POLITIK EKONOMI SOSIAL BUDAYA MILITER BUDAYA KESEHATAN SEJARAH OLAHRAGA BISNIS TEKNOLOGI PARIWISATA HUKUM AGAMA EDUKASI SASTRA NASIONAL INTERNASIONAL
Rabu, 07 Oktober 2020
sukristiawan.com:Revolusi Bisa Terjadi Apabila Terjadi gejolak sosial.
Selasa, 25 Agustus 2020
Sukristiawan.com:Cara yang Dapat Ditempuh Jika Tergugat Tidak Membayar Uang Paksa.
Cara yang Dapat Ditempuh Jika Tergugat Tidak Membayar Uang Paksa

Pertanyaan
Bagaimana cara pembayaran uang paksa atau dwangsom oleh tergugat kepada penggugat? Apabila tergugat/pengusaha tidak mau menjalankan putusan sidang dan tidak mau bayar dwangsom, apa sanksinya?
Bagaimana cara pembayaran uang paksa atau dwangsom oleh tergugat kepada penggugat? Apabila tergugat/pengusaha tidak mau menjalankan putusan sidang dan tidak mau bayar dwangsom, apa sanksinya?
Intisari:
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa putusan yang Anda maksud di sini adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Jenis-jenis Sanksi Dalam Hukum Administrasi Negara
Uang paksa atau dwangsom merupakan salah satu jenis sanksi yang dikenal dalam Hukum Administrasi Negara. Menurut Ridwan HR dalam bukunya Hukum Administrasi Negara (hal. 303), jenis sanksi dalam Hukum Administrasi Negara secara umum yaitu:
a. Paksaan Pemerintahan (bestuursdwang);
b. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi, pembayaran, dan sebagainya);
c. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom);
d. Pengenaan denda administratif (administratieve boete).
Lebih lanjut Ridwan menjelaskan bahwa macam-macam sanksi tersebut tidak selalu dapat diterapkan secara keseluruhan pada suatu bidang administrasi negara tertentu.
Uang Paksa (Dwangsom)
Uang paksa sebagai salah satu bentuk hukuman administratif ini juga disebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan (“PP 48/2016”), yakni sebagai sanksi administratif sedang.[1]
Yang dimaksud dengan "uang paksa" adalah sejumlah uang yang dititipkan sebagai jaminan agar Keputusan dan/atau Tindakan dilaksanakan sehingga apabila Keputusan dan/atau Tindakan telah dilaksanakan, uang paksa tersebut dikembalikan kepada Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.[2]
Dalam Hukum Administrasi Negara, pengenaan uang paksa dapat dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan.[3]
Dalam Undang-Undang Hukum Administrasi Belanda disebutkan sebagai berikut:[4]
“Organ pemerintahan yang berwenang melaksanakan tindakan pemerintahan, dapat mengenakan uang paksa sebagai pengganti (dari bestuursdwang). Uang paksa tidak dapat dipilih (sebagai pengganti), jika kepentingan yang harus dilindungi peraturan tersebut tidak menghendakinya”.
“Organ pemerintahan menetapkan uang paksa itu apakah sekali bayar ataupun dicicil berdasarkan waktu (tertentu) ketika pemerintah itu tidak dijalankan atau membayar sejumlah uang ketika pelanggaran itu (terjadi). Organ pemerintahan juga menetapkan jumlah maksimal uang paksa. Jumlah uang yang dibayar harus sesuai dengan beratnya kepentingan yang dilanggar dan (sesuai) dengan tujuan diterapkannya penetapan uang paksa itu”.
“Dalam keputusan untuk penetapan uang paksa yang tujuannya menghilangkan atau mengkhiri pelanggaran, kepada pelanggar diberikan jangka waktu untuk melaksanakan perintah tersebut (dengan) tanpa penyitaan uang paksa”.
Sementara itu, Lilik Mulyadi dalam bukunya Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Teori dan Praktik (hal.108) menjelaskan bahwa jenis uang paksa yang dikenal dan diterapkan di Indonesia hanyalah 1 (satu) jenis saja yaitu dwangsom dengan jumlah tertentu apabila terhukum setiap harinya lalai memenuhi hukuman pokok.
