan mediasi sebanyak tiga kali, dimana Tergugat tidak pernah hadir, sehingga melihat adanya itikad tidak baik tersebut, pada tgl 13 Oktober 2008 Suku Dinas Tenaga Kerja menerbitkan surat anjuran, dengan substansi:
1. Perusahaan PT. Tainan Enterprises Indonesia atas pengakhiran hubungan kerja dengan pekerja Sdri. Nenny Lorica memberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Para pihak agar memberikan jawaban secara tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) setelah diterimanya anjuran ini;
3. Apabila kedua belah pihak atau salah satu pihak menolak anjuran, maka pihak yang menolak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat seusi Undang-Undang No. 2 Tahun 2004.”
Tidak hanya sampai disitu, Penggugat juga menuntut hak normatifnya atas “upah proses”. Berdasarkan Pasal 151 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan, pada pokoknya mengatur bahwa selama putusan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya . Dengan demikian Tergugat harus tetap melaksanakan kewajibannya untuk membayar upah selama proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial kepada Penggugat sampai dengan adanya putusan PHI yang telah berkekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde ) atas sengketa hubungan industrial yang timbul diantara Penggugat dan Tergugat.
Untuk itu berlaku ketentuan Pasal 156 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Terhadap gugatan tersebut PHI telah memutus dalam register perkara No. 321/PHI.G/2008/PN.JKT/PST tanggal 17 Februari 2009 dengan amar:
“Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;”
Penggugat yang dikalahkan, karena Tergugat berkilah bahwa Penggugat telah mengundurkan diri berdasarkan Pasal 168 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Penjelasan Resmi:
“Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana tercatat di perusahaan berdasarkan laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja.”
Untuk itu Penggugat mengajukan kasasi, dan dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung menyebutkan:
“Bahwa terlepas dari alasan-alasan Pemohon Kasasi, Mahkamah Agung berpendapat, judex facti telah salah menerapkan hukum, karena Tergugat tidak dapat membuktikan adanya surat panggilan untuk bekerja 2 (dua) kali secara patut sebagaimana diatur dalam Pasal 168 UU No. 3 Tahun 2003, dengan demikian Penggugat tidak dapat dikualifikasikan mengundurkan diri;
“Bahwa terhadap peristiwa hukum demikian maka adil dan beralasan hukum apabila diputus hubungan kerja dengan mendapat hak-haknya 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, ...”
Tiba pada amar putusannya, Mahkamah Agung memutuskan:
MENGADILI
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: NENNY LORICA tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadlan Negeri Jakarta Pusat No. 321/PHI.G/2008/PN.JKT.PST tanggal 17 Februari 2009;”
DAN MENGADILI SENDIRI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus secara hukum hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 31 Maret 2008;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak kepada Penggugat yang jumlah dan perinciannya adalah sebagai berikut:
- Uang pesangon: 7 x Rp. 1.562.192;-
- Uang penghargaan masa kerja: 3 x Rp. 1.562.192;-
- Uang penggantian hak (penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan): 15% x (Rp. 10935.344 + Rp. 4.868.576;) = Rp 2.343.288;-
Jumlah = Rp. 17.965.208;-
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.
Kembali SHIETRA & PARTNERS garis-bawahi, khusus untuk kasus pemecatan Direksi maupun Dewan Komisaris oleh RUPS, maka Direksi maupun Dewan Komisaris tidak berhak atas pesangon atau sejenisnya, karena organ PT tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Pengangkatan dan pemecatan terhadap Direksi maupun Komisaris menjadi hak prerogatif dari RUPS. Sehingga, sekalipun seorang Direktur tidak kembali diangkat untuk masa bakti tahun keenam, sebagai contoh, dirinya tidak dapat menuntut pesangon dari perusahaan.
Hak-hak normatif dalam UU Ketenagakerjaan hanya melekat pada setiap pegawai, pekerja, buruh, atau istilah lainnya yang bukan berkedudukan sebagai Direksi maupun Dewan Komisaris. Sebagaimana halnya para pemegang saham tak dapat mengklaim hak-hak normatif layaknya seorang buruh atas perseroan.

Trimakasih.
Sukristiawan.


Minggu, 30 September 2018

Sukristiawan. com:Hak Karyawan Yg Terkena Relokasi Perusahaan.

