Selasa, 19 Februari 2019

sukristiawan.com:Revolusi industri 4.0 keuntungan dan kerugiannya.

Revolusi industri 4.0 keuntungan dan kerugiannya.
Revolusi Industri Keempat adalah sebuah kondisi pada abad ke-21, ketika terjadi perubahan besar-besaran di berbagai bidang lewat perpaduan teknologi yang mengurangi sekat-sekat antara dunia fisik, digital, dan biologi. [1] Revolusi ini ditandai dengan kemajuan teknologi dalam berbagai bidang, khususnya kecerdasan buatan , robot ,
blockchain , teknologi nano, komputer kuantum ,
bioteknologi , Internet of Things, percetakan 3D , dan kendaraan tanpa awak .
Sebagaimana revolusi terdahulu, revolusi industri keempat berpotensi meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh dunia. Namun, kemajuan di bidang otomatisasi dan kecerdasan buatan telah menimbulkan kekhawatiran bahwa mesin-mesin suatu hari akan mengambil alih pekerjaan manusia. Selain itu, revolusi-revolusi sebelumnya masih dapat menghasilkan lapangan kerja baru untuk menggantikan pekerjaan yang diambilalih oleh mesin, sementara kali ini kemajuan kecerdasan buatan dan otomatisasi dapat menggantikan tenaga kerja manusia secara keseluruhan yang digantikan oleh teknologi dan robotik.

Pada saat ini kita hidup di era revolusi industri keempat. Di mana kehidupan manusia yang di warnai dengan rekayasa genetika, teknologi nano, mobil otomatis dan era super komputer. Dan tentunya perubahan ini memiliki dampak terhadap ekonomi, pemerintahan ,politik, industri dan yang lainnya.
Kita telah mengalami revolusi industri sebanyak tiga kali.
Lalu mengapa pertumbuhan melambat sedangkan usaha dalam peningkatan industri terus dilakukan? Hal ini terjadi karena usaha dan perubahan yang dilakukan hanya bertahan dalam jangka pendek.
Dan sekarang kita berada di revolusi industri keempat yang diyakini akan mampu meningkatkan produktivitas hingga 30%. Berbeda dengan revolusi sebelumnya, revolusi 4.0 memiliki efek yang lebih besar karena tidak hanya menyentuh dunia manufaktur melainkan semua bisnis.
Lantas apakah revolusi industri 4.0 adalah suatu ancaman?
Sebenarnya revolusi ini bisa menjadi ancaman jika kita tidak menanggapinya dengan baik. Misalnya saat Amerika Serikat menggunakan drone untuk melakukan pengeboman di Afganistan, Libya, dan Irak yang tentunya mengakibatkan banyak korban sipil. Atau saat ISIS melakukan perekrutan anggota untuk melakukan teror, pengeboman, dan propaganda seperti eksekusi tanpa peri kemanusiaan.
Tapi lain halnya jika kita menanggapi revolusi ini dengan baik, sangat banyak masalah-masalah akan terpecahkan. Dengan sistem komputerisasi, arus informasi yang lebih cepat, analisa data yang baik akan mengatasi masalah klasik seperti kelaparan, akses kesehatan yang rendah, soal pengungsi, dan masih banyak lagi.
Menyikapi Munculnya Revolusi 4.0
Dalam era revolusi 4.0 yang penuh dengan dunia digital, komputerisasi, serta teknologi artificial intelligence (AL) memang memiliki banyak dampak positif. Namun kita juga harus menyikapinya dengan penuh kehati-hatian dan bijak.
Mengapa harus berhati-hati? Banyak perusahaan-perusahaan di seluruh penjuru dunia sudah mulai mengganti tenaga manusia dengan menerapkan sistem komputer.
Jangankan di luar negeri, negara kita Indonesia telah menerapkan sistem ini. Kita dapat melihat dengan penggunaan uang elektronik (e money) pada pembayaran tol, ataupun penggunaan aplikasi ovo pada pembayaran parkir. Selain daripada itu dengan e money kita dapat membayar belanjaan seperti di indomaret atau alfamart. Bayangkan saja sudah berapa banyak tenaga manusia yang sudah tergantikan.
Bagaimana Dengan Nasib Para Pekerja?
Di Indonesia revolusi industri ini sudah terlihat di sektor perbankan. Banyak karyawan perbankan yang nasibnya terancam karena revolusi Industri ini. Bahkan Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan Indonesia mencatat sudah ada 50.000 karyawan bank yang di-PHK karena perkembangan teknologi.
Revolusi Industri 4.0 tidak hanya ramai dibicarakan di Indonesia. Revolusi industri keempat ini pun akan menjadi pusat pembicaraan pada pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) minggu depan di Davos, Swiss. Tema pertemuan Davos tahun ini mengacu pada bagaimana kombinasi teknologi mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi.
Gelombang revolusi industri 4.0 membawa dampak besar bagi industri ritel di Indonesia, salah satunya soal masalah pemutusan hubungan kerja (phk). Meskipun diprediksi akan terjadi PHK yang masif di industri ritel pada tahun depan, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) optimis bisnis ritel masih dapat terus bertumbuh.
“Saya kira, yang terkena dampak revolusi industri 4.0 tidak hanya di bisnis ritel, tapi di semua industri,” ujar Wakil Ketua Aprindo Tutum Rahanta kepada Kontan.co.id, Jumat (28/12).
Meski begitu, Tutum tetap yakin industri ritel akan terus tumbuh di tahun depan. “Tapi, saya tidak bisa memastikan berapa besar pertumbuhannya,” tuturnya. Sebagai informasi, menurut data Aprindo pertumbuhan industri ritel di Indonesia pada 2018 mencapai angka 10% naik dari 7,5% di tahun 2017.
Tutum mengamini, perubahan konsumsi dan belanja masyarakat yang mengandalkan e-commerce juga memberikan dampak terhadap industri ritel. Merespons tren tersebut, bisnis ritel akan tetap membuka gerai, salah satunya dengan cara mengefisienkan ruang di tiap gerai yang disesuaikan dengan jumlah pegawai.
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, mulai 2019 industri ritel terancam terkena dampak terjangan revolusi industri 4.0 yang mengakibatkan PHK secara masif.

