Rabu, 24 Februari 2016

Sukristiawan.com:Tak ingin di bebankan 2 kali.apindo gugat pasal PHK pensiun di hapus.

Tak Ingin Dibebankan Dua Kali, APINDO Gugat Pasal PHK Pensiun:Februari 24, 2016In:Berita KonstitusiNo Comments(Ki-Ka) Arifin Djauhari Munafrizal, John Pieter Nazar, Zafrullah Salim selaku kauasa hukum Pemohon saat menyampaikan pokok-pokok permohonan dalam sidang perdana uji materi UU Ketenagakerjaan, Selasa (23/02) di Ruang Sidang Panel Gedung MK. Foto Humas/Ganie.Jakarta| Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) melalui kuasa hukumnya John Pieter Nazar, dkk menyampaikan pokok-pokok permohonannya dihadapan sidang pendahuluan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/2) kemarin. Dalam permohonannya, APINDO meminta ketentuanPasal 167 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun2003 tentang Ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945 dan agar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.Pasal 167 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan,“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruhkarena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”APINDO merasa keberatan dengan adanya pengaturan kewajiban pembayaran uang penggantian hak, yang terdiri dari cuti tahunan pekerja, biaya atau ongkos pulang untuk pekerja kembali ketempat saat pekerja diterima pekerja, uang penggantian perumahan serta pengobatan danperawatan sebesar 15% (lima belas perseratus), serta hal-hal lain yang diatur dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama.Diwakili Kuasa Hukumnya yang lain, Munafrizal, APINDO menilai telah terjadi tumpang tindih norma pengaturan mengenai pemberian pesangon dan pembayaran pensiun yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, termasuk tumpang tindih dengan aturan terkait program jaminan pensiun sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. “Hal ini mengakibatkan pemberi kerja, pengusaha tidak memperoleh jaminan kepastian dan perlindungan hukum karena adanya dualisme pengaturan ini,” papar Munafrizal kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar didampingiHakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Suhartoyo di ruang sidang pleno MK.Terhadap dalil tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai APINDO banyak menyampaikan pertentangan antara satu UU dengan UU lain. Padahal, itu tugas DPR dan Pemerintah, bukan wewenang MK. “Karena MK hanya memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD. Selain itu, saya belum melihat adanya kerugian potensial yang diderita Pemohon,” ujar Wahiduddin sebagai hakim anggota.Sementara Hakim Konsitusi Suhartoyo sependapat dengan Hakim Konstitusi Wahiduddin, agar permohonan lebih merinci kerugian konstitusional yang dialami. Sedangkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengomentari, bahwa MK tidak dapat menilai UU mana yang lebih baik ketimbang UU lainnya. Sebab, MK hanya memberikan penilaian sebuah UU bertentangan atau tidak dengan UUD.MK memberi kesempatan kepada APINDO, untuk memperbaiki permohonan yang diregister dengan perkara No. 1/PUU-XIV/2016 itu, paling lambat diserahkan ke Kepaniteraan MK tanggal 7 Maret 2016. (***Hz)Share5Tweet


Selasa, 09 Februari 2016

Sukristiawan.com:Gerakan Revolusi buruh indonesia Mengugat.

