Minggu, 18 Juli 2021

sukristiawan. com:Siti Fadilah Ungkap Penyebab Pasien COVID Banyak yang Meninggal

Siti Fadilah Ungkap Penyebab Pasien COVID Banyak yang Meninggal


2021/07/14 13:38

DEPOK- Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari kembali menyinggung soal merebaknya kasus COVID-19 di Tanah Air. Kali ini ia membahas tentang penyebab banyaknya pasien yang meninggal akibat ganasnya virus tersebut.

*Menurut Siti Fadilah, sebagian besar warga Indonesia kekuragan vitamin D3 dalam darahnya. Fenomena ini cukup dikenal akrab di dunia kedokteran.*

Kata Siti Fadilah, umumnya nilai normal vitamin D dalam darah manusia berkisar 30-100 ng/mL. Tetapi kebanyakan orang Indonesia, di bawahnya. Bahkan tak sedikit yang berada di bawah 20.

Jika sudah demikian, akan sangat berbahaya untuk imunitas, termasuk akan mudah mengalami perburukan kalau terkena COVID.

Hal itu pula yang menjadi alasan mengapa pasien covid bisa meninggal, salah satunya karena kandungan D3 dalam darah rendah.

“Vitamin D3 itu penting dan tak boleh kurang dalam darah, kalau kurang kita akan gampang kena. Kalau saya menganjurkan kandungannya 40, normalnya kan angkanya 30-100. Sebab kalau kurang dari 20, kalau kena covid biasanya meninggal,” katanya dilansir dari Hops.id jaringan DepokToday.com pada Rabu 14 Juli 2021.

*“Kalau lebih dari 20 dia akan tetap hidup, dan lebih dari 30 dia akan OTG. Maka lebih baik lebih dari 40 aman,” timpalnya lagi.

*Vitamin D3 sendiri sebenarnya terbentuk secara alami ketika kulit terkena sinar matahari langsung.

*Selain itu, vitamin D3 juga dapat dijumpai pada makanan yang berasal dari hewan, seperti ikan laut, seperti salmon, tuna, dan tongkol.

Kemudian ada pula dari kandungan *minyak ikan dan minyak hati ikan kod, telur, susu dan olahannya seperti keju dan yoghurt, hati sapi, sereal atau jus buah yang diperkaya vitamin D3.

Penyebab Orang RI Mudah Kena COVID Versi Siti Fadilah
Sebenarnya ada banyak faktor yang dijelaskan Siti Fadilah soal penyebab dan alasan orang bisa terpapar COVID. Namun salah satu yang jadi perhatiannya adalah soal kandungan vitamin D3 dalam darah manusia.

*Soal berjemur, ini dia fenomenanya.* Di Indonesia, negeri yang bermandikan matahari, Siti Fadilah mengaku geleng-geleng dengan masyarakatnya. Betapa tidak, orang Indonesia dikenal malas berjemur langsung.
*Alasannya sepele, takut hitam.

*Padahal matahari punya manfaat besar pada tubuh, termasuk menguatkan kandungan vitamin D pada tubuh.

“Ini dia, banyak orang takut hitam. Keluar rumah sudah masuk mobil, langsung masuk kantor lagi. Di kantor langsung kena AC. Itulah, kecenderungan orang Indonesia takut matahari, makanya kandungan vitamin D3-nya rendah-rendah, dan ini bisa mudah dimasuki virus,” katanya.

semoga bermanfaat
#sukristiawwn.com#


Jumat, 09 Juli 2021

sukristiawan. com:AKHIRNYA KORBAN VAKSIN PADA BERJATUHAN

AKHIRNYA KORBAN VAKSIN PADA BERJATUHAN

(Pemerintah Terlihat Lepas Tangan Tidak Bertanggung Jawab..)

*DAMPAK VAKSIN* telah banyak memakan korban..
Masalahnya siapa yang paling bertanggung jawab dan yang berani menjamin VAKSIN aman?

VAKSIN telah banyak membawa korban berjatuhan dengan kelumpuhan dan kematian siapa yang akan bertanggung jawab?

Pemerintah dalam hal ini presiden lah orang yang paling bertanggung jawab atas kematian terhadap ratusan orang terkapar setelah di vaksin.

Karena presiden lah sebagai orang nomer satu pucuk pimpinan komando tertinggi yang memerintahkan, MEWAJIBKAN program VAKSIN kepada seluruh rakyat Indonesia.

Presiden HARUS bertanggung jawab dan menjamin kehidupan keluarganya atas kasus kewajiban vaksinasi masal kepada seluruh rakyat bila terjadi kelumpuhan dan kematian akibat vaksin yang diberikan dan jangan berlepas diri !

Vaksin itu BAIK ! Tapi masalahnya bila sel darah dan tubuh seseorang tidak dapat merespon masuknya vaksin dalam tubuh berakibat sebaliknya fatal.

VAKSIN adalah bibit virus yang menggunakan _whole body_ dari virus yang di _inactivated_ / di edit atau dilemahkan virusnya kemudian di suntikan harapannya adalah tubuh akan merespon seperti di inveksi virus yang masuk secara alami.

Masalahnya bila darah  _leukosit_ (Sel darah putih) yang ada dalam tubuh tidak dapat "welcome" atau merespon Vaksin yang masuk ke dalam tubuh akan beresiko penggumpalan darah dan penyumbatan pembuluh darah.

_Leukosit_ (Sel darah putih) adalah Sel darah putih ini berfungsi untuk menciptakan imun dan membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh (antibodi).

Akibatnya seorang bisa mengalami kelumpuhan atau kematian. Indikasinya sesak pernafasan, nafas tersengal-sengal, dada dan tenggorokan seperti terbakar.

Maka efek dari vaksin yang tidak direspon oleh darah dalam skala waktu 1 hari sd 1 minggu, 1 bulan sd 3 bulan dan 1 sd 3 tahun kedepan pasti akan memukul badan.

VAKSIN tidak menjamin tubuh seseorang sudah memiliki antibodi anti virus.  Dengan vaksin seseorang telah diberi kekebalan antibodi dari segala virus penyakit, ini TIDAK BENAR !

Karena banyak kasus yang sudah melakukan protokes berlapis-lapis secara super ketat tetap saja bisa dinyatakan (positif). Vaksin bukan solusi dan jaminan seseorang yakin tidak akan terinfeksi virus.

Karena hakekat Vaksin adalah pemberian virus yang sudah di _inactivated_ / di edit atau dilemahkan virusnya. Jadi wajar jika ada banyak kasus sudah di vaksin berkali-kali tetap saja positif, lumpuh atau meninggal.

Tiada ada satupun negara di bumi ini, boleh melakukan program penyuntikan Vaksinasi, dalam situasi emergency sekalipun, dengan paksaan ancaman hukuman dll pada rakyatnya. Sejak WHO berdiri tahun 1958, Vaksinasi itu Program
Sukarela, bukan program Mandatory (bukan program yang dipaksakan / wajib).

Tugas Pemerintah memberikan edukasi yang baik dan benar tentang kesehatan serta memberikan pemahaman terbaik tentang vaksin
bukan memberikan ANCAMAN apalagi HUKUMAN pada rakyatnya.

Alam sebenarnya telah memberikan rambu-rambu kepada manusia. Yaitu dengan _Nature Health Imunnity_ (Imunitas Kesehatan Alami) sebagai vaksin alami yang jauh kebih hebat dari vaksin buatan manusia.

Artinya ketika seseorang yang pernah terinfeksi atau terpapar sakit dan sembuh maka otomatis tubuh kita secara alami sudah memiliki antibodi sendiri dan jauh lebih hebat daripada *VAKSIN* itu sendiri.
_(KKI)_


Jumat, 12 Februari 2021

sukristiawan.com:Dasa Pitutur (10 Nasihat sunan kali jaga)


DASA PITUTUR
(10 Nasihat Sunan Kalijaga)
——————————————

1. Urip Iku Urup:
Hidup itu Nyala! Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Semakin besar manfaat yang bisa kita berikan, tentu akan lebih baik.

2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta Dur Hangkara:
Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak..

3. Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti:
Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.