Hak Karyawan yang Terkena Relokasi Perusahaan
Kategori:Buruh & Tenaga Kerja
Perusahaan (PT) akan melakukan relokasi ke kabupaten yang berbeda tetapi masih dalam satu provinsi. Dalam Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur secara jelas mengenai relokasi, tetapi hanya menyebutkan istilah 'perubahan status'. Apakah relokasi dapat dikategorikan sebagai 'perubahan status'? karena karyawan yang tidak bersedia ikut relokasi menuntut pesangon sesuai ketentuan Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sementara perusahaan menolak memberikan pesangon. Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Jawaban:
Intisari:
Meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, walau masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili .
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan
perubahan status perusahaan.
Lalu apa hak-hak yang didapat karyawan yang terkena relokasi perusahaan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Adapun permasalahan Anda hadapi terkait dengan relokasi yang dilakukan perusahaan apakah termasuk sebagai perubahan status atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui dahulu apa itu relokasi dan perubahan status.
Relokasi (Perubahan Domisili) Perusahaan
Relokasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemindahan tempat. Relokasi terkait perubahan domisili perusahaan diatur dalam
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:
Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.
Oleh karenanya, meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, meskipun masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili.
Jika perusahaan Anda melakukan relokasi, maka harus tunduk pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (“UU 7/1981”) yang berbunyi:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Lalu dalam Pasal 6 ayat (1) UU 7/1981 dijelaskan lebih lanjut:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau
memindahkan perusahaan.
Perubahan Status Perusahaan
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas .
Sedangkan jika perusahaan Anda merupakan perusahaan BUMN, maka ketentuan perubahan status perusahaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .
Itulah perbedaan relokasi dan perubahan status.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan perubahan status perusahaan.
Selanjutnya, jika perusahaan melakukan relokasi, maka pihak manajemen perusahaan tidak boleh meninggalkan persoalan mengenai tenaga kerjanya.
Relokasi karena Alasan Efisiensi
Relokasi termasuk dalam kategori efisiensi karena salah satu alasan perusahaan untuk melakukan relokasi adalah alasan kemudahan biaya alat-alat produksi. Jika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dalam kaitannya dengan efisiensi , maka perusahaan wajib memberikan hak-hak kepada pekerjanya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , yaitu uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan .
Namun, perlu diingat bahwa jika pengunduran diri dilakukan atas kemauan sendiri, maka berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Anda tidak berhak atas pesangon dan penghargaan masa kerja, namun hanya bisa mendapatkan uang penggantian hak.
PHK Wajib Diupayakan Agar Tidak Terjadi
Selanjutnya, Pasal 151 UU ketenagakerjaan mencantumkan bahwa pemutusan hubungan kerja wajib diupayakan untuk tidak terjadi. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu memiliki serikat pekerja) atau dengan bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu tidak memiliki serikat pekerja). Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan bapak/ibu setelah memperoleh penetapan dari pengadilan hubungan industrial.
Menurut hemat kami, perusahaan dapat memberikan insentif bagi pekerja untuk menunjang kebutuhan yang berkaitan mengenai relokasi. Sayangnya, dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur mengenai kewajiban perusahaan memberikan insentif jika melakukan relokasi, tetapi perusahaan dapat memberikan insentif sesuai dengan Peraturan Perusahaan (“PP”) masing-masing, maupun Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”).
Jika pekerja/buruh tidak mau ikut relokasi, maka hal tersebut dapat dirundingkan dengan pihak pengusaha, atau jika hal tersebut di atur dalam PP atau PKB, maka ketentuan dalam PP atau PKB tersebut lah yang bisa menjadi acuan ketika perusahaan melakukan relokasi.
Namun jika tidak diatur, pekerja bisa menempuh mekanisme perundingan bipartit sesuai ketentuan hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan .
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan ;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas ;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .
LBH Jakarta


Sukristiawan. com:Hak Karyawan yg Terkena Relokasi Perusahaan.

