POLITIK EKONOMI SOSIAL BUDAYA MILITER BUDAYA KESEHATAN SEJARAH OLAHRAGA BISNIS TEKNOLOGI PARIWISATA HUKUM AGAMA EDUKASI SASTRA NASIONAL INTERNASIONAL
Senin, 30 Maret 2015
sukristiawan.com:Inilah Bukti Kesesatan Syi'ah: Banyolan Syi'ah Imamiyah (33 Koleksi Dongeng & Lel...
Inilah Bukti Kesesatan Syi'ah: Banyolan Syi'ah Imamiyah (33 Koleksi Dongeng & Lel...: Penulis : Firanda Andirja Abidin, Lc, M.A. Penerbit : Nashirus Sunnah Harga : Rp 70.000,- Pemesanan SMS : 0878 8777 8027 Bukti autentik k...
Minggu, 22 Maret 2015
sukristiawan.com:MK menolak permohonan uji UU 13 thn 2003 Ketenagakerjaan oleh APINDO pasal 88&89
MK Menolak Permohonan Uji UU Ketenagakerjaan APINDO
Kamis, 19 Maret 2015
| 19:17 WIB
Cetak
Panitera MK, Kasianur Sidauruk saat menyerahkan berita salinan
putusan perkara uji materi UU Ketenagakerjaan kepada Yudi Pramadi Putra
selaku kuasa hukum Pemohon, Kamis (19/3) di Ruang Sidang Pleno Gedung
MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi memutus menolak permohonan Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO) Surabaya, pemohon pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan, Kamis, (19/03).
Dalam sidang pengucapan putusan untuk perkara nomor 11/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat, Mahkamah dalam pertimbangannya memberikan penilaian terhadap permohonan pemohon yang mengatakan bahwa materi muatan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan sepanjang anak kalimat “dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”, dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam frasa “dengan memperhatikan”, telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terhadap dalil Pemohon, menurut Mahkamah adanya frasa \"dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi\" dalam Pasal 88 ayat (4) undang-undang tersebut adalah sebagai bentuk keseimbangan dalam penetapan upah minimum, dengan memperhatikan tingkat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Mahkamah menilai jika frasa tersebut dihilangkan maka dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan, dalam arti tidak adanya keseimbangan antara kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha.
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon bahwa rekomendasi dari Dewan Pengupahan seringkali diabaikan, Mahkamah berpendapat argumentasi Pemohon hanya berdasarkan kejadian yang terjadi di Provinsi Jawa Timur dan Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut telah terjadi secara umum di seluruh wilayah Indonesia. Mahkamah melihat, dalam menerapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), gubernur harus memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan. Unsur-unsur dari Dewan Pengupahan telah mencakup seluruh pemangku kebijakan (stakeholder), sebagaimana tercermin dalam komposisi keanggotaan Dewan Pengupahan yang meliputi unsur pengusaha, unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh, unsur Pemerintah, unsur perguruan tinggi dan pakar sehingga keputusan yang diambil telah mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Terhadap dalil Pemohon, yang mempersoalkan bahwa dalam praktiknya Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan juga telah membuka ruang untuk ditafsirkan dengan segala kemungkinan sehingga terjadi multitafsir serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, menurut Mahkamah ketentuan tersebut justru spesifik mengatur mengenai implementasi/penerapan ketentuan-ketentuan dan kebijakan tentang upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, telah nyata bahwa permohonan Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi norma Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
“Namun demikian, terlepas dari pertimbangan tersebut di atas, guna mencegah timbulnya penyalahgunaan dalam praktik, Mahkamah perlu mengingatkan bahwa seharusnya kebijakan gubernur dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab dengan cara demikian, kasus-kasus yang serupa dengan kasus yang dijadikan salah satu argumentasi dalam permohonan a quo dapat dicegah,” tegas Wakil Ketua MK, Anwar Usman yang membacakan bagian pertimbangan Mahkamah.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Anwar Usman. (Ilham)
Dalam sidang pengucapan putusan untuk perkara nomor 11/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat, Mahkamah dalam pertimbangannya memberikan penilaian terhadap permohonan pemohon yang mengatakan bahwa materi muatan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan sepanjang anak kalimat “dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”, dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam frasa “dengan memperhatikan”, telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terhadap dalil Pemohon, menurut Mahkamah adanya frasa \"dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi\" dalam Pasal 88 ayat (4) undang-undang tersebut adalah sebagai bentuk keseimbangan dalam penetapan upah minimum, dengan memperhatikan tingkat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Mahkamah menilai jika frasa tersebut dihilangkan maka dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan, dalam arti tidak adanya keseimbangan antara kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha.
