Daftar Pebalap dan Tim MotoGP 2015
Beserta Negara Asal
Nyobamoto.com – Bro Sis…
Meski road race kasta tertinggi belum dimulai dan
motor-motor balap masih disimpan di garasi
masing-masing tim, tapi untuk tim dan pebalap
sudah fix dan diyakini tahun 2015 mereka itu yang
akan bertanding memperebutkan tempat-tempat
bergengsi. Setidaknya tentu melihat realitas yang
ada dari masing-masing tim atau pabrikan yang
turut serta. Pebalap favoritpun tetap ada pada The
Fantastic Four yaitu Marc Marquez, Valentino
Rossi, Dani Pedrosa dan Jorge Lorenzo. Tapi untuk
tahun ini bisa diasumsikan motoGP lebih akan
seru dibanding tahun sebelumnya, karena terjadi
pergeseran beberapa pebalap dan bergabungnya
beberapa nama di kejuaraan paling bergengsi
otomotif roda dua ini.
Contohnya adalah kehadiran pabrikan lawas yang
sempat absen di motoGP. Yaitu Suzuki dan Aprilia.
Dengan mengusung pebalap dari tim lain mereka
punya rencana jangka panjang yang cukup mantab
dan patut ditunggu kiprahnya. Kalaupun tertinggal-
pun, lebih karena memang raksasa-raksasa
motoGP bukanlah tim kacangan, tapi memang
benar-benar raksasa otomotif dunia, yaitu Honda
dan Yamaha. Tapi bagi kita yang penting adalah
seru dan motoGP ini layak untuk ditonton.
Btw,
Tabel diatas sebagaimana Schedule motoGP 2015
ini , juga akan nyobamoto pasang di sisi sidebar
seperti sebelumnya atau tampilan blog tahun 2014.
Sehingga mudah untuk sampean mencari atau
agar tidak terlewat jadwal balapan bila sempat
melihat sidebar blog ini.
Semoga bermanfaat dan yuk kita lihat motoGP dan
berharap lebih seru.
Kalaupun ada tanda tanya tentang motoGP di
Indonesia yang biasanya kita lihat melalui Trans7
adalah, siapa nih sponsor acara ini. Masih tetap
Yamaha Indonesia atau ada pabrikan lain?
Kalau pingin lebih lengkap, coba bayar tivi
berlangganan yang harganya saat ini relatif
terjangkau. Banyak informasi bisa kita saksikan
disana, motoGP yang satu paket itu sangat
lengkap ditayangkan, mulai moto3, moto2, motoGP
dan bahkan beberapa supporting race. Asik bukan?
Pict : from Google dan Ms. Excel 2007
Artikel Terkait
Marc Marquez Ingin Membalap Bersama
Casey Stoner
Bang Ipul IWB : Blogger Yang Semakin
Ngetop
Selain Rekor, “Gelar” Marc Marquez
Bertambah. Setelah Baby Alien Sekarang…
Tak Kapok, Marc Marquez Tarung Lagi
Dengan The Doctor Di Ranch Milik Rossi
Free Practice Misano Tidak Menggambarkan
Pabrikan Yang Sesungguhnya
Rekor Marc Marquez di Silverstone 2014
Tidak akan Terpecahkan, Setidaknya Lima
Tahun Kedepan
Marc Marquez Teruskan Tren Positif di Sirkuit
Silverstone Inggris
Ditinggalkan Bridgestone, Honda motoGP
Belum Tentu Dominan Seperti Saat Ini
Gila Benerrr…Rekor Miring 68ยบ Dari Marc
Marquez BroSSS…
Ikuti Jejak Rossi Depak Burgess, Pedrosa
Akan Tendang Chief Mechanic-nya?
POLITIK EKONOMI SOSIAL BUDAYA MILITER BUDAYA KESEHATAN SEJARAH OLAHRAGA BISNIS TEKNOLOGI PARIWISATA HUKUM AGAMA EDUKASI SASTRA NASIONAL INTERNASIONAL
Selasa, 31 Maret 2015
sukristiawan.com :perang diyaman antara sunni dengan syiaah atau kepentingan lain
Perang Yaman, Perseteruan Suni VS Syiah, Atau Faktor Lain?
OPINI | 30 March 2015 | 20:06 Dibaca: 771 Komentar: 22 8Timur tengah kembali memanas, apakah ini merupakan sekenario global yang menginginkan timur Tengah selalu mengalami tragedi kemanusiaan hebat sejak peritiwa perang 6 hari Arab Israel, perang Yom Kipuur, Perang teluk Invasi Irak ke Quwait, perang teluk Irak vs Iran, perang teluk Irak vs AS dan koalisinya dari sejumlah besar negara-negara barat.
Perang yang terjadi di timur Tengah sangat mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip hidup saling berdampingan secara damai. Rusaknya sisi kemanusiaan, kerugian ekonomi, politik, hukum apalagi HAM lebih banyak mendatangkan kemudaratan dari pada manfaatnya untuk dunia, khususnya untuk kepentingan negara-negara Arab yang note bene mayoritas muslim.
Tak terhitung kerugian yang diderita oleh negara Arab manapun jika ukuran materi akan disandingkan dengan dampak perang yang terjadi di Timur tengah. Pada akhir perang 6 hari, dunia Arab kehilangan Yerusalem Timur, Jalur Gaza, semenanjung Sinai, Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan.
Perang Yom Kipuur negara-negara Arablah yang pada akhirnya harus menelan pil pahit kekalahan total atas Israel, demikian juga perang perang lainnya, negara-negara Arab tinggal menyisakan gigit jari, jika tidak kehilangan wilayahnya yang semakin menyempit karena aneksasi Israel atas wilayah Arab Palestina, kerugian besar lainnya berupa kehancuran masif kekuatan militer dan peralatan tempur.
Belum lagi jumlah korban tewas dipihak Arab yang selalu jauh lebih besar dibandingkan korban yang dialami oleh Israel. Akibat perang itulah kini Palestina tinggal menyisakan 3 wilayah yang tidak seberapa secara keseluruhan kurang dari 550 km persegi yaitu Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem yang kini semakin sempit akibat diserobot untuk pemukiman Yahudi.
Akibat perang yang menyengsarakan bukan menjadi pelajaran penting bagi negara-negara Arab, yang selalu membawa kerugian materi dan non materi yang sangat besar, akan tetapi apa yang terjadi setelah perang Arab vs Israel apakah negara-negara Arab akan berhenti berperang? Ternyata tidak.
Setelah perang antara Arab dan Israel selesai, ternyata mereka masih harus berperang diantara bangsa mereka sendiri, saling menghancurkan terhadap negara tetangga dekatnya. Toleransi hidup berdampingan secara damai kiranya hanya bualan kosong yang sering dikumandankan oleh para pemuka agama Timur Tengah.
Perang Iran vs Irak misalnya, perang yang berlangsung dari tahun 1980-1988 itu menjadi yang terpanjang pada Abad 20. Yang menjadi akar utama konflik Iran dan Irak adalah ujung selatan Perairan Shatt al-Arab. Kedua negara berebut kawasan perairan yang sangat vital karena merupakan jalur penyuplaian strategis ke Barat.
Dalam perang tersebut dipercaya lebih dari satu juta tentara serta warga sipil Irak dan Iran tewas, dan lebih banyak lagi korban yang terluka dari kedua belah pihak selama pertempuran berlangsung.
Berikutnya adalah Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah perang delapan tahun dengan Iran. Pasca perang Irak-Iran, Irak sangat membutuhkan pemasukan ekonominya yang bangkrut akibat perang.
Sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas ladang minyak terbesar Rumeyla.
Invasi Irak kenegara terdekatnya Quwait ini akhirnya yang membuat marah negara-negara barat, seperti Amerika dan teman setianya Arab Saudi yang segera mengusir niat jahat Irak yang akan menganeksasi Quwait negara kaya minyak itu.
Tidak berhenti pada masalah invasi Irak ke Quwait, AS dengan sekutu baratnya mencari celah menguasai dominasi atas Timur Tengah, dengan meminta legalisasi PBB atas nama penjaga perdalaian dunia, untuk menghukum Saddam Hussein yang menyimpan senjata pemusnah masal
Sekitar setengah juta orang tewas di Irak akibat perang sejak invasi pasukan Amerika Serikat pada tahun 2003 hingga pertengahan 2011.Tim peneliti dar Amerika Serikat Kanada, dan Irak memperhitungkan jumlah korban jiwa dalam periode itu mencapai 461.000 orang.Perhitungan didasarkan survei secara acak atas 2.000 rumah tangga di 18 provinsi pada periode Mei hingga Juli 2011
Kini pintu perang Yaman dalam sekala yang luas dan masif tampaknya semakin terbuka lebar, setelah koalisi negara-negara Arab Sudan, Mesir, Maroko, Yordania, Kuwait, Bahrain, Qatar, UEA, Pakistan, yang di motori oleh Arab saudi melakukan operasi Badai untuk menghantam kekuatan gerilyawan HOUTHI yang didukung Iran.
Yang agak lebih aneh dalam hal ini adalah keikut sertaan Amerika Serikat dalam operasi Badai di Yaman dengan mengirimkan bantuan logistik tempur dan inteligen diterjunkan membantu pasukan Koalisi Arab Saudi dibawah komando Brigadir Jenderal Ahmed Asseri.
Apakah AS dan sekutu baratnya akan beralasan bahwa Gerilyawan Houthi menyimpan senjata pemusnah masal? Ketika alasan serupa dijadikan argumen ketika hendak memukul Irak? Tentunya tidak, dan mustahil.
Pertama, keikut sertaan tidak langsung Amerika Serikat dalam kancah pertempuran antar keluarga besar Timur Tengah ini sementara teramati adalah dalam batas-batas tertentu yakni perlindungan utama minyak dan kepentingan ekonomi AS dan sekutunya di Timur Tengah.
Kedua, secara umum kepentingan utama AS di kawasan ini yang terancam, yaitu kehadiran Rusia dan Keamanan Israel. Kepentingan kepentingan inilah yang memotivasi AS untuk menahan komunisme, menjaga akses minyak untuk AS dan menghambat perubahan politik kawasan tersebut.
Bahkan ketika perang dingin berakhir pun, kepentingan AS yang hakiki tersebut tetap tidak berubah. Yang berubah adalah ancaman terhadap kepentingan tersebut.
Sekarang dari motif Koalisi Negara-negara Timur Tengah, Arab, Sudan, Mesir, Maroko, Yordania, Kuwait, Bahrain, Qatar, UEA, Pakistan, yang di motori oleh Arab saudi juga bukan karena antara Sunni dan Syiah akan tetapi tidak jauh berbeda ketika Irak menyerang Quwait.
Motif utama bukan karena Sunni melawan Wahabi, demikian juga ketika Irak – Iran bukan karena Sunni – Syiah, melainkan karena kepentingan ekonomi dan posisi strategis penguasaan ladang-ladang minyak yang menjadi pemicu perang di Yaman.
Oleh sebab itu peta kekuatan sekarang menjadi lebih jelas dan simpel di satu sisi kekuatan koalisi Arab bersama Amerika Serikat menghadapi Pemberontak Houthi yang didukung Iran yang mendapat suport persenjataan dari Rusia. Kesimpulan dalam perang Yaman bukan perang Sunni-Syiah, atau Wahabi-Syiah, akan tetapi perang memperebutkan posisi strategis dan kekuasaan ekonomi.
Senin, 30 Maret 2015
sukristiawan.com:Inilah Bukti Kesesatan Syi'ah: Banyolan Syi'ah Imamiyah (33 Koleksi Dongeng & Lel...
Inilah Bukti Kesesatan Syi'ah: Banyolan Syi'ah Imamiyah (33 Koleksi Dongeng & Lel...: Penulis : Firanda Andirja Abidin, Lc, M.A. Penerbit : Nashirus Sunnah Harga : Rp 70.000,- Pemesanan SMS : 0878 8777 8027 Bukti autentik k...
Minggu, 22 Maret 2015
sukristiawan.com:MK menolak permohonan uji UU 13 thn 2003 Ketenagakerjaan oleh APINDO pasal 88&89
MK Menolak Permohonan Uji UU Ketenagakerjaan APINDO
Kamis, 19 Maret 2015
| 19:17 WIB
Cetak
Dibaca:
432
Mahkamah Konstitusi memutus menolak permohonan Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO) Surabaya, pemohon pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan, Kamis, (19/03).
Dalam sidang pengucapan putusan untuk perkara nomor 11/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat, Mahkamah dalam pertimbangannya memberikan penilaian terhadap permohonan pemohon yang mengatakan bahwa materi muatan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan sepanjang anak kalimat “dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”, dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam frasa “dengan memperhatikan”, telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terhadap dalil Pemohon, menurut Mahkamah adanya frasa \"dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi\" dalam Pasal 88 ayat (4) undang-undang tersebut adalah sebagai bentuk keseimbangan dalam penetapan upah minimum, dengan memperhatikan tingkat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Mahkamah menilai jika frasa tersebut dihilangkan maka dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan, dalam arti tidak adanya keseimbangan antara kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha.
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon bahwa rekomendasi dari Dewan Pengupahan seringkali diabaikan, Mahkamah berpendapat argumentasi Pemohon hanya berdasarkan kejadian yang terjadi di Provinsi Jawa Timur dan Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut telah terjadi secara umum di seluruh wilayah Indonesia. Mahkamah melihat, dalam menerapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), gubernur harus memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan. Unsur-unsur dari Dewan Pengupahan telah mencakup seluruh pemangku kebijakan (stakeholder), sebagaimana tercermin dalam komposisi keanggotaan Dewan Pengupahan yang meliputi unsur pengusaha, unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh, unsur Pemerintah, unsur perguruan tinggi dan pakar sehingga keputusan yang diambil telah mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Terhadap dalil Pemohon, yang mempersoalkan bahwa dalam praktiknya Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan juga telah membuka ruang untuk ditafsirkan dengan segala kemungkinan sehingga terjadi multitafsir serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, menurut Mahkamah ketentuan tersebut justru spesifik mengatur mengenai implementasi/penerapan ketentuan-ketentuan dan kebijakan tentang upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, telah nyata bahwa permohonan Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi norma Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
“Namun demikian, terlepas dari pertimbangan tersebut di atas, guna mencegah timbulnya penyalahgunaan dalam praktik, Mahkamah perlu mengingatkan bahwa seharusnya kebijakan gubernur dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab dengan cara demikian, kasus-kasus yang serupa dengan kasus yang dijadikan salah satu argumentasi dalam permohonan a quo dapat dicegah,” tegas Wakil Ketua MK, Anwar Usman yang membacakan bagian pertimbangan Mahkamah.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Anwar Usman. (Ilham)
Dalam sidang pengucapan putusan untuk perkara nomor 11/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat, Mahkamah dalam pertimbangannya memberikan penilaian terhadap permohonan pemohon yang mengatakan bahwa materi muatan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan sepanjang anak kalimat “dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”, dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam frasa “dengan memperhatikan”, telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terhadap dalil Pemohon, menurut Mahkamah adanya frasa \"dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi\" dalam Pasal 88 ayat (4) undang-undang tersebut adalah sebagai bentuk keseimbangan dalam penetapan upah minimum, dengan memperhatikan tingkat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Mahkamah menilai jika frasa tersebut dihilangkan maka dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan, dalam arti tidak adanya keseimbangan antara kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha.
