POLITIK EKONOMI SOSIAL BUDAYA MILITER BUDAYA KESEHATAN SEJARAH OLAHRAGA BISNIS TEKNOLOGI PARIWISATA HUKUM AGAMA EDUKASI SASTRA NASIONAL INTERNASIONAL
Rabu, 29 Juli 2020
Sukristiawan. com:Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, permenaker 16/men/XI/2011.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.16 / Men / Xi / 2011
Tentang
Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
………… ..
BAB II
PERATURAN PERUSAHAAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Pembuatan Peraturan Perusahaan
Pasal 2
(1) Pengusaha yang membutuhkan pekerja / pekerja sekurang-tinggi 10 (sepuluh) orang wajib membuat PP.
(2) PP berisi persyaratan kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan undangan.
(3) Dalam hal PP akan mengatur kembali materi dari peraturan perundang-undangan maka PP tersebut harus lebih baik atau minimal sama dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PP yang diperlukan untuk seluruh pekerja / buruh di perusahaan yang diterima.
(2) Dalam hal perusahaan yang memiliki cabang, membuat PP yang berlaku di semua cabang perusahaan yang dapat dibuat PP turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan.
(3) PP induk perusahaan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan dan PP turunan
(4) Dalam hal PP induk harus mematuhi perusahaan belum dikehendaki ada PP turunan di cabang perusahaan, maka selama PP turunan belum disahkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan lokal, tetap dapat dipertahankan PP induk.
(5) Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup, maka PP dibuat oleh masing-masing perusahaan.
Pasal 4
(1) PP yang disetujui dalam Pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja / buruh di perusahaan yang disetujui.
(2) Wakil pekerja yang disetujui pada ayat (1) dapat memberikan saran dan pertimbangan terhadap PP yang diminta oleh pengusaha.
(3) Wakil pekerja disetujui oleh ayat (1) dipilih oleh pekerja / buruh yang disetujui dari setiap unit kerja yang ada di perusahaan.
(4) Jika di perusahaan telah membentuk serikat pekerja / buruh, maka wakil pekerja / buruh menyetujui ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja / serikat buruh.
(5) Dalam hal di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja / serikat buruh namun keanggotaannya tidak mewakili pekerja / buruh di perusahaan tersebut, maka pengusaha selain memperhatikan saran dan pertimbangan dari pengurus serikat pekerja / serikat buruh harus juga memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja / buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja
(6) Saran dan pertimbangan yang disetujui pada ayat (1) tidak dapat diperselisihkan.
Pasal 5
Pembuatan PP merupakan tanggung jawab dan tanggung jawab pengusaha.
Pasal 6
(1) Pengusaha harus membahas naskah rancangan untuk wakil pekerja / buruh dan / atau serikat pekerja / buruh untuk mendapatkan saran dan pertimbangan.
(2) Saran dan pertimbangan dari wakil pekerja / buruh dan / atau serikat pekerja / pekerja terhadap naskah yang dirancang PP disetujui pada ayat (1) harus diterima oleh pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya naskah pembuatan PP oleh wakil pekerja / buruh dan / atau serikat pekerja / serikat buruh.
(3) Dalam hal wakil pekerja / buruh dan / atau pekerja serikat / serikat pekerja telah meminta saran dan menyetujui persetujuan ayat (2), maka pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan wakil pekerja / buruh dan / atau pekerja pekerja / buruh buruh tersebut.
(4) Jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja disetujui oleh ayat (2) wakil pekerja / atau pekerja / serikat pekerja tidak memberikan saran dan pertimbangan, maka pengusaha dapat meminta pengesahan dan penilaian dari pengusaha kepada pekerja / buruh dan / atau serikat pekerja / serikat buruh.
Bagian Kedua
Pengesahan Peraturan Perusahaan
Pasal 7
Pengesahan PP dilakukan oleh:
Sebuah. kepala kantor yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota, untuk perusahaan yang hanya tersedia dalam 1 (satu) wilayah kabupaten / kota;
b. kepala pemerintahan yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi, untuk perusahaan yang terkait dengan lebih dari 1 (satu) kabupaten / kota dalam 1 (satu) provinsi;
c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, untuk perusahaan yang ada di lebih dari 1 (satu) provinsi.
Pasal 8
(1) Pengusaha harus mengajukan permohonan. Pengesahan PP.