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon bahwa rekomendasi dari Dewan Pengupahan seringkali diabaikan, Mahkamah berpendapat argumentasi Pemohon hanya berdasarkan kejadian yang terjadi di Provinsi Jawa Timur dan Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut telah terjadi secara umum di seluruh wilayah Indonesia. Mahkamah melihat, dalam menerapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), gubernur harus memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan. Unsur-unsur dari Dewan Pengupahan telah mencakup seluruh pemangku kebijakan (stakeholder), sebagaimana tercermin dalam komposisi keanggotaan Dewan Pengupahan yang meliputi unsur pengusaha, unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh, unsur Pemerintah, unsur perguruan tinggi dan pakar sehingga keputusan yang diambil telah mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Terhadap dalil Pemohon, yang mempersoalkan bahwa dalam praktiknya Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan juga telah membuka ruang untuk ditafsirkan dengan segala kemungkinan sehingga terjadi multitafsir serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, menurut Mahkamah ketentuan tersebut justru spesifik mengatur mengenai implementasi/penerapan ketentuan-ketentuan dan kebijakan tentang upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, telah nyata bahwa permohonan Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi norma Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
“Namun demikian, terlepas dari pertimbangan tersebut di atas, guna mencegah timbulnya penyalahgunaan dalam praktik, Mahkamah perlu mengingatkan bahwa seharusnya kebijakan gubernur dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab dengan cara demikian, kasus-kasus yang serupa dengan kasus yang dijadikan salah satu argumentasi dalam permohonan a quo dapat dicegah,” tegas Wakil Ketua MK, Anwar Usman yang membacakan bagian pertimbangan Mahkamah.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Anwar Usman. (Ilham)
Ada 0 Komentar Untuk Berita Ini
Kirim Komentar Anda
Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait Berita yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan Mahkamah Konstitusi dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.Komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Mahkamah Konstitusi Berhak memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
BERITA POPULER
.
Perkuat Kedudukan Hukum, Pemohon Uji KUHP Perbaiki Permohonan
- dibaca 326507 kali
.
Ormas Bebas Didirikan Tanpa Surat Keterangan Terdaftar
- dibaca 325906 kali
.
.
Saksi Sebut OJK Melindungi Masyarakat
- dibaca 325456 kali
.
BERITA SIDANG
.
Terdakwa Kasus Pencemaran Nama Baik Gugat KUHP
- 3
days ago
.
.
MK Menolak Permohonan Uji UU Ketenagakerjaan APINDO
- 3
days ago
BERITA NON SIDANG
.
Ketua MKRI Hadiri Peetemuan Biro MK se-Dunia di Venice
- 10
hours ago
.
.
MGMP PKn Balikpapan Kunjungi MK
- 1 week ago
.
Peserta Diklat Kepemimpinan Kemenag Kunjungi MK
- 1 week ago
BERITA MEDIA
.
.
.
PROFIL
PENDAFTARAN PERKARA
PERSIDANGAN
PUTUSAN
INFORMASI ADMINISTRASI
Sabtu, 14 Maret 2015
sukristiawan.com:sejarah pahit indonesia yg disembunyikan olek kepentingan amerika
Sejarah Pahit Indonesia Yang Disembunyikan Buku-Buku Pelajaran Sejarah
Diposkan oleh Admin di 13.01
AGRESI MILITER BELANDA S/D G30S (1945-1967)
Tidak banyak literatur yang mengulas tentang partisipasi Amerika Serikat pada salah satu masa paling kelam dalam sejarah Indonesia, yakni pada medio 1945-1949 saat Agresi Belanda. Pentingnya peran Paman Sam dalam terselenggaranya invasi militer yang dilakukan kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak disertakan dalam jurnal dan tesis sejarawan, salah satunya H.W. van den Doel, sejarawan Belanda mumpuni yang menyertakan kebijakan luar negeri AS sebagai salah satu variabel signifikan dalam dinamika invasi militer Belanda di tanah air.