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon bahwa rekomendasi dari Dewan Pengupahan seringkali diabaikan, Mahkamah berpendapat argumentasi Pemohon hanya berdasarkan kejadian yang terjadi di Provinsi Jawa Timur dan Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut telah terjadi secara umum di seluruh wilayah Indonesia. Mahkamah melihat, dalam menerapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), gubernur harus memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan. Unsur-unsur dari Dewan Pengupahan telah mencakup seluruh pemangku kebijakan (stakeholder), sebagaimana tercermin dalam komposisi keanggotaan Dewan Pengupahan yang meliputi unsur pengusaha, unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh, unsur Pemerintah, unsur perguruan tinggi dan pakar sehingga keputusan yang diambil telah mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Terhadap dalil Pemohon, yang mempersoalkan bahwa dalam praktiknya Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan juga telah membuka ruang untuk ditafsirkan dengan segala kemungkinan sehingga terjadi multitafsir serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, menurut Mahkamah ketentuan tersebut justru spesifik mengatur mengenai implementasi/penerapan ketentuan-ketentuan dan kebijakan tentang upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, telah nyata bahwa permohonan Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi norma Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
“Namun demikian, terlepas dari pertimbangan tersebut di atas, guna mencegah timbulnya penyalahgunaan dalam praktik, Mahkamah perlu mengingatkan bahwa seharusnya kebijakan gubernur dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab dengan cara demikian, kasus-kasus yang serupa dengan kasus yang dijadikan salah satu argumentasi dalam permohonan a quo dapat dicegah,” tegas Wakil Ketua MK, Anwar Usman yang membacakan bagian pertimbangan Mahkamah.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Anwar Usman. (Ilham)
Ada 0 Komentar Untuk Berita Ini
Kirim Komentar Anda
Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait Berita yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan Mahkamah Konstitusi dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.Komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Mahkamah Konstitusi Berhak memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
BERITA POPULER
.
Perkuat Kedudukan Hukum, Pemohon Uji KUHP Perbaiki Permohonan
- dibaca 326507 kali
.
Ormas Bebas Didirikan Tanpa Surat Keterangan Terdaftar
- dibaca 325906 kali
.
.
Saksi Sebut OJK Melindungi Masyarakat
- dibaca 325456 kali
.
BERITA SIDANG
.
Terdakwa Kasus Pencemaran Nama Baik Gugat KUHP
- 3
days ago
.
.
MK Menolak Permohonan Uji UU Ketenagakerjaan APINDO
- 3
days ago
BERITA NON SIDANG
.
Ketua MKRI Hadiri Peetemuan Biro MK se-Dunia di Venice
- 10
hours ago
.
.
MGMP PKn Balikpapan Kunjungi MK
- 1 week ago
.
Peserta Diklat Kepemimpinan Kemenag Kunjungi MK
- 1 week ago
BERITA MEDIA
.
.
.
PROFIL
PENDAFTARAN PERKARA
PERSIDANGAN
PUTUSAN
INFORMASI ADMINISTRASI
Sabtu, 14 Maret 2015
sukristiawan.com:sejarah pahit indonesia yg disembunyikan olek kepentingan amerika
Sejarah Pahit Indonesia Yang Disembunyikan Buku-Buku Pelajaran Sejarah
Diposkan oleh Admin di 13.01
AGRESI MILITER BELANDA S/D G30S (1945-1967)
Tidak banyak literatur yang mengulas tentang partisipasi Amerika Serikat pada salah satu masa paling kelam dalam sejarah Indonesia, yakni pada medio 1945-1949 saat Agresi Belanda. Pentingnya peran Paman Sam dalam terselenggaranya invasi militer yang dilakukan kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak disertakan dalam jurnal dan tesis sejarawan, salah satunya H.W. van den Doel, sejarawan Belanda mumpuni yang menyertakan kebijakan luar negeri AS sebagai salah satu variabel signifikan dalam dinamika invasi militer Belanda di tanah air.
Dukungan Whasington Untuk Kolonialisme Belanda
Dalam studinya, H.W. van den Doel juga menyebutkan bahwa dukungan Washington terhadap praktek kolonialisme Belanda di kepulauan Indonesia telah jauh dicanangkan dari awal tahun 1920, dan masih belum berubah pada pasca PDII, tak tergoyahkan oleh sentimen anti-kolonialisme yang mulai menjadi wacana mengemuka di peradaban barat. Prinsip paling fundamental dari kebijakan luar negeri Amerika yang lebih tinggi dari ‘Sepuluh Perintah Tuhan’, adalah perjuangan suci untuk melindungi kepentingan AS dan kroni-kroninya di muka bumi. Adalah absurd untuk mengasumsikan proses kolonialisasi Belanda di Indonesia dapat berlangsung dengan lancar apabila bertolak-belakang dengan visi geopolitik Washington. Dengan kata lain, kolonialisme Belanda pra dan pasca kemerdekaan di tanah air sudah sejalan dan harmoni dengan kebijakan luar negeri Paman Sam.
Situasi pasca PDII, memasuki era Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet adalah faktor utama yang melebarkan jurang perbedaan visi kebijakan luar negeri Amerika dengan gerakan anti-kolonial di Asia Tenggara. Setelah Presiden Sukarno memohonkan dukungan ke Washington pada Oktober 1945, Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia bertemu dengan Harry Truman pada bulan Desember tahun yang sama untuk kembali memohon bantuan.
Keadaan yang belum disadari para pemimpin muda Republik Indonesia pada saat itu adalah situasi politik di arena Eropa pasca PDII yang mulai direpotkan oleh kehadiran musuh baru, yakni partai-partai komunis yang mulai merebak di Prancis, Itali, Inggris dan Belanda, yang mengancam kepentingan para pemodal dan pertumbuhan kapitalisme di Eropa. Karena ini, kebijakan luar negeri administrasi Truman tidak mungkin mendukung gerakan nasionalis anti-kolonialisme di wilayah koloni Eropa, yang beresiko untuk memiliki dampak langsung terhadap dinamika politik dan ekonomi di Eropa. Analisa geopolitik dari Departemen Perencanaan Kebijakan AS saat itu menilai, bahwa lebih ‘aman’ untuk mendukung kolonialis Belanda daripada mendukung revolusi politik dan gerakan nasionalis anti-kolonialisme yang sulit ditebak arahnya (1). Paman Sam memutuskan untuk mendukung penuh agresi militer sekutunya Belanda meskipun telah mengumumkan posisi netral dalam konflik tersebut.
Usaha Pemulihan Ekonomi Eropa Setelah PD II
Belanda sendiri, sebagai sekutu yang telah membuktikan kesetiannya kepada Amerika selama PDII, diberikan dukungan penuh atas legitimasi kolonialisasi di Hindia Belanda(2), melalui bantuan finansial Marshall Plan (semacam IMF untuk negara-negara Eropa yang terkena imbas PDII), salah-satu butirnya menyebutkan agar Belanda menggunakan pinjaman Marshall Plan untuk membangun kembali perdagangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Hindia Belanda (Indonesia). Indonesia menjadi satu-satunya negara koloni Eropa yang tercantum sebagai butir dalam perjanjian bantuan Marshall Plan, dan dengan ini Belanda menjadi satu-satunya negara yang mendapat dukungan tertulis dari Amerika sehubungan dengan klaim atas koloninya di wilayah Asia Afrika. Adalah penyertaan Indonesia dalam Marshall Plan ini yang melegitimasi Den Haag untuk melakukan embargo ekonomi terhadap negara kedaulatan Republik Indonesia.