Hak Karyawan yang Terkena Relokasi Perusahaan
Kategori:Buruh & Tenaga Kerja
Perusahaan (PT) akan melakukan relokasi ke kabupaten yang berbeda tetapi masih dalam satu provinsi. Dalam Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur secara jelas mengenai relokasi, tetapi hanya menyebutkan istilah 'perubahan status'. Apakah relokasi dapat dikategorikan sebagai 'perubahan status'? karena karyawan yang tidak bersedia ikut relokasi menuntut pesangon sesuai ketentuan Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sementara perusahaan menolak memberikan pesangon. Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Jawaban:
Intisari:
Meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, walau masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili .
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan
perubahan status perusahaan.
Lalu apa hak-hak yang didapat karyawan yang terkena relokasi perusahaan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Adapun permasalahan Anda hadapi terkait dengan relokasi yang dilakukan perusahaan apakah termasuk sebagai perubahan status atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui dahulu apa itu relokasi dan perubahan status.
Relokasi (Perubahan Domisili) Perusahaan
Relokasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemindahan tempat. Relokasi terkait perubahan domisili perusahaan diatur dalam
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:
Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.
Oleh karenanya, meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, meskipun masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili.
Jika perusahaan Anda melakukan relokasi, maka harus tunduk pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (“UU 7/1981”) yang berbunyi:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Lalu dalam Pasal 6 ayat (1) UU 7/1981 dijelaskan lebih lanjut:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau
memindahkan perusahaan.
Perubahan Status Perusahaan
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas .
Sedangkan jika perusahaan Anda merupakan perusahaan BUMN, maka ketentuan perubahan status perusahaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .
Itulah perbedaan relokasi dan perubahan status.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan perubahan status perusahaan.
Selanjutnya, jika perusahaan melakukan relokasi, maka pihak manajemen perusahaan tidak boleh meninggalkan persoalan mengenai tenaga kerjanya.
Relokasi karena Alasan Efisiensi
Relokasi termasuk dalam kategori efisiensi karena salah satu alasan perusahaan untuk melakukan relokasi adalah alasan kemudahan biaya alat-alat produksi. Jika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dalam kaitannya dengan efisiensi , maka perusahaan wajib memberikan hak-hak kepada pekerjanya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , yaitu uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan .
Namun, perlu diingat bahwa jika pengunduran diri dilakukan atas kemauan sendiri, maka berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Anda tidak berhak atas pesangon dan penghargaan masa kerja, namun hanya bisa mendapatkan uang penggantian hak.
PHK Wajib Diupayakan Agar Tidak Terjadi
Selanjutnya, Pasal 151 UU ketenagakerjaan mencantumkan bahwa pemutusan hubungan kerja wajib diupayakan untuk tidak terjadi. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu memiliki serikat pekerja) atau dengan bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu tidak memiliki serikat pekerja). Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan bapak/ibu setelah memperoleh penetapan dari pengadilan hubungan industrial.
Menurut hemat kami, perusahaan dapat memberikan insentif bagi pekerja untuk menunjang kebutuhan yang berkaitan mengenai relokasi. Sayangnya, dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur mengenai kewajiban perusahaan memberikan insentif jika melakukan relokasi, tetapi perusahaan dapat memberikan insentif sesuai dengan Peraturan Perusahaan (“PP”) masing-masing, maupun Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”).
Jika pekerja/buruh tidak mau ikut relokasi, maka hal tersebut dapat dirundingkan dengan pihak pengusaha, atau jika hal tersebut di atur dalam PP atau PKB, maka ketentuan dalam PP atau PKB tersebut lah yang bisa menjadi acuan ketika perusahaan melakukan relokasi.
Namun jika tidak diatur, pekerja bisa menempuh mekanisme perundingan bipartit sesuai ketentuan hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan .
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan ;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas ;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .
LBH Jakarta


Minggu, 16 September 2018

sukristiawan.com:Menengok sejarah Hancurnya ANDAlUSIA

Tolong IKUT MENYEBARKAN

Ini pernyataan ustadz Musa tolong disimak

Oleh Abu Dedad

_MENENGOK SEJARAH HANCURNYA ANDALUSIA_
Pelajaran penting bagi generasi muda Indonesia:

*AL QUR'AN :*Bermuatan:
MELARANG...................
MEMVONIS....................
MENGANCAM................

*Pemimpin muslim terakhir di Andalusia (Spanyol), Abdillah Muhammad bin Al Ahmar, keluar dari istana kerajaan dengan hina.*

*Malam itu, Andalusia telah jatuh ke tangan kerajaan katolik setelah berada di bawah kekuasaan Islam selama lebih dari 800 tahun!!*

Kini, *ia tinggalkan istana dengan hati pilu, dadanya sesak.*

Hingga sampai di sebuah bukit yang cukup tinggi.

Dari sana ia menatap *Istana Al Hambra*,  *Ia menangis tersedu-sedu hingga jenggotnya basah kuyup dengan air mata*.

Melihat hal itu, ibu nya berkata,
Menangislah!
Menangislah seperti perempuan!, karena *kau tidak mampu menjaga kerajaanmu sebagaimana laki-laki perkasa!!*.

*Kekuasaan Islam berakhir di Andalusia...*

Dan *belum pernah bangkit lagi hingga detik ini!!*.

*Umat Islam disana diberi pilihan :*
1) *Masuk kristen*, atau,
2) *Dibunuh*, atau
3) *Diusir*.

*Tahu apa penyebab jatuhnya Andalusia!?*
Karena:
1. *Cinta dunia*.
2. *Meninggalkan jihad*,
3. *Berkubang kemaksiatan*,
4. *Menyerahkan urusan bukan pada ahlinya*,
5. *Bodoh dalam hal agama*.

*Bayangkan jika Indonesia nanti telah jatuh total ke tangan orang kafir*........

*pemuda Islam menangis* dan *ibu2 mereka berkata, Menangislah seperti perempuan menangis*,

Karena *kau tidak bisa menjaga bangsa ini sebagaimana seorang laki2 perkasa!!!*,

Maka *bersiaplah wahai pemuda Islam*......

*Pelajari baik-baik 5 faktor di atas*, Karena *sebab-sebab kejatuhan itu akan selalu sama*.....

*MENGINGATKAN BUAT SAUDARA2 MUSLIM DAN MUSLIMAH*!!!

1. *Al-Qur’an*
*M E L A R A N G*
*Menjadikan orang Kafir Sebagai PEMIMPIN*
QS.Ali Imraan: 28,
QS.An-Nisaa’: 144,
QS.Al-Maa-idah: 57.