Dukungan Whasington Untuk Kolonialisme Belanda
Dalam studinya, H.W. van den Doel juga menyebutkan bahwa dukungan Washington terhadap praktek kolonialisme Belanda di kepulauan Indonesia telah jauh dicanangkan dari awal tahun 1920, dan masih belum berubah pada pasca PDII, tak tergoyahkan oleh sentimen anti-kolonialisme yang mulai menjadi wacana mengemuka di peradaban barat. Prinsip paling fundamental dari kebijakan luar negeri Amerika yang lebih tinggi dari ‘Sepuluh Perintah Tuhan’, adalah perjuangan suci untuk melindungi kepentingan AS dan kroni-kroninya di muka bumi. Adalah absurd untuk mengasumsikan proses kolonialisasi Belanda di Indonesia dapat berlangsung dengan lancar apabila bertolak-belakang dengan visi geopolitik Washington. Dengan kata lain, kolonialisme Belanda pra dan pasca kemerdekaan di tanah air sudah sejalan dan harmoni dengan kebijakan luar negeri Paman Sam.
Situasi pasca PDII, memasuki era Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet adalah faktor utama yang melebarkan jurang perbedaan visi kebijakan luar negeri Amerika dengan gerakan anti-kolonial di Asia Tenggara. Setelah Presiden Sukarno memohonkan dukungan ke Washington pada Oktober 1945, Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia bertemu dengan Harry Truman pada bulan Desember tahun yang sama untuk kembali memohon bantuan.
Keadaan yang belum disadari para pemimpin muda Republik Indonesia pada saat itu adalah situasi politik di arena Eropa pasca PDII yang mulai direpotkan oleh kehadiran musuh baru, yakni partai-partai komunis yang mulai merebak di Prancis, Itali, Inggris dan Belanda, yang mengancam kepentingan para pemodal dan pertumbuhan kapitalisme di Eropa. Karena ini, kebijakan luar negeri administrasi Truman tidak mungkin mendukung gerakan nasionalis anti-kolonialisme di wilayah koloni Eropa, yang beresiko untuk memiliki dampak langsung terhadap dinamika politik dan ekonomi di Eropa. Analisa geopolitik dari Departemen Perencanaan Kebijakan AS saat itu menilai, bahwa lebih ‘aman’ untuk mendukung kolonialis Belanda daripada mendukung revolusi politik dan gerakan nasionalis anti-kolonialisme yang sulit ditebak arahnya (1). Paman Sam memutuskan untuk mendukung penuh agresi militer sekutunya Belanda meskipun telah mengumumkan posisi netral dalam konflik tersebut.
Usaha Pemulihan Ekonomi Eropa Setelah PD II
Belanda sendiri, sebagai sekutu yang telah membuktikan kesetiannya kepada Amerika selama PDII, diberikan dukungan penuh atas legitimasi kolonialisasi di Hindia Belanda(2), melalui bantuan finansial Marshall Plan (semacam IMF untuk negara-negara Eropa yang terkena imbas PDII), salah-satu butirnya menyebutkan agar Belanda menggunakan pinjaman Marshall Plan untuk membangun kembali perdagangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Hindia Belanda (Indonesia). Indonesia menjadi satu-satunya negara koloni Eropa yang tercantum sebagai butir dalam perjanjian bantuan Marshall Plan, dan dengan ini Belanda menjadi satu-satunya negara yang mendapat dukungan tertulis dari Amerika sehubungan dengan klaim atas koloninya di wilayah Asia Afrika. Adalah penyertaan Indonesia dalam Marshall Plan ini yang melegitimasi Den Haag untuk melakukan embargo ekonomi terhadap negara kedaulatan Republik Indonesia.
Amerika Mempersenjatai Belanda Untuk Agresi militer
Washington juga memberikan restu kepada militer Belanda untuk menggunakan peralatan tempur AS dalam status pinjaman, yang menambah secara signifikan ranpur Belanda pada agresi militer pasca kemerdekaan. Pada musim gugur 1945, Sekretaris Negara AS George C. Marshall memerintahkan untuk mencabut seluruh identitas militer AS yang menempel pada peralatan dan kendaraan tempur (termasuk pesawat P-47 Thunderbolt, tank Sherman dan Stuart) yang akan digunakan oleh pasukan SEAC (South East Asia Command) Lord Louis Mountbatten untuk membantu Belanda membombardir Surabaya pada 10 November 1945. Pada 30 November 1946, pemerintah AS secara gratis meminjamkan kepada militer Belanda (melalui melalui program pinjaman ranpur) 118 pesawat terdiri dari pembom B-25, pesawat tempur P-40 dan P-51 Mustang, 45 unit tank Stuart, 459 jip militer, 170 unit artileri, dan persenjataan infantri dalam jumlah yang sangat besar untuk digunakan untuk ‘menjinakan’ Hindia Belanda. Truk pengangkut militer dalam jumlah besar, dan logistik dari arena perang pasifik pun diserahkan oleh Paman Sam kepada Belanda. Militer Belanda juga diberikan fasilitas untuk melakukan pembelian 65.000 ton logistik militer non-amunisi (3).