4. Nglurug tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake, Sekti tanpa Aji-Aji, Sugih tanpa Bandha:
Berjuang tanpa perlu membawa massa; menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan, kekayaan atau kekuasaan, keturunan; kaya tanpa didasari kebendaan.

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan:
Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri! Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu!

6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman:
Jangan mudah terheran-heran! Jangan mudah menyesal! Jangan mudah terkejut-kejut! Jangan mudah kolokan atau manja!

7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman:
Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan, dan kepuasan duniawi!

8. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka:
Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah! Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka!

9. Aja Milik Barang kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendho:
Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, dan indah! Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat!

10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna:
Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.

Semoga kita selalu ingat dan membuang jauh jauh kesombongan, keangkuhan dan keserakahan sehingga kita menjadi manusia yang beruntung (tidak celaka)...Aamiiin
#sukristiawan.com#


Rabu, 07 Oktober 2020

sukristiawan.com:Revolusi Bisa Terjadi Apabila Terjadi gejolak sosial.

Revolusi Bisa Terjadi Apabila Apabila gejolak sosial.
Revolusi adalah perubahan sosial yang menggantikan struktur sosial, struktur politik dan ekonomi serta kadangkala struktur budaya masyarakat atau peradaban. Perubahan ini umumnya diwarnai dengan kepemimpinan perubahan yang kuat dan perlawanan yang terorganisasi serta acapkali dengan kekerasan.

Pembicaraan tentang revolusi ini perlu kita kaji mengingat 5 hal atau situasi sebagai berikut:

1) Gerakan mahasiswa dan buruh sebagai garda terdepan telah memenuhi jalan jalan sepanjang beberapa hari ini.

2) Gerakan Islam dan khususnya yang di bawah komando Habib Rizieq (HRS) telah mengepung terus ibukota, dengan tema Pancasila dan Kembalikan Habib Rizieq.

3) Pernyataan Guru Besar UGM, yang terkenal dengan isu pemerintahan bersih, Professor Zainal Mochtar telah menyerukan adanya pembangkangan sipil atas situasi sosial paska pengesahan UU Omnibus Law kemarin.

4) Adanya spirit kebangkitan purnawirawan militer untuk mewarnai perubahan sosial melalui jalur gerakan masyarakat sipil.

5) Adanya respon negatif ormas Islam terbesar NU dan Muhammadiyah terhadap pemerintah dalam kasus Pilkada. Serta kaum ulama pada isu RUU HIP.

Tentu banyak fenomena sosial lainnya belakangan ini yang dapat dilihat sebagai fenomena penting dalam menganalisa situasi yang ada. Antara lain kegagalan pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19, administrasi negara yang melemah karena transformasi digital yang gagal dan ekenomi semakin memburuk.

Lalu mengapa perlu menganalisa revolusi itu?

Pentingnya melakukan analisa atas hal ini karena jika revolusi datang pada sebuah bangsa, namun gagal di "bimbing", yang terjadi biasanya adalah kehancuran bangsa, seperti kasus kasus kegagalan revolusi di Afganistan, Filipina terkait penggulingan Ferdinan Marcos dan beberapa di Amerika latin.

Sebaliknya, Revolusi Bolshevik di Rusia, Revolusi di Iran, Revolusi di China, umpamanya, karena terarah dan terbimbing, bangsa tersebut terselamatkan.

Sebab-Sebab Revolusi

Ilmu sosial telah melahirkan berbagai teori tentang revolusi, baik mencari sebab sebab munculnya revolusi maupun sejarah revolusi. Sebab sebab revolusi dikaji oleh ahli ahli sosiologi, seperti Skocpol, dalam bukunya "State and Social Revolution", 1979, yang membandingkan revolusi Prancis, China dan Rusia.

Sebagai seorang strukturalis fungsional, Skocpol melihat pergeseran equilibrium sebuah masyarakat yang terguncang (disequlibrium) akibat ada kemerosotan eksistensi negara dan pemberontakan petani di 3 negara yang dia bandingkan. Namun, kaum strukturalis, baik Marxis maupun fungsional, kurang memberi perhatian pada analisa agensi atau tokoh maupun ideologi gerakan. Sosiolog dan historian lainya, banyak yang juga melihat peranan ideologi, organsisasi aksi dan peranan tokoh dalam sebuah revolusi dan sebab sebabnya.

Sebab sebab revolusi dalam teori kenabian umumnya dikaitkan dengan adanya bala atau bencana yang ditimpakan kekuatan ilahiah pada sebuah rezim dan masyarakatnya serta munculnya seorang pemimpin yang membawa perubahan peradaban.

Melihat berbagai spektrum pemikiran dan analisa, secara umum sebuah revolusi itu terjadi karena adanya 1) Meluasnya kekecewaan rakyat atas rezim yang berkuasa, 2) Terjadinya kooptasi negara dengan melakukan politik tirani dan berbagi kekuasaan dengan kaum oligarki modal, 3) Terjadi kemerosotan peran dan eksistensi negara akibat perang atau wabah ataupun keuangan negara, 4) munculnya tokoh2 revolusioner, 5) adanya ideologi yang mempersatukan gerakan perlawanan.

Meluasnya kekecewaan rakyat Indonesia saat ini sudah meluas dan mendalam. Meluas itu terbukti dari kecaman dua ormas besar agama Islam atas sikap pemerintah yang mengorbankan nasib rakyat ditengah pandemi Covid-19 demi mendorong pilkada. Di luar NU dan Muhammadiyah sesungguhnya hampir seluruh kekuatan masyarakat sudah menyatakan menolak pilkada. Apalagi sinyalamen Pilkada 92% dibiayai cukong2 diumumkam sendiri oleh tokoh sentral pemerintahan, yakni Menkopolhukam.

Kekecewaan dalam spektrum lainnya adalah kekecewaan buruh yang menolak UU Omnibus Law. Buruh sebagai kekuatan rakyat di perkotaan dan semi urban melihat bahwa pemaksaan secara cepat legalisasi UU ini adalah simbol kesombong rezim dan kaum kapitalis untuk mengekploitasi nasib mereka. Vis a vis secara kepentingan. Yang menariknya adalah di luar buruh, kelompok2 identitas, intelektual dan lingkungan ikut mengecam UU Omnibus ini, seperti mahasiswa, kalangan dosen, ulama, masyarakat sipil lainnya, pecinta lingkungan, masyarakat adat dan terakhir lembaga2 pro lingkungan hidup internasional.

Selain itu, kekecewaan masyarakat terjadi karena kegagalan pemerintah menangani pandemi. Meskipun pemerintah beralibi telah menangani dengan baik, dengan membandingkan hasil faktual antar negara, namun rakyat sudah sedemikian jauh mengalami frustasi sosial dan kemerosotan hidup selama 8 bulan pandemi ini.

Krisis kepercayaan meluas dan dalam kepada pemerintah akibat adanya ketertutupan pemerintah soal pandemi ini di masa awal, serta kegagalan dalam mengontrol penyebaran pandemi pada masa nasa yang disebut "golden time". Disamping publik melihat arogansi pemerintah  dalam masa masa awal menyepelekan isu Covid-19 ini.

Banyak lagi berbagai kekecewaan masyarakat yang muncul. Khususnya, kekecewaan ummat Islam dan eks militer atas isu di seputar bangkitnya Komunisme. Dan klaim bahwa mayoritas masyarakat kecewa dengan Jokowi sudah pasti mempunyai landasan analitis.

Dalam hal kooptasi negara atas semua kekuatan yang ada ditunjukkan dengan upaya cepat pemerintah memberlakukan perpu corona, kemudian menjadi UU Corona No. 1/2020, yang intinya pemusatan kekuasaan secara hampir mutlak pada pemerintah. Pada saat Jokowi mengkritik menteri menterinya yang dianggap gagal bekerja ekstra ordinary, setelah 3 bulan pandemi, Jokowi mengobral akan membuat Perpu Corona lainnya jika dianggap kurang dalam konsolidasi power. Ini menunjukkan sistem politik kita yang membagi kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta pemeriksaan keuangan independen, terdistorsi.