2. *Al-Qur’an*
*M E L A R A N G*
*Menjadikan orang Kafir Sebagai PEMIMPIN Walau KERABAT Sendiri*.
QS.At-Taubah: 23,
QS.Al-Mujaadilah: 22,

3. *Al-Qur’an*
*M E L A R A N G*
*Menjadikan orang Kafir Sebagai TEMAN SETIA*.
QS.Ali Imraan: 118,
QS.At-Taubah: 16.

4. *Al-Qur’an*
*M E L A R A N G*
*SALING TOLONG dengan kafir yang akan MERUGIKAN umat islam*.
QS.Al-Qasshash: 86,
QS.Al-Mumtahanah: 13.

5. *Al-Qur’an*
*M E L A R A N G*
*MENTAATI orang kafir untuk MENGUASAI Muslim*
QS.Ali Imraan: 149–150.

6. *Al-Qur’an*
*M E L A R A N G*
*Memberi PELUANG kepada orang kafir sehingga MENGUASAI Muslim*.
QS.An-Nisaa’: 141.

7. *Al-Qur’an*
*MEMVONIS MUNAFIQ*
*Kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin*.
QS.An-Nisaa’: 138–139.

8. *Al-Qur’an*
*MEMVONIS ZALIM*
*Kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin*.
QS.Al-Maa-idah: 51.

9. *Al-Qur’an*
*MEMVONIS FASIQ*
*Kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin*.
QS.Al-Maa-idah: 80–81.

10. *Al-Qur’an MEMVONIS SESAT, kepada muslim yg menjadikan kafir sebagai pemimpin*.
QS.Al-Mumtahanah: 1.

11. *Al-Qur’an MENGANCAM AZAB, Bagi yang menjadikan Kafir cebagai Pemimpin / Teman setia*.
QS.Al-Mujaadilah: 14–15.

12. *Al-Qur’an* *MENGAJARKAN DOA*
*Agar Muslim Tidak Menjadi SASARAN FITNAH kaum Kafir*
QS.Al-Mumtahanah: 5.

*Ya Allah, Ya Robb, Ya Tuhan kami, sungguh telah kami sampaikan FirmanMu, Kami memohon ampun serta Berlindung hanya kepadaMu Ya Robbal Aalamiin*.

والله أعلم بالصواب

Silahkan share, untuk Menyelamatkan Saudara2 kita yg belum Mengetahuinya. 

*Bagi muslim semua sudah jelas aturannya sehingga urusannya tinggal ke Islaman kita lah yg diuji, apakah kita termasuk orang sesat, munafik, fasiq, zalim atau kafir****

*NASIB INDONESIA 2 atau 5 atau 10 Tahun lagi seperti ANDALUSIA*

Sangat Mungkin, Bisa jadi sebentar lagi terjadi di INDONESIA.

Hampir semua Pra-Syarat Hancurnya Islam di Andalusia, telah ada dan terjadi di INDONESIA.

Dulu Philipina 100 % Muslim, sekarang tinggal 2%
Dulu Singapura 93 % Muslim, sekarang tinggal 15%

*Dulu INDONESIA 95% MUSLIM, UU
*5 tahun lagi kira" tinggal ......%*

KH. Ahmad Dahlan pernah berkata :
_*"Islam tidak akan pernah Musnah dari Dunia, tapi ISLAM bisa Hilang di Negeri ini*_ Tolong IKUT MENYEBARKAN


Jumat, 17 Agustus 2018

sukristiawan.com: SENYUM JOGJA

SENYUM JOGJA

"Susah menebak hati orang Yogya", kata seorang teman dari Sumatera. "Semua hal ditanggapi dengan senyum. Tapi arti senyumnya banyak sekali."

Tentu kawan ini melakukan penggebyahan. Tak semua orang Yogyakarta tersenyum sebanyak yang beliau gambarkan itu. Tapi baiklah saya akan bercerita tentang seorang yang perjuangannya akan diperingati sebagai berdirinya kota ini; Pangeran Mangkubumi. Dan beliau memang banyak tersenyum dalam berbagai keadaan.

Pun bahkan ketika menerima penghinaan yang kasar dari Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff dan Patih Pringgalaya di balairung kakaknya, Raja Mataram Sunan Pakubuwana II pada 1746, beliau juga tersenyum. Tapi malam itu setelah pamit dan memohon restu Kakandanya, beliau akan memimpin salah satu perang terdahsyat yang dihadapi VOC sepanjang sejarahnya.

Pada 1755, perang yang menguras kas penjajah dan menimbulkan kerugian besar itu harus diakhiri. Seorang Arab yang mendarat di Semarang bernama Syarif Akbar Syaikh Ibrahim dibujuk oleh Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Hartingh untuk menyama-nyama utusan Sultan Turki 'Utsmani dan membujuk sang Pangeran untuk menghentikan peperangan dan menerima pembagian Negara Mataram menjadi dua, berbagi dengan keponakannya Pakubuwana III yang bertakhta di Surakarta. Kompensasinya, gelar Sultan resmi dari Daulah 'Utsmaniyah akan ditahbiskan bagi dirinya.