Amerika juga memberikan restu kepada Pemerintah Belanda untuk mengalokasikan pinjaman sebesar US$ 26.000.000 yang diberikan oleh Dinas Administrasi Aset Perang AS (WAA) pada Oktober 1947 untuk membeli senjata dan amunisi demi mendukung kelangsungan kampanye militernya di Hindia Belanda. Sampai Desember 1948, Amerika masih memboikot keanggotaan Republik Indonesia dalam Komisi Ekonomi PBB untuk Asia Timur Jauh (ECAFE), hal yang kemudian menjadi “lampu hijau” bagi Belanda untuk melancarkan Agresi Militer Jilid II dengan melakukan serangan kejutan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 (4). Boleh dibilang, agresi militer Belanda pasca kemerdekaan tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan langsung dan restu dari Washington (5).
Pada 17 Desember 1948, Direktur dari Departemen Perencanaan Kebijakan George F. Kennan berkata, “Salah satu variabel krusial dalam perjuangan Washington melawan Kremlin adalah masalah Indonesia.” Kennan memberikan masukan kepada Sekretaris Negara George C. Marshall, bahwa salah satu elemen vital bagi upaya pelestarian kepentingan AS di Asia dalam situasi Perang Dingin, adalah penciptaan “Indonesia yang ramah kepada Amerika” secepat mungkin. Siapapun yang menguasai kepulauan Indonesia, apakah itu pemerintahan kolonial Belanda, atau pemerintah Republik Indonesia, tidak boleh dibiarkan untuk membuka pintunya kepada komunisme (6).
Kiprah Komunis Yang Semakin Menguat
Eskalasi situasi politik antara Washington dan Kremlin mulai memasuki babak baru sejak akhir tahun 1947 dengan tingkat ketegangan yang berpotensi berkembang dari Perang Dingin menjadi Perang Panas. Namun baru pada pertengahan tahun 1949, Washington dipaksa untuk meninjau ulang seluruh kebijakan luar negeri termasuk masalah kolonialisme di Indonesia dan Vietnam, dipicu oleh keberhasilan Uni Soviet dalam uji coba peledakan bom atom pertamanya. Kemenangan revolusi komunis Mao Zedong yang mengalahkan pasukan nasonalis Chiang Kai Sek makin membuat Washington seperti kebakaran jenggot, yang berpuncak pada perumusan ulang seluruh kebijakan luar negeri AS di Asia, dan penerbitan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.68 (NSC 68), yang diciptakan untuk menselaraskan sikap PBB menyesuaikan dengan strategi global baru dari Washington (7).
Namun yang tak diduga memiliki imbas positif dan berdampak langsung pada perjuangan anti-kolonialisme, adalah kegagalan Belanda menaklukan Indonesia pada agresi militer jilid II-nya yang dieksekusi dengan kekuatan penuh. Kegagalan serangan militer Belanda ke pusat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta ini, membuat Washington mulai hilang kesabaran, dan kehilangan kepercayaan pada kemampuan Belanda untuk menyelesaikan ‘pekerjaan’nya di Indonesia. Para analis dan pengambil keputusan di Washington mulai berhitung dan mengkaji ulang dukungan Paman Sam pada kampanye militer Belanda yang mahal di Timur Jauh.
Momen yang juga menjadi titik balik krusial yang mempengaruhi dukungan Washington kepada agresi militer Belanda yang dinilai bertele-tele, adalah kejadian pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di kota Madiun pada 18 September 1948. Soekarno yang dengan segera mengutuk percobaan coup d’état (kudeta) tersebut, serta merta memberikan pernyataan yang sangat keras melalui radio, “Bangsa Indonesia harus memilih! Saya, atau Musso??” (pemimpin pemberontakan PKI di Madiun). Di mata para pengambil kebijakan di Washington, ini adalah suatu bentuk demonstrasi keberpihakan dari para pemimpin Republik Indonesia, dan berpotensi merobah orientasi kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Belanda-Indonesia (8). Di pihak lain, rengekan Den Haag yang terus-menerus meminta dukungan tanpa disertai progres yang signifikan mulai menyebalkan terdengar di telinga.