GERAKAN REVOLUSI BURUH INDONESIA MENGGUGAT
En Jacob Ereste :
Hasil Rekapitulasi Data Keanggotaan Konfederasi dan Non Konfederasi Organiasi Buruh di Indonesia Yang Dilakukan Kemenakar RI Tahun 2015 Tidak Bisa Dijadikan Rujukan
Data terakhir yang dihimpun Komunitas Buruh Indonesia mencatat jumlah organisasi buruh di Indonesia 63 organisasi tingkat nasional. baik yang berbentuk konfederasi maupun non konfederasi. Diantaranya yang tidak terliput dalam laporan hasil rekapitulasi Kemenaker RI tahun 2015 ialah Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Reformasi (SPSI Reformasi).Jl. Elang Mas I, C5/17, Perumahan Tanjung Emas, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jakarta . Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), l.Tanah Tingg 2 No. 25 Jakarta Pusat 10450. Kesatuan Pekerja Nasional Indonesia (KPNI), Jl. Buncit Raya Ujung no. 1-A, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12550. Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia (KBKI) Rungkut Harapan Blok E-8, Surabaya 60293 Jawa Timur
Kecuali itu, ada juga Asosiasi Karyawan Pendidikan Swasta Indonesia ( ASOKADIKTA) Jl. Pinang Ranti no. 68 TMII, Jakarta Timur 13560. Serikat Pekerja Keadilan (SPK) Jl. Mesdjid no. 11, Kebon Baru, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) Jl. Raya Pondok Gede no. 5, Kramat Jati, Jakarta Timur 13550. Dewan Pengurus Pusat Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Gedung Pola, Jl. Proklamasi Jakarta Pusat. Dan Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSP BUMN). Gedung Garuda, lantai 17 Jl. Medan Merdeka Selatan no. 13, Jakarta Pusat
Boleh jadi tidak terdaftarnya sejumlah organisasi buruh dan organsiasi pekerja tersebut sebagai bentuk pembangkangan terhadap ajakan atau himbauan pihak Kementerian Tenaga Kerja RI yang mereka anggap tidak memberikan kontribusi apapun terhadap masalah yang selama ini harus dihadapi oleh pihak organsiasi buruh dan organisasi pekerja itu sendiri. Tetapi juga, bisa jadi akibat himbauan dan ajakan yang tidak tersosialisasi secara meluas dan benar, sehingga dapat memperoleh sambutan yang sepatutnya pula dari pihak organisasi buruh maupun organisasi pekerja.
Dari sumber data yang dimiliki Komunitas Buruh Indonesia juga dapat diketahui pula sejumlah organsiasi buruh lainnya yang tidak tercantum dalam hasil rekapitulasi Kemenaker RI tahun 2015 itu, diantaranya adalah Serikat Buruh Merdeka "Setiakawan" (SBM SK), Jl. Timbul Jaya no. 19, Cengkareng, Jakarta Barat 11750. Serikat Pekerja Nasional Indonesia (SPNI)Jl. Dr. Sahardjo no. 29B, Jakarta Selatan 12850. Gabungan Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (GOBSI) Jl. Prof. Dr. Latumenten Barat no. 16, Grogol, Jakarta Barat. Federasi SP Penegak Keadilan Kesejahteraan dan Persatuan ( SPKP) Jl. Lapangan Tembak Ruko/Blok A no. 13, Cibubur Indah, Jakarta Timur. Federasi SP Rakyat Indonesia (SPRI) Jl. KH. Hasyim Azhari Km. 3, Cipondoh Kodya Tangerang. Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).Jl. Rawajati Timur II/8, RT 02/02, Kalibata, Jakarta Selatan 12750, dan Federasi Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Jl. LAN I no. 12 A, Pejompongan, Jakarta Pusat 10210
Sejumlah organisasi buruh yang tidak masuk dalam rekapitulasi akhir Kemenaker RI tahun 2015 seperti yang dipantau Komunitas Buruh Indonesa antara lan adalah Federasi Gabungan Serikat Pekerja PT Rajawali Nusantara Indonesia (GSPRNI)Jl. Denpasar Raya KAV. D III, Kuningan, Jakarta. Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia Baru (GASPERMINDO BARU) Jl. Sunter Mitra Blok D no. 3A, Sunter Jaya, Jakarta Utara 14350. Gabungan Serikat Buruh Indonesia 2000 (GSBI 2000). Komplek Pacuan Kuda, Blok I/16, Pulomas, Jakarta Timur 13210. Federasi SP KAHUTINDO. Jl. Tebet Timur III J/1B, Tebet, Jakarta Selatan. Federasi Serikat Pekerja Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (SP TKI LN) Jl. Raya Pasar Minggu, Km. 17 no. 9, Jakarta Selatan 12740.
Kecuali itu, menurut data Komunitas Buruh Indonesia ada juga yang terlalaikan, yaitu Federasi Serikat Buruh Karya Utama (F SBKU). Jl. Kalimantan Blok B No. 78 Perum Cimone Mas Permai I, Tangerang. Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (F SP BUN). Jl. K.H. Fachrudin no. 14, Jakarta Pusat. Federasi Serikat Pekerja Industri Semen Indonesia (F SP ISI), Graha Irama Lantai XI, Jl. H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Serikat Pekerja Islam (SERPI) Jl. Kincir IV no. 3, Rawamangun, Jakarta Timur 13220. Begitu juga dengan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang dipimpin Prof. Dr. Muchtar Pakpahan SH, MA, tidak tercatat dalam hasil rekapitualasi Kemenaker RI yang tidak dapat dipercayai itu, karena tidak akurat dan tidak lengkap mendatanya.
Masalahnya sungguhkah hasil rekapitulasi Kemenaker RI itu yang digunakan untuk menentukan keterwakilan organsiasi buruh untuk lembaga Tripartiet Nasional yang mewakili organisasi buruh. Tampak pihak Kemenaker RI terlalu ceroboh melakukan pendataan mengenai organisasi buruh yang ada di Indonesia, sehingga keterwikilan organisasi buruh yang sesungguhnya sulit dipercaya dapat mewakili kepentingan kaum buruh yang ada.Disamping itu, cara yang Kemenaker RI melakukan pendataan seperti itu jelas tidak akan mendorong kemajuan organisas buruh yang diharap mampu mengatasi masalah perburuhan di tanah air kita. Oleh karena itu, bukan hanya rekapitulasi Kemenaker RI tahun 2015 itu tidak bisa digunakan sebaga acuan, tetapi juga bisa menyesatkan, baik untuk bahan kajian atau rujukan dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang terkait dengan masalah perburuhan di Indonesia. ***
Penulis adakah aktivis buruh. Sekretaris Jendral Sektir MIG serta & Humas Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Juga Dewan Pengarah Komunitas Buruh Indonesia.
En Jacob Ereste:
Results Summary of Data Membership Non Confederation and the Confederation of Organizations of Workers in Indonesia conducted Kemenakar RI 2015 Not Be Used as Reference
The latest data compiled by the Labor Community of Indonesia recorded a number of labor organizations in Indonesia 63 national-level organization. either incorporated or non confederation confederation. Among which were not covered in the report on the recapitulation Kemenaker RI 2015 is the Federation of All Indonesian Workers Union Reformasi (Reform SPSI) .Jl. Elang Mas I, C5 / 17 Housing Tanjung Emas, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jakarta. Indonesian Prosperity Trade Union (SBSI), l.Tanah tow 2 No. 25 Unitary Workers Central Jakarta 10450. Nasional Indonesia (KPNI), Jl. Distended Kingdom tip no. 1-A, ragunan 12550. Indonesian National Labor Unity (KBKI) Rungkut Harapan Blok E-8, Surabaya 60293 East Java
Besides, there is also the Association of Indonesian Private Education Employees (ASOKADIKTA) Jl. Pinang Ranti no. 68 TMII, East Jakarta 13560. Unions Justice (SPK) Jl. Mesdjid no. 11, Kebon Baru, Kampung Melayu, East Jakarta. Indonesian Metal Workers Union (SPMI) Jl. Raya Pondok Gede no. 5, Kramat Jati 13550. Central Board of the Indonesian Civil Servants Corps (KORPRI) Pattern Building, Jl. Proclamation of Central Jakarta. SOE and the Federation of Trade Unions (FSP BUMN). Garuda Building, 17th Floor Jl. Medan Merdeka Selatan no. 13, Jakarta Pusat
May not be registered for a number of trade unions and workers 'organizations exist as a form of defiance against solicitation or an appeal to the Ministry of Manpower that they consider to have contributed nothing to the problems that had been faced by the workers and workers' organizations organsiasi itself. But also, it could be a result of an appeal and invitation that is not socialized widely and correctly, so as to obtain a fitting welcome also from the labor organizations and workers' organizations.
From source data owned by Community of Indonesian Workers also can note also a number of other labor organizations exist that are not listed in the recapitulation Kemenaker RI in 2015, one of them is the Trade Union Freedom "Setiakawan" (SBM SK), Jl. Jaya arise no. 19, Cengkareng, West Jakarta 11750. Indonesian National Workers Union (SPNI) Jl. Dr. Sahardjo no. 29B, South Jakarta 12850. Association of All Indonesian Workers Organization (GOBSI) Jl. Prof. Dr. West Latumenten no. 16, Grogol, West Jakarta. Federation of Welfare and Justice SP Enforcement Association (SPKP) Jl. Shooting office / Block A no. 13, Cibubur Indah, East Jakarta. SP Federation Rakyat Indonesia (SPRI) Jl. KH. Hasyim Azhari Km. 3, Cipondoh Tangerang municipality. National Front for Indonesian Workers Struggle (FNPBI) .Jl. East Rawajati II / 8, RT 02/02, Kalibata, South Jakarta 12750, and the Federation of Independent Journalists Alliance (AJI) Jl. LAN I no. 12 A, potty, Jakarta Pusat 10210
Some labor organizations are not included in the final recapitulation Kemenaker RI 2015 as Community Workers Indonesa monitored between lan is the Federation of Trade Unions Joint PT Rajawali Nusantara Indonesia (GSPRNI) Jl. Denpasar Raya KAV. D III, Kuningan, Jakarta. Combined Unions Merdeka Indonesia Baru (GASPERMINDO NEW) Jl. Mitra Sunter Blok D no. 3A, Sunter Jaya, North Jakarta 14350. Association of Indonesian Labor Union in 2000 (GSBI 2000). Horse Racing Complex, Block I / 16, Pulomas, East Jakarta 13210. SP KAHUTINDO Federation. Jl. Tebet Timur III J / 1B, Tebet, South Jakarta. Federation of Trade Unions of Indonesian Workers Abroad (SP TKI LN) Jl. Raya Pasar Minggu, Km. 17 no. 9, South Jakarta 12740.
Except that, according to data from the Labor Community of Indonesia there are also neglected, namely the Federation of Trade Unions Karya Utama (F SBKU). Jl. Kalimantan Blok B No. 78 Mas Permai I Perum Cimone, Tangerang. Federation of Trade Unions Perkebunan Nusantara (F SP BUN). Jl. K.H. Fachrudin no. 14, Central Jakarta. Cement Industry Federation of Trade Unions of Indonesia (F SP ISI), Graha Irama XI Floor, Jl. H.R. Rasuna Said, Kuningan, South Jakarta. Unions Islam (SERPI) Jl. Windmills IV no. 3, Rawamangun, East Jakarta 13220. Likewise with Indonesian Prosperity Trade Union (SBSI) led by Prof. Dr. Muchtar Pakpahan SH, MA, is not recorded in the results rekapitualasi Kemenaker RI that can not be believed that, because of inaccurate and incomplete reports them.
The problem is it really recapitulation Kemenaker RI was used to determine the representation of labor organizations exist for the National Tripartiet institutions representing labor organizations. RI Kemenaker party looked too sloppy to collect data about the organizations that are in Indonesia, so the actual labor organizations keterwikilan difficult believed to represent the interests of the workers who ada.Disamping the way Kemenaker RI to collect data as it was clearly not going to push the progress of the Organization worker which is expected to be able to overcome the problem of labor in our country. Therefore, not only a recapitulation Kemenaker RI 2015 it could not be used as the reference, but can also be misleading, either for study or reference material in conducting further research on issues related to labor issues in Indonesia. ***
The author is there a labor activist. Secretary General Sektir MIG and & PR Indonesian Prosperous Labor Union. Workers Community Steering Board also Indonesia.
10 mnt · Publik