Bahkan terakhir adalah upaya rezim Jokowi membuat Dewan Moneter untuk mengendalikan Bank Sentral, yang selama ini independen, dibawah kontrol pemerintah.

Pemusatan kekuasaan ditangan Jokowi dan rezimnya bersamaan dengan rencana RUU HIP dan UU Omnibus Law. RUU HIP adalah upaya pemusatan tafsir ideologis atas Pancasila. Dengan genggaman itu maka pemerintah mempunyai alat pembungkaman lawan-lawan politik secara legal. Sedangkan Omnibus Law, yang luas ditentang saat ini, adalah upaya pemerintah membagi kesenangan kepada kaum kapitalis dan oligari modal.

Dalam tafsir pemikiran Marxian, model negara seperti ini adalah negara proxy kapitalis, bukan sebuah negara ala Weberian atau ala Leviathan Hobbes yang melihat adanya eksistensi negara.

Tafsir Marxian memperlihatkan bahwa cita cita Jokowi dengan Revolusi Mental yang ke kiri2an hanyalah seperti "violin Obama", sebuah term yang pernah dituduhkam pada Obama, berpura2 kiri tapi faktanya kapitalis habis.

Namun, perjalan situasi saat ini tidak menguntungkan rezim Jokowi. Krisis pandemi Covid-19 telah menghancurkan negara baik ekonomi maupun sektor kesehatan. Ekonomi mengalami krisis dan depresi tanpa jalan keluar. Harapan bantuan "teman baik" RRC tidak terjadi karena RRC juga mengalami kemerosotan ekonomi, yang membuat ratusan juta pengangguran di sana.

Mengandalkan lembaga lembaga multilateral untuk menolong atau hutang juga sulit, karena, misalnya IMF, harus membantu 150 an negara anggotanya. Beberapa bulan lalu IMF hanya berhasil memberikan pinjaman rerata $ 0,3 Milyar per negara (Bandingkan Indonesia pada krisis moneter tahun 98, mendapat bantuan $75 Milyar).

Kemerosotan negara akan terus memperburuk adminsistrasi dan pelayanan serta kemampuan aparatur militer menjaga negara. Memperkuat peranan polisi pada social order, belum tentu efektif, jika keresahan dan perlawanan rakyat menguat.

Selanjutnya adalah munculnya tokoh2 revolusioner ke depan. Dalam gejolak sosial seperti saat ini, kelompok2 sosial terus memproduksi "tokoh2 baru" atau maksudnya tokoh2 yang menjadi revolusioner. Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin misalnya, dua tokoh baru dari masyarakat sipil dan eks militer yang muncul membawa pesan pesan revolusioner serta solidaritas. Tentu saja tokoh2 seperti Agus Harimurti Yudhoyono, misalnya yang acap dianggap sepele sebelumnya, namun karena keberaniannya melawan rezim dalam kasus UU Omnibus Law, telah berubah menjadi sosok heroik. Dan tentu saja akan muncul banyak tokoh2 baru lainnya ke depan.

Tokoh2 Revolusioner baru ini akan bersinergi dengan tokoh revolusioner lama, Habib Rizieq Sihab. Situasi dan momentum akan membuat mereka membangun front bersama dalam membimbing perubahan.

Terakhir soal ideologi perjuangan. Ideologi dalam pengertian sederhana adalah alat untik sebuah tujuan. Pengertian dapat dikembangkan bahwa ideologi adalah seperangkat nilai2 yang mengikat dan mewarnai sebuah gerakan sosial untuk mencapai tujuannya. Nilai2 di sini adalah nilai2 yang berkontestasi dengan nilai2 "establishment" dari penguasa.

Saat ini ideologi perjuangan dan perlawanan telah melahirkan nilai2 yang mengikat collective ideas, yakni anti kapitalisme, anti Oligarki dan cukong2 dan mendorong nilai2 sosialistik menggantikan kapitalis liberal.

Habib Rizieq yang dulu sendirian menggelegarkan anti 9 naga, sebagai anti cukong alias anti kapitalis telah mendapatkan sekutu perlawanan dari berbagai tokoh2 dan elemen perjuangan. Dengan pernyataan yang sama dari Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin, misalnya, persekutuan ideologis terjadi dalam suasana perlawanan sosial mereka.

Sebab-sebab munculnya sebuah revolusi telah terlihat sebagai sebuah fenomena sosial kita. Ketegangan sosial dan keruntuhan sosial lama telah dan akan terjadi. Dalam situasi keruntuhan sebuah sistem sosial lama, sebab sebab tersebut tidak dapat dipersepsikan sebagai sebuah kejahatan bernegara. Sebab sebab tersebut adalah sebuah konsekwensi sosial dalam situasi dan momentum yang terjadi karena berbagai sebab sebab sebelumnya.

Misalnya, ketika kita memaknai seorang Professor ahli Hukum UGM, yang menyerukan pembangkangan sosial, tentunya bukan sebuah kejahatan. Sebab, seruan itu adalah reaksi atas aksi. Dan UGM selama ini dikenal sebagai kampus loyalis pendukung Jokowi.

Mengapa Revolusi Mental Gagal?

Revolusi yang digaungkan Jokowi sebagai upaya perubahan besar ketika berkuasa adalah Revolusi Mental. Revolusi ini adalah gagasan untuk menghancurkan kehidupan materialistik dan memperkaya diri dalam masyarakat. Selain itu, sebagaimana tulisan Jokowi di Kompas, April 2014, gagasan lainnya adalah menghancurkan budaya korupsi di Indonesia.

Dua tahun setelah berkuasa, Jokowi melembagakan gerakan revolusi itu melalui Inpres 12/2016. Inpres itu menyatakan ada 5 program Gerakan Nasional Revolusi Mental, yaitu Program Gerakan Indonesia Melayani, Program Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu.

Namun, sebagaimana kita ketahui, gagasan Indonesia bersih itu telah gagal total saat ini. Setelah Jokowi & sekutu partainya "melumpuhkan" KPK tahun lalu, maka pembicaraan dan keraguan tentang rezim Jokowi yang semakin korup menjadi semakin nyata. Berbagai gerakan sipil dibidang pemberantasan korupsi melihat pelumpuhan KPK tersebut sebagai situasi terburuk upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Berbagai korupsi besar seperti skandal asuransi Jiwasraya dan ketua KPK menggunakan fasilitas swasta untuk kepentingan pribadi serta banyak lainnya, menandai membesarnya prkatek korupsi di Indonesia. Skandal perlindungan kasus korupsi Djoko Tjandra oleh petinggi kepolisian dan kejaksaan, menunjukkan situasi tidak berdaya rezim Jokowi dalam penegakan hukum. Mahfud MD, sebagai pemerintah, mengakui ketidakmampuan dan ketidakberdayaan pemerintah, bahkan presiden soal penegakan hukum ini. Bulan lalu, berbagai media mengungkap tanggapan atas pernyataan Mahfud ini sebagai sebuah kekalahan negara, meskipun dia dengan alasan adanya pembagian kewenangan yang terpisah.

Lalu mengapa Revolusi Mental Jokowi gagal?

Kegagalan Revolusi Mental terjadi setidaknya karena 3 hal:

1) Jokowi terjerat pada persekutuan oligarki partai dan pemilik modal yang sebagiannya sudah terbiasa korupsi. Dalam kasus Jiwasraya, contohnya, ditenggarai bahwa seorang mantan direktur Jiwasraya yang terlibat skandal Jiwasraya tersebut adalah pejabat di kantor Staf Presiden (KSP). Elit sekutu partai Jokowi lainnya, seperti Romi P3, Setya Novanto dan Idrus Marham, Golkar, serta Imam Nachrowi, PKB juga koruptor.

2) Jokowi tidak mempunyai basis sosial yang kuat dalam gagasan revolusi mental. Hal ini ditandai dengan tidak adanya kekuatan masyarakat yang mengusung tema ini secara besar besaran dan serius.

3) Gagasan ini mungkin bersifat artifisial. Artinya Jokowi hanya ingin gagah gagahan unjuk gagasan dalam menuju kekuasaan. Hal ini ditunjukkan bahwa pada pilpres 2019, Jokowi tidak lagi mempersoalkan keberadaan gagasan ini.