Merasa bahwa rakyatpun turut menderita karena perang yang menewaskan panglima pasukan VOC Kolonel De Clerck dan membuat Gubernur Jenderal Van Imhoff terluka parah pada 1750 di Benteng Ungaran itu, perjanjian pun ditandatangani di Giyanti. Beliau menerima Kesultanan barunya yang beribukota Yogyakarta sebagai Sultan Hamengkubuwana I.

Tapi jika kita belum bisa mengalahkan musuh, setidaknya buatlah agar hatinya selalu rusuh.

Jan Greeve, Gubernur VOC untuk Nord Oost Kust yang menjabat 1787-1791 mencatat kenangan tak terlupakan seperti direkam M.C. Ricklefs dalam "Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi" tentang betapa merepotkannya si senyam-senyum ini bahkanpun di masa damai.

Bagian dari Perjanjian Giyanti adalah VOC diizinkan mendirikan benteng pengawas di ibukota kedua negeri; Surakarta dan Yogyakarta. Berbeda dengan di Surakarta yang Fort Rustenburg selesai dibangun hanya dalam waktu singkat, Fort Vredeburg harus menanti belasan tahun kemudian dengan berbagai kendala yang agaknya disengaja Sultan dari soal letak, pengadaan tanah, 'banjirnya' lokasi, bahan bangunan yang lambat disediakan, pengiriman material yang 'dibegal', 'amblesnya' pondasi, kerusakan bata dan kapur, pergantian berulangkali pejabat yang diserahi tanggungjawab, dan tenaga kerja serta tukang yang 'malas dan asal-asalan'.

Jan Greeve geleng-geleng kepala karena di seberang selatan sana, pembangunan Benteng Baluwarti Keraton Yogyakarta yang berukuran puluhan kali lebih besar berjalan lancar di bawah pimpinan putra mahkota Bendara Raden Mas Sundoro.

Ketika diberlakukan aturan agar para raja Nusantara mengucapkan selamat tiap kali ada pengangkatan Gubernur Jenderal VOC yang baru; Sultan meminta agar Patihnya beserta para nayaka difasilitasi untuk berangkat ke Batavia. Sementara raja-raja lain mengirim beberapa orang saja, rombongan duta Yogyakarta berjumlah 3000 personil sehingga kedatangan mereka ke Batavia, selain menghabiskan anggaran, lebih seperti parade pameran kekuatan Sultan Mangkubumi daripada mengucapkan selamat.

Berjalan dua kali untuk pengangkatan Van Riemsdijk pada 1775 dan Reinier de Klerck pada 1777, Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting akhirnya meminta Sultan cukup mengucapkan selamat di Semarang saja diwakili Gubernur Nord Oost Kust. Tapi Sultan menolak. Martabatnya, kata beliau hanya sejajar dengan Batavia. Adalah penghinaan baginya kalau ucapan itu diberikan di Semarang.

Jan Greeve yang datang ke Yogyakarta untuk merundingkan beberapa hal termasuk perkara ini harus menghadapi 'teror' serta 'horor' lanjutan.

Setelah mengunjungi Surakarta, dia menuju Yogyakarta melalui Jalan Raya Prambanan. Di sepanjang jalan masuk ke Keraton, prajurit Yogyakarta berbaris dan hendak menyambut dengan salvo kehormatan. Anehnya seluruh senapan diarahkan ke kereta Jan Greeve, bahkan juga beberapa meriam. Dan begitu aba-aba diberikan, "Jeglar!", mereka menembak serentak ke arah Gubernur VOC itu. Jan Greeve sudah memejamkan mata dan menutup telinga, siap mati. Tapi ternyata semua berpeluru kosong. Dengan gemetar dia keluar dari kereta dan Sultan Mangkubumi menyambut serta memeluknya dengan senyum manis penuh arti.

Sesudahnya, Jan Greeve dibawa ke meja perjamuan. Di situ, pencicip hidangan yang memastikan tiadanya racun disilakan untuk bertugas. Yang mencicipi hidangan Sultan baik-baik saja. Tapi yang mengudap makanan Jan Greeve mendadak terjatuh dan kejang-kejang dengan mata membeliak-beliak mengerikan. Dengan wajah ngeri, Jan Greeve menyaksikan semua itu. Sampai tiba-tiba si pencicip bangun dan tersenyum dan berkata, "Bukan karena makanannya kok, Tuan." Alhasil, Jan Greeve mencatat, itulah perjamuan paling mencekam sepanjang hidupnya. Dia sama sekali tak menikmati makanannya. Sementara Sultan terus tsrsenyum padanya.

Butuh waktu lama sampai Jan Greeve pulih dari shock-nya.