Sabtu, 06 Februari 2016

Adit Sopo Jarwo terbaru 2015 saingan upin ipin

Sukristiawan.com:Lahirnya serikat yg majemuk dan melawan penindasan pemodal

Serikat Buruh/Serikat Pekerja di Indonesia
Sebuah Potret Pasca Reformasi
Indrasari Tjandraningsih
SECARA legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia, dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 tahun 1998, tentang pendaftaran serikat buruh. Ini sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).
Dirintis sejak pemerintahan B.J. Habibie yang singkat (1998—1999) melalui ratifikasi terhadap konvensi ILO no. 87 mengenai kebebasan berserikat, dua tahun kemudian, di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (2000—2001), era serikat buruh tunggal yang dikontrol negara diakhiri pada tahun 2000 dengan diundangkannya kebebasan berserikat melalui Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus 2000. Undang-undang ini mengatur pembentukan, keanggotaan, pemberitahuan dan pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan, pembubaran dan hal-hal lain yang menyangkut serikat buruh.
Sejak saat itu, diawali dengan pecahnya FSPSI menjadi FSPSI dan FSPSI Reformasi, mulai bermunculan serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) baru. Sejak tahun 2000, pertumbuhan SB/SP baru tersebut bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Ribuan serikat buruh di berbagai tingkat bermunculan dan mendaftarkan dirinya ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3 konfederasi (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat pabrik. Dari ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi serikat terbesar yang menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari empat juta orang anggota. Posisi kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi dan anggota lebih dari dua juta orang, serta KSBSI dengan anggota mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga. Sementara itu, data tahun 2002 yang dikeluarkan FES menunjukkan, jumlah populasi serikat buruh tersebut berada dalam situasi di mana jumlah anggota serikat mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan kerja di sektor formal. Data verifikasi terakhir yang dilakukan Depnakertrans untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan konfederasi terbesar dengan 16 federasi serikat pekerja, meskipun, seperti juga kedua konfederasi yang lain, mengalami penurunan jumlah anggota yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia secara umum memiliki tiga ciri pokok. Ciri pertama, adalah pada sifatnya yang rentan terhadap perpecahan; kedua, adalah perbedaan orientasi serikat; dan ketiga, sifatnya yang eksklusif. Ciri-ciri tersebut dijelaskan lebih jauh di bawah ini.
Kategorisasi Serikat
Asal-muasal serikat menunjukkan kerentanan dan kurangnya keterampilan berorganisasi di kalangan serikat pekerja/serikat buruh, yang menyebabkan pecahnya serikat dan pemisahan diri sekelompok orang untuk membentuk organisasi serikat pekerja/serikat buruh baru. Munculnya serikat-serikat baru dengan nama yang sama dengan dibubuhi kata ‘reformasi’ atau ‘baru’ di belakangnya, antara lain membuktikan kerentanan tersebut.
Mengacu pada sejarah SB/SP masa Orde Baru, serikat-serikat buruh yang ada saat ini dapat digolongkan setidaknya menjadi tiga kelompok besar yakni, kelompok SPSI, kelompok eks-SPSI, dan kelompok non-SPSI. Kelompok eks-SPSI adalah serikat sektoral yang memisahkan diri dari SPSI, sementara kelompok non-SPSI adalah serikat yang samasekali tidak memiliki keterkaitan dengan atau independen dari SPSI. Kelompok non-SPSI ini juga dapat dikelompokkan setidaknya dalam dua kategori yakni, kelompok serikat di masa Orde Lama yang muncul kembali dan SB/SP yang sama sekali baru. Serikat buruh baru kategori terakhir ini selain muncul dengan basis buruh sektor industri manufaktur, juga muncul di sektor jasa antara lain keuangan, pariwisata, dan jurnalistik. Dasar kategorisasi tersebut tergambarkan dengan jelas dalam pohon silsilah asal mula serikat buruh. Sebagian besar SB/SP yang berdiri, secara institusional maupun individual, memiliki keterkaitan dengan SPSI. Ini menjelaskan mengapa di serikat-serikat pekerja pecahan SPSI, hampir tidak ada pendekatan pengorganisasian dan strategi baru yang berbeda dari SPSI.
Pohon silsilah juga menunjukkan, perpecahan serikat tidak hanya melanda SPSI, tetapi juga serikat-serikat eks-SPSI dan non-SPSI. Perbedaan-perbedaan yang sifatnya pragmatis--dalam arti lebih disebabkan oleh hal-hal praktis daripada hal-hal prinsip—lebih mewarnai sebab perpecahan serikat (lihat juga Hadiz 2005). Pada umumnya perpecahan diikuti oleh perebutan atau pembagian anggota. Ada kalanya anggota bahkan tidak tahu bahwa di tingkat nasional serikatnya sudah pecah. Keputusan anggota untuk bergabung di salah satu serikat yang pecah lebih didasari oleh kedekatan personal dengan para pengurus dibanding hal-hal yang bersifat prinsip organisasi.
Pengelompokan serikat tersebut tidak mencerminkan pengelompokan orientasi dan ideologi serikat, sebagai ciri kedua. Secara umum SB/SP di Indonesia, menganut prinsip unitaris dan tripartisme serta, dapat dikategorikan sebagai economic unionism atau
business unionism yang membatasi perjuangan kepentingannya pada kesejahteraan anggota dalam kerangka hubungan kerja. Hal itu merupakan buah dari kebijakan rezim Orde Baru yang secara sistematis menghapus orientasi politik serikat/gerakan buruh dan menanamkan orientasi ekonomi melalui sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang diakui merupakan sebuah konsep yang ideal dan menjadi koridor gerak serikat pekerja/serikat buruh.
Eksklusivisme adalah ciri ketiga SB/SP. Ada dua jenis eksklusivisme di sini: antara SB/SP dengan kelompok masyarakat lain dan di antara serikat sendiri. Arena dan agenda perjuangan serikat sangat terbatas pada isu-isu hubungan kerja di dalam pabrik, sementara dinamika sosial-ekonomi-politik di luar dinding pabrik luput dari perhatian (lihat AKATIGA-TURC-LABSOSIO, 2006). Tuntutan-tuntutan dalam aksi buruh juga tidak menarik bagi kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mendukung dan memperluas dukungan terhadap perjuangan buruh. Hubungan dan aliansi SB/SP dengan kelompok masyarakat lainnya seperti kelompok tani, nelayan, dan lain-lain sangat terbatas. Kalaupun terjadi aliansi dengan kelompok-kelompok miskin lainnya, aliansi tersebut sifatnya di permukaan saja dan bukan merupakan strategi yang permanen dan melekat dalam keseluruhan strategi perjuangan mereka. Eksklusivisme juga melanda hubungan di antara sesama serikat, yang disebabkan oleh perebutan pengaruh dan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Situasi itu selain menjadi bibit perpecahan, juga menyebabkan soliditas gerakan serikat pekerja/serikat buruh menjadi rentan.
Pergeseran politik keserikatburuhan yang cukup penting tersebut, terjadi dalam kerangka sistem hubungan industrial di Indonesia yang tidak berubah yakni, Hubungan Industrial Pancasila. HIP berfilosofikan hubungan perburuhan atau hubungan buruh-majikan atau hubungan industrial yang serba harmonis, di mana posisi buruh dan majikan adalah setara dan keduanya memiliki kepentingan yang sama serta di mana negara berperan untuk mengayomi keduanya (lihat juga Hadiz 1997; Manning 1998; Ford 2001). Meskipun istilah ini makin jarang terdengar tetapi, secara prinsip konsep ini masih mendominasi para aktor hubungan industrial. Meskipun demikian, dalam praktik untuk mengakomodasi tuntutan modal global dalam kerangka persaingan antar negara dalam merebut investasi, pendulum keberpihakan negara lebih sering bergerak ke arah majikan. Berbagai kebijakan yang melonggarkan ruang gerak pengusaha diciptakan, yang membawa implikasi langsung pada meningkatnya tantangan bagi pengorganisasian buruh.
Dimulainya era kebebasan berserikat, sangat bertolak belakang dengan situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis ekonomi telah meledakkan angka pengangguran, karena bergugurannya unit-unit usaha yang mengandalkan mata uang dollar AS dalam transaksi input-output produksinya. Pabrik-pabrik tutup meninggalkan barisan penganggur baru yang adalah anggota serikat buruh. Penting dicatat, sebelum krisis maupun setelahnya, serikat buruh di Indonesia didominasi oleh buruh kerah biru atau buruh pabrik. Ketika krisis melanda, barulah bermunculan serikat-serikat buruh di kalangan buruh kerah putih terutama, buruh sektor perbankan dan keuangan serta pariwisata. Para penganggur tersebut praktis menanggalkan keanggotaannya dari organisasi serikat buruh. Ini berarti populasi anggota serikat buruh berkurang. Pada saat yang sama, dengan persyaratan minimum anggota yang sangat mudah dipenuhi (10 orang sudah dapat mendirikan serikat buruh), muncul serikat-serikat buruh baru.
Makna Kebebasan Berserikat
Implikasi yang muncul dari kondisi obyektif ketenagakerjaan tersebut adalah terjadinya konflik di antara serikat, karena memperebutkan anggota. Konflik ini rupanya sudah diantisipasi oleh negara, baik di dalam UU SP/SB no. 21 tahun 2000 maupun dalam UU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan no.04 tahun 2004, yang membuat kategorisasi konflik dengan menyebut konflik antar serikat sebagai salah satu kategorinya.
Sebagaimana disinggung oleh Herawati, banyaknya jumlah serikat buruh tidak berarti bertambahnya jumlah buruh yang diorganisasi dan menjadi anggota serikat buruh. Hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, pada paruh pertama sewindu kebebasan berserikat, serikat-serikat buruh yang muncul masih terfokus pada sektor industri manufaktur dan memiliki kecenderungan ‘memancing di kolam yang sama,’ dengan merekrut anggota yang sudah menjadi anggota serikat buruh lain (lihat juga Tjandraningsih 2002). Mereka tidak mengorganisasikan buruh yang belum mengenal serikat buruh atau yang belum menjadi anggota serikat buruh. Dalam paruh kedua perkembangan, pengorganisasian buruh meluas ke sektor-sektor jasa perdagangan, keuangan, transportasi, pos, perkebunan, dan lain-lain yang membawa implikasi, penyebaran kesadaran berorganisasi kepada kaum pekerja dan buruh yang sebelumnya tidak terorganisasi. Penyebab kedua , tidak bertambahnya jumlah anggota serikat buruh adalah makin berkurangnya minat buruh untuk berserikat karena bekerjanya rezim fleksibilitas.