(2) Permohonan pengesahan disetujui pada ayat (1) dilengkapi dengan:
Sebuah. naskah PP yang dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan ditandatangani oleh pengusaha; dan
b. bukti telah dimintakan saran dan penilaian dari serikat pekerja / serikat buruh dan / atau wakil pekerja / buruh di perusahaan tidak ada serikat pekerja / serikat buruh.
(3) Formulir permohonan pengesahan, verifikasi telah dimintakan, saran dan penilaian dari pekerja, dan bukti tidak ada pekerja / serikat buruh di perusahaan yang disetujui pada ayat (2) menggunakan ini.
(4) Pejabat yang disetujui dalam Pasal 7 harus memeriksa kelengkapan dokumen yang disetujui pada ayat (2) dan membahas materi PP yang diminta tidak lebih rendah dari peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal pengajuan pengesahan PP tidak memenuhi kelengkapan disetujui pada ayat (2) dan / atau mengandung materi PP yang lebih rendah dari peraturan perundang-undangan, maka diminta persetujuan yang diminta dalam Pasal 7 yang disetujui secara resmi untuk pengesahan PP.
(6) Dalam hal pengajuan pengesahan PP telah disetujui kelengkapan persetujuan pada ayat (2) dan materi PP tidak lebih rendah dari peraturan-undangan maka disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib mengesahkan PP dengan meminta surat keputusan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) ) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
Pasal 9
(1) Dalam hal di perusahaan yang dilakukan perundingan pembuatan PKB dan masa berlaku PP telah berakhir, maka pengusaha dapat menyetujui perpanjangan masa berlaku PP.
(2) Perpanjangan disetujui pada ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun.
Bagian Ketiga
Perubahan
Pasal 10
(1) Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan PP dalam tenggang waktu masa berlakunya PP, maka dalam hal perubahan tersebut menjadi lebih rendah dari PP sebelumnya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka perubahan tersebut harus disetujui oleh pekerja / pekerja buruh dan / atau wakil pekerja di dalam Pasal 3 ayat (5).
(2) Seharusnya disetujui pada ayat (1).
(3) Jika perubahan PP tidak mendapat pengesahan disetujui Pasal 7, maka perubahan itu dianggap tidak ada.
Bagian Keempat
Pembaruan
Pasal 11
(1) Pengusaha wajib menyetujui pembaharuan PP paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir masa berlakunya PP, bagi pejabat yang disetujui dalam Pasal 7 untuk mendapatkan pengesahan.
(2) Pengajuan pengesahan persetujuan atas persetujuan pada ayat (1) harus sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2).
(3) Pembaruan PP memperhatikan saran dan pertimbangan wakil pekerja.
#sukristiawsn.com#
Jumat, 05 Juni 2020
Sukristiawan. com:Disebut Langgar UU Tiadakan Haji, Menag ke DPR: Diminta Presiden
Rabu, 27 Mei 2020
Sukristiawan. com:Covid -19 konspirasi dan penanganya.
Selasa, 26 Mei 2020
sukristiawan.com:Mengenai Vaksin
Selasa, 05 Mei 2020
sukristiawwn.com:Apakah langkah saya selanjutnya bila setelah 3 bulan mediasi, anjuran dari mediator Disnaker belum juga diturunkan
Langkah Hukum Jika Mediator Ketenagakerjaan Belum Memberikan Anjuran
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.
Buruh & Tenaga Kerja
Bung Pokrol
Selasa, 14 April 2015
Pertanyaan
Apakah langkah saya selanjutnya bila setelah 3 bulan mediasi, anjuran dari mediator Disnaker belum juga diturunkan?
Punya pertanyaan lain ?
Silakan Login, atau Daftar ID anda.
Kirim Pertanyaan
Ulasan Lengkap
Terima kasih untuk pertanyaan Anda.
Intisari:
Ulasan:
Mediasi dalam penyelesaian hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).
Pada dasarnya, mediator wajib mengupayakan agar terjadi kesepakatan di antara pihak yang bertikai. Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini diatur dalam Pasal 5 UU PPHI.
Anda menyebut soal anjuran dari mediator. Kami berkesimpulan bahwa kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi di antara para pihak tidak tercapai sehingga mediator mengeluarkan anjuran tertulis. Hal ini karena dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri. Sedangkan dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) huruf a UU PPHI.
Yang dimaksudkan dengan anjuran tertulis adalah pendapat atau saran tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka [penjelasan Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI].