Amerika Mempersenjatai Belanda Untuk Agresi militer
Washington juga memberikan restu kepada militer Belanda untuk menggunakan peralatan tempur AS dalam status pinjaman, yang menambah secara signifikan ranpur Belanda pada agresi militer pasca kemerdekaan. Pada musim gugur 1945, Sekretaris Negara AS George C. Marshall memerintahkan untuk mencabut seluruh identitas militer AS yang menempel pada peralatan dan kendaraan tempur (termasuk pesawat P-47 Thunderbolt, tank Sherman dan Stuart) yang akan digunakan oleh pasukan SEAC (South East Asia Command) Lord Louis Mountbatten untuk membantu Belanda membombardir Surabaya pada 10 November 1945. Pada 30 November 1946, pemerintah AS secara gratis meminjamkan kepada militer Belanda (melalui melalui program pinjaman ranpur) 118 pesawat terdiri dari pembom B-25, pesawat tempur P-40 dan P-51 Mustang, 45 unit tank Stuart, 459 jip militer, 170 unit artileri, dan persenjataan infantri dalam jumlah yang sangat besar untuk digunakan untuk ‘menjinakan’ Hindia Belanda. Truk pengangkut militer dalam jumlah besar, dan logistik dari arena perang pasifik pun diserahkan oleh Paman Sam kepada Belanda. Militer Belanda juga diberikan fasilitas untuk melakukan pembelian 65.000 ton logistik militer non-amunisi (3).
Amerika juga memberikan restu kepada Pemerintah Belanda untuk mengalokasikan pinjaman sebesar US$ 26.000.000 yang diberikan oleh Dinas Administrasi Aset Perang AS (WAA) pada Oktober 1947 untuk membeli senjata dan amunisi demi mendukung kelangsungan kampanye militernya di Hindia Belanda. Sampai Desember 1948, Amerika masih memboikot keanggotaan Republik Indonesia dalam Komisi Ekonomi PBB untuk Asia Timur Jauh (ECAFE), hal yang kemudian menjadi “lampu hijau” bagi Belanda untuk melancarkan Agresi Militer Jilid II dengan melakukan serangan kejutan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 (4). Boleh dibilang, agresi militer Belanda pasca kemerdekaan tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan langsung dan restu dari Washington (5).
Pada 17 Desember 1948, Direktur dari Departemen Perencanaan Kebijakan George F. Kennan berkata, “Salah satu variabel krusial dalam perjuangan Washington melawan Kremlin adalah masalah Indonesia.” Kennan memberikan masukan kepada Sekretaris Negara George C. Marshall, bahwa salah satu elemen vital bagi upaya pelestarian kepentingan AS di Asia dalam situasi Perang Dingin, adalah penciptaan “Indonesia yang ramah kepada Amerika” secepat mungkin. Siapapun yang menguasai kepulauan Indonesia, apakah itu pemerintahan kolonial Belanda, atau pemerintah Republik Indonesia, tidak boleh dibiarkan untuk membuka pintunya kepada komunisme (6).
Kiprah Komunis Yang Semakin Menguat
Eskalasi situasi politik antara Washington dan Kremlin mulai memasuki babak baru sejak akhir tahun 1947 dengan tingkat ketegangan yang berpotensi berkembang dari Perang Dingin menjadi Perang Panas. Namun baru pada pertengahan tahun 1949, Washington dipaksa untuk meninjau ulang seluruh kebijakan luar negeri termasuk masalah kolonialisme di Indonesia dan Vietnam, dipicu oleh keberhasilan Uni Soviet dalam uji coba peledakan bom atom pertamanya. Kemenangan revolusi komunis Mao Zedong yang mengalahkan pasukan nasonalis Chiang Kai Sek makin membuat Washington seperti kebakaran jenggot, yang berpuncak pada perumusan ulang seluruh kebijakan luar negeri AS di Asia, dan penerbitan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.68 (NSC 68), yang diciptakan untuk menselaraskan sikap PBB menyesuaikan dengan strategi global baru dari Washington (7).
Namun yang tak diduga memiliki imbas positif dan berdampak langsung pada perjuangan anti-kolonialisme, adalah kegagalan Belanda menaklukan Indonesia pada agresi militer jilid II-nya yang dieksekusi dengan kekuatan penuh. Kegagalan serangan militer Belanda ke pusat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta ini, membuat Washington mulai hilang kesabaran, dan kehilangan kepercayaan pada kemampuan Belanda untuk menyelesaikan ‘pekerjaan’nya di Indonesia. Para analis dan pengambil keputusan di Washington mulai berhitung dan mengkaji ulang dukungan Paman Sam pada kampanye militer Belanda yang mahal di Timur Jauh.
Momen yang juga menjadi titik balik krusial yang mempengaruhi dukungan Washington kepada agresi militer Belanda yang dinilai bertele-tele, adalah kejadian pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di kota Madiun pada 18 September 1948. Soekarno yang dengan segera mengutuk percobaan coup d’รฉtat (kudeta) tersebut, serta merta memberikan pernyataan yang sangat keras melalui radio, “Bangsa Indonesia harus memilih! Saya, atau Musso??” (pemimpin pemberontakan PKI di Madiun). Di mata para pengambil kebijakan di Washington, ini adalah suatu bentuk demonstrasi keberpihakan dari para pemimpin Republik Indonesia, dan berpotensi merobah orientasi kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Belanda-Indonesia (8). Di pihak lain, rengekan Den Haag yang terus-menerus meminta dukungan tanpa disertai progres yang signifikan mulai menyebalkan terdengar di telinga.
Amerika Serikat Melakukan "Penghianatan" Pada Belanda
Kegagalan agresi militer Belanda jilid II, dan posisi Soekarno terhadap komunisme, sudah cukup bagi George Kennan dan Departemen Perencanaan Kebijakan AS untuk memberikan penilaian akhir yang akan mengakhiri keruwetan di Hindia Belanda, yakni: adalah lebih murah dan ekonomis bagi Amerika untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, daripada memberikan dukungan finansial dan ranpur kepada militer Belanda yang ‘memble’ (9). Dan konsekuensi dari keputusan ini adalah perubahan sikap Amerika yang drastis di forum Dewan Keamanan PBB pada 27 Desember 1949, ketika delegasi Amerika dengan terbuka meminta Belanda untuk menyerahkan kepulauan Indonesia kepada pemerintahan Soekarno (10). Kennan yakin bahwa Perang Dingin akan lebih mudah dimenangkan menggunakan senjata ekonomi dari pada militer. Maka, konflik yang berkepanjangan akan mengganggu hegemoni Kubu Barat di wilayah Timur Jauh, dan proses perdamaian harus segera di-instalasi untuk segera menciptakan “Indonesia yang ramah kepada Amerika”, dan memulai proses eksploitasi sumber daya alam dan manusia (11).