Situasi yang kontradiktif tersebut menimbulkan pertanyaan, apa makna kebebasan berserikat ketika, kondisi objektif ketenagakerjaan di Indonesia sangat tidak mendukung lahirnya serikat buruh yang kuat? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana para elite serikat buruh baru membaca kondisi objektif tersebut dan apa motif utama melahirkan serikat-serikat buruh baru? Pertanyaan pertama mudah dijelaskan dalam kerangka arus besar proses demokratisasi dan tata pergaulan internasional. Reformasi yang terjadi di Indonesia, merupakan lambang ditinggalkannya sistem pemerintahan yang otoriter dan dimulainya pemerintahan yang demokratis. Berbagai instrumen demokrasi diselenggarakan termasuk, kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan SB/SP (Tornquist 2007).
Konteks menuju negara demokratis menjadi salah satu elemen tata pergaulan internasional. Di dalam tata pergaulan tersebut, Indonesia, sebagai negara berkembang, sangat membutuhkan pengakuan internasional dan modal internasional. Ratifikasi konvensi dan diundangkannya kebebasan berserikat, pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan pencitraan internasional bahwa Indonesia sedang berubah. Untuk itu, harus ada simbol perubahan yang diterima masyarakat internasional, dalam hal ini, UU kebebasan berserikat merupakan salah satu simbol tersebut.
Jawaban terhadap pertanyaan kedua adalah sebuah konsensus dan konsekuensi logis dari dibukanya sumbat kebutuhan berorganisasi: manifestasi keinginan berorganisasi dan sebuah euphoria, sebuah perayaan dari keinginan yang terpendam. Hasilnya, hampir sepuluh tahun masa kebebasan berorganisasi, serikat-serikat pekerja/buruh tumbuh dan layu atau tumbuh dan berkembang. Mereka yang layu sebelum berkembang adalah mereka yang sekedar ikut perayaan dan mencoba menggunakan kesempatan yang ada .
Tantangan Serikat
Bagaimanapun, sejarah mencatat, dalam dunia keserikatburuhan di Indonesia, pernah muncul berbagai serikat buruh dengan keragaman cirinya. Ini bisa dilihat dalam catatan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi hingga tahun 2004. Pada kenyataannya, ada lebih banyak SB/SP di Indonesia, dengan berbagai alasan tidak mendaftarkan diri di Depnakertrans. Serikat-serikat yang tercatat ini terkonsentrasi pada beberapa sektor padat karya seperti, tekstil, garmen dan kulit, kimia-energi-pertambangan, jasa keuangan dan pariwisata, kayu dan kehutanan, perkebunan, logam dan mesin, serta makanan-minuman-tembakau. Meskipun demikian, kebanyakan serikat mengklaim mempunyai basis di hampir semua sektor.
Dalam kaitannya dengan organisasi internasional, sebagian serikat buruh di Indonesia, berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, afiliasi tersebut secara umum belum menjadi strategi serikat buruh di Indonesia. KSPSI, misalnya, sebagai konfederasi terbesar karena sejarahnya sebagai serikat buruh kuning, hingga kini tidak berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, telah mendeklarasikan diri sebagai serikat independen pascareformasi. Ini berbeda dengan KSPI yang berafiliasi dengan ICFTU (International Confederation of Free Trade Unions) dan SBSI berafiliasi dengan World Congress of Labour. Kedua serikat internasional tersebut kini bersatu menggalang kekuatan dan mengubah namanya menjadi International Confederation of Trade Union.
Di samping kedua serikat internasional tersebut, serikat buruh di Indonesia juga berafiliasi dengan serikat internasional lainnya seperti, Global Union Federation (GUF). Dari seluruh populasi federasi serikat buruh, terdapat 19 serikat yang berafiliasi dengan anggota GUF: Union Network International: 1 serikat (ASPEK); Public Service International: 2 serikat ; International Union for Food: 2 serikat (SBNI dan FSPM); International Transport Federation: 6 serikat (SP KA, KPI, STA SBSI, SP TPK, IAK Garuda Indonesia, Trade union of JICT); International Textile Garment Leather Wear Federation: 1 serikat (SPN); International Metal Federation: 1 serikat (SPMI); International Federation for Journalist: 1 serikat (AJI); International Federation of Building and Wood Workers: 3 serikat (FSP Kahutindo, F-KUI, SP BPU); Education International: 2 serikat (PGRI, FESDIKARI SBSI).
Di lingkungan ketiga konfederasi, informasi mengenai afiliasi internasional dan kebijakan serta program yang muncul dari afiliasi tersebut, cenderung terpusat di konfederasi dan federasi. Sementara, di federasi-federasi yang baru informasi mengenai afiliasi tersebut diketahui para anggotanya hingga tingkat unit kerja. Hal itu merupakan konsekuensi dari struktur organisasi federasi non-SPSI, yang lebih sederhana dan langsung menjangkau serikat di unit kerja, dibandingkan dengan struktur organisasi SPSI yang bertingkat banyak (lihat tulisan Herawati). Faktor lain, adalah kebijakan federasi internasional, yang ingin langsung menurunkan programnya di tingkat basis sebagai kekuatan pokok serikat. Kesenjangan hubungan di dalam struktur organisasi serikat telah menjadi perhatian beberapa serikat dan donor internasional, setelah mengetahui lemahnya kualitas dan kapasitas basis meskipun, berbagai program pendidikan keserikatburuhan sudah dilaksanakan. Kesenjangan tesebut menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi kerjasama dengan serikat yaitu, orientasi kerjasama yang lebih kepada serikat di tingkat unit kerja daripada dengan serikat pusat. Program langsung dengan basis diyakini akan lebih efektif dalam upaya penguatan serikat pekerja/buruh.
Situasi krisis hingga kini menyajikan berbagai tantangan baru yang lebih rumit bagi serikat buruh. Tantangan eksternal yang dominan mencakup tingkat pengangguran yang tinggi (11 persen) dan bekerjanya rezim dan praktik fleksibilitas pasar tenaga kerja dan fleksibilitas produksi (Tjandraningsih & Nugroho 2007, akan terbit). Rezim ini dengan sangat efektif menggerogoti kekuatan basis anggota serikat buruh, melalui pergeseran status hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap. Padahal, serikat buruh tidak mengenal keanggotaan buruh tidak tetap. Selain itu, wujud fleksibilitas hubungan kerja yang muncul dalam bentuk kerja kontrak atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), mengikatkan hubungan kerja jangka pendek dan tanpa kepastian kerja. Situasi ini menciptakan kondisi dilematis bagi buruh, antara memilih berserikat atau tetap bekerja. Rezim fleksibilitas telah menciptakan kondisi dimana bekerja dan berserikat tak bisa lagi dipersatukan. Kondisi ini secara langsung menghapus keberadaan serikat buruh.
Tantangan eksternal lain datang dari strategi kapitalisme global, yang memunculkan persaingan ketat antarnegara dalam memperebutkan investasi dan dari kebijakan nasional menyangkut desentralisasi atau otonomi daerah. Tantangan-tantangan tersebut membawa implikasi, rendahnya posisi tawar serikat terhadap negara dan modal serta, masih kecilnya pengaruh serta keterlibatan serikat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah ketenagakerjaan dan pasar kerja.
Pada saat yang sama serikat buruh juga menghadapi tantangan internal klasik, yang mencakup masalah-masalah organisasi dan sumber daya manusia. Karakteristik tenaga kerja yang telah berubah, juga memerlukan pemikiran dan rumusan baru untuk bisa diorganisasi. Kelemahan organisasional dan sumber daya manusia, merupakan kondisi objektif yang masih terus harus dihadapi SB/SP. Hal ini sangat terkait dengan sejarah SB/SP semasa Orde Baru dan karakteristik objektif angkatan kerja di Indonesia. Angkatan kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga-tenaga berpendidikan rendah—lebih dari 50 persen berpendidikan tidak lulus SD —yang menunjukkan rendahnya posisi tawar mereka sebagai tenaga kerja. Selain menyangkut tingkat pendidikan, karakteristik angkatan kerja yang masuk ke pasar tenaga kerja adalah makin terpisahnya mereka dengan sejarah dan kesadaran berorganisasi sebagai pekerja/buruh karena bekerjanya secara simultan berbagai faktor, yang terutama didominasi oleh persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan kesempatan kerja sehingga menggerus semangat kolektif dan menghilangkan relevansi berorganisasi.
Tidak ada SB/SP yang bisa mengelak dari tantangan tersebut. Pada saat yang sama, kreativitas, inovasi pengorganisasian, dan tindakan kolektif adalah kebutuhan yang tak bisa lagi ditunda. Hanya melalui aksi kolektif yang terorganisasi secara rapi dan sistematislah, agenda SB/SP untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan pekerja/buruh akan lebih mudah dilakukan dan dicapai.****
Indrasari Tjandraningsih, adalah Peneliti Perburuhan AKATIGA-Pusat Analisis Sosial, Bandung.
Artikel ini dalam versi yang sedikit berbeda, sebelumnya merupakan Pengantar untuk Direktori Serikat Buruh di Indonesia, yang diterbitkan oleh AKATIGA, 2007.
Kepustakaan
AKATIGA-TURC-LABSOSIO UI. 2006.
"Promoting Fair Labour Regulations in Indonesia:A Study and Advocacy in Improving Local Level Investment Environment in Tangerang and Pasuruan." Laporan Penelitian. Bandung dan Jakarta: AKATIGA, TURC, LABSOSIO UI.
Ford, Michele. 2003. "NGO as Outside Intellectual: A History of Non-Governmental Organisations’ Role in the Indonesian Labour Movement." PhD thesis. Sidney: University of Wollongong.
Hadiz, Vedi. 1997. "Workers and the State in New Order Indonesia." London:Routledge.
__________. 2005. "Dinamika Kekuasaan:Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Suharto." Jakarta: LP3ES.
Manning, Chris. 1998. "Indonesian Labour in Transition: An East Asian Success Story?" Cambridge: Cambridge University Press
Priyono, AE, Samadhi, Willy Purna, Olle Tornquist, dkk. 2007. "Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia." Jakarta: DEMOS.
Tjandraningsih, Indrasari. 2002. "Fishing in the Same Pond: Research Paper for Masters degree." The Hague: Institute of Social Studies.
Tjandraningsih, Indrasari & Hari Nugroho. 2007. "The Flexibility Regime and Organised Labour: The Experience of Indonesia." (akan terbit).
Lain-lain:
http://www.fes.or.id/eng/labor.html
http://www.ifbww.org/index.cfm?n=161&l=2&t=p&t_id=129
http://www.itfglobal.org/about-us/affiliatelist.cfm
http://www.ei-ie.org/en/membership/
http://www.nakertrans.go.id/pusdatinnaker/BPS/AK/AK_dik_jekel_2006.php