Penutup

Kekecewaan rakyat meluas dan mendalam. Spektrum kekecewaan itu datang dari berbagai persoalan bangsa, seperti isu kebangkitan Komunisme, isu Omnibus Law, isu Pilkada, isu krisis ekonomi dan kesehatan, serta berbagai isu terkait pelanggaran HAM dan anti demokrasi. Kekecewaan ini telah meliputi ormas2 besar, misalnya dalam kasus penolakan pilkada, dan elemen elemen progresif revolusioner, yakni kaum buruh dan mahasiswa, dalam kasus Omnibus Law. Sebagai manifestasi kekecewaan, buruh dan mahasiswa sudah melakukan aksi perlawanan pada rezim Jokowi, meskipun mereka mengetahui adanya resiko pandemi yang mematikan. Dan diperkirakan kekecewaan ini tidak mudah berhenti dan sulit dikendalikan.

Krisis ekonomi dan sektor kesehatan, di sisi lainnya, telah menggerogoti negara. Skocpol, seorang sosiolog America, misalnya melihat faktor kegagalan negara menjadi salah satu sebab lainnya revolusi sosial, ketika pemberontakan rakyat terjadi.

Dua hal ini, perlawanan dan krisis negara, menjadi syarat adanya sebuah revolusi sosial, sebagai mana studi Theda Skocpol pada revolusi Prancis, Rusia dan China. Namun, berbagai ahli tentang revolusi lainnya mengaitkan adanya tokoh2 atau "social agent" dan ideologi bersama.

Dari sisi ini ideologi, norma anti "establishment", anti kapitalis, anti neo liberal dan anti Komunisme telah mewarnai ruh berbagai gerakan yang ada, dan dapat menjadi ideologi bersama. Sedangkan tokoh2 seperti Habib Rizieq, Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo, diantaranya, telah menjadi tokoh2 nasional yang terlibat dalam perlawanan. Bisa jadi juga Agus Harimurti Yudhoyono dan Said Iqbal yang menolak UU Omnibus Law,  Professor Zainal Mochtar Arifin  yang menyerukan pembangkangan sosial bergeser menjadi tokoh2 revolusioner pula. Berbagai tokoh2 gerakan tentu saja akan muncul beberapa atau banyak lainnya dalam momentum revolusioner, di manapun dalam sejarah.

Itulah situasi sosial kita saat ini, sebuah situasi besar pergeseran "Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial". Memang Revolusi akan selalu mencari jalannya sendiri. rmol.id

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke CircleRevolusi adalah perubahan sosial yang menggantikan struktur sosial, struktur politik dan ekonomi serta kadangkala struktur budaya masyarakat atau peradaban. Perubahan ini umumnya diwarnai dengan kepemimpinan perubahan yang kuat dan perlawanan yang terorganisasi serta acapkali dengan kekerasan.

Pembicaraan tentang revolusi ini perlu kita kaji mengingat 5 hal atau situasi sebagai berikut:

1) Gerakan mahasiswa dan buruh sebagai garda terdepan telah memenuhi jalan jalan sepanjang beberapa hari ini.

2) Gerakan Islam dan khususnya yang di bawah komando Habib Rizieq (HRS) telah mengepung terus ibukota, dengan tema Pancasila dan Kembalikan Habib Rizieq.

3) Pernyataan Guru Besar UGM, yang terkenal dengan isu pemerintahan bersih, Professor Zainal Mochtar telah menyerukan adanya pembangkangan sipil atas situasi sosial paska pengesahan UU Omnibus Law kemarin.

4) Adanya spirit kebangkitan purnawirawan militer untuk mewarnai perubahan sosial melalui jalur gerakan masyarakat sipil.

5) Adanya respon negatif ormas Islam terbesar NU dan Muhammadiyah terhadap pemerintah dalam kasus Pilkada. Serta kaum ulama pada isu RUU HIP.

Tentu banyak fenomena sosial lainnya belakangan ini yang dapat dilihat sebagai fenomena penting dalam menganalisa situasi yang ada. Antara lain kegagalan pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19, administrasi negara yang melemah karena transformasi digital yang gagal dan ekenomi semakin memburuk.

Lalu mengapa perlu menganalisa revolusi itu?

Pentingnya melakukan analisa atas hal ini karena jika revolusi datang pada sebuah bangsa, namun gagal di "bimbing", yang terjadi biasanya adalah kehancuran bangsa, seperti kasus kasus kegagalan revolusi di Afganistan, Filipina terkait penggulingan Ferdinan Marcos dan beberapa di Amerika latin.

Sebaliknya, Revolusi Bolshevik di Rusia, Revolusi di Iran, Revolusi di China, umpamanya, karena terarah dan terbimbing, bangsa tersebut terselamatkan.

Sebab-Sebab Revolusi

Ilmu sosial telah melahirkan berbagai teori tentang revolusi, baik mencari sebab sebab munculnya revolusi maupun sejarah revolusi. Sebab sebab revolusi dikaji oleh ahli ahli sosiologi, seperti Skocpol, dalam bukunya "State and Social Revolution", 1979, yang membandingkan revolusi Prancis, China dan Rusia.

Sebagai seorang strukturalis fungsional, Skocpol melihat pergeseran equilibrium sebuah masyarakat yang terguncang (disequlibrium) akibat ada kemerosotan eksistensi negara dan pemberontakan petani di 3 negara yang dia bandingkan. Namun, kaum strukturalis, baik Marxis maupun fungsional, kurang memberi perhatian pada analisa agensi atau tokoh maupun ideologi gerakan. Sosiolog dan historian lainya, banyak yang juga melihat peranan ideologi, organsisasi aksi dan peranan tokoh dalam sebuah revolusi dan sebab sebabnya.

Sebab sebab revolusi dalam teori kenabian umumnya dikaitkan dengan adanya bala atau bencana yang ditimpakan kekuatan ilahiah pada sebuah rezim dan masyarakatnya serta munculnya seorang pemimpin yang membawa perubahan peradaban.

Melihat berbagai spektrum pemikiran dan analisa, secara umum sebuah revolusi itu terjadi karena adanya 1) Meluasnya kekecewaan rakyat atas rezim yang berkuasa, 2) Terjadinya kooptasi negara dengan melakukan politik tirani dan berbagi kekuasaan dengan kaum oligarki modal, 3) Terjadi kemerosotan peran dan eksistensi negara akibat perang atau wabah ataupun keuangan negara, 4) munculnya tokoh2 revolusioner, 5) adanya ideologi yang mempersatukan gerakan perlawanan.

Meluasnya kekecewaan rakyat Indonesia saat ini sudah meluas dan mendalam. Meluas itu terbukti dari kecaman dua ormas besar agama Islam atas sikap pemerintah yang mengorbankan nasib rakyat ditengah pandemi Covid-19 demi mendorong pilkada. Di luar NU dan Muhammadiyah sesungguhnya hampir seluruh kekuatan masyarakat sudah menyatakan menolak pilkada. Apalagi sinyalamen Pilkada 92% dibiayai cukong2 diumumkam sendiri oleh tokoh sentral pemerintahan, yakni Menkopolhukam.

Kekecewaan dalam spektrum lainnya adalah kekecewaan buruh yang menolak UU Omnibus Law. Buruh sebagai kekuatan rakyat di perkotaan dan semi urban melihat bahwa pemaksaan secara cepat legalisasi UU ini adalah simbol kesombong rezim dan kaum kapitalis untuk mengekploitasi nasib mereka. Vis a vis secara kepentingan. Yang menariknya adalah di luar buruh, kelompok2 identitas, intelektual dan lingkungan ikut mengecam UU Omnibus ini, seperti mahasiswa, kalangan dosen, ulama, masyarakat sipil lainnya, pecinta lingkungan, masyarakat adat dan terakhir lembaga2 pro lingkungan hidup internasional.

Selain itu, kekecewaan masyarakat terjadi karena kegagalan pemerintah menangani pandemi. Meskipun pemerintah beralibi telah menangani dengan baik, dengan membandingkan hasil faktual antar negara, namun rakyat sudah sedemikian jauh mengalami frustasi sosial dan kemerosotan hidup selama 8 bulan pandemi ini.