Amerika Serikat Melakukan "Penghianatan" Pada Belanda
Kegagalan agresi militer Belanda jilid II, dan posisi Soekarno terhadap komunisme, sudah cukup bagi George Kennan dan Departemen Perencanaan Kebijakan AS untuk memberikan penilaian akhir yang akan mengakhiri keruwetan di Hindia Belanda, yakni: adalah lebih murah dan ekonomis bagi Amerika untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, daripada memberikan dukungan finansial dan ranpur kepada militer Belanda yang ‘memble’ (9). Dan konsekuensi dari keputusan ini adalah perubahan sikap Amerika yang drastis di forum Dewan Keamanan PBB pada 27 Desember 1949, ketika delegasi Amerika dengan terbuka meminta Belanda untuk menyerahkan kepulauan Indonesia kepada pemerintahan Soekarno (10). Kennan yakin bahwa Perang Dingin akan lebih mudah dimenangkan menggunakan senjata ekonomi dari pada militer. Maka, konflik yang berkepanjangan akan mengganggu hegemoni Kubu Barat di wilayah Timur Jauh, dan proses perdamaian harus segera di-instalasi untuk segera menciptakan “Indonesia yang ramah kepada Amerika”, dan memulai proses eksploitasi sumber daya alam dan manusia (11).
Gelombang demi gelombang kritik, protes, dan ratapan dilayangkan oleh Belanda dalam kefrustrasian oleh pengkhianatan sang ‘abang’, namun kesempatan tidak akan diberikan Amerika untuk ketiga kalinya. Keputusan bulat Paman Sam dibuktikan ketika Duta Besar Amerika untuk PBB Phillip Jessup bersama delegasi AS memberikan suara untuk sanksi kepada Belanda oleh Dewan Keamanan PBB (12). Pemberian sanksi ini telah membuat Belanda menjadi lelucon di Komite Bangsa-Bangsa Dunia di PBB. Bahkan budayawan Belanda Cees Fasseur mengilustrasikan upaya militer untuk memperpanjang gelar ‘induk semang’ di Hindia Belanda sebagai suatu dagelan, dan hanya Amerika yang bisa menarik mereka keluar dari tragedi yang memalukan ini (13).
Non-Blok Mengecewakan Amerika
Namun apa daya, dukungan Paman Sam kepada kemerdekaan Indonesia dengan harapan dapat mendirikan pos kekuatan baru yang akan membantu meredam gelombang komunisme di Asia, punah sudah dengan kebijakan luar negeri revolusioner ‘non blok’ Soekarno-Hatta yang mengejar posisi netral di peta politik dunia. Sedikit mereka sadari, bahwa fundamen prinsip dari Washington adalah “Siapapun yang tidak bersama kita, berarti mereka lawan kita”. Kekecewaan semakin memuncak ketika Soekarno menerbitkan kebijakan yang merangkul komunisme pada September 1950, dengan alasan harmoni sosial dan stabilitas politik. Diperparah dengan semakin besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia di kancah politik yang dibiarkan oleh Soekarno. Ini diterjemahkan sebagai tindak pengkhianatan oleh Washington, dan memposisikan Indonesia sebagai target dari kebijakan politik agresif (14).
Black Ops Cikal Bakal Gerakan G30S PKI
Pada sebuah dokumentasi yang berjudul FRUS (Foreign Relations of the United States) Jilid ke-26 yang diterbitkan pada Juli 2001, sebuah pembahasan mendetail mengenai hubungan politik Amerika dengan Indonesia, Malaysia, Singapur dan Filipina pada medio tahun 1964-1968. Administrasi Lyndon Johnson memberikan perintah kepada CIA untuk melancarkan operasi rahasia dengan kode sandi ‘Black Ops’, yang juga dikenal dengan sebutan ‘Operasi Hitam’. Black Ops adalah Joint Operation (operasi gabungan) antara Pentagon dan CIA, yang memiliki tugas paling vital dan strategis dalam hierarki intelijen di Amerika, dengan misi-misi yang diembankan antara lain: pembunuhan kepala negara, mengorkestrasi kudeta, mengatur pemilihan umum, propaganda dan perang intelijen, semua dengan satu tujuan: yakni untuk pelestarian kepentingan Amerika dan kroni-kroninya di dalam maupun luar negeri.
Tugas yang diemban Black Ops kali ini adalah untuk menggulingkan Soekarno melalui kudeta militer yang dieksekusi pada 30 September 1965 yang diberi kode 'GESTAPU' (Gerakan September Tiga Puluh). Washington disebutkan melakukan transfer dana sebesar 1.100.000 dollar Amerika ke beberapa petinggi militer TNI AD untuk mengkoordinir operasi paramiliter melakukan eksekusi berdarah, yang belakangan disebut sebagai “pasukan penjagal” oleh surat kabar International Herald Tribune (15). Pada 2 Desember 1965, Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green memberikan daftar seluruh anggota aktif PKI yang dikompilasi oleh CIA kepada koordinator keamanan darurat militer. Alhasil, 100.000 sampai 1.000.000 orang diperkirakan tewas oleh kudeta berdarah yang menjelma menjadi propaganda rezim Orde Baru untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Pada 15 April 1966, sebuah kawat diplomatik Duta Besar Marshall ke Washington, “keterlibatan kita sangatlah minimal sebagaimana layaknya operasi Black Ops yang sudah-sudah.”