Munculnya revolusi 4.0 ini merupakan salah satu hal yang sangat ditakuti oleh para pekerja. Melihat dari negara-negara maju yang sudah banyak menggunakan robot menjadi pengganti para pekerja. Seperti di Singapura yang sudah banyak menggunakan robot sebagai pembantu rumah tangga ataupun pelayan di hotel. Dan di Indonesia proses ini sedang berlangsung.
Memang revolusi ini sangat di takuti oleh banyak pihak, salah satunya lembaga keuangan. Pada akhir 2017 di sebutkan bahwa lembaga keuangan gencar-gencarnya dalam pengurangan tenaga kerja. Pengurungan tersebut dikarenakan banyak karyawan yang tidak bisa bersaing dan mengikuti perkembangan teknologi.
Para pekerja front office bank yang dahulunya mengatasi masalah nasabah kini telah tergantikan oleh ATM (Anjungan Tunai Mandiri) maupun mobile banking atau internet banking.
Keuntungan Revolusi Industri 4.0
Namun dibalik ancaman revolusi industri 4.0, terdapat keuntungan-keuntungan yang kita peroleh. Pada era revolusi ini banyak sekali orang yang menghasilkan uang hanya berada dalam rumah saja.
Hanya bermodalkan internet saja, kita dapat menghasilkan uang. Sebagai contohnya kita dapat berjualan online, desain, sebagai penulis artikel lepas dan masih banyak hal yang dapat kita lakukan dalam memanfaatkan kemajuan teknologi sekarang.
Selain daripada itu kita dapat menyerap informasi setiap saat. Mulai dari belanja, travelling, pengetahuan, berita, transportasi dan masih banyak lagi informasi yang dapat kita peroleh. Namun jangan lupa, kita juga harus melakukan pengembangan sumber daya manusia.
Revolusi industri 4.0 dapat menjadi peluang bagi kita semua. Dengan catatan kita harus menanggapinya dengan hati-hati dan bijak. Kita harus menemukan kesadaran dan isemangat bahwa tantangan saat ini tidak bersifat teritorial lagi. Sudah siapkah Anda?
Editor by sukristiawan.com

Kamis, 06 Desember 2018

sukristiawan.com:Gelombang berpindahnya pabrik dari satu daerah menuju ke daerah lainnya terus berlangsung, menyisakan berbagai masalah yang merugikan para buruhnya(Relokasi)

Gelombang berpindahnya pabrik dari satu daerah menuju ke daerah lainnya terus berlangsung, menyisakan berbagai masalah yang merugikan para buruhnya(Relokasi)

(SPN News) Jakarta, secara istilah relokasi adalah pemindahan kembali. Dalam ruang lingkup industri maka disebut Relokasi Industri yang artinya perpindahan atau pemindahan lokasi industri. Entah itu dari negara atau wilayah maju ke negara atau wilayah berkembang dengan berbagai alasan. Ada beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya relokasi pabrik, terutama pabrik berbasis industri padat karya.

Upah murah merupakan alasan utama relokasi pabrik. Relokasi dengan pertimbangan perbedaan upah ini dapat menekan ongkos produksi dalam jumlah besar dan sudah pasti membuat keuntungan menjadi berlipat ganda. Terdapat selisih upah yang cukup besar di daerah-daerah basis industri lama dengan daerah-daerah yang menjadi basis industri baru. Sebagai contoh Upah Minimum Kabupaten (UMK) Karawang tahun 2019 adalah Rp. 4.234.010,- sedangkan UMK Kota Semarang tahun 2019 hanya Rp. 2.055.000,-. Ada selisih lebih dari 100 persen, artinya untuk membayar upah 1 orang pekerja di Karawang bisa untuk 2 orang pekerja di Kota Semarang, bahkan masih ada sisa. Apalagi kalau perbandingannya dengan UMK terkecil di Provinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Brebes yang hanya sebesar Rp. 1.665.850,-, yang berarti UMK Kabupaten Karawang bisa membayar 3 orang pekerja di Kabupaten Brebes. Secara matematis sudah bisa dihitung nilai keuntungan dan penekanan nilai pengeluarannya.

Dengan disahkannya Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan, kenaikan upah minimum dari tahun ke tahun dapat diprediksi. Dalam PP 78, survei harga barang dagangan dalam komponen kebutuhan hidup layak (KHL) yang mesti dilakukan dewan pengupahan sebagai salah satu acuan dalam penentuan kenaikan upah minimum, dihapus. Formula penentuan upah cukup didasarkan pada upah berjalan, asumsi inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional ditentukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Padahal, dengan melakukan survei pasar, harga barang dan jasa yang termasuk dalam item KHL dapat diketahui pasti kenaikan riilnya.