Ketika dia menyatakan siap untuk berunding, Sultan justru mengajaknya menonton rampogan macan di alun-alun. Tanding harimau dengan kerbau ini selalu dimulai dengan agresifnya sang raja hutan, tapi lalu ia menjadi cepat lelah dibanding kerbau yang lamban namun tabah dan akhirnya keluar jadi pemenang. Jan Greeve mengaku terhibur dan senang sekali, sampai Sultan berbisik sambil tersenyum padanya, "Kami tidak bisa menemukan singa lambang Belanda di sini. Jadi pakai harimau saja. Orang Jawa memang seperti kerbau ya?"

Untuk melawan keterkejutannya sendiri, Jan Greeve mengusulkan agar dimasukkan satu harimau lagi. Sultan setuju. Eh, harimau kedua itu ternyata bukan membantu kawannya, tapi malah bergelut saling melemahkan dan kerbaupun kian berjaya.

Malamnya, Sultan Mangkubumi menjamu Jan Greeve sembari berperahu di sekitar Pulo Kenongo kompleks pemandian Taman Sarinya yang indah lagi penuh labirin. Ketika sampan bersepuh emas itu dihentikan di tengah kolam luas, tiba-tiba Sultan pamit meloncat ke sampan lain di dekatnya dengan membawa semua dayung dan meninggalkan sang Gubernur VOC. Tak berapa lama, semua lampu Taman Sari dimatikan dan Jan Greeve menggigil di tengah sepi. Tetiba terdengar suara salak senapan bersahut-sahutan yang membuat Jan Greeve bertiarap dengan keringat dingin mengucur deras.

Drama berakhir ketika Sultan tiba-tiba kembali muncul bersamaan hidupnya lampu dan beliau mengulurkan tangan sambil tersenyum dan meminta maaf karena adanya sedikit 'kekacauan' dan beliau harus turun tangan menyelesaikannya.

Sultan membawa tamunya kembali ke Keraton dengan menunjukkan vitalitas luar biasa di usianya, mendaki berbagai anak tangga naik turun dari Pulo Kenongo. Sesekali sembari menunggu Jan Greeve yang terengah-engah beliau memeragakan tarian beksan gagah yang digubahnya.

Ah, mengenang perjuangan beliau, saya juga berperahu di Giethoorn, Venesia-nya Belanda, negeri tempat orang-orang yang disenyuminya berasal.


Rabu, 11 Juli 2018

sukristiawan.com:HUKUM SELFIE & MEMAJANG PHOTO DI MEDSOS

HUKUM SELFIE & MEMAJANG PHOTO DI MEDSOS*
📷📲💻
- 1. Hukum Memasang foto wanita di Sosial Media
- 2. Memasang foto yg *Menutup Aurat* di Sosial Media
- 3. HUKUM SELFIE
- 4. BAHAYA PHOTO (Kisah Perempuan Saudi yang Suaminya Disihir lwt foto yg dipajangnya di Medsos)
- 5. AWAS PANDANGAN HASAD LEWAT GAMBAR…
6. Agar Gambar Profil Menjadi Ladang Pahala
🖼 *1. Memasang foto wanita di Sosial Media*

Pertanyaan :
_Asalamualaikum ustadz, saya mau tanya apa benar sebagai seorang wanita muslimah tidak boleh memasang foto profil ataupun mengupload foto ke dalam media sosial misalnya facebook dan twitter kalau tidak boleh alasannya apa ustadz ??_
Jajakumullah..._

💠
Jawaban:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Seorang wanita tidak boleh menampakkan auratnya di social media atau menampakkan bagian badannya yang membuat orang terfitnah.
Karena:

✅ *Pertama:* Media Social seperti facebook atau twitter dll adalah situs umum yang bercampur didalamnya laki-laki dan perempuan. Ketika seorang perempuan meletakkan fotonya di situs social maka kala itu ia telah menentang perintah Allah ta’ala untuk menutup jasad dari lawan jenis, Allah ta’ala berfirman mengenai adab terhadap istri-istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ (الأحزاب:٥٣

_"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah *DARI BELAKANG TABIR*. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka."_ (QS. Al-Ahzab: 53)


Ayat ini berkenaan dengan isti Nabi _shallallahu alaihi wa sallam_ yang notabene hati mereka lebih baik dari hati wanita sekarang, jadi muslimat zaman sekarang seharusnya lebih menutup jasad diri dalam muamalah dengan lawan jenis karena hati mereka lebih mudah untuk terkena fitnah dan dengan badan yang lawan jenis tidak akan mudah terfitnah.