Adapun aturan soal jangka waktu penyampaian anjuran tertulis dari mediator itu tertuang dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b UU PPHI yang berbunyi:
“anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak.”
Ketentuan jangka waktu di atas dipertegas kembali dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi (“Permenakertrans 17/2014”).
Menurut keterangan Anda, setelah 3 (tiga) bulan mediasi anjuran dari mediator belum juga diturunkan. Ini artinya, tiga bulan tersebut telah melewati jangka waktu sepuluh hari yang ditentukan dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b UU PPHI di atas.
Berdasarkan penelusuran kami, baik UU PPHI maupun Permenakertrans 17/2014 tidak mengatur soal langkah apa selanjutnya yang dapat ditempuh para pihak terkait lewatnya jangka waktu bagi mediator untuk menyampaikan anjuran tertulis kepada para pihak. Yang diatur adalah dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat [Pasal 14 ayat (1) UU PPHI].
Akan tetapi ada pengaturan bahwa mediator wajib menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan kepadanya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 15 UU PPHI dan Pasal 15 ayat (1) Permenakertrans 17/2014.
Jika mediator tidak dapat menyelesaikan tugasnya dalam kurun waktu yang telah ditentukan di atas, maka ada sanksi administratif yang akan dikenakan kepada mediator, yakni diatur dalam Pasal 116 ayat (1) UU PPHI dan Pasal 22 Permenakertrans 17/2014:
“Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.”
Ini artinya, tiga bulan tentu sudah melewati jangka waktu 30 hari bagi mediator untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Oleh karena itu, mediator yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin.
Lalu apa langkah hukum yang dapat dilakukan para pihak jika mediator telah melewati jangka waktu penyampaian anjuran tertulis tersebut dan tidak (belum) juga memberikan anjuran tertulis? Pada dasarnya, mediator dapat melakukan koordinasi dengan pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana disebut dalam Pasal 16 Permenakertrans 17/2014. Menurut hemat kami, Anda dapat menyampaikan masalah ini kepada pengawas pada dinas ketenagakerjaan setempat untuk kemudian ditindaklanjuti.
Di samping itu, tidak adanya surat anjuran yang tidak atau belum dikeluarkan oleh mediator tentu merugikan para pihak dalam mediasi. Hal ini karena surat anjuran merupakan “tiket” para pihak untuk dapat meneruskan perselisihannya ke pengadilan hubungan industrial. Sebagaimana diberitakan dalam artikel Kemenakertrans Berupaya Tingkatkan Kualitas Mediator, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar menjelaskan bahwa tanpa surat anjuran, pekerja tidak bisa mencari keadilan sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”). Timboel juga menjelaskan bahwa sifat anjuran adalah tidak mengikat, hanya sebatas tiket untuk ke PHI sehingga para mediator bisa asal-asalan membuat anjuran karena tidak ada resiko (sanksi) bagi mediator.
Dari sini, menurut hemat kami, Anda sebagai salah satu pihak yang bermediasi juga tidak dapat melakukan langkah selanjutnya untuk melakukan gugatan ke PHI karena belum ada anjuran dari mediator.
Timboel menambahkan, untuk menjamin pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh mediator dilaksanakan dengan baik, ia mengusulkan untuk dilakukan pengawasan yang ketat sehingga kerja-kerja yang dilakukan mediator dapat dikawal agar sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan yang ada terkait ketenagakerjaan. Untuk melakukan pengawasan Timboel berpendapat, Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit nasional dan daerah wajib dilibatkan.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno (yang menjabat saat itu) menuturkan, LKS Tripartit baik di tingkat nasional maupun di daerah berfungsi sebagai forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah guna memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah terkait penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Hal ini sesuai amanat Pasal 107 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Selengkapnya silakan membaca artikel Keanggotaan LKS Tripartit Nasional Resmi Terbentuk. Dengan demikian, menurut hemat kami, Anda dapat menempuh upaya komunikasi atau konsultasi soal masalah kerja mediator Anda melalui LKS Tripartit selaku lembaga yang dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja mediator.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi.