Krisis kepercayaan meluas dan dalam kepada pemerintah akibat adanya ketertutupan pemerintah soal pandemi ini di masa awal, serta kegagalan dalam mengontrol penyebaran pandemi pada masa nasa yang disebut "golden time". Disamping publik melihat arogansi pemerintah  dalam masa masa awal menyepelekan isu Covid-19 ini.

Banyak lagi berbagai kekecewaan masyarakat yang muncul. Khususnya, kekecewaan ummat Islam dan eks militer atas isu di seputar bangkitnya Komunisme. Dan klaim bahwa mayoritas masyarakat kecewa dengan Jokowi sudah pasti mempunyai landasan analitis.

Dalam hal kooptasi negara atas semua kekuatan yang ada ditunjukkan dengan upaya cepat pemerintah memberlakukan perpu corona, kemudian menjadi UU Corona No. 1/2020, yang intinya pemusatan kekuasaan secara hampir mutlak pada pemerintah. Pada saat Jokowi mengkritik menteri menterinya yang dianggap gagal bekerja ekstra ordinary, setelah 3 bulan pandemi, Jokowi mengobral akan membuat Perpu Corona lainnya jika dianggap kurang dalam konsolidasi power. Ini menunjukkan sistem politik kita yang membagi kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta pemeriksaan keuangan independen, terdistorsi.

Bahkan terakhir adalah upaya rezim Jokowi membuat Dewan Moneter untuk mengendalikan Bank Sentral, yang selama ini independen, dibawah kontrol pemerintah.

Pemusatan kekuasaan ditangan Jokowi dan rezimnya bersamaan dengan rencana RUU HIP dan UU Omnibus Law. RUU HIP adalah upaya pemusatan tafsir ideologis atas Pancasila. Dengan genggaman itu maka pemerintah mempunyai alat pembungkaman lawan-lawan politik secara legal. Sedangkan Omnibus Law, yang luas ditentang saat ini, adalah upaya pemerintah membagi kesenangan kepada kaum kapitalis dan oligari modal.

Dalam tafsir pemikiran Marxian, model negara seperti ini adalah negara proxy kapitalis, bukan sebuah negara ala Weberian atau ala Leviathan Hobbes yang melihat adanya eksistensi negara.

Tafsir Marxian memperlihatkan bahwa cita cita Jokowi dengan Revolusi Mental yang ke kiri2an hanyalah seperti "violin Obama", sebuah term yang pernah dituduhkam pada Obama, berpura2 kiri tapi faktanya kapitalis habis.

Namun, perjalan situasi saat ini tidak menguntungkan rezim Jokowi. Krisis pandemi Covid-19 telah menghancurkan negara baik ekonomi maupun sektor kesehatan. Ekonomi mengalami krisis dan depresi tanpa jalan keluar. Harapan bantuan "teman baik" RRC tidak terjadi karena RRC juga mengalami kemerosotan ekonomi, yang membuat ratusan juta pengangguran di sana.

Mengandalkan lembaga lembaga multilateral untuk menolong atau hutang juga sulit, karena, misalnya IMF, harus membantu 150 an negara anggotanya. Beberapa bulan lalu IMF hanya berhasil memberikan pinjaman rerata $ 0,3 Milyar per negara (Bandingkan Indonesia pada krisis moneter tahun 98, mendapat bantuan $75 Milyar).

Kemerosotan negara akan terus memperburuk adminsistrasi dan pelayanan serta kemampuan aparatur militer menjaga negara. Memperkuat peranan polisi pada social order, belum tentu efektif, jika keresahan dan perlawanan rakyat menguat.

Selanjutnya adalah munculnya tokoh2 revolusioner ke depan. Dalam gejolak sosial seperti saat ini, kelompok2 sosial terus memproduksi "tokoh2 baru" atau maksudnya tokoh2 yang menjadi revolusioner. Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin misalnya, dua tokoh baru dari masyarakat sipil dan eks militer yang muncul membawa pesan pesan revolusioner serta solidaritas. Tentu saja tokoh2 seperti Agus Harimurti Yudhoyono, misalnya yang acap dianggap sepele sebelumnya, namun karena keberaniannya melawan rezim dalam kasus UU Omnibus Law, telah berubah menjadi sosok heroik. Dan tentu saja akan muncul banyak tokoh2 baru lainnya ke depan.

Tokoh2 Revolusioner baru ini akan bersinergi dengan tokoh revolusioner lama, Habib Rizieq Sihab. Situasi dan momentum akan membuat mereka membangun front bersama dalam membimbing perubahan.

Terakhir soal ideologi perjuangan. Ideologi dalam pengertian sederhana adalah alat untik sebuah tujuan. Pengertian dapat dikembangkan bahwa ideologi adalah seperangkat nilai2 yang mengikat dan mewarnai sebuah gerakan sosial untuk mencapai tujuannya. Nilai2 di sini adalah nilai2 yang berkontestasi dengan nilai2 "establishment" dari penguasa.

Saat ini ideologi perjuangan dan perlawanan telah melahirkan nilai2 yang mengikat collective ideas, yakni anti kapitalisme, anti Oligarki dan cukong2 dan mendorong nilai2 sosialistik menggantikan kapitalis liberal.

Habib Rizieq yang dulu sendirian menggelegarkan anti 9 naga, sebagai anti cukong alias anti kapitalis telah mendapatkan sekutu perlawanan dari berbagai tokoh2 dan elemen perjuangan. Dengan pernyataan yang sama dari Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin, misalnya, persekutuan ideologis terjadi dalam suasana perlawanan sosial mereka.

Sebab-sebab munculnya sebuah revolusi telah terlihat sebagai sebuah fenomena sosial kita. Ketegangan sosial dan keruntuhan sosial lama telah dan akan terjadi. Dalam situasi keruntuhan sebuah sistem sosial lama, sebab sebab tersebut tidak dapat dipersepsikan sebagai sebuah kejahatan bernegara. Sebab sebab tersebut adalah sebuah konsekwensi sosial dalam situasi dan momentum yang terjadi karena berbagai sebab sebab sebelumnya.

Misalnya, ketika kita memaknai seorang Professor ahli Hukum UGM, yang menyerukan pembangkangan sosial, tentunya bukan sebuah kejahatan. Sebab, seruan itu adalah reaksi atas aksi. Dan UGM selama ini dikenal sebagai kampus loyalis pendukung Jokowi.

Mengapa Revolusi Mental Gagal?

Revolusi yang digaungkan Jokowi sebagai upaya perubahan besar ketika berkuasa adalah Revolusi Mental. Revolusi ini adalah gagasan untuk menghancurkan kehidupan materialistik dan memperkaya diri dalam masyarakat. Selain itu, sebagaimana tulisan Jokowi di Kompas, April 2014, gagasan lainnya adalah menghancurkan budaya korupsi di Indonesia.

Dua tahun setelah berkuasa, Jokowi melembagakan gerakan revolusi itu melalui Inpres 12/2016. Inpres itu menyatakan ada 5 program Gerakan Nasional Revolusi Mental, yaitu Program Gerakan Indonesia Melayani, Program Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu.

Namun, sebagaimana kita ketahui, gagasan Indonesia bersih itu telah gagal total saat ini. Setelah Jokowi & sekutu partainya "melumpuhkan" KPK tahun lalu, maka pembicaraan dan keraguan tentang rezim Jokowi yang semakin korup menjadi semakin nyata. Berbagai gerakan sipil dibidang pemberantasan korupsi melihat pelumpuhan KPK tersebut sebagai situasi terburuk upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Berbagai korupsi besar seperti skandal asuransi Jiwasraya dan ketua KPK menggunakan fasilitas swasta untuk kepentingan pribadi serta banyak lainnya, menandai membesarnya prkatek korupsi di Indonesia. Skandal perlindungan kasus korupsi Djoko Tjandra oleh petinggi kepolisian dan kejaksaan, menunjukkan situasi tidak berdaya rezim Jokowi dalam penegakan hukum. Mahfud MD, sebagai pemerintah, mengakui ketidakmampuan dan ketidakberdayaan pemerintah, bahkan presiden soal penegakan hukum ini. Bulan lalu, berbagai media mengungkap tanggapan atas pernyataan Mahfud ini sebagai sebuah kekalahan negara, meskipun dia dengan alasan adanya pembagian kewenangan yang terpisah.