Gelombang demi gelombang kritik, protes, dan ratapan dilayangkan oleh Belanda dalam kefrustrasian oleh pengkhianatan sang ‘abang’, namun kesempatan tidak akan diberikan Amerika untuk ketiga kalinya. Keputusan bulat Paman Sam dibuktikan ketika Duta Besar Amerika untuk PBB Phillip Jessup bersama delegasi AS memberikan suara untuk sanksi kepada Belanda oleh Dewan Keamanan PBB (12). Pemberian sanksi ini telah membuat Belanda menjadi lelucon di Komite Bangsa-Bangsa Dunia di PBB. Bahkan budayawan Belanda Cees Fasseur mengilustrasikan upaya militer untuk memperpanjang gelar ‘induk semang’ di Hindia Belanda sebagai suatu dagelan, dan hanya Amerika yang bisa menarik mereka keluar dari tragedi yang memalukan ini (13).
Non-Blok Mengecewakan Amerika
Namun apa daya, dukungan Paman Sam kepada kemerdekaan Indonesia dengan harapan dapat mendirikan pos kekuatan baru yang akan membantu meredam gelombang komunisme di Asia, punah sudah dengan kebijakan luar negeri revolusioner ‘non blok’ Soekarno-Hatta yang mengejar posisi netral di peta politik dunia. Sedikit mereka sadari, bahwa fundamen prinsip dari Washington adalah “Siapapun yang tidak bersama kita, berarti mereka lawan kita”. Kekecewaan semakin memuncak ketika Soekarno menerbitkan kebijakan yang merangkul komunisme pada September 1950, dengan alasan harmoni sosial dan stabilitas politik. Diperparah dengan semakin besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia di kancah politik yang dibiarkan oleh Soekarno. Ini diterjemahkan sebagai tindak pengkhianatan oleh Washington, dan memposisikan Indonesia sebagai target dari kebijakan politik agresif (14).
Black Ops Cikal Bakal Gerakan G30S PKI
Pada sebuah dokumentasi yang berjudul FRUS (Foreign Relations of the United States) Jilid ke-26 yang diterbitkan pada Juli 2001, sebuah pembahasan mendetail mengenai hubungan politik Amerika dengan Indonesia, Malaysia, Singapur dan Filipina pada medio tahun 1964-1968. Administrasi Lyndon Johnson memberikan perintah kepada CIA untuk melancarkan operasi rahasia dengan kode sandi ‘Black Ops’, yang juga dikenal dengan sebutan ‘Operasi Hitam’. Black Ops adalah Joint Operation (operasi gabungan) antara Pentagon dan CIA, yang memiliki tugas paling vital dan strategis dalam hierarki intelijen di Amerika, dengan misi-misi yang diembankan antara lain: pembunuhan kepala negara, mengorkestrasi kudeta, mengatur pemilihan umum, propaganda dan perang intelijen, semua dengan satu tujuan: yakni untuk pelestarian kepentingan Amerika dan kroni-kroninya di dalam maupun luar negeri.
Tugas yang diemban Black Ops kali ini adalah untuk menggulingkan Soekarno melalui kudeta militer yang dieksekusi pada 30 September 1965 yang diberi kode 'GESTAPU' (Gerakan September Tiga Puluh). Washington disebutkan melakukan transfer dana sebesar 1.100.000 dollar Amerika ke beberapa petinggi militer TNI AD untuk mengkoordinir operasi paramiliter melakukan eksekusi berdarah, yang belakangan disebut sebagai “pasukan penjagal” oleh surat kabar International Herald Tribune (15). Pada 2 Desember 1965, Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green memberikan daftar seluruh anggota aktif PKI yang dikompilasi oleh CIA kepada koordinator keamanan darurat militer. Alhasil, 100.000 sampai 1.000.000 orang diperkirakan tewas oleh kudeta berdarah yang menjelma menjadi propaganda rezim Orde Baru untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Pada 15 April 1966, sebuah kawat diplomatik Duta Besar Marshall ke Washington, “keterlibatan kita sangatlah minimal sebagaimana layaknya operasi Black Ops yang sudah-sudah.”
Dimulainya Cengkraman Amerika Atas Kekayaan Pertiwi
Agenda pertama yang dilakukan oleh Soeharto sebagai PJS Presiden Republik Indonesia adalah menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 yang secara praktis menggelar karpet merah dengan memberikan kuasa pertambangan kepada Freeport yang akan mengangkut kandungan emas terbesar di dunia keluar dari Indonesia menyisakan sedikit saja bagi anak bangsa, perusahaan minyak Mobil Oil, Exxon dan Chevron (dulu masih bernama Stanvac dan Vico yang merupakan anak-anak perusahaan Standard Oil milik Rockefeller) untuk menguasai blok-blok minyak Cepu, Natuna, Aceh, Papua (secara praktis seluruh ladang minyak di tanah air), dengan kontrak mati yang selalu diperbaharui setiap tahun. Agenda politik dari kedatangan Obama ke tanah air baru-baru ini adalah untuk menekan administrasi SBY untuk melancarkan re-negosiasi di Blok minyak Cepu yang sempat alot karena kehadiran rival RRC, dan oleh beberapa nasionalis tanah air yang tobat nasuha.
Pustaka
"Foreign Relations of the United States (Sutan Sjahrir to Harry Truman 1945) FRUS volume 6; "Shared Hopes - Separate Fears. 50 Years of US - Indonesian Relations" (Boulder CO), Paul F. Gardner
"Robert Lovett to Frank Graham 31 December 1947" FRUS volume 6
"Army Surplus Property Disposal" (Lacey to Graham) 13 October 1947, RG59, PSA, Box No.4,NARA; "American Military Assistance to the Netherlands during Indonesian Struggle for Independence 1945-1949" (Mededelingen van de Sectie Militaire Geschiedenis) volume 8, Gerlof D. Homan
"Australia and Indonesia's Independence" volume 2; "The Renville Agreement Documents 1948" (Canberra), Phillip Dorling and David Lee
"Marshall Aid as a Catalyst in the Decolonization of Indonesia 1947-1949"; "Journal of Southeast Asian Studies No.2", Pierre van der Eng; "The United States and the Anti-Colonial Revolutions in Southeast Asia", George McTuman Kahinl "The Origins of the Cold War in Asia" (New York), Yonosuke Nagai and Akira Iriye
"Oral Communication from Kennan to Marshall and Lovett on 17 December 1948" (Records of the Policy Planning Staff 1947-1953), labelled "Indonesia" RG59, Box no.18, NARA
"The Cold War on the Periphery. The United States, India and Pakistan" (New York), Robert J. McMahon
"American Diplomacy", Schulzinger
"Subversion as Foreign Policy. The Secret Eisenhower, and Dulles Debacle in Indonesia" (New York) Audrey R. Kahin
"The United States and the Struggle for Southeast Asia 1945-1975" (Westport, London), Alan J. Levine
"Den Haag Antwoordt Niet", Van Vredenburch
"Acheson, His Advisors, and China 1949-1950", Cohen
"Afscheid van Indie: de val van het Nederlandse imperium in Azie" (Amsterdam), H.W. van den Doel
"US Tries to Call Black Account on Indonesian Killings" (International Herald Tribune 30 July 2001), George Lardner Jr.; "Role of CIA in the coup of 30 September 1965" FRUS volume 26 (2001)
http://www.indowebster.web.id/archive/index.php/t-173049.html?s=0cb4db167b8a408d747dcbb44e2c28b1
* rangkuman dari buku "American Visions of the Netherlands East Indies (Indonesia): US Foreign Policy and Indonesian Nationalism 1920-1949" (Amsterdam Univ.Press), Frances Gouda
Diposkan oleh Admin di 13.01
AGRESI MILITER BELANDA S/D G30S (1945-1967)
Tidak banyak literatur yang mengulas tentang partisipasi Amerika Serikat pada salah satu masa paling kelam dalam sejarah Indonesia, yakni pada medio 1945-1949 saat Agresi Belanda. Pentingnya peran Paman Sam dalam terselenggaranya invasi militer yang dilakukan kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak disertakan dalam jurnal dan tesis sejarawan, salah satunya H.W. van den Doel, sejarawan Belanda mumpuni yang menyertakan kebijakan luar negeri AS sebagai salah satu variabel signifikan dalam dinamika invasi militer Belanda di tanah air.