Dimulainya Cengkraman Amerika Atas Kekayaan Pertiwi
Agenda pertama yang dilakukan oleh Soeharto sebagai PJS Presiden Republik Indonesia adalah menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 yang secara praktis menggelar karpet merah dengan memberikan kuasa pertambangan kepada Freeport yang akan mengangkut kandungan emas terbesar di dunia keluar dari Indonesia menyisakan sedikit saja bagi anak bangsa, perusahaan minyak Mobil Oil, Exxon dan Chevron (dulu masih bernama Stanvac dan Vico yang merupakan anak-anak perusahaan Standard Oil milik Rockefeller) untuk menguasai blok-blok minyak Cepu, Natuna, Aceh, Papua (secara praktis seluruh ladang minyak di tanah air), dengan kontrak mati yang selalu diperbaharui setiap tahun. Agenda politik dari kedatangan Obama ke tanah air baru-baru ini adalah untuk menekan administrasi SBY untuk melancarkan re-negosiasi di Blok minyak Cepu yang sempat alot karena kehadiran rival RRC, dan oleh beberapa nasionalis tanah air yang tobat nasuha.
Pustaka
"Foreign Relations of the United States (Sutan Sjahrir to Harry Truman 1945) FRUS volume 6; "Shared Hopes - Separate Fears. 50 Years of US - Indonesian Relations" (Boulder CO), Paul F. Gardner
"Robert Lovett to Frank Graham 31 December 1947" FRUS volume 6
"Army Surplus Property Disposal" (Lacey to Graham) 13 October 1947, RG59, PSA, Box No.4,NARA; "American Military Assistance to the Netherlands during Indonesian Struggle for Independence 1945-1949" (Mededelingen van de Sectie Militaire Geschiedenis) volume 8, Gerlof D. Homan
"Australia and Indonesia's Independence" volume 2; "The Renville Agreement Documents 1948" (Canberra), Phillip Dorling and David Lee
"Marshall Aid as a Catalyst in the Decolonization of Indonesia 1947-1949"; "Journal of Southeast Asian Studies No.2", Pierre van der Eng; "The United States and the Anti-Colonial Revolutions in Southeast Asia", George McTuman Kahinl "The Origins of the Cold War in Asia" (New York), Yonosuke Nagai and Akira Iriye
"Oral Communication from Kennan to Marshall and Lovett on 17 December 1948" (Records of the Policy Planning Staff 1947-1953), labelled "Indonesia" RG59, Box no.18, NARA
"The Cold War on the Periphery. The United States, India and Pakistan" (New York), Robert J. McMahon
"American Diplomacy", Schulzinger
"Subversion as Foreign Policy. The Secret Eisenhower, and Dulles Debacle in Indonesia" (New York) Audrey R. Kahin
"The United States and the Struggle for Southeast Asia 1945-1975" (Westport, London), Alan J. Levine
"Den Haag Antwoordt Niet", Van Vredenburch
"Acheson, His Advisors, and China 1949-1950", Cohen
"Afscheid van Indie: de val van het Nederlandse imperium in Azie" (Amsterdam), H.W. van den Doel
"US Tries to Call Black Account on Indonesian Killings" (International Herald Tribune 30 July 2001), George Lardner Jr.; "Role of CIA in the coup of 30 September 1965" FRUS volume 26 (2001)
http://www.indowebster.web.id/archive/index.php/t-173049.html?s=0cb4db167b8a408d747dcbb44e2c28b1
* rangkuman dari buku "American Visions of the Netherlands East Indies (Indonesia): US Foreign Policy and Indonesian Nationalism 1920-1949" (Amsterdam Univ.Press), Frances Gouda
Diposkan oleh Admin di 13.01
AGRESI MILITER BELANDA S/D G30S (1945-1967)
Tidak banyak literatur yang mengulas tentang partisipasi Amerika Serikat pada salah satu masa paling kelam dalam sejarah Indonesia, yakni pada medio 1945-1949 saat Agresi Belanda. Pentingnya peran Paman Sam dalam terselenggaranya invasi militer yang dilakukan kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak disertakan dalam jurnal dan tesis sejarawan, salah satunya H.W. van den Doel, sejarawan Belanda mumpuni yang menyertakan kebijakan luar negeri AS sebagai salah satu variabel signifikan dalam dinamika invasi militer Belanda di tanah air.