Lalu mengapa Revolusi Mental Jokowi gagal?

Kegagalan Revolusi Mental terjadi setidaknya karena 3 hal:

1) Jokowi terjerat pada persekutuan oligarki partai dan pemilik modal yang sebagiannya sudah terbiasa korupsi. Dalam kasus Jiwasraya, contohnya, ditenggarai bahwa seorang mantan direktur Jiwasraya yang terlibat skandal Jiwasraya tersebut adalah pejabat di kantor Staf Presiden (KSP). Elit sekutu partai Jokowi lainnya, seperti Romi P3, Setya Novanto dan Idrus Marham, Golkar, serta Imam Nachrowi, PKB juga koruptor.

2) Jokowi tidak mempunyai basis sosial yang kuat dalam gagasan revolusi mental. Hal ini ditandai dengan tidak adanya kekuatan masyarakat yang mengusung tema ini secara besar besaran dan serius.

3) Gagasan ini mungkin bersifat artifisial. Artinya Jokowi hanya ingin gagah gagahan unjuk gagasan dalam menuju kekuasaan. Hal ini ditunjukkan bahwa pada pilpres 2019, Jokowi tidak lagi mempersoalkan keberadaan gagasan ini.

Penutup

Kekecewaan rakyat meluas dan mendalam. Spektrum kekecewaan itu datang dari berbagai persoalan bangsa, seperti isu kebangkitan Komunisme, isu Omnibus Law, isu Pilkada, isu krisis ekonomi dan kesehatan, serta berbagai isu terkait pelanggaran HAM dan anti demokrasi. Kekecewaan ini telah meliputi ormas2 besar, misalnya dalam kasus penolakan pilkada, dan elemen elemen progresif revolusioner, yakni kaum buruh dan mahasiswa, dalam kasus Omnibus Law. Sebagai manifestasi kekecewaan, buruh dan mahasiswa sudah melakukan aksi perlawanan pada rezim Jokowi, meskipun mereka mengetahui adanya resiko pandemi yang mematikan. Dan diperkirakan kekecewaan ini tidak mudah berhenti dan sulit dikendalikan.

Krisis ekonomi dan sektor kesehatan, di sisi lainnya, telah menggerogoti negara. Skocpol, seorang sosiolog America, misalnya melihat faktor kegagalan negara menjadi salah satu sebab lainnya revolusi sosial, ketika pemberontakan rakyat terjadi.

Dua hal ini, perlawanan dan krisis negara, menjadi syarat adanya sebuah revolusi sosial, sebagai mana studi Theda Skocpol pada revolusi Prancis, Rusia dan China. Namun, berbagai ahli tentang revolusi lainnya mengaitkan adanya tokoh2 atau "social agent" dan ideologi bersama.

Dari sisi ini ideologi, norma anti "establishment", anti kapitalis, anti neo liberal dan anti Komunisme telah mewarnai ruh berbagai gerakan yang ada, dan dapat menjadi ideologi bersama. Sedangkan tokoh2 seperti Habib Rizieq, Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo, diantaranya, telah menjadi tokoh2 nasional yang terlibat dalam perlawanan. Bisa jadi juga Agus Harimurti Yudhoyono dan Said Iqbal yang menolak UU Omnibus Law,  Professor Zainal Mochtar Arifin  yang menyerukan pembangkangan sosial bergeser menjadi tokoh2 revolusioner pula. Berbagai tokoh2 gerakan tentu saja akan muncul beberapa atau banyak lainnya dalam momentum revolusioner, di manapun dalam sejarah.

Itulah situasi sosial kita saat ini, sebuah situasi besar pergeseran "Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial". Memang Revolusi akan selalu mencari jalannya sendiri. rmol.id

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Selasa, 25 Agustus 2020

Sukristiawan.com:Cara yang Dapat Ditempuh Jika Tergugat Tidak Membayar Uang Paksa.

    Cara yang Dapat Ditempuh Jika Tergugat Tidak Membayar Uang Paksa

    Pertanyaan

    Bagaimana cara pembayaran uang paksa atau dwangsom oleh tergugat kepada penggugat? Apabila tergugat/pengusaha tidak mau menjalankan putusan sidang dan tidak mau bayar dwangsom, apa sanksinya?

    Intisari:

    Ulasan:

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa putusan yang Anda maksud di sini adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

     

    Jenis-jenis Sanksi Dalam Hukum Administrasi Negara

    Uang paksa atau dwangsom merupakan salah satu jenis sanksi yang dikenal dalam Hukum Administrasi Negara. Menurut Ridwan HR dalam bukunya Hukum Administrasi Negara (hal. 303), jenis sanksi dalam Hukum Administrasi Negara secara umum yaitu:

    a.    Paksaan Pemerintahan (bestuursdwang);

    b.    Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi, pembayaran, dan sebagainya);

    c.    Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom);

    d.    Pengenaan denda administratif (administratieve boete).

     

    Lebih lanjut Ridwan menjelaskan bahwa macam-macam sanksi tersebut tidak selalu dapat diterapkan secara keseluruhan pada suatu bidang administrasi negara tertentu.

     

    Uang Paksa (Dwangsom)

    Uang paksa sebagai salah satu bentuk hukuman administratif ini juga disebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan (“PP 48/2016”), yakni sebagai sanksi administratif sedang.[1]

     

    Yang dimaksud dengan "uang paksa" adalah sejumlah uang yang dititipkan sebagai jaminan agar Keputusan dan/atau Tindakan dilaksanakan sehingga apabila Keputusan dan/atau Tindakan telah dilaksanakan, uang paksa tersebut dikembalikan kepada Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.[2]

     

    Dalam Hukum Administrasi Negara, pengenaan uang paksa dapat dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan.[3]

     

    Dalam Undang-Undang Hukum Administrasi Belanda disebutkan sebagai berikut:[4]

    Organ pemerintahan yang berwenang melaksanakan tindakan pemerintahan, dapat mengenakan uang paksa sebagai pengganti (dari bestuursdwang). Uang paksa tidak dapat dipilih (sebagai pengganti), jika kepentingan yang harus dilindungi peraturan tersebut tidak menghendakinya”.

     

    “Organ pemerintahan menetapkan uang paksa itu apakah sekali bayar ataupun dicicil berdasarkan waktu (tertentu) ketika pemerintah itu tidak dijalankan atau membayar sejumlah uang ketika pelanggaran itu (terjadi). Organ pemerintahan juga menetapkan jumlah maksimal uang paksa. Jumlah uang yang dibayar harus sesuai dengan beratnya kepentingan yang dilanggar dan (sesuai) dengan tujuan diterapkannya penetapan uang paksa itu”.

     

    “Dalam keputusan untuk penetapan uang paksa yang tujuannya menghilangkan atau mengkhiri pelanggaran, kepada pelanggar diberikan jangka waktu untuk melaksanakan perintah tersebut (dengan) tanpa penyitaan uang paksa”.

     

    Sementara itu, Lilik Mulyadi dalam bukunya  Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Teori dan Praktik (hal.108) menjelaskan bahwa jenis uang paksa yang dikenal dan diterapkan di Indonesia hanyalah 1 (satu) jenis saja yaitu dwangsom dengan jumlah tertentu apabila terhukum setiap harinya lalai memenuhi hukuman pokok.