Relokasi pabrik merupakan tindakan yang sah secara hukum. Pemerintah pun mendukung praktik tersebut. Jenis dukungannya, dari kemudahan mendirikan pabrik, keamanan, dan tentu saja tidak perlu mempersoalkan bahwa perusahaan merelokasi pabrik sedang bermasalah dengan buruh yang ditinggalkannya. Sebagai industri padat tenaga kerja yang hanya bersedia mempekerjakan perempuan, relokasi pabrik mengorbankan buruh perempuan, menimbulkan pemecatan massal, penurunan kualitas hidup buruh, dan terkadang disertai dengan demonstrasi buruh yang tidak rela hak-haknya ditangguhkan terus menerus. Tidak sedikit buruh kehilangan pekerjaan tanpa mendapat kompensasi atau mendapatkan kompensasi dengan tidak adil. Sebagian kecil para buruh perempuan yang sudah dipecat masih berkesempatan mendapat pekerjaan baru di tempat lain. Tapi, kebanyakan tidak bekerja lagi, karena usia kerja semakin terbatas.

Relokasi pabrik dimungkinkan oleh kebijakan politik deregulasi atas peraturan-peraturan hukum yang membatasi gerak dan mobilitas kapital. Seperti deregulasi atas izin lingkungan, perpajakan, dan peraturan hukum ketenagakerjaan. Kebijakan politik deregulasi ini menghadiahkan kebebasan kepada kapital berpindah mencari ruang-ruang produksi baru tanpa hambatan. Serta mendorong perluasaan agenda fleksibilisasi pasar tenaga kerja. Di lokasi-lokasi baru, perusahaan memiliki keleluasaan merekrut dan memecat buruh. Ini artinya relokasi pabrik menuju situs-situs produksi baru tidak dapat berjalan sempurna di tengah pasar tenaga kerja yang kaku dan proburuh. Dalam cerita relokasi, praktik yang cukup menonjol adalah penekanan atau bahkan tidak diberikannya hak-hak buruh yang ditinggalkan.

Dede Hermawan dikutip dari berbagai sumber/Editor

#sukristiawan


Minggu, 11 November 2018

sukristiawan.com:Mau Relokasi Perusahaan? Cermati Dulu Ketentuannya

Mau Relokasi Perusahaan? Cermati Dulu Ketentuannya
ADY TD ACHMAD
Perusahaan bisa mengikutsertakan pekerja untuk relokasi atau melakukan PHK. Transparansi rencana relokasi penting.
Ilustrasi: BAS
Begitu isu PHK massal merebak, Pemerintah sibuk mengklarifikasi. Termasuk isu perusahaan elektronik hengkang dari Indonesia. Pemerintah, baik Kementerian Ketenagakerjaan maupun Badan Koordinasi Penanaman Modal, menjelaskan yang terjadi adalah relokasi perusahaan.
Relokasi adalah peristiwa perpindahan lokasi suatu perusahaan ke tempat lain karena pertimbangan tertentu. Secara umum, relokasi dilakukan untuk efisiensi. Pertanyaan yang muncul, apa yang harus diperhatikan perusahaan sehubungan dengan kewajiban ketenagakerjaan jika ingin melakukan relokasi? Secara umum, perusahaan harus benar-benar mencermati ketentuan UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dosen FH Universitas Airlangga, Hadi Subhan, mengingatkan UU No. 7 Tahun 1981 telah mengatur bahwa perusahaan yang akan pindah, membuka atau menutup usahanya wajib lapor ke Dinas Ketenagakerjaan atau Kementerian Ketenagakerjaan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Perusahaan juga harus menjelaskan alasan pindah, menutup atau membuka usahanya. Untuk relokasi, perusahaan juga harus menjelaskan alasannya perpindahan domisili itu kepada pekerja. Perusahaan wajib melapor ke instansi ketenagakerjaan 30 hari sebelum pindah (relokasi), menutup atau membuka usahanya.
Perusahaan yang melakukan relokasi atau menutup usahanya, dikatakan Subhan, tidak boleh meninggalkan persoalan khususnya di bidang ketenagakerjaan. Jika memberi dampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja/buruh, maka pesangon dan penghargaan harus diberikan sesuai ketentuan. “Ketika dampaknya PHK maka hak-hak pekerja/buruh harus menjadi perhatian utama,” katanya kepada
hukumonline, Selasa (9/2).
Subhan menjelaskan, UU Ketenagakerjaan mengatur skema untuk perusahaan yang melakukan akuisisi, merger atau konsolidasi. Antara lain, pengusaha dapat melakukan PHK ketika terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Kewajiban yang perlu ditunaikan pengusaha yakni membayar pesangon kepada pekerja/buruh sebesar satu kali ketentuan. Namun, jika perusahaan tidak bersedia menerima pekerja maka pekerja berhak menerima uang pesangon sebesar dua kali ketentuan.
Relokasi menimbulkan dampak bagi pekerja. Misalnya, lokasi perusahaan setelah pindah jaraknya lebih jauh dari rumah pekerja. Sehingga pekerja harus berangkat kerja lebih awal dan pulang ke rumah lebih lama daripada biasanya. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur kewajiban pengusaha untuk memberi insentif kepada buruh sebagai dampak dari relokasi, tetapi menurut Subhan, bukan berarti pemberian insentif itu tidak mungkin dilakukan. Kedua pihak dapat mengaturnya dalam Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama atau kesepakatan bersama.
UU Ketenagakerjaan hanya mengatur relokasi antar daerah di wilayah Indonesia. Jika perusahaan pindah ke luar negeri, itu erarti sama saja dengan tutup. Jika alasan tutup karena merugi maka besaran peangon yang berhak diterima pekerja/buruh sebesar satu kali ketentuan. Kalau perusahaan tutup dengan alasan efisiensi, pekerja berhak menerima pesangon sebesar dua kali ketentuan.
Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kemenaker, Sahat Sinurat, mengatakan relokasi pasti memberikan dampak terhadap pekerja dan keluarganya. Jika lokasi pindah masih berada di satu daerah, yang berubah biasanya jarak tempuh sehingga perusahaan perlu juga menyediakan transportasi antar jemput untuk pekerja.
Tapi jika perusahaan relokasi ke daerah lain maka perusahaan perlu menyiapkan sarana yang dibutuhkan buruh untuk pindah. Misalnya, perusahaan menyediakan mess atau tempat tinggal dan biaya pindah untuk buruh dan keluarganya.
“Paling penting diperhatikan bagi perusahaan yang ingin melakukan relokasi yakni menjalin komunikasi dengan pekerja. Kenapa perusahaan melakukan relokasi, insentif apa yang akan diterima pekerja,” ujar Sahat.
Namun, tidak semua pekerja mau ikut perusahaan relokasi. Jika itu terjadi, Sahat mengatakan perusahaan harus melakukan perundingan dengan pekerja bersangkutan. Secara umum UU Ketenagakerjaan mengatur hak-hak apa saja yang bisa diterima pekerja ketika di PHK sebagai dampak perusahaan yang berubah status, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan. Tidak jarang perusahaan yang melakukan relokasi sebagai akibat dari berubahnya status perusahaan, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan.
Jika perusahaan yang mau relokasi tidak ingin membawa buruh, Sahat mengatakan buruh berhak mendapat pesangon sebesar dua kali ketentuan. “Resiko hukumnya seperti itu,” tukasnya.
Menurut Sahat perusahaan perlu menyediakan fasilitas bagi pekerj yang ikut relokasi seperti tempat tinggal, biaya pindah dan insentif. Itu bisa dilihat sebagai bentuk itikad baik dan keseriusan perusahaan yang ingin melakukan relokasi. Jika perusahaan tidak menyediakan apapun maka itu bisa disebut sebagai moral hazard.
Upah yang diterima pekerja di lokasi baru harus sama dengan yang diterima selama ini. Intinya, tidak boleh merugikan buruh yang ikut relokasi. Untuk pekerja yang baru direkrut oleh perusahaan dengan masa kerja kurang dari setahun dan lajang, acuan besaran upahnya terserah kebijakan perusahaan, yang terpenting tidak dibayar lebih rendah dari upah minimum di daerah yang bersangkutan.
Sahat menjelaskan salah satu perusahaan yang melakukan merger sehingga melakukan relokasi yakni PT Panasonic Lighting Indonesia. Perusahaan elektronik asal Jepang itu relokasi dari Kawasan Industri EJIP Cikarang ke Pasuruan dan Bogor. Pihak perusahaan memberi tawaran kepada pekerja apakah mau ikut relokasi atau PHK.
1 Komentar | Kirim Komentar
BERITA TERKAIT:
Perusahaan Migas Janji Hindari PHK Massal
Ini Paket Kebijakan ESDM Respon Kelesuan Ekonomi
Pemerintah Diminta Sikapi Ancaman PHK Massal