Contoh Pengenaan Dwangsom
Lilik memberikan contoh: A (Penggugat) melakukan gugatan kepada B (Tergugat). Dalam petitum surat gugatannya pada pokoknya A menuntut agar B dihukum untuk memenuhi pretasi berupa C, D dan E serta apabila atas kelalaian memenuhi keseluruhan hukum membayar uang paksa/dwangsom sebesar Rp.6.000.000 setiap harinya, kemudian hakim mengabulkan gugatan A. Jadi, aspek pasif penerapan uang paksa haruslah dilakukan seluruhnya. Tidak dilaksanakannya salah satu prestasi bukanlah merupakan halangan, penghapus dan pengurangan uang paksa.[5]
Sebagai contoh lain pengenaan dwangsom dalam kaitannya dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan yaitu pada izin. Biasanya pemohon izin disyaratkan untuk memberikan uang jaminan. Jika terjadi pelanggaran, maka uang jaminan itu dipotong sebagai dwangsom. Uang jaminan ini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan Paksaan Pemerintahan/bestuursdwang sulit dilakukan.[6]
Eksekusi Hukuman Uang Paksa
Lilik Mulyadi (hal. 117-118) menjelaskan bahwa eksekusi dwangsom dengan cara verthaal executie yang bertitik tolak pada ketentuan Pasal 195-208 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan kebiasaan praktik peradilan, yakni melalui tahap-tahap berikut:
- Adanya permohonan dari pemohon eksekusi terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Bentuk permohonan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Dalam praktik secara administratif setelah pemohon eksekusi membayar biaya eksekusi pada petugas urusan kepaniteraan perdata, maka akan diregister pada Buku Permohonan Eksekusi, Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi dan apabila Ketua Pengadilan Negeri yakin bahwa permohonan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, maka Ketua Pengadilan Negeri lalu mengeluarkan “Penetapan” yang asasnya berisikan tentang:[7]
a. Perintah pemanggilan pihak tergugat/termohon eksekusi supaya pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta jam yang telah ditetapkan dalam penetapan agar datang ke Pengadilan Negeri untuk diberi peringatan/somasi menjalankan hukuman pokok dan uang paksa/dwangsom; dan[8]
b. Dalam persidangan yang dilakukan secara insidental tersebut Ketua Pengadilan Negeri memberi batas waktu kepada pihak tereksekusi untuk membayar uang paksa dalam waktu maksimal 8 hari.[9]
- Apabila setelah tenggang waktu somasi dilampaui belum juga tereksekusi melakukan pembayaran uang paksa, Ketua Pengadilan Negeri akan meneliti apakah perkara tersebut telah dilakukan sita jaminan atau tidak. Apabila diletakkan sita jaminan, maka dengan sendirinya berkekuatan eksekutorial. Sedangkan apabila tidak diletakkan sita jaminan, maka secara ex officio Ketua Pengadilan Negeri melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tereksekusi.
- Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan pendapat dengan perintah kepada panitera ata wakilnya yang sah untuk melakukan pelelangan.
Jika Tergugat Tidak Patuh Atas Putusan Pengadilan
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana telah terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (“UU 51/2009”), jika tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.[10]
Hukuman dwangsom adalah bersifat accesoir dan merupakan hukuman tambahan dari hukuman pokok. Ini berarti bahwa tidak ada dwangsom tanpa hukuman pokok, dan dengan demikian tidak mungkin ada putusan dwangsom tersendiri. Dwangsom selalu diletakkan bersama dengan hukuman pokok, di mana fungsi dwangsom di sini sebagai alat eksekusi bagi terhukum agar ia dengan segera memenuhi prestasi.[11]
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya kewajiban.[12] Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat, ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.[13]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jika tergugat tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh putusan pengadilan, maka ia akan dikenakan uang paksa atau dwangsom. Kemudian akan diumumkan di media masa setempat bahwa tergugat tidak mematuhi putusan pengadilan. Jika tidak membayar dwangsom, maka akan tergugat diberikan somasi. Namun, jika tergugat tetap tidak melaksanakannya, maka Ketua Pengadilan Negeri akan meneliti apakah perkara tersebut telah dilakukan sita jaminan atau tidak. Apabila diletakkan sita jaminan, maka dengan sendirinya berkekuatan eksekutorial. Sedangkan apabila tidak diletakkan sita jaminan, maka secara ex officio Ketua Pengadilan Negeri melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tereksekusi.
Contoh Kasus
Untuk lebih jelas lagi, contoh kasus terkait dengan hukuman pembayaran uang paksa dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor: 591/Pdt.G-LH/2015/PN. Jkt. Sel, dimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memenangkan gugatan perkara perdata terkait pembakaran hutan yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang lalai mengantisipasi kerusakan hutan dalam terjadinya kebakaran. Salah satu amar putusan majelis hakim yaitu menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 50 juta setiap hari apabila tergugat lalai dalam melaksanakan putusan ini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Herzien Inlandsch Reglement
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Putusan:
Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor: 591/Pdt.G-LH/2015/PN. Jkt. Sel.
Referensi:
Lilik Mulyadi. 2001. Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Djambatan.