Dukungan Whasington Untuk Kolonialisme Belanda
Dalam studinya, H.W. van den Doel juga menyebutkan bahwa dukungan Washington terhadap praktek kolonialisme Belanda di kepulauan Indonesia telah jauh dicanangkan dari awal tahun 1920, dan masih belum berubah pada pasca PDII, tak tergoyahkan oleh sentimen anti-kolonialisme yang mulai menjadi wacana mengemuka di peradaban barat. Prinsip paling fundamental dari kebijakan luar negeri Amerika yang lebih tinggi dari ‘Sepuluh Perintah Tuhan’, adalah perjuangan suci untuk melindungi kepentingan AS dan kroni-kroninya di muka bumi. Adalah absurd untuk mengasumsikan proses kolonialisasi Belanda di Indonesia dapat berlangsung dengan lancar apabila bertolak-belakang dengan visi geopolitik Washington. Dengan kata lain, kolonialisme Belanda pra dan pasca kemerdekaan di tanah air sudah sejalan dan harmoni dengan kebijakan luar negeri Paman Sam.
Situasi pasca PDII, memasuki era Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet adalah faktor utama yang melebarkan jurang perbedaan visi kebijakan luar negeri Amerika dengan gerakan anti-kolonial di Asia Tenggara. Setelah Presiden Sukarno memohonkan dukungan ke Washington pada Oktober 1945, Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia bertemu dengan Harry Truman pada bulan Desember tahun yang sama untuk kembali memohon bantuan.
Keadaan yang belum disadari para pemimpin muda Republik Indonesia pada saat itu adalah situasi politik di arena Eropa pasca PDII yang mulai direpotkan oleh kehadiran musuh baru, yakni partai-partai komunis yang mulai merebak di Prancis, Itali, Inggris dan Belanda, yang mengancam kepentingan para pemodal dan pertumbuhan kapitalisme di Eropa. Karena ini, kebijakan luar negeri administrasi Truman tidak mungkin mendukung gerakan nasionalis anti-kolonialisme di wilayah koloni Eropa, yang beresiko untuk memiliki dampak langsung terhadap dinamika politik dan ekonomi di Eropa. Analisa geopolitik dari Departemen Perencanaan Kebijakan AS saat itu menilai, bahwa lebih ‘aman’ untuk mendukung kolonialis Belanda daripada mendukung revolusi politik dan gerakan nasionalis anti-kolonialisme yang sulit ditebak arahnya (1). Paman Sam memutuskan untuk mendukung penuh agresi militer sekutunya Belanda meskipun telah mengumumkan posisi netral dalam konflik tersebut.
Usaha Pemulihan Ekonomi Eropa Setelah PD II
Belanda sendiri, sebagai sekutu yang telah membuktikan kesetiannya kepada Amerika selama PDII, diberikan dukungan penuh atas legitimasi kolonialisasi di Hindia Belanda(2), melalui bantuan finansial Marshall Plan (semacam IMF untuk negara-negara Eropa yang terkena imbas PDII), salah-satu butirnya menyebutkan agar Belanda menggunakan pinjaman Marshall Plan untuk membangun kembali perdagangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Hindia Belanda (Indonesia). Indonesia menjadi satu-satunya negara koloni Eropa yang tercantum sebagai butir dalam perjanjian bantuan Marshall Plan, dan dengan ini Belanda menjadi satu-satunya negara yang mendapat dukungan tertulis dari Amerika sehubungan dengan klaim atas koloninya di wilayah Asia Afrika. Adalah penyertaan Indonesia dalam Marshall Plan ini yang melegitimasi Den Haag untuk melakukan embargo ekonomi terhadap negara kedaulatan Republik Indonesia.
Amerika Mempersenjatai Belanda Untuk Agresi militer
Washington juga memberikan restu kepada militer Belanda untuk menggunakan peralatan tempur AS dalam status pinjaman, yang menambah secara signifikan ranpur Belanda pada agresi militer pasca kemerdekaan. Pada musim gugur 1945, Sekretaris Negara AS George C. Marshall memerintahkan untuk mencabut seluruh identitas militer AS yang menempel pada peralatan dan kendaraan tempur (termasuk pesawat P-47 Thunderbolt, tank Sherman dan Stuart) yang akan digunakan oleh pasukan SEAC (South East Asia Command) Lord Louis Mountbatten untuk membantu Belanda membombardir Surabaya pada 10 November 1945. Pada 30 November 1946, pemerintah AS secara gratis meminjamkan kepada militer Belanda (melalui melalui program pinjaman ranpur) 118 pesawat terdiri dari pembom B-25, pesawat tempur P-40 dan P-51 Mustang, 45 unit tank Stuart, 459 jip militer, 170 unit artileri, dan persenjataan infantri dalam jumlah yang sangat besar untuk digunakan untuk ‘menjinakan’ Hindia Belanda. Truk pengangkut militer dalam jumlah besar, dan logistik dari arena perang pasifik pun diserahkan oleh Paman Sam kepada Belanda. Militer Belanda juga diberikan fasilitas untuk melakukan pembelian 65.000 ton logistik militer non-amunisi (3).
Amerika juga memberikan restu kepada Pemerintah Belanda untuk mengalokasikan pinjaman sebesar US$ 26.000.000 yang diberikan oleh Dinas Administrasi Aset Perang AS (WAA) pada Oktober 1947 untuk membeli senjata dan amunisi demi mendukung kelangsungan kampanye militernya di Hindia Belanda. Sampai Desember 1948, Amerika masih memboikot keanggotaan Republik Indonesia dalam Komisi Ekonomi PBB untuk Asia Timur Jauh (ECAFE), hal yang kemudian menjadi “lampu hijau” bagi Belanda untuk melancarkan Agresi Militer Jilid II dengan melakukan serangan kejutan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 (4). Boleh dibilang, agresi militer Belanda pasca kemerdekaan tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan langsung dan restu dari Washington (5).
Pada 17 Desember 1948, Direktur dari Departemen Perencanaan Kebijakan George F. Kennan berkata, “Salah satu variabel krusial dalam perjuangan Washington melawan Kremlin adalah masalah Indonesia.” Kennan memberikan masukan kepada Sekretaris Negara George C. Marshall, bahwa salah satu elemen vital bagi upaya pelestarian kepentingan AS di Asia dalam situasi Perang Dingin, adalah penciptaan “Indonesia yang ramah kepada Amerika” secepat mungkin. Siapapun yang menguasai kepulauan Indonesia, apakah itu pemerintahan kolonial Belanda, atau pemerintah Republik Indonesia, tidak boleh dibiarkan untuk membuka pintunya kepada komunisme (6).
Kiprah Komunis Yang Semakin Menguat
Eskalasi situasi politik antara Washington dan Kremlin mulai memasuki babak baru sejak akhir tahun 1947 dengan tingkat ketegangan yang berpotensi berkembang dari Perang Dingin menjadi Perang Panas. Namun baru pada pertengahan tahun 1949, Washington dipaksa untuk meninjau ulang seluruh kebijakan luar negeri termasuk masalah kolonialisme di Indonesia dan Vietnam, dipicu oleh keberhasilan Uni Soviet dalam uji coba peledakan bom atom pertamanya. Kemenangan revolusi komunis Mao Zedong yang mengalahkan pasukan nasonalis Chiang Kai Sek makin membuat Washington seperti kebakaran jenggot, yang berpuncak pada perumusan ulang seluruh kebijakan luar negeri AS di Asia, dan penerbitan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.68 (NSC 68), yang diciptakan untuk menselaraskan sikap PBB menyesuaikan dengan strategi global baru dari Washington (7).