Dukungan Whasington Untuk Kolonialisme Belanda
Dalam studinya, H.W. van den Doel juga menyebutkan bahwa dukungan Washington terhadap praktek kolonialisme Belanda di kepulauan Indonesia telah jauh dicanangkan dari awal tahun 1920, dan masih belum berubah pada pasca PDII, tak tergoyahkan oleh sentimen anti-kolonialisme yang mulai menjadi wacana mengemuka di peradaban barat. Prinsip paling fundamental dari kebijakan luar negeri Amerika yang lebih tinggi dari ‘Sepuluh Perintah Tuhan’, adalah perjuangan suci untuk melindungi kepentingan AS dan kroni-kroninya di muka bumi. Adalah absurd untuk mengasumsikan proses kolonialisasi Belanda di Indonesia dapat berlangsung dengan lancar apabila bertolak-belakang dengan visi geopolitik Washington. Dengan kata lain, kolonialisme Belanda pra dan pasca kemerdekaan di tanah air sudah sejalan dan harmoni dengan kebijakan luar negeri Paman Sam.
Situasi pasca PDII, memasuki era Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet adalah faktor utama yang melebarkan jurang perbedaan visi kebijakan luar negeri Amerika dengan gerakan anti-kolonial di Asia Tenggara. Setelah Presiden Sukarno memohonkan dukungan ke Washington pada Oktober 1945, Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia bertemu dengan Harry Truman pada bulan Desember tahun yang sama untuk kembali memohon bantuan.
Keadaan yang belum disadari para pemimpin muda Republik Indonesia pada saat itu adalah situasi politik di arena Eropa pasca PDII yang mulai direpotkan oleh kehadiran musuh baru, yakni partai-partai komunis yang mulai merebak di Prancis, Itali, Inggris dan Belanda, yang mengancam kepentingan para pemodal dan pertumbuhan kapitalisme di Eropa. Karena ini, kebijakan luar negeri administrasi Truman tidak mungkin mendukung gerakan nasionalis anti-kolonialisme di wilayah koloni Eropa, yang beresiko untuk memiliki dampak langsung terhadap dinamika politik dan ekonomi di Eropa. Analisa geopolitik dari Departemen Perencanaan Kebijakan AS saat itu menilai, bahwa lebih ‘aman’ untuk mendukung kolonialis Belanda daripada mendukung revolusi politik dan gerakan nasionalis anti-kolonialisme yang sulit ditebak arahnya (1). Paman Sam memutuskan untuk mendukung penuh agresi militer sekutunya Belanda meskipun telah mengumumkan posisi netral dalam konflik tersebut.
Usaha Pemulihan Ekonomi Eropa Setelah PD II
Belanda sendiri, sebagai sekutu yang telah membuktikan kesetiannya kepada Amerika selama PDII, diberikan dukungan penuh atas legitimasi kolonialisasi di Hindia Belanda(2), melalui bantuan finansial Marshall Plan (semacam IMF untuk negara-negara Eropa yang terkena imbas PDII), salah-satu butirnya menyebutkan agar Belanda menggunakan pinjaman Marshall Plan untuk membangun kembali perdagangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Hindia Belanda (Indonesia). Indonesia menjadi satu-satunya negara koloni Eropa yang tercantum sebagai butir dalam perjanjian bantuan Marshall Plan, dan dengan ini Belanda menjadi satu-satunya negara yang mendapat dukungan tertulis dari Amerika sehubungan dengan klaim atas koloninya di wilayah Asia Afrika. Adalah penyertaan Indonesia dalam Marshall Plan ini yang melegitimasi Den Haag untuk melakukan embargo ekonomi terhadap negara kedaulatan Republik Indonesia.