sukristiawan.com:BERHAK PESANGON TOLAK MUTASI LOKASI TEMPAT KERJA LEGAL OPINION

BERHAK PESANGON TOLAK MUTASI LOKASI TEMPAT KERJA
LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apa yang menjadi konsekuensi terburuk dari tidak patuh terhadap perintah perusahaan untuk mengikuti mutasi kerja? Apakah karyawan akan dipecat tanpa hak pesangon karenanya? Menakutkan sekali menolak dimutasi mengakibatkan dipecat tanpa pesangon, sementara pihak pengusaha dapat seenaknya memutasi karyawan. Sebenarnya apakah pekerja wanita dapat dimutasi lokasi tempat kerja oleh perusahaan ke luar daerah?
Brief Answer: Kalangan buruh/pekerja sebenarnya tidak perlu khawatir bila dirinya dimutasi kerja, karena tindakan buruh/pekerja yang menolak mutasi, akan dinilai Majelis Hakim sebagai sebatas pelanggaran indisipliner dengan alasan tidak patuh terhadap perintah atasan, dimana pihak pemberi kerja dapat mem-putus hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja yang menolak mutasi namun tetap diwajibkan pengadilan untuk membayar pesangon serta hak-hak normatif lainnya.
Mengenai dapat atau tidaknya seorang karyawati dimutasi lokasi kerja, disitulah letak “kekosongan hukum” regulasi dibidang ketenagakerjaan. Secara gegabah hukum ketenagakerjaan secara kurang bijak telah “menyama-ratakan” karakter pekerja wanita dengan pekerja pria—dimana dari segi fisik, sosiologis, maupun politis, adalah sukar bagi kaum wanita menerima mutasi lokasi kerja.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Medan perkara hubungan industrial register Nomor 63/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Mdn tanggal 18 Mei 2016, antara:
- PT. JAKARANA TAMA, sebagai Penggugat ; melawan
- NURHASANAH, sebagai Tergugat .
Tergugat merupakan karyawan Penggugat dengan masa kerja hampir 19 tahun. Adapun permasalahan bermula ketika Tergugat menolak melaksanakan mutasi kerja yang diperintahkan Penggugat dari PT. Jakarana Tama Medan (Sumatera Utara) ke PT. Jakarana Tama Ciawi (Jawa Barat), sesuai surat mutasi yang diberikan Penggugat kepada Tergugat, dengan jabatan baru sebagai Checker Packing.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan mutasi dimaksud pihak Penggugat telah menyediakan fasilitas untuk Terggugat, sebagai berikut :
1. Gaji pokok mengikuti upah minimum Kabupaten Bogor ditambah insentif sesuai KPI;
2. Tunjangan tidak tetap sebesar Rp. 750.000,-;
3. Akan diberikan rumah kontrak selama 2 tahun pertama;
4. Diberikan tiket pulang pergi (PP) Medan - Ciawi 1 tahun sekali;
5. Transport pemindahan keluarga dibiayai perusahaan;
Tergugat menyatakan menolak mutasi tersebut, dan mengajukan gugatan balik (rekonvensi ). Tergugat pun sebelumnya telah melaporkan tindakan Penggugat kepada Dinas Sosial Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Medan perihal Pelanggaran Kebebasan Berserikat, dimana Tergugat vokal menyerukan pelanggaran Penggugat atas Upah Minimum Sektoral yang menjadi hak normatif para buruh.
Tergugat yang merupakan ketua serikat pekerja, mengutip ketentuan Pasal 28 Butir (a) UU No. 21 tahun 2000 tentang Pengurus Serikat Buruh:
“Siapapun dilarang menghalangi-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/buruh dengan cara: Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi.”
Penggugat merasa dirinya dicemari nama baiknya karena Tergugat menyampaikan pelanggaran normatif oleh Penggugat terhadap para karyawan dengan membayar upah dibawah Upah Minimum Sektoral. Sementara itu dengan ganjilnya Penggugat merasa bahwa mengenai penggajian karyawan adalah rahasia perusahaan sehingga tidak boleh dibocorkan ke luar perusahaan, alhasil Tergugat mendapat surat peringatan demi surat peringatan.
Memang adalah tugas dan amanah bagi seorang ketua Serikat Pekerja untuk memperjuangkan hak normatif buruh. Adalah ketua Serikat Pekerja boneka yang justru membengkalaikan nasib rekan pekerjanya.
Senyatanya Tergugat hanya mengutarakan fakta nasib para pekerja Penggugat yang diberikan upah jauh dibawah Upah Minimum meski telah belasan tahun bekerja pada Tergugat. Nasib yang dialami para pekerja bukanlah rahasia perusahaan, namun fakta hukum yang dialami para buruh itu sendiri.