✅ *Kedua:* Meletakkan foto perempuan di Social Media adalah membuka pintu fitnah bagi si wanita dan orang yang menyaksikannya. Betapa sering kita mendengar cerita tentang wanita baik-baik yang jatuh ke dalam perangkap orang jahat yang tidak takut kepada Allah ta'ala, dan cerita ini dimulai dari foto yang terpampang di Facebook. Di sisi lain kadang foto wanita yang terpampang di Facebook (secara khusus) dicopy untuk kemudian dimodifikasi sedemikian rupa sehingga wajah wanita baik-baik ternyata ditempelkan di badan wanita yang tidak baik.

📚Tulisan ini sebagian besar diambil dari situs Tanya jawab islam berbahasa arab: http://islamqa.info/ar/ref/165186 وصلى الله علي نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
🌐Sumber: SalamDakwah.com

🔐
*2. Memasang Foto yg Menutup Aurat di Sosial Media*


Pertanyaan :
_Asalamualaikum, ustadz saya mau memperjelas jawaban dari ustad terkait pertanyaan diatas, bagaimana kalau foto yang dipasang *menutup aurat ?* mohon sekali penjelasannya ustadz karena saya takut berada dalam jalur yang salah, jazakumullah ustadz_

💠
Jawaban (oleh Redaksi salamdakwahCom):

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Ulama' berbeda pendapat mengenai aurat wanita, ada yang berpendapat bahwa seluruh badan wanita adalah aurat sehingga makna menutup aurat adalah menutup seluruh badannya termasuk wajah dan telapak tangannya. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 1/719, Riasah Idarah Al-Buhuts Al-Ilmiyyah Wa Al-Ifta')
Ada juga yang berpendapat bahwa seluruh badan wanita adalah Aurat kecuali muka dan telapak tangannya (lihat kitab Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah oleh Al-Albani).
Jika yang dimaksud penanya dengan menutup Aurat adalah menutup seluruh badannya, kemudian difoto dan diletakkan di sosial media maka hukumnya adalah tidak apa-apa. Akan tetapi perlu ditanyakan kembali: apa faedahnya menaruh gambar kain hitam yang menjulur dari atas ke bawah, karena yang terlihat di foto adalah seperti kain hitam yang menjulur.
Apabila yang dimaksud penanya adalah menutup seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangannya maka perlu diketahui bahwa wajah wanita memiliki daya tarik yang sangat kuat terhadap laki-laki, sehingga meski seluruh badannya tertutup dengan baik akan tetapi jika wajahnya dibuka dan dipampang di depan pengunjung akun maka itu bisa memasukkan fitnah ke hati orang yang melihatnya, karena orang yang menyaksikan foto itu bisa terfitnah maka tidak dibolehkan memampang foto wajah itu di halaman situs yang bisa diakses banyak orang.
. وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
👤👥 *3. HUKUM SELFIE*


Pertanyaan :

_Banyak banget sekarang hobby selfy, mohon dijelaskan apa hukum selfie? Thank’s_

💠
*Jawaban:*

_Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du_,
*Rasulullah* _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ melarang keras seseorang ujub terhadap dirinya. Bahkan *Rasulullah* _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ menyebutnya sebagai dosa besar yang membinasakan pelakunya.
Dari *Anas bin Malik* _Radhiyallahu ‘anhu_, *Rasulullah* _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
_Tiga dosa pembinasa: sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang terhadap dirinya."_ *(HR. Thabrani dalam al-Ausath 5452 dan dishaihkan al-Albani)*
Di saat yang sama, *Rasulullah* _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ memotivasi kita untuk menjadi hamba yang berusaha merahasiakan diri kebalikan dari menonjolkan diri. Dari *Abu Said al-Khudri* _Radhiyallahu ‘anhu_, *Rasulullah* _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
_"Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri."_ *(HR. Muslim 7621)*.
Selfie, jeprat-jepret diri sendiri, sangat tidak sejalan dengan prinsip di atas. Terlebih umumnya orang yang melakukan selfie, tidak lepas dari perasaan ujub. Meskipun tidak semua orang yang selfie itu ujub, namun terkadang perasaan lebih sulit dikendalikan.
Karena itu, sebagai mukmin yang menyadari bahaya ujub, tidak selayaknya semacam ini dilakukan.
Allahu a’lam.

Dijawab oleh *Ustadz Ammi Nur Baits* _hafidzohulloh_ (Dewan PembinaKonsultasisyariah.com)


🔥
*4. BAHAYA PHOTO*

✍🏻Oleh : *Ustadz Firanda Andirja, MA* _hafidzohulloh_

Kisah perempuan Saudi yang memajang foto suaminya di whatsapp. Perempuan ini baru saja menikah dan memajang foto suaminya di wa.