Rabu, 03 Februari 2016

Sukristiawan.com:melakukan phk atas kesalahan berat paska putusan MK

"KAPAN STAF YG MELAKUKAN PEMUKULAN DIPHK, KENAPA SP DIAM SAJA" (salah satu sms yg masuk)
Penerapan PHK Karena Kesalahan Berat Pasca Putusan MK Oleh: Willy Farianto *)
Sudah saatnya untuk menyamakan persepsi bahwa melakukan proses pidana terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat harus ditafsirkan sebagai hak pengusaha.
Pada awal diundangkanya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), salah satu alasan Pemutusan Hubungan Kerja adalah, karena “kesalahan berat”, yang diatur dalam ketentuan Pasal 158.
Alasan kesalahan berat pada pokoknya mengatur tentang perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHP, sehingga untuk menyatakan pekerja telah melakukan kesalahan berat harus atas dasar pekerja tertangkap tangan, ada pengakuan pekerja yang bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang, di perusahaan yang bersangkutan, dengan didukung oleh dua orang saksi.
Apabila hal tersebut terpenuhi maka pengusaha diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa wajib membayar uang penggantian hak, uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja.
UU Ketenagakerjaan sendiri tidak memberikan pengertian “kesalahan berat”, sehingga dalam praktik kualifikasi kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 ayat (1) menjadi terbatas. Atau dengan perkataan lain, tidak boleh ada kualifikasi perbuatan lain yang digolongkan menjadi kesalahan berat.
Padahal umumnya setiap sektor industri atau jasa memiliki kualifikasi kesalahan berat di luar ketentuan Pasal 158 ayat (1). Contohnya kesalahan berat bagi pekerja yang merokok di lokasi kerja berbahaya yang mudah terbakar seperti di perusahaan minyak dan gas. Atau penjaga perlintasan kereta yang membiarkan kereta lewat tanpa menutup pintu perlintasan.
Contoh kasus seperti di atas bagi perusahaan lain mungkin tidak merupakan kesalahan berat, namun beda ceritanya bagi perusahaan terkait. Dalam praktik, sebagian praktisi menganggap bahwa kesalahan berat harus selalu tindak pidana sedangkan yang lain berpandangan kesalahan berat tidak selalu harus tindak pidana.
Putusan MK dan Dampaknya
Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ini dinilai oleh pihak pekerja dan serikat pekerja telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah/ preassumption of innocence. Berdasarkan alas hukum tersebut maka dilakukan permohonan hak uji materi UU Ketenagakerjaan.
Atas permohonan pekerja dan serikat pekerja, Mahkamah Konsitusi (MK) menjatuhkan putusan No.012/PUU-I/
2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pasca putusan MK, muncul banyak penafsiran dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan perbuatan yang dikualifikasikan dalam ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan.
Menyikapi hal tersebut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 7 Januari 2005 menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005. Isi pokok dari surat edaran menteri itu adalah penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan dua hal. Yakni, PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, surat edaran menteri juga menyatakan, dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang berakibat hubungan kerja tidak dapat dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Belum tuntas perbedaan penafsiran mengenai “kesalahan berat” Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memunculkan istilah “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian yang jelas.
Berdasarkan penelusuran pustaka, “alasan mendesak” ternyata ditemukan pada buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1603 o, yang isinya sebagian besar sama dengan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Berbeda Penafsiran
Perbedaan penafsiran dan pandangan mengenai pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat pasca putusan MK dan SE Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi oleh pengusaha, mediator dan hakim ditafsirkan secara berbeda dengan argumentasi hukum masing-masing.
Dari pengalaman dan hasil pengamatan selama delapan tahun terakhir, dapat diidentifikasi bagaimana mereka menerapkan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat, sebagai berikut:
PENGUSAHA
1. Menerapkan Pasal 158 seperti sebelum adanya putusan MK, yakni melakukan PHK sepihak tanpa membayarkan pesangon dan penghargaan masa kerja.
2. Hanya melaporkan tindak pidana yang dilakukan pekerja ke Polisi sedangkan proses ketenagakerjaanya di biarkan atau menunggu putusan pidana.
3. Melaporkan pekerja terlebih dahulu ke polisi dan apabila di lakukan penahanan setelah 6 (enam) bulan tidak dapat menjalankan pekerjaan atau belum 6 (enam) bulan tetapi telah ada putusan bersalah dari pengadilan pidana maka pengusaha menerbitkan Surat Keputusan PHK sepihak sesuai Pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
4. Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi akan tetapi langsung melakukan proses PHK sesuai UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (bipartite, mediasi, PHI)
5. Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi asalkan pekerja bersedia mengundurkan diri atau diakhiri hubungan kerjanya tanpa pesangon dan penghargaan masa kerja.
6. Membuat pengakhiran hubungan kerja terlebih dahulu dengan pekerja setelah itu melakukan proses pidana dengan melaporkan kesalahan berat pekerja.
MEDIATOR
1. Menolak melakukan mediasi tanpa memberikan anjuran apabila belum ada putusan pidana.
2. Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran, apabila dalam proses mediasi pengusaha menyatakan bersedia memberikan kompensasi sebesar 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan.
3. Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran untuk mempekerjakan pekerja pada posisi semula atau melakukan pemutusan hubungan kerja dengan memberikan kompensasi pesangon sebesar 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2), penghargaan masa kerja sesuai pasal 156 ayat (3) & (4) UU Ketenagakerjaan.
PHI
1. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat belum memiliki putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
2. Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat apabila kesalahan berat diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan pengusaha dapat membuktikanya dalam persidangan.
Dalam hal ini pengadilan akan memberikan hukuman kepada pengusaha untuk membayarkan kompensasi sebesar 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan. Namun sebagian pengadilan ada yang memutuskan tanpa memberikan hak pesangon dan penghargaan masa kerja.
3. Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat meskipun dianggap tidak terbukti. Pada beberapa kasus hakim justru mendasarkan alasan pemutusan hubungan kerja karena efisiensi sebagaimana diatur dalam pasal 164 ayat 3 UU Ketenagakerjaan, dan apabila pengusaha dinilai telah kehilangan kepercayaan dan hubungan kerja menjadi disharmonis maka pengusaha akan dihukum untuk membayarkan pesangon sebesar 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Mendasarkan pada praktik penerapan pemutusan hubungan kerja di atas, diketahui bahwa pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat dapat diselesaikan melalui proses hukum acara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Melihat kenyataan tersebut kedepan diharapkan mediator tidak lagi menolak untuk melakukan mediasi dan hakim diharapkan bersedia memeriksa dan mengadili gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat.
Berdasarkan fakta yang terjadi dalam penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat maka sudah saatnya untuk menyamakan persepsi bahwa melakukan proses pidana terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat harus ditafsirkan sebagai hak pengusaha, sehingga mediator dan hakim tidak lagi mewajibkan kesalahan berat harus diproses secara pidana terlebih dahulu.
*) Advokat/ konsultan hukum ketenagakerjaan pada FARIANTO & DARMANTO Law Firm