Sampai dengan tanggal 30 November 2015, masa kerja Tergugat adalah 18 tahun 8 bulan, dan Tergugat terakhir menerima gaji pokok sebesar Rp2.037.000,-. Jauh dibawah espektasi pekerja manapun.
Terhadap gugatan tersebut, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak sebagaimana tersebut diatas dalam kaitannya satu sama lain yang ternyata bersesuaian Majelis Hakim berpendapat bahwa sengketa Penggugat dengan Tergugat adalah Tergugat di-PHK karena tidak melaksanakan mutasi ke Ciawi, Bogor, Jawa Barat;
“Menimbang, bahwa Tergugat sudah di PHK oleh Penggugat sejak tanggal 30 November 2015, dengan alasan telah melakukan pelanggaran Peraturan Perusahaan dalam hal Menolak Perintah Kerja / Mutasi Kerja ;
“Menimbang, bahwa bukti P-9, berupa surat keputusan pemberhentian Tergugat terhitung pada tanggal 30 November 2015, dinyatakan Diberhentikan karena melakukan Pelanggaran Peraturan Perusahaan berupa menolak perintah kerja / mutasi kerja, Tergugat melakukan pelanggaran peraturan perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 161 ayat (1), (2), maka Tergugat berhak memperoleh uang pesangon sebanyak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4);
“Menimbang, bahwa Tergugat sudah bekerja sejak 10 Maret 1997 sampai dengan 30 November 2015, dengan demikian masa kerja Penggugat adalah 18 tahun 8 bulan, dan terbukti dipersidangan Tergugat melanggar peraturan perusahaan dengan menolak mutasi, dengan demikian dikategorikan pelanggaran indispliner sesuai Pasal 161 ayat (1), (2), (3) dan Tergugat memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3) dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4), UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan perincian sebagai berikut :
Uang Pesangon = 9 x Rp 2.037.000,- = Rp 18.333.000,-
Uang Penghargaan Masa Kerja = 7 x Rp 2.037.000,- = Rp 14.259.000.-
Jumlah = Rp 32.592.000,-
Penggantian Hak = 15% x Rp 32.592.000,- = Rp 4.888.800,- +
Total = Rp 37.480,800.-
“ M E N G A D I L I
DALAM KONPENSI
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Penggugat membayar hak - hak Tergugat berdasarkan Pasal 161 (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara tunai sebesar Rp = Rp 37.480,800,-
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
DALAM REKONPENSI:
“Menolak gugatan Penggugat dalam Rekonpensi untuk seluruhnya.”
SHIETRA & PARTNERS menilai, untuk seorang karyawan/pekerja yang merupakan wanita berumah tangga, adalah tidak tepat bila harus dimutasi ke luar daerah, mengingat tidaklah mungkin mengajak suami dan anaknya untuk turut pindah ke lokasi kerja baru. Sang suami mungkin berkeberatan karena dirinya pun memiliki pekerjaan tetap di tempat tersebut, tidak mungkin akan mengundurkan diri hanya demi ikut pindah dengan sang istri. Bila suami-istri tidak hidup satu atap, maka kendala sosiologis rumah tangga akan tercipta, begitupula terhadap tumbuh-kembang sang anak.
Majelis Hakim seyogianya menilik kasus penolakan mutasi secara kasuistis. Bila pekerja/karyawan yang menolak adalah seorang pria kepala keluarga, sementara sang istri adalah ibu rumah tangga, adalah wajar penolakan sang pekerja akan diberi kompensasi pesangon dengan hitungan 1 (satu) kali ketentuan normal.
Namun SHIETRA & PARTNERS berpendapat, untuk kasus perkara wanita pekerja yang telah berumah tangga, wajib diberi pesangon 2 (dua) kali ketentuan karena perusahaan besar kemungkinan hanya mencari alibi guna mem-PHK sang karyawati—disamping asas kepatutan tentunya, karena seorang wanita bukanlah seorang “ adventurer ” layaknya seorang laki-laki yang tidak terlampau mempermasalahkan hidup pada daerah baru.
Mengapa dalam contoh kasus yang diangkat diatas besar kemungkinan pihak perusahaan hendak mem-PHK sang karyawati? Perhatikan, masa kerja sang karyawati ialah hampir 19 tahun, sementara gaji hanya masih setaraf Upah Minimum Kota. Apakah Anda sudi, dimutasi ke luar pulau dengan upah sebatas UMR?