     

    Contoh Pengenaan Dwangsom

    Lilik memberikan contoh: A (Penggugat) melakukan gugatan kepada B (Tergugat). Dalam petitum surat gugatannya pada pokoknya A menuntut agar B dihukum untuk memenuhi pretasi berupa C, D dan E serta apabila atas kelalaian memenuhi keseluruhan hukum membayar uang paksa/dwangsom sebesar Rp.6.000.000 setiap harinya, kemudian hakim mengabulkan gugatan A. Jadi, aspek pasif penerapan uang paksa haruslah dilakukan seluruhnya. Tidak dilaksanakannya salah satu prestasi bukanlah merupakan halangan, penghapus dan pengurangan uang paksa.[5]

     

    Sebagai contoh lain pengenaan dwangsom dalam kaitannya dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan yaitu pada izin. Biasanya pemohon izin disyaratkan untuk memberikan uang jaminan. Jika terjadi pelanggaran, maka uang jaminan itu dipotong sebagai dwangsom. Uang jaminan ini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan Paksaan Pemerintahan/bestuursdwang sulit dilakukan.[6]

     

    Eksekusi Hukuman Uang Paksa

    Lilik Mulyadi (hal. 117-118) menjelaskan bahwa eksekusi dwangsom dengan cara verthaal executie yang bertitik tolak pada ketentuan Pasal 195-208 Herzien Inlandsch Reglement  (HIR) dan kebiasaan praktik peradilan, yakni melalui tahap-tahap berikut:

     

    -    Adanya permohonan dari pemohon eksekusi terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Bentuk permohonan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Dalam praktik secara administratif setelah pemohon eksekusi membayar biaya eksekusi pada petugas urusan kepaniteraan perdata, maka akan diregister pada Buku Permohonan Eksekusi, Buku  Induk Keuangan Biaya Eksekusi dan apabila Ketua Pengadilan Negeri yakin bahwa permohonan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, maka Ketua Pengadilan Negeri lalu mengeluarkan “Penetapan” yang asasnya berisikan tentang:[7]

    a.  Perintah pemanggilan pihak tergugat/termohon eksekusi supaya pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta jam yang telah ditetapkan dalam penetapan agar datang ke Pengadilan Negeri untuk diberi peringatan/somasi menjalankan hukuman pokok dan uang paksa/dwangsom; dan[8]

    b.  Dalam persidangan yang dilakukan secara insidental tersebut Ketua Pengadilan Negeri memberi batas waktu kepada pihak tereksekusi untuk membayar uang paksa dalam waktu maksimal 8 hari.[9]

     

    -    Apabila setelah tenggang waktu somasi dilampaui belum juga tereksekusi melakukan pembayaran uang paksa, Ketua Pengadilan Negeri akan meneliti apakah perkara tersebut telah dilakukan sita jaminan atau tidak. Apabila diletakkan sita jaminan, maka dengan sendirinya berkekuatan eksekutorial. Sedangkan apabila tidak diletakkan sita jaminan, maka secara ex officio Ketua Pengadilan Negeri melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tereksekusi.

     

    -    Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan pendapat dengan perintah kepada panitera ata wakilnya yang sah untuk melakukan pelelangan.

     

    Jika Tergugat Tidak Patuh Atas Putusan Pengadilan

    Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana telah terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (“UU 51/2009”), jika tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.[10]

     

    Hukuman dwangsom adalah bersifat accesoir dan merupakan hukuman tambahan dari hukuman pokok. Ini berarti bahwa tidak ada dwangsom tanpa hukuman pokok, dan dengan demikian tidak mungkin ada putusan dwangsom tersendiri. Dwangsom selalu diletakkan bersama dengan hukuman pokok, di mana fungsi dwangsom di sini sebagai alat eksekusi bagi terhukum agar ia dengan segera memenuhi prestasi.[11] 

     

    Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya kewajiban.[12] Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat, ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.[13]

     

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jika tergugat tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh putusan pengadilan, maka ia akan dikenakan uang paksa atau dwangsom. Kemudian akan diumumkan di media masa setempat bahwa tergugat tidak mematuhi putusan pengadilan. Jika tidak membayar dwangsom, maka akan tergugat diberikan somasi. Namun, jika tergugat tetap tidak melaksanakannya, maka Ketua Pengadilan Negeri akan meneliti apakah perkara tersebut telah dilakukan sita jaminan atau tidak. Apabila diletakkan sita jaminan, maka dengan sendirinya berkekuatan eksekutorial. Sedangkan apabila tidak diletakkan sita jaminan, maka secara ex officio Ketua Pengadilan Negeri melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tereksekusi.  

     

    Contoh Kasus

    Untuk lebih jelas lagi, contoh kasus terkait dengan hukuman pembayaran uang paksa dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor: 591/Pdt.G-LH/2015/PN. Jkt. Sel, dimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memenangkan gugatan perkara perdata terkait pembakaran hutan yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang lalai mengantisipasi kerusakan hutan dalam terjadinya kebakaran. Salah satu amar putusan majelis hakim yaitu menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 50 juta setiap hari apabila tergugat lalai dalam melaksanakan putusan ini.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.   Herzien Inlandsch Reglement

    2.  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

    3.    Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan.

     

    Putusan:

    Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor: 591/Pdt.G-LH/2015/PN. Jkt. Sel.

     

    Referensi:

    Lilik Mulyadi. 2001. Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Djambatan.


    Ridwan HR. 2016. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.



    [1] Pasal 9 ayat (2) huruf a jo. Pasal 4 huruf b PP 48/2016

    [2] Penjelasan Pasal 9 ayat (2) huruf a PP 48/2016

    [3] Ridwan HR hal. 315

    [4] Ridwan HR hal. 315

    [5] Lilik Mulyadi hal. 108-109

    [6] Ridwan HR hal. 316

    [7] Lilik Mulyadi hal. 117-118

    [8] Lilik Mulyadi hal.118

    [9] Lilik Mulyadi hal.118 jo Pasal 196 ayat (2) HIR / Pasal 207 ayat (2) RBg

    [10] Pasal 116 ayat (4) UU 51/2009

    [11] Lilik Mulyadi hal. 112

    [12] Pasal 116 ayat (5) UU 51/2009

    [13] Pasal 116 ayata (6) UU 51/2009

    #sukristiawan.com#

Senin, 17 Agustus 2020

Sukristiawan.com:Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus law.

Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus law.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah saat ini tengah menggodok RUU Omnibus Law yang mencakup aturan cipta lapangan kerja dan aturan perpajakan.

Aturan ini dibuat untuk mengakomodir aturan-aturan lama yang dinilai terpecah-pecah dan menghambat sektor ekonomi untuk berkembang.

Namun, serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai RUU omnibus law bukan cara terbaik untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja.

Presiden KSPI, Said Iqbal menilai omnibus law merupakan cara terbaik untuk menghancurkan kesejahteraan para pekerja.

Baca juga: Poin-poin Omnibus Law Perpajakan Beres, Tapi Cipta Lapangan Kerja Belum Rampung

Maka dari itu, kata Iqbal, ada 6 hal yang menjadi poin penolakan dari serikat buruh terkait dengan RUU Omnibus Law, antara lain sebagai berikut.

1. Menghilangkan upah minimum

Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam.

Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.

"Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," kata Iqbal, Selasa (7/1/2020).

Iqbal menilai hal ini akan semakin menyengsarakan bagi pekerja yang sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, atau cuti melahirkan. Dimana upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.

Baca juga: Kontroversi Upah Per Jam: Ditolak Buruh, Didukung Pengusaha

Namun demikian, menurutnya, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.

Lagipula, penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum.

"Upah minimum adalah upah minimum, berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan upah minimum per jam," terang Iqbal.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan.

Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.

"Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," tegasnya.

2. Menghilangkan pesangon

Iqbal menyebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.

Terkait hal ini, Iqbal mengatakan, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 masalah pesangon sudah diatur bagi buruh yang terkena PHK.

Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah. Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari toal pesangon atau penghargaan masa kerja.

"Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih," ujarnya.

Baca juga: Omnibus Law Bakal Atur Tunjangan PHK 6 Bulan Upah, Bagaimana Aturan Saat Ini?

3. Fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan outsourcing dan buruh kontrak diperluas

Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja. Iqbal menilai, istilah ini dapat diartikan tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT).

"Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa di-outsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan," sebut Iqbal.

4. Lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) Unskill

Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu.

TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia.

Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasional, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.

Baca juga: Menko Airlangga: Omnibus Law Permudah Perekrutan Tenaga Kerja Asing

Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3 – 5 tahun, dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal.

Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan sang TKA .