Ridwan HR. 2016. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
[1] Pasal 9 ayat (2) huruf a jo. Pasal 4 huruf b PP 48/2016
[2] Penjelasan Pasal 9 ayat (2) huruf a PP 48/2016
[3] Ridwan HR hal. 315
[4] Ridwan HR hal. 315
[5] Lilik Mulyadi hal. 108-109
[6] Ridwan HR hal. 316
[7] Lilik Mulyadi hal. 117-118
[8] Lilik Mulyadi hal.118
[9] Lilik Mulyadi hal.118 jo Pasal 196 ayat (2) HIR / Pasal 207 ayat (2) RBg
[10] Pasal 116 ayat (4) UU 51/2009
[11] Lilik Mulyadi hal. 112
[12] Pasal 116 ayat (5) UU 51/2009
[13] Pasal 116 ayata (6) UU 51/2009
#sukristiawan.com#
Senin, 17 Agustus 2020
Sukristiawan.com:Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus law.

Penulis: Kiki Safitri
|Editor: Sakina Rakhma Diah Setiawan
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah saat ini tengah menggodok RUU Omnibus Law yang mencakup aturan cipta lapangan kerja dan aturan perpajakan.
Aturan ini dibuat untuk mengakomodir aturan-aturan lama yang dinilai terpecah-pecah dan menghambat sektor ekonomi untuk berkembang.
Namun, serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai RUU omnibus law bukan cara terbaik untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja.
Presiden KSPI, Said Iqbal menilai omnibus law merupakan cara terbaik untuk menghancurkan kesejahteraan para pekerja.
Baca juga: Poin-poin Omnibus Law Perpajakan Beres, Tapi Cipta Lapangan Kerja Belum Rampung
Maka dari itu, kata Iqbal, ada 6 hal yang menjadi poin penolakan dari serikat buruh terkait dengan RUU Omnibus Law, antara lain sebagai berikut.
1. Menghilangkan upah minimum
Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam.
Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.
"Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," kata Iqbal, Selasa (7/1/2020).
Iqbal menilai hal ini akan semakin menyengsarakan bagi pekerja yang sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, atau cuti melahirkan. Dimana upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.
Baca juga: Kontroversi Upah Per Jam: Ditolak Buruh, Didukung Pengusaha
Namun demikian, menurutnya, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.
Lagipula, penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum.
"Upah minimum adalah upah minimum, berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan upah minimum per jam," terang Iqbal.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan.
Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.
"Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," tegasnya.
2. Menghilangkan pesangon
Iqbal menyebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.
Terkait hal ini, Iqbal mengatakan, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 masalah pesangon sudah diatur bagi buruh yang terkena PHK.
Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah. Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari toal pesangon atau penghargaan masa kerja.
"Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih," ujarnya.
Baca juga: Omnibus Law Bakal Atur Tunjangan PHK 6 Bulan Upah, Bagaimana Aturan Saat Ini?
3. Fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan outsourcing dan buruh kontrak diperluas
Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja. Iqbal menilai, istilah ini dapat diartikan tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT).
"Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa di-outsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan," sebut Iqbal.
4. Lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) Unskill
Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu.
TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia.
Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasional, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.
Baca juga: Menko Airlangga: Omnibus Law Permudah Perekrutan Tenaga Kerja Asing
Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3 – 5 tahun, dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal.
Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan sang TKA .
"Dalam omnibus law terdapat wacana, semua persyaratan yang sudah diatur akan dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mestinya bisa diempati oleh orang lokal diisi oleh TKA," ujar Iqbal.
5. Jaminan sosial terancam hilang
Menurutnya, jaminan sosial yang hilang diakibatkan karena sistem kerja yang fleksibel. Sebagaimana diketahui, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.
"Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun," ungkap Iqbal.
Baca juga: Poin-poin Omnibus Law Perpajakan Beres, Tapi Cipta Lapangan Kerja Belum Rampung
6. Menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha
Dalam omnibus law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Dalam UU 13/2003, disebutkan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh.
Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum, bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun.
Jika sanksi pidana ini dihilangkan, kata Iqbal, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum.
“Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak berikan pengusaha. Karena tidak ada efek jera,” ujar dia.
Sukristiawan. com:Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja Fakultas Hukum UGM".
Rabu, 05 Agustus 2020
sukristiawan.com:Sejarah Gunungkidul
sukristiawan.com:SOWAN LEBARAN EKS MENTERI JOKOWI, SILATURAHMI ATAU MANUVER POLITIK.
SOWAN LEBARAN EKS MENTERI JOKOWI, SILATURAHMI ATAU MANUVER POLITIK. Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior FNN. Sederet menteri berkunjung ke ke...
-
Inilah Daftar Ribuan Nama Indonesia Di Panama Papers (Alphabetical Order) Inilah Daftar 2.961 Nama Indonesia Di “Panama Papers” (Alphabet...
-
YLBHI Ungkap 10 Faktor Jokowi Layak Dianugerahi Pemimpin Terkorup Sedunia. Mantan Presiden Jokowi. (Aris Wasita/Antara) "Dampaknya, tak...