© Hak Cipta HERY SHIETRA .
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah , Hak Cipta , Hak Moril , dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.


sukristiawan.com:RELOKASI PERUSAHAAN BOLEH ASAL TAAT KETENTUAN

RELOKASI PERUSAHAAN BOLEH ASAL TAAT KETENTUAN
Jul 17, 2018 |
Artikel , JABAR 6 ,
Kontributor,
Nasional ,
SiaranPers ,
Uncategorized | 0
|
Perusahaan dapat melakukan PHK atau mengikutsertakan pekerja untuk relokasi dengan kesepakatan
Relokasi adalah peristiwa perpindahan lokasi suatu perusahaan ke tempat lain karena pertimbangan tertentu. Secara umum, relokasi dilakukan untuk efisiensi. Dalam melakukan relokasi, perusahaan harus benar-benar mencermati ketentuan UU No 7/1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan dan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU No 7/1981 mengatur bahwa perusahaan yang akan pindah, membuka atau menutup usahanya wajib lapor ke Dinas Ketenagakerjaan atau Kementerian Ketenagakerjaan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Perusahaan juga harus menjelaskan alasan pindah, menutup atau membuka usahanya. Untuk relokasi, perusahaan juga harus menjelaskan alasannya perpindahan domisili itu kepada pekerja. Perusahaan wajib melapor ke instansi ketenagakerjaan 30 hari sebelum pindah (relokasi), menutup atau membuka usahanya.
Perusahaan yang melakukan relokasi atau menutup usahanya, tidak boleh meninggalkan persoalan khususnya di bidang ketenagakerjaan. Jika memberi dampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja/buruh, maka pesangon dan penghargaan harus diberikan sesuai ketentuan.
Relokasi menimbulkan dampak bagi pekerja. Misalnya, lokasi perusahaan setelah pindah jaraknya lebih jauh dari rumah pekerja. Sehingga pekerja harus berangkat kerja lebih awal dan pulang ke rumah lebih lama daripada biasanya. UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur kewajiban pengusaha untuk memberi insentif kepada buruh sebagai dampak dari relokasi, tetapi bukan berarti pemberian insentif itu tidak mungkin dilakukan. Kedua pihak dapat mengaturnya dalam Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama atau kesepakatan bersama.
Relokasi pasti memberikan dampak terhadap pekerja dan keluarganya. Jika lokasi pindah masih berada di satu daerah, yang berubah biasanya jarak tempuh sehingga perusahaan perlu juga menyediakan transportasi antar jemput untuk pekerja. Tapi jika perusahaan relokasi ke daerah lain maka perusahaan perlu menyiapkan sarana yang dibutuhkan buruh untuk pindah. Misalnya, perusahaan menyediakan mess atau tempat tinggal dan biaya pindah untuk buruh dan keluarganya.
Namun, tidak semua pekerja mau ikut perusahaan relokasi. Jika itu terjadi maka perusahaan harus melakukan perundingan dengan pekerja bersangkutan. Secara umum UU Ketenagakerjaan mengatur hak-hak apa saja yang bisa diterima pekerja ketika di PHK sebagai dampak perusahaan yang berubah status, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan. Tidak jarang perusahaan yang melakukan relokasi sebagai akibat dari berubahnya status perusahaan, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan. Jika perusahaan yang mau relokasi tidak ingin membawa buruh, maka buruh berhak mendapat pesangon sebesar dua kali ketentuan.
Perusahaan perlu menyediakan fasilitas bagi pekerja yang ikut relokasi seperti tempat tinggal, biaya pindah dan insentif. Itu bisa dilihat sebagai bentuk itikad baik dan keseriusan perusahaan yang ingin melakukan relokasi. Jika perusahaan tidak menyediakan apapun maka itu bisa disebut sebagai moral hazard.
Upah yang diterima pekerja di lokasi baru harus sama dengan yang diterima selama ini. Intinya, tidak boleh merugikan buruh yang ikut relokasi. Untuk pekerja yang baru direkrut oleh perusahaan dengan masa kerja kurang dari setahun dan lajang, acuan besaran upahnya terserah kebijakan perusahaan, yang terpenting tidak dibayar lebih rendah dari upah minimum di daerah yang bersangkutan.
Shanto dari berbagai sumber/Editor
SHARE:
RATE: RELATED POSTS
UANG JAMINAN BAGI PENGGUNA PEKERJA MIGRAN INDONESIA DI SINGAPURA
Mei 13, 2018
DEMO BURUH DI PT NUSA INDOMETAL KABUPATEN TANGERANG
Maret 23, 2018
KECELAKAAN KERJA DI PT BEES FOOTWEAR INC
Agustus 18, 2018
MEMBERSHIP MEETING SPN di JAWA TENGAH
November 24, 2016
Kongres SPN Ke-7 7 Januari 2019 "Pilihan Anda menentukan masa depan SPN" #SerikatPekerjaNasional #SPNNews #BerserikatItuKeren #KitaKerenKarenaSPN KONTRIBUSI KANTOR PUSAT
TOTAL DANA YANG TERKUMPUL
RP.323.602.000
UNTUK LEBIH DETAILNYA KLIK.
BERITA POPULER
"EKA PRASETYA PANCAKARSA”
KEUNTUNGAN & KERUGIAN PEKERJA OUTSOURCING
MEKANISME PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
MEMAHAMI SEMANGAT DARI AD/ART
REKOMENDASI UMK TANGERANG 2019 DISERAHKAN KE GUBERNUR SELASA DEPAN
SISTEM UPAH DI INDONESIA
PENGAWALAN RAPAT PLENO UPAH