"Dalam omnibus law terdapat wacana, semua persyaratan yang sudah diatur akan dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mestinya bisa diempati oleh orang lokal diisi oleh TKA," ujar Iqbal.

5. Jaminan sosial terancam hilang

Menurutnya, jaminan sosial yang hilang diakibatkan karena sistem kerja yang fleksibel. Sebagaimana diketahui, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.

"Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun," ungkap Iqbal.

Baca juga: Poin-poin Omnibus Law Perpajakan Beres, Tapi Cipta Lapangan Kerja Belum Rampung

6. Menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha

Dalam omnibus law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Dalam  UU 13/2003, disebutkan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh.

Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum, bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun.

Jika sanksi pidana ini dihilangkan, kata Iqbal, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum.

“Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak berikan pengusaha. Karena tidak ada efek jera,” ujar dia.

#sukristiawan.com#

Sukristiawan. com:Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja Fakultas Hukum UGM".

"Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja Fakultas Hukum UGM".

Tim penyusun policy paper  Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) :

Bidang Ketenagakerjaan :
RUU Cipta Kerja lebih fokus pada tujuan peningkatan ekonomi, dan abai terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia. Pasal 88 RUU Cipta Kerja. Pasal itu menyebutkan pengaturan baru yang diatur dalam RUU bertujuan menguatkan perlindungan dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi.

Hal ini menguatkan paradigma developmentalisme yang cukup sentral dalam RUU ini, yang mana tersirat bahwa investasi dan pembangunan ekonomi merupakan hal paling utama dalam pembangunan suatu negara.

Sebagian besar peraturan yang diubah dalam RUU ini banyak berbicara mengenai efisiensi dan peningkatan produktifitas tenaga kerja, namun RUU ini justru tidak mengubah atau membuat peraturan baru yang berkaitan dengan pelatihan kerja atau peningkatan kompetensi pekerja.

Padahal, berbicara mengenai penciptaan lapangan kerja seharusnya justru berkaitan erat dengan upaya untuk meningkatkan kompetensi calon tenaga kerja.

Alih-alih perlindungan pekerja, RUU Cipta Kerja justru berpotensi membuat pasal ketenagakerjaan kembali terpinggirkan, tergerus oleh kebutuhan investasi dan ekonomi. Padahal, dalam hubungan industrial Pancasila, perlindungan pekerja merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah

Beberapa catatan lebih lanjut dalam bidang ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:

1. Banyaknya Ketentuan yang Perlu Diatur Lebih Lanjut

Ada banyak pengaturan di RUU Cipta Kerja yang harus diterjemahkan dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah.

Pada bab ketenagakerjaan, terdapat 17 (tujuh belas) ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, dan 2 (dua) ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Artinya, dapat dikatakan bahwa Rancangan Undang-Undang ini tidak menyelesaikan masalah hiper-regulasi.

2. Penghapusan Batas Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang tadinya terbatas untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun,13 menjadi tidak dibatasi oleh Undang-Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) UU a quo.

Dengan demikian secara tidak langsung RUU Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkannya pada kesepakatan para pihak. Artinya, peran pemerintah menjadi lemah, karena tidak dapat mengintervensi jangka waktu PKWT.

Hal ini dilanjutkan dengan dihapuskannya ketentuan mengenai kemungkinan perubahan PKWT menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/perjanjian kerja tetap), yang mana output dari ketentuan ini akan menyebabkan semakin menjamurnya jenis pekerja kontrak.

Ketentuan ini sudah banyak dikritik oleh kalangan pekerja karena menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pekerja.

3. Aturan Alih Daya yang Ganjil

RUU menghapuskan Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan namun tetap mempertahankan Pasal 66. Penghapusan pasal tersebut menekankan alih daya atau outsourcing masih diperbolehkan oleh Undang-Undang.

Hanya saja akan semakin membuka peluang menjamurnya jenis hubungan kerja alih daya atau outsourcing, padahal sudah terbukti bahwa bentuk hubungan triangular layaknya outsourcing ini sangat tidak menguntungkan bagi pekerja.

4. Perubahan Ketentuan Upah Minimum

Jika sebelumnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, Upah Minimum dapat didasarkan pada wilayah provinsi (UMP) atau kabupaten/kota (UMK), serta upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral), maka ketentuan ini tidak lagi berlaku dalam RUU Cipta Kerja.

RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa diantara Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-Undang Ketenagakerjaan akan disisipkan 7 (tujuh) pasal tambahan, salah satunya adalah Pasal 88C yang berbunyi: (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

Artinya, jika RUU disetujui, maka tidak akan ada lagi Upah Minimum Kabupaten/Kota maupun Upah Minimum Sektoral, karena Upah Minimum yang berlaku hanyalah Upah Minimum Provinsi.

Masalahnya, tidak ada alasan yang mendasari penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Sektoral ini. Selama ini UMK dan Upah Minimum Sektoral wajib dipatok lebih tinggi dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi.

Hal baru lain yang ditawarkan oleh RUU Cipta Kerja adalah adanya Upah Minimum Padat Kerja yang berpotensi menimbulkan polemik karena pengaturannya yang ambigu. RUU Cipta Kerja hanya menyebutkan bahwa upah minimum industri padat kerja dihitung dengan menggunakan formula tertentu.

Tidak ada penjelasan mengenai hal ini kecuali ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Artinya, lagi-lagi memperpanjang alur pengaturan upah minimum ke ketentuan yang lain, yang mana berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum.

5. Istilah Ambigu dalam Pemberian Cuti

Kritik lain bagi RUU Cipta Kerja adalah adanya pasal-pasal yang rentan menimbulkan misinterpretasi karena menggunakan istilah yang ambigu. Sebagai contoh, Pasal 93 ayat (2) RUU Cipta Kerja yang akan mengubah Pasal 93 Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait pengecualian dari asas ‘no work no pay’.

asal ini menyebutkan bahwa “pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan ‘berhalangan’ baik dalam pasal tersebut, maupun dalam penjelasan pasal.

Padahal, kata ‘berhalangan’ memiliki arti yang luas, sehingga rawan menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pemberian hak cuti bagi pekerja. Ketika kata ‘berhalangan’ berintepretasi bebas maka perlindungan hak cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin.

Ketidakjelasan pemilihan kata dalam Pasal 93 ayat (2) RUU Cipta Kerja dikhawatirkan justru akan berpotensi menghapuskan hak pekerja termasuk pekerja perempuan mendapatkan cuti sakit, cuti haid, cuti melahirkan, maupun cuti menikah dan menikahkan.

6. Perubahan Konsep Pemutusan Hubungan Kerja
 
Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tadinya berbunyi “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.” menjadi “Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh”.

Perubahan ini menghilangkan konsepsi mendasar mengenai PHK dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang harus dipandang sebagai sesuatu yang sangat dihindari.

Rumusan Pasal 151 ayat (1) di RUU Cipta Kerja  juga menghilangkan peran pemerintah dalam mengupayakan tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja; PHK menjadi hal yang privat di mana seluruhnya diserahkan pada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.

Selain itu, peranan serikat buruh untuk berunding dengan pengusaha terkait dengan pemutusan hubungan kerja juga terancam hilang, karena RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Lebih lanjut, Pasal 151 ayat (2) RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa: “Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Rumusan pasal ini membingungkan dan tidak tegas mengatur kewajiban pengusaha untuk menyelesaikan PHK melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Masih terkait dengan PHK, RUU Cipta Kerja juga memberikan keleluasaan lebih bagi pengusaha untuk melakukan PHK tanpa perlu kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal: perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur); atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.

Pengecualian-pengecualian ini tidak dikenal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan berpotensi menimbulkan banyak PHK baru, utamanya terkait perusahaan yang pailit.

Pasal 156 RUU Cipta Kerja juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak, menghapuskan ketentuan spesifik mengenai kompensasi untuk tiap-tiap alasan pemutusan hubungan kerja, serta mengurangi perhitungan maksimum uang penghargaan kerja.

Perubahan ketentuan-ketentuan ini menunjukkan bahwa RUU Cipta Kerja pada akhirnya memang lebih memudahkan terjadinya PHK, jika dibandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
#sukristiawan.com#

sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...