Namun yang tak diduga memiliki imbas positif dan berdampak langsung pada perjuangan anti-kolonialisme, adalah kegagalan Belanda menaklukan Indonesia pada agresi militer jilid II-nya yang dieksekusi dengan kekuatan penuh. Kegagalan serangan militer Belanda ke pusat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta ini, membuat Washington mulai hilang kesabaran, dan kehilangan kepercayaan pada kemampuan Belanda untuk menyelesaikan ‘pekerjaan’nya di Indonesia. Para analis dan pengambil keputusan di Washington mulai berhitung dan mengkaji ulang dukungan Paman Sam pada kampanye militer Belanda yang mahal di Timur Jauh.
Momen yang juga menjadi titik balik krusial yang mempengaruhi dukungan Washington kepada agresi militer Belanda yang dinilai bertele-tele, adalah kejadian pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di kota Madiun pada 18 September 1948. Soekarno yang dengan segera mengutuk percobaan coup d’รฉtat (kudeta) tersebut, serta merta memberikan pernyataan yang sangat keras melalui radio, “Bangsa Indonesia harus memilih! Saya, atau Musso??” (pemimpin pemberontakan PKI di Madiun). Di mata para pengambil kebijakan di Washington, ini adalah suatu bentuk demonstrasi keberpihakan dari para pemimpin Republik Indonesia, dan berpotensi merobah orientasi kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Belanda-Indonesia (8). Di pihak lain, rengekan Den Haag yang terus-menerus meminta dukungan tanpa disertai progres yang signifikan mulai menyebalkan terdengar di telinga.
Amerika Serikat Melakukan "Penghianatan" Pada Belanda
Kegagalan agresi militer Belanda jilid II, dan posisi Soekarno terhadap komunisme, sudah cukup bagi George Kennan dan Departemen Perencanaan Kebijakan AS untuk memberikan penilaian akhir yang akan mengakhiri keruwetan di Hindia Belanda, yakni: adalah lebih murah dan ekonomis bagi Amerika untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, daripada memberikan dukungan finansial dan ranpur kepada militer Belanda yang ‘memble’ (9). Dan konsekuensi dari keputusan ini adalah perubahan sikap Amerika yang drastis di forum Dewan Keamanan PBB pada 27 Desember 1949, ketika delegasi Amerika dengan terbuka meminta Belanda untuk menyerahkan kepulauan Indonesia kepada pemerintahan Soekarno (10). Kennan yakin bahwa Perang Dingin akan lebih mudah dimenangkan menggunakan senjata ekonomi dari pada militer. Maka, konflik yang berkepanjangan akan mengganggu hegemoni Kubu Barat di wilayah Timur Jauh, dan proses perdamaian harus segera di-instalasi untuk segera menciptakan “Indonesia yang ramah kepada Amerika”, dan memulai proses eksploitasi sumber daya alam dan manusia (11).
Gelombang demi gelombang kritik, protes, dan ratapan dilayangkan oleh Belanda dalam kefrustrasian oleh pengkhianatan sang ‘abang’, namun kesempatan tidak akan diberikan Amerika untuk ketiga kalinya. Keputusan bulat Paman Sam dibuktikan ketika Duta Besar Amerika untuk PBB Phillip Jessup bersama delegasi AS memberikan suara untuk sanksi kepada Belanda oleh Dewan Keamanan PBB (12). Pemberian sanksi ini telah membuat Belanda menjadi lelucon di Komite Bangsa-Bangsa Dunia di PBB. Bahkan budayawan Belanda Cees Fasseur mengilustrasikan upaya militer untuk memperpanjang gelar ‘induk semang’ di Hindia Belanda sebagai suatu dagelan, dan hanya Amerika yang bisa menarik mereka keluar dari tragedi yang memalukan ini (13).
Non-Blok Mengecewakan Amerika
Namun apa daya, dukungan Paman Sam kepada kemerdekaan Indonesia dengan harapan dapat mendirikan pos kekuatan baru yang akan membantu meredam gelombang komunisme di Asia, punah sudah dengan kebijakan luar negeri revolusioner ‘non blok’ Soekarno-Hatta yang mengejar posisi netral di peta politik dunia. Sedikit mereka sadari, bahwa fundamen prinsip dari Washington adalah “Siapapun yang tidak bersama kita, berarti mereka lawan kita”. Kekecewaan semakin memuncak ketika Soekarno menerbitkan kebijakan yang merangkul komunisme pada September 1950, dengan alasan harmoni sosial dan stabilitas politik. Diperparah dengan semakin besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia di kancah politik yang dibiarkan oleh Soekarno. Ini diterjemahkan sebagai tindak pengkhianatan oleh Washington, dan memposisikan Indonesia sebagai target dari kebijakan politik agresif (14).
Black Ops Cikal Bakal Gerakan G30S PKI
Pada sebuah dokumentasi yang berjudul FRUS (Foreign Relations of the United States) Jilid ke-26 yang diterbitkan pada Juli 2001, sebuah pembahasan mendetail mengenai hubungan politik Amerika dengan Indonesia, Malaysia, Singapur dan Filipina pada medio tahun 1964-1968. Administrasi Lyndon Johnson memberikan perintah kepada CIA untuk melancarkan operasi rahasia dengan kode sandi ‘Black Ops’, yang juga dikenal dengan sebutan ‘Operasi Hitam’. Black Ops adalah Joint Operation (operasi gabungan) antara Pentagon dan CIA, yang memiliki tugas paling vital dan strategis dalam hierarki intelijen di Amerika, dengan misi-misi yang diembankan antara lain: pembunuhan kepala negara, mengorkestrasi kudeta, mengatur pemilihan umum, propaganda dan perang intelijen, semua dengan satu tujuan: yakni untuk pelestarian kepentingan Amerika dan kroni-kroninya di dalam maupun luar negeri.
Tugas yang diemban Black Ops kali ini adalah untuk menggulingkan Soekarno melalui kudeta militer yang dieksekusi pada 30 September 1965 yang diberi kode 'GESTAPU' (Gerakan September Tiga Puluh). Washington disebutkan melakukan transfer dana sebesar 1.100.000 dollar Amerika ke beberapa petinggi militer TNI AD untuk mengkoordinir operasi paramiliter melakukan eksekusi berdarah, yang belakangan disebut sebagai “pasukan penjagal” oleh surat kabar International Herald Tribune (15). Pada 2 Desember 1965, Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green memberikan daftar seluruh anggota aktif PKI yang dikompilasi oleh CIA kepada koordinator keamanan darurat militer. Alhasil, 100.000 sampai 1.000.000 orang diperkirakan tewas oleh kudeta berdarah yang menjelma menjadi propaganda rezim Orde Baru untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Pada 15 April 1966, sebuah kawat diplomatik Duta Besar Marshall ke Washington, “keterlibatan kita sangatlah minimal sebagaimana layaknya operasi Black Ops yang sudah-sudah.”