Selasa, 19 Januari 2016

Sukristiawan.com:Pemotongan gaji

Pemotongan Gaji
henryz
Kategori:Buruh & Tenaga Kerja
Dear klinik hukumonline. Kami ada pertanyaan seputar pemotongan gaji disebabkan ketidakhadiran. Apakah dibenarkan suatu perusahaan melakukan pemotongan gaji terhadap karyawannya yang tidak masuk, dan bagaimanakah perhitungannya? Mohon dibantu. Terima kasih.
Jawaban:
Pada prinsipnya dalam hukum Ketenagakerjaan tidak melarang perusahaan untuk tidak membayar upah pekerja jika memenuhi ketentuan Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) . Dalam pasal tersebut diatur bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan. Hal ini merupakan asas yang dianut oleh UUK sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 93 UUK bahwa pada dasarnya semua pekerja yang tidak bekerja tidak dibayar (no work no pay), kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya.
Jadi, suatu perusahaan dapat tidak membayarkan atau memotong gaji/upah pekerjanya dalam hal pekerja tersebut tidak masuk kerja sehingga menyebabkan yang bersangkutan tidak melakukan pekerjaannya.
Pengecualian dari asas no work no pay terdapat dalam Pasal 93 ayat (2) UUK
yang menyatakan bahwa pengusaha tetap wajib membayar upah apabila pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya dalam hal:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Sementara itu, soal perhitungan besaran potongan upah atau denda karena ketidakhadiran atau karena alasan lainnya diatur di dalam Peraturan Perusahaan (PP) dan/atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Perjanjian Kerja (PK). Namun, pemotongan upah pekerja TIDAK BOLEH melebihi 50 persen dari setiap pembayaran upah yang seharusnya diterima (lihat pasal 24 ayat [1] jo ayat [2] PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah ). Setiap syarat yang memberikan wewenang kepada pengusaha untuk mengadakan perhitungan lebih besar daripada yang diperbolehkan adalah batal menurut hukum (lihat pasal 24 ayat [3] PP No. 8 Tahun 1981).
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
Bung Pokrol
Share:
KLINIK TERKAIT:
Kenaikan Gaji
Penyesuaian Skala Upah pada Perusahaan Multinasional
Pemotongan upah
Naik Haji Gaji Dipotong, Pantaskah?
Diana Kusumasari, S.H., M.H.
Bolehkah Polisi Menilang Padahal Tidak Sedang Bertugas?
Cara Menjual Tanah yang Pemiliknya Memiliki Penyakit Demensia
Adakah Aturan Siapa Berwenang Meresmikan Proyek Negara?
Apakah Kasus Korupsi Dihentikan Bila Terdakwa Mengembalikan Kerugian Negara?
Bolehkah PNS Mendirikan Perusahaan atau Menjadi Direktur/Komisaris?
Bolehkah Anggota DPR Menjabat sebagai Ketua Yayasan?
Bolehkah Tidak Menafkahi Mantan Istri Pasca Bercerai?
Bolehkah Pengunjung Mall Menolak Tasnya Diperiksa Satpam?
Peraturan Terkait Rekening di Luar Negeri
Aturan Tentang Penomoran Rumah
Untuk akses lebih cepat install hukumonlinecom untuk Android


Sukristiawan.com:Pengupahan dan perlindungan pengupahan.