Ketika pulang dari bulan madu, suaminya berubah sikap dari yang awalnya mencintai istrinya menjadi suami yang sering pergi dan cuek sama istrinya. Hal ini berlangsung sampai 5 bulan ketika ditanya oleh istrinya ternyata dalam pandangan suaminya istrinya adalah perempuan yang jelek padahal aslinya istrinya cantik. Akhirnya istrinya mengadu pada mertuanya dan dibawalah suaminya ke seorang syekh. Disitu ketahuan bahwa suaminya terkena sihir dan yang menyihir adalah teman istrinya.
Pada akhir kisah perempuan itu mengingatkan siapa saja untuk mengambil ibrah pengalamannya, jangan memajang foto orang-orang yang kita cintai pada media sosial apa pun.
_Subhanallah_ betapa banyak, terutama zaman sekarang, orang yang senang mempertontonkan kecantikan, kelucuan, kepintaran anak-anaknya di media-media sosial sementara dia tidak tahu siapa saja yang melihat foto atau video anak-anaknya itu dan juga tidak tahu apa yang ada dalam hati-hati mereka. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan 'ain (kejahatan pandangan mata, -pen) dan orang yang hasad..

Copas dari artikel Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه الله


📲
Dishare ulang oleh *Ustadz Kholid Syamhudi, Lc* حفظه الله tanggal 29 Dzulqo'dah 1435 / 24 September 2014

📚Sumber: Salamdakwah.com

👀
*5. PANDANGAN HASAD LEWAT GAMBAR…*

✍🏻 *Ust. M Abduh Tuasikal, MSc* حفظه الله تعالى

‘Ain adalah pengaruh pandangan hasad (dengki) dari orang yang dengki sehingga bisa membahayakan orang yang dipandang. Misalnya saja anak kecil yang dipandang dengan penuh dengki, maka ia bisa jatuh sakit atau terus-terusan menangis.

Selain dari penglihatan, hasad ternyata bisa terjadi melalui gambar atau hanya sekedar khayalan.
*Ibnul Qayyim* dalam _Zaadul Ma’ad_ (4: 153) berkata,
ونفس العائن لا يتوقف تأثيرها على الرؤية ، بل قد يكون أعمى فيوصف له الشيء فتؤثر نفسه فيه وإن لم يره ، وكثير من العائنين يؤثر في المعين بالوصف من غير رؤية
_“’Ain bukan hanya lewat jalan melihat. Bahkan orang buta sekali pun bisa membayangkan sesuatu lalu ia bisa memberikan pengaruh ‘ain meskipun ia tidak melihat. Banyak kasus yang terjadi yang menunjukkan bahwa ‘ain bisa menimpa seseorang hanya lewat khayalan tanpa melihat.”_
*Syaikh Sholih Al Munajjid* _hafidzohulloh_ berkata,
_“Dari sini terlihat bahwa ‘ain bisa ditimbulkan dengan melihat pada gambar seseorang secara langsung atau melihatnya di TV. Bahkan bisa hanya dengan mendengar, lalu dikhayalkan dan terkenalah ‘ain._

_Kita memohon pada Allah keselamatan.”_
*(Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 122272)*

Kunci utama agar terjauhkan dari ‘ain adalah mendekatkan diri pada Allah dengan tawakkal pada-Nya, juga selalu rutinkan dzikir setiap harinya agar diri dan anak kita selamat dari orang yang hasad (dengki). Hanya kepada Allah tepat berlindung sebagaimana disebutkan dalam surat Al Falaq, kita berlindung dari kejelekan orang yang hasad ketika ia hasad.
Sehingga saran kami, agar foto-foto anak kita tidak dipajang di media sosial karena orang akan begitu takjub pada foto anak dan biasanya timbul hasad (dengki) tatkala memandang.
Hanya Allah yang memberi taufik.
🌐Sumber: http://bbg-alilmu.com
💦
*6.(Agar Gambar Profil Menjadi Ladang Pahala)*

✍🏻Oleh: *Ustadz Tubangi Cibarusah* _hafidzohulloh_

Bismillah. Kuberikan hadiah yg menarik ini untuk orang yg aku cintai seperti kusuka untuk diriku sendiri. Yaitu ; anda.

Jangan pasang gambar bernyawa. Baik wajahmu, keluargamu, maupun hewan favoritmu atau benda yg lain, tapi pasanglah kalimat thoyyibah seperti
سُبحَانَ اللَّهِ وَالحَمدُ لِلَّهِ
Kalimat ini dlm hadits riwayat muslim pahalanya memenuhi langit dan bumi.
Manfaatkan bonus yg besar ini. Buat apa anda tempel benda yg tidak/kurang bernilai di sisi Allah?
***
📚Sumber: dikirim Ustadz Tubangi via WA


*Kesimpulan:*
✅-1. Memajang kalimat thoyibah dan nasehat yg baik insyaa Allah dpt mendulang pahala
✅-2. Memajang hal yg mungkar, mengajak maksiat & kesesatan dan mengumbar aurat dpt menjadi ladang dosa
✅-3. Gambar benda mati, pemandangan dan semisalnya tdk berdosa tp jg tdk menjadi pahala
✅-3. Memajang photo diri dan keluarga berpotensi terkena 'ain (pandangan mata jahat) dan dijadikan sarana orang yg berniat jahat utk melakukan sihir.

Wallohu 'alam.


sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...