Dimulainya Cengkraman Amerika Atas Kekayaan Pertiwi
Agenda pertama yang dilakukan oleh Soeharto sebagai PJS Presiden Republik Indonesia adalah menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 yang secara praktis menggelar karpet merah dengan memberikan kuasa pertambangan kepada Freeport yang akan mengangkut kandungan emas terbesar di dunia keluar dari Indonesia menyisakan sedikit saja bagi anak bangsa, perusahaan minyak Mobil Oil, Exxon dan Chevron (dulu masih bernama Stanvac dan Vico yang merupakan anak-anak perusahaan Standard Oil milik Rockefeller) untuk menguasai blok-blok minyak Cepu, Natuna, Aceh, Papua (secara praktis seluruh ladang minyak di tanah air), dengan kontrak mati yang selalu diperbaharui setiap tahun. Agenda politik dari kedatangan Obama ke tanah air baru-baru ini adalah untuk menekan administrasi SBY untuk melancarkan re-negosiasi di Blok minyak Cepu yang sempat alot karena kehadiran rival RRC, dan oleh beberapa nasionalis tanah air yang tobat nasuha.
Pustaka
"Foreign Relations of the United States (Sutan Sjahrir to Harry Truman 1945) FRUS volume 6; "Shared Hopes - Separate Fears. 50 Years of US - Indonesian Relations" (Boulder CO), Paul F. Gardner
"Robert Lovett to Frank Graham 31 December 1947" FRUS volume 6
"Army Surplus Property Disposal" (Lacey to Graham) 13 October 1947, RG59, PSA, Box No.4,NARA; "American Military Assistance to the Netherlands during Indonesian Struggle for Independence 1945-1949" (Mededelingen van de Sectie Militaire Geschiedenis) volume 8, Gerlof D. Homan
"Australia and Indonesia's Independence" volume 2; "The Renville Agreement Documents 1948" (Canberra), Phillip Dorling and David Lee
"Marshall Aid as a Catalyst in the Decolonization of Indonesia 1947-1949"; "Journal of Southeast Asian Studies No.2", Pierre van der Eng; "The United States and the Anti-Colonial Revolutions in Southeast Asia", George McTuman Kahinl "The Origins of the Cold War in Asia" (New York), Yonosuke Nagai and Akira Iriye
"Oral Communication from Kennan to Marshall and Lovett on 17 December 1948" (Records of the Policy Planning Staff 1947-1953), labelled "Indonesia" RG59, Box no.18, NARA
"The Cold War on the Periphery. The United States, India and Pakistan" (New York), Robert J. McMahon
"American Diplomacy", Schulzinger
"Subversion as Foreign Policy. The Secret Eisenhower, and Dulles Debacle in Indonesia" (New York) Audrey R. Kahin
"The United States and the Struggle for Southeast Asia 1945-1975" (Westport, London), Alan J. Levine
"Den Haag Antwoordt Niet", Van Vredenburch
"Acheson, His Advisors, and China 1949-1950", Cohen
"Afscheid van Indie: de val van het Nederlandse imperium in Azie" (Amsterdam), H.W. van den Doel
"US Tries to Call Black Account on Indonesian Killings" (International Herald Tribune 30 July 2001), George Lardner Jr.; "Role of CIA in the coup of 30 September 1965" FRUS volume 26 (2001)
http://www.indowebster.web.id/archive/index.php/t-173049.html?s=0cb4db167b8a408d747dcbb44e2c28b1
* rangkuman dari buku "American Visions of the Netherlands East Indies (Indonesia): US Foreign Policy and Indonesian Nationalism 1920-1949" (Amsterdam Univ.Press), Frances Gouda
Selasa, 24 Februari 2015
@sukristiawan cah jogja
Join me on tsลซ, they are sharing social revenues with all of us #tsunation https://www.tsu.co/sukristiawan
Senin, 23 Februari 2015
PHK sepihak.
artech
Kategori:Buruh & Tenaga Kerja
Apabila seorang karyawan di-PHK secara
sepihak dan setelah melalui proses
pembicaraan tripartiet, dia dianjurkan
oleh Disnaker untuk masuk bekerja
kembali sedangkan perusahaan tetap
tidak mau menerima si karyawan. Apakah
si karyawan masih berhak menerima gaji
yang tidak pernah dibayarkan oleh
perusahaan sejak dia di PHK sepihak?
Apa yang harus dilakukan apabila
perusahaan tetap tidak mau menerima si
karyawan dan tetap tidak mau
membayarkan gajinya?
Jawaban:
Dalam pasal 151 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan)
disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah,
dengan segala upaya harus mengusahakan agar
jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selanjutnya, pasal 151 ayat (2) menjelaskan bahwa
jika pemutusan hubungan kerja tidak bisa
dihindarkan wajib dirundingkan oleh pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
Ketentuan pasal 151 ayat (1) dan ayat (2) berarti,
PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak
melainkan harus melalui perundingan terlebih
dahulu. Kemudian, apabila hasil perundingan
tersebut tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan
kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. Demikian ketentuan pasal
151 ayat (3) UU ketenagakerjaan.
Adapun lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang dimaksud adalah
mediasi ketenagakerjaan, konsiliasi
ketenagakerjaan, arbitrase ketenagakerjaan dan
pengadilan hubungan industrial. Hal tersebut
diatur lebih jauh di dalam UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (UU PPHI).
Pemutusan Hubungan Kerja tanpa adanya
penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan
industrial akan menjadi batal demi hukum.
Artinya, secara hukum PHK tersebut dianggap
belum terjadi (pasal 155 ayat 1 UU
Ketenagakerjaan). Dan selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya (pasal 155 ayat [2] UU
Ketenagakerjaan). Pekerja/buruh tetap harus
bekerja dan Pengusaha tetap harus membayarkan
upahnya selama belum ada keputusan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Pengusaha dapat melakukan
pengecualian berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap
membayarkan upah beserta hak-hak lainnya yang
biasa diterima pekerja/buruh (pasal 155 ayat [3]
UU Ketenagakerjaan).
Apa yang harus dilakukan apabila perusahaan
tetap tidak mau menerima si karyawan dan tetap
tidak mau membayarkan gajinya?
Menurut pasal 96 UU PPHI, apabila dalam
persidangan pertama secara nyata-nyata pihak
pengusaha terbukti tidak melaksanakan
kewajibannya, maka hakim ketua sidang harus
segera memberikan putusan sela berupa perintah
kepada pengusaha untuk membayar upah beserta
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh
yang bersangkutan. Jika putusan sela tersebut
tidak dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua
Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam
sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
Putusan sela tersebut tidak dapat diajukan
perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya
hukum.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga
bermanfaat.
Peraturan perundang-undangan terkait:
1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
2. UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
Bung Pokrol
Share:
Bung Pokrol
Pesangon (IV)
Pidana Bisa Jadi Perdata?
bantuan hukum
Agunan Yang Dialihkan
Hutang & Kredit Macet
Pelaksanaan Ibadah bagi Karyawan
Putusan Verstek
Adakah batas waktu pembayaran Uang
Penggantian Hak?
Bank Garansi
Pembatalan Jual Beli
Langganan:
Postingan (Atom)
sukristiawan.com:Sejarah kelam PKI di indonesia.
๐คณ │⎙ ꧇ ﷽ ╰───⌲ ๐ ꧇ *SEJARAH YANG TIDAK BOLEH DILUPAKAN OLEH KITA SEMUA* *Tgl 31 Oktober 1948 :* Muso dieksekusi di Desa Niten Kec...
-
Inilah Daftar Ribuan Nama Indonesia Di Panama Papers (Alphabetical Order) Inilah Daftar 2.961 Nama Indonesia Di “Panama Papers” (Alphabet...
-
LEGAL OPINION 10.01 PENGACARA INDONESIA Legal Opinion, merupakan analisa dari suatu kejadian peristiwa, berisi tentang kro...