PENGUPAHAN DAN PERLINDUNGAN UPAH
Pengantar
Upah merupakan salah satu hak normatif buruh. Upah yang diterima oleh buruh merupakan bentuk “prestasi” dari pengusaha ketika dari buruh itu sendiri telah memberikan “prestasi” pula kepada Pengusaha yakni suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Karena merupakan hak normatif maka peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pengupahan memuat pula sanksi pidana bagi Pengusaha yang mengabaikan peraturan perundangan terkait dengan masalah pengupahan dan perlindungan upah. Bila hal tersebut terjadi maka tindakan Pengusaha yang demikian ini termasuk dalam tindak pidana kejahatan.
Beberapa pengertian.
Upah adalah : hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan
(Pasal 1 UU 13/2003).
Penghasilan Pekerja adalah jumlah penghasilan Pekerja dalam satuan waktu tertentu termasuk didalamnya gaji pokok, tunjangan-tunjangan, premi-premi, catu, upah lembur, THR, bonus dan fasilitas-fasilitas.
Kebijakan pengupahan yang melindungi buruh (untuk memenuhi penghidupan yang layak à Pasal 88 UU 13/2003 ) :
1. upah minimum;
2. upah kerja lembur;
3. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya;
5. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
7. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
8. upah untuk pembayaran pesangon; upah untuk perhitungan pajak penghasilan
9. bentuk dan cara pembayaran upah;
10. denda dan potongan upah.
Pengaturan pengupahan ditetapkan atas kesepakatan pengusaha dan buruh/Serikat Buruh serta tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 91 UU 13/2003).
Upah tidak dibayar apabila buruh tidak melakukan pekerjaan kecuali (Pasal 93 ayat 1, 2&4 UU 13/2003) :
1. Buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
2. Buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
3. Buruh tidak masuk bekerja karena :
buruh menikah (dibayar untuk selama 3 hari) ;
menikahkan anaknya ( dibayar untuk selama 2 hari) ;
mengkhitankan anaknya (dibayar untuk selama 2 hari) ;
membabtiskan anaknya (dibayar untuk selama 2 hari) ;
isteri melahirkan atau keguguran kandungan (dibayar untuk selama 2 hari) ;
suami/istri/anak/menantu/orang tua/mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia (dibayar untuk selama 2 hari)
1. Buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara (Pasal 6 UU 8/1981 Tentang Perlindungan Upah) :
Pengusaha wajib membayar upah jika dalam menjalankan kewajiban negara tersebut buruh tidak mendapat upah atau tunjangan lainnya dari pemerintah tetapi tidak melebihi 1 tahun.
Pengusaha wajib membayar kekurangan upah kepada buruh bilamana jumlah upah yang diperoleh buruh dari pemerintah kurang dari upah yang biasa diterima dari perusahaan yang bersangkutan tetapi tidak melebihi 1 tahun.
Pengusaha tidak diwajibkan membayar upah kepada buruh bilamana buruh tersebut telah memperoleh upah serta tunjangan lainnya yang besarnya sama atau lebih dari upah yang biasa diterima dari perusahaan yang bersangkutan.
1. Buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (tidak melebihi dari 3 bulan).
2. Buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha
3. Buruh melaksanakan hak istirahat
4. Buruh melaksanakan tugas serikat buruh atas persetujuan pengusaha
5. Buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Pelanggaran terhadap Pasal 93 ayat (2) adalah sanksi pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,- dan paling banyak Rp 100.000.000,- (Pasal 187 UU 13/2003).
Upah yang dibayarkan bagi buruh yang sakit (Pasal 93 UU 13/2003) :
1. untuk 4 bulan pertama dibayar 100% dari upah
2. untuk 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah
3. untuk 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah
4. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
Komponen upah terdiri dari
(SE Menaker No. SE-07/Men/1990) :
1. Upah pokok adalah : imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
2. Tunjangan tetap adalah suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap kepada pekerja dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok seperti tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan perumahan, tunjangan kematian, tunjangan jabatan, tunjangan keahlian dan lain-lain.
Tunjangan makan dan tunjangan transport dapat dimasukkan dalam komponen tunjangan tetap apabila pemberian tunjangan tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran dan diterima secara tetap oleh pekerja menurut satuan waktu, harian atau bulanan.
1. Tunjangan tidak tetap adalah suatu pembayaran yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pekerja yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok seperti tunjangan transport yang didasarkan pada kehadiran. Tunjangan makan dapat dimasukan dalam tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut diberikan atas dasar kehadiran (pemberian tunjangan bisa dalam bentuk uang atau fasilitas makan). Misalnya : THR, bonus kehadiran, bonus target produksi tercapai dan lain-lain.
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap (Pasal 94 UU 13/2003).
Pendapatan non upah (SE-07/Men/1990 ) :
Fasilitas .
Adalah kenikmatan dalam bentuk nyata yang diberikan perusahaan oleh karena hal-hal yang bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja seperti fasilitas kendaraan (antar jemput atau lainnya), pemberian makan secara cuma-cuma, sarana ibadah atau penitipan bayi, koperasi, kantin dan lain-lain.
Bonus.
Adalah bukan merupakan bagian dari upah melainkan pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau karena pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target produksi yang nomal atau karena peningkatan produktivitas, besarnya pembagian bonus diatur berdasarkan kesepakatan.
Tunjangan Hari Raya (THR), gratifikasi dan pembagian keuntungan lainnya.
Dasar penghitungan upah per hari :
Sistem kerja borongan à upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar upah minimum di perusahaan yang bersangkutan
(Pasal 14 ayat 1 Kepmen No. 226/Men/2000).
Sistem kerja harian lepas à ditetapkan secara upah bulanan yang dibayarkan berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah sehari (Pasal 14 ayat 2 Kepmen No. 226/Men/2000) :
1. Untuk waktu kerja 5 hari/minggu =
upah bulanan dibagi 21 hari
2. Untuk waktu kerja 6 hari/minggu = upah bulanan dibagi 25 hari
Dasar penghitungan upah per jam (Kepmen No. Kep-72/Men/1984):
Status Pekerjaan Rumus
Harian 3/20    x upah/hari
Bulanan 1/173 x upah/bulan
Borongan 1/7 x  upah rata-rata per hari
Catatan :
3 didapat dari 6 hari kerja . Jika disederhanakan menjadi
3 (sama-sama dibagi 2).
20 40 jam/minggu 20
173 didapat dari 1 tahun = 52 minggu x 40 jam/minggu dibagi 12 bulan.
upah rata-rata per hari = upah yang diperoleh 3 bulan terakhir dibagi 3.
Dasar penghitungan upah lembur (Kepmen No. Kep-72/Men/1984 ):
Lembur pada
Untuk Upah lembur sebesar
Hari biasa § Setiap jam lembur I
§ Setiap jam lembur berikutnya
1,5 x upah sejam 2  x upah sejam
Hari istirahat mingguan dan/ atau hari raya resmi
§ Setiap jam dalam batas 7 jam atau 5 jam apabila hari raya tersebut jatuh pada hari kerja terpendek pada salah satu hari dalam 6 hari kerja seminggu
§ Jam kerja pertama selebihnya 7 jam atau 5 jam apabila hari raya tersebut jatuh pada hari kerja terpendek pada salah satu hari dalam 6 hari kerja seminggu
§ Jam kerja kedua setelah 7 jam atau 5 jam apabila hari raya tersebut jatuh pada hari kerja terpendek pada salah satu hari dalam 6 hari kerja seminggu dan seterusnya .
2  x upah sejam atau
(7 jam atau 5 jam x 2 x upah sejam)
3  x upah sejam
4  x  upah sejam
Contoh perhitungan upah lembur :
1. a. Upah lembur buruh harian.
Misal : upah per hari (6 hr/minggu) = 550.750 : 25 hari = Rp 22.030,-
upah per jam = 3/20 x 22.030 = Rp 3.305,-
Upah lembur pada hari biasa :
Jam lembur I = 1,5 x Rp 3.305,- = Rp 4.960,-
Jam lembur II dstnya = 2 x Rp 3.305,- = Rp 6.610,-
Total upah lembur sampai dengan 2 jam pertama = Rp  11.570,-
Upah lembur pada hari minggu/hari besar resmi :
7 atau lima jam I                               = 7 jam x 2 x  Rp 3.305,-  = Rp 46.270,- (dlm 1 hari)
Jam ke 8 atau ke 6 (jam lembur I) = 3   x Rp 3.305,- = Rp 9.915,-
Jam ke 9 atau ke 7 (jam lembur II) = 4 x Rp  3.305,- = Rp 13.220,-
1. b. Upah lembur buruh bulanan.
Misalnya : Upah satu bulan = = Rp 550.750,-
Upah per hari = Rp 550.750,- : 25/30 hari = Rp 22.030,- atau Rp 18.360,-
Upah per jam =  1/173 x Rp 550.750,- = Rp 3.200,-
Upah lembur pada hari biasa.
Jam lembur I =  1,5  x Rp 3.200,- = Rp    4.800,-
Jam lembur II =  2 x  Rp 3.200,- = Rp    6.400,-
Total upah lembur sampai dengan 2 jam pertama          = Rp 11.200,-
Upah lembur pada hari minggu/hari besar resmi .
7 atau 5 jam I = 7 jam  x 2 x Rp 3.200,- =  Rp   44.800,- (1 hari)
Jam ke 8 atau ke 6 (jam lembur I) = 3 x Rp 3.200,- = Rp      9.600,-
Jam ke 9 atau ke 7 (jam lembur II) =  4 x Rp 3.200,-                   = Rp 12.800,-
c. Upah lembur buruh borongan.
Misal = upah rata-rata per hari (6hr/minggu) = 550.750 : 25 =  Rp 22.030,-
Upah per jamnya              = 1/7  x Rp 22.030,- = Rp 3.150,-
(perhitungan upah lemburnya disesuaikan)
Pada hari libur resmi semua pekerja yang bekerja pada perusahaan berhak mendapat istirahat dengan upah sebagaimana biasa diterima tanpa membedakan status buruh (Pasal 1 Permen No. Per-03/Men/1987 Tentang Upah Pekerja Pada hari Libur Resmi).
UPAH MINIMUM (Kepmen No. 226/Men/2000 Tentang Perubahan Pasal 1,3,4,8,11,20 dan 21 Permen No. Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum).
Adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap (Pasal 1).
Besarnya upah minimum diadakan peninjauan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sekali (Pasal 4 Kepmen No.226/Men/2000).
Upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak dan Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
(Pasal 89 ayat 2 dan Pasal 90 ayat 1).
- Pengusaha yang membayar upah buruhnya lebih rendah dari upah minimum dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,- dan paling banyak Rp 400.000.000,- dan tindakan Pengusaha tersebut merupakan Tindak Pidana Kejahatan (Pasal 185 UU No. 13/2003).