Sukristiawan.com:Hak Karyawan yang Terkena Relokasi Perusahaan

Hak Karyawan yang Terkena Relokasi Perusahaan
Kategori:Buruh & Tenaga Kerja
Perusahaan (PT) akan melakukan relokasi ke kabupaten yang berbeda tetapi masih dalam satu provinsi. Dalam Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur secara jelas mengenai relokasi, tetapi hanya menyebutkan istilah 'perubahan status'. Apakah relokasi dapat dikategorikan sebagai 'perubahan status'? karena karyawan yang tidak bersedia ikut relokasi menuntut pesangon sesuai ketentuan Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sementara perusahaan menolak memberikan pesangon. Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Jawaban:
Intisari:
Meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, walau masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili.
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan perubahan status perusahaan.
Lalu apa hak-hak yang didapat karyawan yang terkena relokasi perusahaan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Adapun permasalahan Anda hadapi terkait dengan relokasi yang dilakukan perusahaan apakah termasuk sebagai perubahan status atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui dahulu apa itu relokasi dan perubahan status.
Relokasi (Perubahan Domisili) Perusahaan
Relokasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemindahan tempat. Relokasi terkait perubahan domisili perusahaan diatur dalam
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:
Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.
Oleh karenanya, meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, meskipun masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili.
Jika perusahaan Anda melakukan relokasi, maka harus tunduk pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (“UU 7/1981”) yang berbunyi:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali , memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Lalu dalam Pasal 6 ayat (1) UU 7/1981 dijelaskan lebih lanjut:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau
memindahkan perusahaan.
Perubahan Status Perusahaan
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas .
Sedangkan jika perusahaan Anda merupakan perusahaan BUMN, maka ketentuan perubahan status perusahaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .
Itulah perbedaan relokasi dan perubahan status.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan perubahan status perusahaan.
Selanjutnya, jika perusahaan melakukan relokasi, maka pihak manajemen perusahaan tidak boleh meninggalkan persoalan mengenai tenaga kerjanya.
Relokasi karena Alasan Efisiensi
Relokasi termasuk dalam kategori efisiensi karena salah satu alasan perusahaan untuk melakukan relokasi adalah alasan kemudahan biaya alat-alat produksi. Jika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dalam kaitannya dengan efisiensi , maka perusahaan wajib memberikan hak-hak kepada pekerjanya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , yaitu uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan .
Namun, perlu diingat bahwa jika pengunduran diri dilakukan atas kemauan sendiri, maka berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Anda tidak berhak atas pesangon dan penghargaan masa kerja, namun hanya bisa mendapatkan uang penggantian hak.
PHK Wajib Diupayakan Agar Tidak Terjadi
Selanjutnya, Pasal 151 UU ketenagakerjaan mencantumkan bahwa pemutusan hubungan kerja wajib diupayakan untuk tidak terjadi. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu memiliki serikat pekerja) atau dengan bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu tidak memiliki serikat pekerja). Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan bapak/ibu setelah memperoleh penetapan dari pengadilan hubungan industrial.
Menurut hemat kami, perusahaan dapat memberikan insentif bagi pekerja untuk menunjang kebutuhan yang berkaitan mengenai relokasi. Sayangnya, dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur mengenai kewajiban perusahaan memberikan insentif jika melakukan relokasi, tetapi perusahaan dapat memberikan insentif sesuai dengan Peraturan Perusahaan (“PP”) masing-masing, maupun Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”).
Jika pekerja/buruh tidak mau ikut relokasi, maka hal tersebut dapat dirundingkan dengan pihak pengusaha, atau jika hal tersebut di atur dalam PP atau PKB, maka ketentuan dalam PP atau PKB tersebut lah yang bisa menjadi acuan ketika perusahaan melakukan relokasi.
Namun jika tidak diatur, pekerja bisa menempuh mekanisme perundingan bipartit sesuai ketentuan hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan .
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Ni
Dasar hukum :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas ;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .


Hak Karyawan yang Terkena Relokasi Perusahaan
Kategori:Buruh & Tenaga Kerja
Perusahaan (PT) akan melakukan relokasi ke kabupaten yang berbeda tetapi masih dalam satu provinsi. Dalam Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur secara jelas mengenai relokasi, tetapi hanya menyebutkan istilah 'perubahan status'. Apakah relokasi dapat dikategorikan sebagai 'perubahan status'? karena karyawan yang tidak bersedia ikut relokasi menuntut pesangon sesuai ketentuan Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sementara perusahaan menolak memberikan pesangon. Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Jawaban:
Intisari:
Meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, walau masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili.
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan perubahan status perusahaan.
Lalu apa hak-hak yang didapat karyawan yang terkena relokasi perusahaan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Adapun permasalahan Anda hadapi terkait dengan relokasi yang dilakukan perusahaan apakah termasuk sebagai perubahan status atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui dahulu apa itu relokasi dan perubahan status.
Relokasi (Perubahan Domisili) Perusahaan
Relokasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemindahan tempat. Relokasi terkait perubahan domisili perusahaan diatur dalam
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:
Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.
Oleh karenanya, meski perusahaan mengubah tempat kedudukannya berbeda kabupaten sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar, meskipun masih satu provinsi, maka dapat dikatakan perusahaan melakukan relokasi atau perubahan domisili.
Jika perusahaan Anda melakukan relokasi, maka harus tunduk pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (“UU 7/1981”) yang berbunyi:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali , memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Lalu dalam Pasal 6 ayat (1) UU 7/1981 dijelaskan lebih lanjut:
Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau
memindahkan perusahaan.
Perubahan Status Perusahaan
Sedangkan, yang dimaksud dengan perubahan status perusahaan yakni perubahan perusahaan dari yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, terkait pula dengan tindakan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) perseroan yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas .
Sedangkan jika perusahaan Anda merupakan perusahaan BUMN, maka ketentuan perubahan status perusahaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .
Itulah perbedaan relokasi dan perubahan status.
Oleh karenanya, yang Anda alami adalah relokasi terkait dengan perubahan domisili dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya, bukan perubahan status perusahaan.
Selanjutnya, jika perusahaan melakukan relokasi, maka pihak manajemen perusahaan tidak boleh meninggalkan persoalan mengenai tenaga kerjanya.
Relokasi karena Alasan Efisiensi
Relokasi termasuk dalam kategori efisiensi karena salah satu alasan perusahaan untuk melakukan relokasi adalah alasan kemudahan biaya alat-alat produksi. Jika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dalam kaitannya dengan efisiensi , maka perusahaan wajib memberikan hak-hak kepada pekerjanya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , yaitu uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan (tergantung masa kerja), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan .
Namun, perlu diingat bahwa jika pengunduran diri dilakukan atas kemauan sendiri, maka berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Anda tidak berhak atas pesangon dan penghargaan masa kerja, namun hanya bisa mendapatkan uang penggantian hak.
PHK Wajib Diupayakan Agar Tidak Terjadi
Selanjutnya, Pasal 151 UU ketenagakerjaan mencantumkan bahwa pemutusan hubungan kerja wajib diupayakan untuk tidak terjadi. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu memiliki serikat pekerja) atau dengan bapak/ibu (jika perusahaan bapak/ibu tidak memiliki serikat pekerja). Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan bapak/ibu setelah memperoleh penetapan dari pengadilan hubungan industrial.
Menurut hemat kami, perusahaan dapat memberikan insentif bagi pekerja untuk menunjang kebutuhan yang berkaitan mengenai relokasi. Sayangnya, dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur mengenai kewajiban perusahaan memberikan insentif jika melakukan relokasi, tetapi perusahaan dapat memberikan insentif sesuai dengan Peraturan Perusahaan (“PP”) masing-masing, maupun Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”).
Jika pekerja/buruh tidak mau ikut relokasi, maka hal tersebut dapat dirundingkan dengan pihak pengusaha, atau jika hal tersebut di atur dalam PP atau PKB, maka ketentuan dalam PP atau PKB tersebut lah yang bisa menjadi acuan ketika perusahaan melakukan relokasi.
Namun jika tidak diatur, pekerja bisa menempuh mekanisme perundingan bipartit sesuai ketentuan hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan .
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas ;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara .


Sukristiawan.com:Dianggap Mangkir Karena Menolak Relokasi, PHI Perintahkan Bayar Kekurangan Pesangon

Dianggap Mangkir Karena Menolak Relokasi, PHI Perintahkan Bayar Kekurangan Pesangon
Dibaca : 1.237 Kali
Bandung | Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Bandung, Senin (1/2/2016) mengabulkan sebagian gugatan Teguh Imam Santoso, dkk (18 orang), yang menuntut pembayaran uang pesangon terhadap PT. Selectrix Indonesia. Selain itu, mereka juga meminta agar PHI Bandung meletakkan sita jaminan terhadap tanah dan bangunan perusahaan yang berada di Gedebage, Bandung.
Gugatan yang diregister oleh Kepaniteraan PHI Bandung Nomor : 199/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg pada 9 Oktober 2015 lalu itu, didasari pada tindakan perusahaan yang menganggap para pekerja telah mengundurkan diri sejak 15 April 2015, karena menolak dipindahkan dari pabrik yang awal berlokasi di Cikarang Utara, Bekasi ke Gedebage, Bandung. Sedangkan perusahaan menganggap kewajibannya telah tidak ada lagi. Sebab, pada tanggal 1 Agustus 2015, perusahaan telah melakukan pembayaran uang pisah melalui transfer bank kepada seluruh pekerja yang mengajukan gugatan.
Terhadap alasan keduanya, Majelis Hakim PHI Bandung berpendapat, bahwa meskipun mutasi merupakan hak perusahaan, tetapi terlebih dahulu harus diperhitungkan secara matang mengenai posisi pekerjaan dan lokasi perusahaan. Dalam hal tersebut, perusahaan harus berpedoman pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 150/Kep/2000, yang mengatur tentang akibat hukum dari pekerja yang tidak bersedia iktu bekerja ditempat yang baru.
“Menimbang, bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada para Penggugat dengan berdasarkan kepada Pasal 168 UU No. 13 Tahun 2003 tidak tepat, sehingga harus dinyatakan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku,” tandas Hakim Wasdi Permana selaku Ketua Majelis Hakim. Lebih lanjut ia menyatakan, “Bahwa karena pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada para Penggugat tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, oleh karena para Penggugat nyata-nyata tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan Tergugat di lokasi kerja baru di Kota Bandung maka cukup alasan apabila hubungan kerja antara para Penggugat dengan Tergugat diakhiri”.
Atas pertimbangan hukum tersebut, Maj elis Hakim menghukum perusahaan untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003, yang setelah dikurangi uang pisah seluruhnya berjumlah sebesar Rp.782,1 juta. Sedangkan terhadap tuntutan sita jaminan, Hakim Wasdi menganggap para pekerja tidak mampu membuktikan menunjukkan bukti-bukti terhadap objek sita sebagai milik perusahaan, sehingga dinyatakan ditolak.
#sukristiawan#


sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...