KLINIK TERKAIT:Syarat Agar Manager HRD Bisa Beracara di PHIJangka Waktu Pengajuan Perkara ke Pengadilan Hubungan IndustrialPerusahaan Tidak Bayar Upah, Gugat ke PHI atau Pengadilan Niaga?Apakah Setiap PHK Perlu Melalui Putusan Pengadilan?Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar THRBekerja di Perusahaan Lain Saat Persidangan PHK Masih BerlangsungBolehkah Mem-PHK Pekerja yang Sakit?Legalitas Kuasa Hukum dalam Pengadilan Hubungan Industrial
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Hierarki Peraturan Perundang-undangan di IndonesiaProsedur Melaporkan Peristiwa Pidana ke Kantor PolisiHukumnya Mempekerjakan Pekerja Hamil pada Pukul 15.00-23.00Bisakah Dipenjara karena Berhubungan Seks dengan Pacar?Wajibkah Semua Perusahaan Memberlakukan Lengkap Norma K3?Langkah Hukum Jika Ditipu Biro Perjalanan Haji/UmrahIzin Penyelenggaraan UndianLangkah Hukum Jika Upah di Bawah Standar MinimumKapan Dimulainya Perlindungan Merek?Bolehkah Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sebagai Buruh Kasar?
Back »
DISCLAIMER · KATEGORI · MITRA · KIRIM PERTANYAANKONSULTASI DENGAN PENGACARA
Ke Atas · Berita · Search
Lihat Versi Desktop
Home · Tentang Kami · Redaksi · Pedoman Media Siber · Kode Etik · Kebijakan Privasi · Bantuan dan FAQ · Karir ·
Copyright © 2020 hukumonline.com, All Rights Reserved
Dapatkan Berita dan Klinik Hukum Terbaru dari Hukumonline.com
Rabu, 08 April 2020
sukristiawan.com:NOMOR KEP. 102/MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP. 102/MEN/VI/2004
TENTANG
WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 78 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu diatur mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Repupblik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan :
1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004.
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR.
Pasal 1.
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) harikerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah.
Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerja dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
(1) Pengaturan waktu kerja lembur berlaku untuk semua perusahaan, kecuali bagi perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu.
(2) Perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur tersendiri dengan Keputusan Menteri.
Pasal 3
(1) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi.
Pasal 4
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar upah lembur.
(2) Bagi pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi.
(3) Yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai denga peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Perhitungan upah kerja lembur berlaku bagi semua perusahaan, kecuali bagi perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 6
(1) Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Perintah tertulis dan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.
(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur.
Pasal 7
(1) Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban :
membayar upah kerja lembur;
memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya;
memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.
(2) Pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c tidak boleh diganti dengan uang.
Pasal 8
(1) Perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan.
(2) Cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.
Pasal 9
(1) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan besarnya upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja/buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(2) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah minimum setempat.
Pasal 10
(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.
Pasal 11
Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut :
Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :
a.1. untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam;
a.2. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2(dua) kali upah sejam.
Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka :
b.1. perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah sejam.
b.2. apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.
Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3(tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.
Pasal 12
Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya lebih baik dari Keputusan Menteri ini, maka perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku.
Pasal 13
(1) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur, maka yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pengawas ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
(2) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka dapat meminta penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Provinsi.
(3) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1(satu) Provinsi yang sama, maka yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pengawas ketenagakerjaan Provinsi.
(4) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat meminta penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 14
Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Provinsi, maka yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah Pengawas Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 15
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor:KEP-72/MEN/1984 tentang Dasar Perhitungan Upah Lembur, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-608/MEN/1989 tentang Pemberian Izin Penyimpangan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Bagi Perusahaan-perusahaan Yang Mempekerjakan Pekerja 9 (sembilan) Jam Sehari dan 54 (lima puluh empat) Jam Seminggu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-06/MEN/1993 tentang waktu kerja 5 (lima) Hari Seminggu dan 8 (delapan) Jam Sehari, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 16
Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2004
MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
JACOB NUWA WEA
sukristiawan.com:SOWAN LEBARAN EKS MENTERI JOKOWI, SILATURAHMI ATAU MANUVER POLITIK.
SOWAN LEBARAN EKS MENTERI JOKOWI, SILATURAHMI ATAU MANUVER POLITIK. Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior FNN. Sederet menteri berkunjung ke ke...
-
Inilah Daftar Ribuan Nama Indonesia Di Panama Papers (Alphabetical Order) Inilah Daftar 2.961 Nama Indonesia Di “Panama Papers” (Alphabet...
-
YLBHI Ungkap 10 Faktor Jokowi Layak Dianugerahi Pemimpin Terkorup Sedunia. Mantan Presiden Jokowi. (Aris Wasita/Antara) "Dampaknya, tak...