UMR ditetapkan dengan mempertimbangkan (Pasal 6 ayat 1) :
1. Kebutuhan Hidup Minimum (KHM);
2. Indeks Harga Konsumen (IHK);
3. Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan;
4. Upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah;
5. Kondisi pasar kerja;
6. Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.
Penetapan UMK :
1. Gubernur menerbitkan Surat Edaran sebagai pedoman dalam proses UMK.
2. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota melaksanakan survey Kebutuhan Hidup Layak.
3. Usulan UMK dibahas dan dirumuskan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan :
- Nilai hasil survey KHL yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
- Nilai UMK tahun sebelumnya.
- Produktivitas kerja Pekerja.
- Pertumbuhan ekonomi dan usaha yang paling tidak mampu (marginal).
- Inflasi.
- Kondisi pasar kerja.
- Kemampuan perusahaan.
- Upah daerah sekitar.
1. Pembahasan dan perumusan dilakukan secara musyawarah untuk mufakat dan menghasilkan satu angka/nilai usulan.
2. Bila musyawarah mufakat tidak tercapai maka Bupati/Walikota mengambil langkah yang diperlukan untuk menghasilkan satu nilai usulan.
3. Bupati/Walikota segera menyampaikan rekomendasi usulan UMK Tahun 2009 pada Gubernur dengan tindasan kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja Propinsi dengan dilampiri :
-    Dasar dan cara perhitungan nilai UMK yang diusulkan.
-    Rekapitulasi data hasil survey KHL dan prediksi KHL bulan Desember tahun sebelumnya.
-    Perkembangan Indeks Harga Konsumen/inflasi, PDRB, jumlah tenaga kerja yang terserap dan data keadaan ketenagakerjaan dalam 2 tahun terakhir.
-    Berita Acara hasil pembahasan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
1. Usulan nilai UMK dari Bupati/Walikota selanjutnya dibahas dan dikaji Dewan Pengupahan Propinsi.
2. Gubernur menetapkan UMK tahun 2009 setelah mempertimbangkan usulan Bupati/Walikota dan rekomendasi Dewan Pengupahan Propinsi.
Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun (Pasal 13 ayat 2).
Bagi pekerja yang berstatus tetap, tidak tetap dan dalam masa percobaan, upah diberikan oleh pengusaha serendah-rendahnya sebesar upah minimum (Pasal 13 ayat 1).
Bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang berlaku, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah (Pasal 16).
Dalam hal Pengusaha tidak mampu membayar upah minimum maka Pengusaha dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum setelah terlebih dahulu diadakan kesepakatan tertulis dengan Serikat Buruh atau wakil buruh untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan (Pasal 2, 3 dan 5 Kepmen 231/2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Upah Minimum).
Setelah berakhirnya ijin penangguhan maka pengusaha wajib melaksanakan ketentuan upah minimum yang baru (Pasal 5 ayat 2 Kepmen 231/2003).
Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian, pengusaha tetap membayar upah sebesar upah yang biasa diterima buruh (Pasal 7 Ayat 1 Kepmen 231/2003).
Apabila penangguhan ditolak, maka upah sekurang-kurangnya sama dengan upah minimum yang berlaku terhitung mulai tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru (Pasal 7 ayat 2 Kepmen 231/2003).
Prosedur dan tata cara penangguhan UMK (Kepmenakertrans No. KEP. 231/MEN/2003) :
- Permohonan diajukan oleh Pengusaha kepada Gubernur melalui instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan paling lambat 10 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum (Pasal 3 Ayat 1).
- Permohonan didasarkan atas kesepakatan tertulis antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh atau Serikat Buruh yang tercatat (Pasal 2 Ayat 2).
- Bila perusahaan terdapat 1 Serikat Buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% dari seluruh buruh di perusahaan maka Serikat Buruh dapat mewakili buruh dalam perundingan untuk menyepakati penangguhan (Pasal 2 Ayat 3).
- Bila diperusahaan terdapat lebih dari 1 Serikat Buruh maka yang berhak melakukan perundingan adalah Serikat Buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% dari seluruh buruh di perusahaan (Pasal 2 Ayat 5).
- Bila ayat 4 dan 5 tidak terpenuhi, buruh dapat membentuk tim perunding yang anggotanya ditentukan secara proporsional dari jumlah Serikat Buruh yang ada (Pasal 2 Ayat 6).
- Bila tidak ada Serikat Buruh, dilaksanakan oleh buruh yang mendapat mandat untuk mewakili 50% penerima upah minimum (Pasal 2 Ayat 7).
- Kesepakatan tertulis ini dilakukan melalui perundingan secara mendalam, jujur dan terbuka.
Persyaratan penangguhan (Kepmenakertrans No. KEP. 231/MEN/2003) :
- Permohonan harus disertai dengan (Pasal 4 Ayat 1) :
1. Naskah asli kesepakatan tertulis.
2. Laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi/laba beserta penjelasan-penjelasan untuk 2 tahun terakhir.
3. Salinan Akte pendirian perusahaan.
4. Data upah menurut jabatan buruh.
5. Jumlah buruh seluruhnya dan jumlah buruh yang dimohonkan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
6. Perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 tahun terakhir serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2 tahun yang akan datang.
- Dalam hal perusahaan berbadan hukum, laporan keuangan harus sudah diaudit oleh akuntan publik (Pasal 4 Ayat 2).
- Apabila diperlukan, Gubernur dapat meminta Akuntan Publik untuk memeriksa keadaan keuangan guna pembuktian ketidakmampuan perusahaan (Pasal 4 Ayat 3).
- Berdasarkan permohonan, Gubernur menetapkan penolakan atau persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum setelah menerima saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan Propinsi (Pasal 4 Ayat 4).
Jangka waktu penangguhan (Kepmenakertrans No. KEP. 231/MEN/2003) :
- Persetujuan penangguhan ditetapkan oleh Gubernur untuk jangka waktu paling lama 12 bulan (Pasal 5 Ayat 1).
- Penangguhan diberikan dengan membayar sesuai upah minimum yang lama atau membayar lebih tingi dari upah minimum lam tetapi lebih rendah dari upah minimum yang baru atau menaikkan upah secara bertahap (Pasal 5 Ayat 2).
- Setelah berakhirnya ijin penangguhan maka pengusaha wajib melaksanakan ketentuan upah minimum yang baru (Pasal 5 Ayat 3).
- Penolakan atau persetujuan penangguhan diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 bulan terhitung sejak diterimanya permohonan secara lengkap oleh Gubernur (Pasal 6 Ayat 1).
- Bila dalam jangka waktu tersebut berakhir dan belum ada keputusan dari Gubernur, permohonan yang memenuhi syarat diangap telah disetujui (Pasal 6 Ayat 2).
- Selama permohonan masih dalam proses pengusaha yang bersangkutan tetap membayar upah sebesar upah yang biasa diterima buruh (Pasal 7 Ayat 1).
- Hal penangguhan ditolak Gubernur maka upah yang diberikan sekurang-kurangnya sama dengan upah minimum yang berlaku terhitung mulai tanggal berlakunya UMK yang baru (Pasal 7 Ayat 2).
BUNGA ATAS UPAH (Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 8/1981 Tentang Perlindungan Upah) :
Setiap keterlambatan membayar upah pekerja menurut waktu yang ditetapkan, pengusaha wajib memberikan tambahan upah (bunga) sesuai dengan Peraturan Pemerintah yaitu :
Upah + 5 % untuk tiap hari keterlambatan (mulai hari ke 4 sampai ke 8 terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar).
Ditambah lagi 1 % /keterlambatan (sesudah hari ke
8) dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 bulan tidak boleh melebihi 50 % dari upah yang seharusnya dibayarkan.
Apabila masih belum dibayar (sesudah 1 bulan), pengusaha diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.
DENDA (Pasal 20 ayat 1 dan ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 8/1981) :
Denda karena suatu pelanggaran hanya dapat dilakukan terhadap pekerja jika diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan. Pengusaha dilarang menuntut ganti rugi terhadap pekerja yang sudah dikenakan denda, pengusaha atau orang yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda darinya.
PEMOTONGAN UPAH (Pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 PP No. 8/1981) :
Pemotongan upah untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan bilamana ada Surat Kuasa dari pekerja kecuali kewajiban pembayaran oleh pekerja terhadap negara atau pembayaran iuran sosial, jaminan sosial.
GANTI RUGI (Pasal 23 PP No. 8/1981) :
Permintaan ganti rugi akibat kerusakan barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun pihak ketiga karena kesengajaan atau kelalaian pekerja harus diatur terlebih dahulu dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan dengan ketentuan setiap bulannya tidak boleh melebihi 50% dari upah.
UPAH ADALAH HUTANG YANG HARUS DIDAHULUKAN (Pasal 27 PP No. 8/1981) :
Apabila pengusaha dinyatakan pailit maka upah pekerja merupakan hutang yang harus didahulukan.
DALUWARSA (Pasal 30 PP No. 8/1981) :
Tuntutan dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 tahun.
TUNJANGAN HARI RAYA (Permen No. 4/1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan ) :
Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau lebih.
Besarnya THR :
Masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih = 1 (satu) bulan upah.
Masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan =
Masa kerja x   1 (satu) bulan upah atau UMR x masa kerja
12 12
Upah satu bulan adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap.
Pembayaran THR wajib dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan.
Pekerja yang putus hubungan kerjanya terhitung sejak waktu 30 (tiga puluh hari) sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan berhak atas THR kecuali bagi pekerja dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu yang hubungan kerjanya berakhir sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan.
Dalam hal pekerja dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut maka pekerja berhak atas THR pada perusahaan yang baru apabila dari perusahaan yang lama pekerja yang bersangkutan belum mendapatkan THR.
Lihat Sumber Artikel Aslinya!... Klik Disini
Berbagi
Diberdayakan oleh


sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...