Amerika Mempersenjatai Belanda Untuk Agresi militer
Washington juga memberikan restu kepada militer Belanda untuk menggunakan peralatan tempur AS dalam status pinjaman, yang menambah secara signifikan ranpur Belanda pada agresi militer pasca kemerdekaan. Pada musim gugur 1945, Sekretaris Negara AS George C. Marshall memerintahkan untuk mencabut seluruh identitas militer AS yang menempel pada peralatan dan kendaraan tempur (termasuk pesawat P-47 Thunderbolt, tank Sherman dan Stuart) yang akan digunakan oleh pasukan SEAC (South East Asia Command) Lord Louis Mountbatten untuk membantu Belanda membombardir Surabaya pada 10 November 1945. Pada 30 November 1946, pemerintah AS secara gratis meminjamkan kepada militer Belanda (melalui melalui program pinjaman ranpur) 118 pesawat terdiri dari pembom B-25, pesawat tempur P-40 dan P-51 Mustang, 45 unit tank Stuart, 459 jip militer, 170 unit artileri, dan persenjataan infantri dalam jumlah yang sangat besar untuk digunakan untuk ‘menjinakan’ Hindia Belanda. Truk pengangkut militer dalam jumlah besar, dan logistik dari arena perang pasifik pun diserahkan oleh Paman Sam kepada Belanda. Militer Belanda juga diberikan fasilitas untuk melakukan pembelian 65.000 ton logistik militer non-amunisi (3).
Amerika juga memberikan restu kepada Pemerintah Belanda untuk mengalokasikan pinjaman sebesar US$ 26.000.000 yang diberikan oleh Dinas Administrasi Aset Perang AS (WAA) pada Oktober 1947 untuk membeli senjata dan amunisi demi mendukung kelangsungan kampanye militernya di Hindia Belanda. Sampai Desember 1948, Amerika masih memboikot keanggotaan Republik Indonesia dalam Komisi Ekonomi PBB untuk Asia Timur Jauh (ECAFE), hal yang kemudian menjadi “lampu hijau” bagi Belanda untuk melancarkan Agresi Militer Jilid II dengan melakukan serangan kejutan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 (4). Boleh dibilang, agresi militer Belanda pasca kemerdekaan tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan langsung dan restu dari Washington (5).
Pada 17 Desember 1948, Direktur dari Departemen Perencanaan Kebijakan George F. Kennan berkata, “Salah satu variabel krusial dalam perjuangan Washington melawan Kremlin adalah masalah Indonesia.” Kennan memberikan masukan kepada Sekretaris Negara George C. Marshall, bahwa salah satu elemen vital bagi upaya pelestarian kepentingan AS di Asia dalam situasi Perang Dingin, adalah penciptaan “Indonesia yang ramah kepada Amerika” secepat mungkin. Siapapun yang menguasai kepulauan Indonesia, apakah itu pemerintahan kolonial Belanda, atau pemerintah Republik Indonesia, tidak boleh dibiarkan untuk membuka pintunya kepada komunisme (6).
Kiprah Komunis Yang Semakin Menguat
Eskalasi situasi politik antara Washington dan Kremlin mulai memasuki babak baru sejak akhir tahun 1947 dengan tingkat ketegangan yang berpotensi berkembang dari Perang Dingin menjadi Perang Panas. Namun baru pada pertengahan tahun 1949, Washington dipaksa untuk meninjau ulang seluruh kebijakan luar negeri termasuk masalah kolonialisme di Indonesia dan Vietnam, dipicu oleh keberhasilan Uni Soviet dalam uji coba peledakan bom atom pertamanya. Kemenangan revolusi komunis Mao Zedong yang mengalahkan pasukan nasonalis Chiang Kai Sek makin membuat Washington seperti kebakaran jenggot, yang berpuncak pada perumusan ulang seluruh kebijakan luar negeri AS di Asia, dan penerbitan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.68 (NSC 68), yang diciptakan untuk menselaraskan sikap PBB menyesuaikan dengan strategi global baru dari Washington (7).
Namun yang tak diduga memiliki imbas positif dan berdampak langsung pada perjuangan anti-kolonialisme, adalah kegagalan Belanda menaklukan Indonesia pada agresi militer jilid II-nya yang dieksekusi dengan kekuatan penuh. Kegagalan serangan militer Belanda ke pusat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta ini, membuat Washington mulai hilang kesabaran, dan kehilangan kepercayaan pada kemampuan Belanda untuk menyelesaikan ‘pekerjaan’nya di Indonesia. Para analis dan pengambil keputusan di Washington mulai berhitung dan mengkaji ulang dukungan Paman Sam pada kampanye militer Belanda yang mahal di Timur Jauh.
Momen yang juga menjadi titik balik krusial yang mempengaruhi dukungan Washington kepada agresi militer Belanda yang dinilai bertele-tele, adalah kejadian pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di kota Madiun pada 18 September 1948. Soekarno yang dengan segera mengutuk percobaan coup d’état (kudeta) tersebut, serta merta memberikan pernyataan yang sangat keras melalui radio, “Bangsa Indonesia harus memilih! Saya, atau Musso??” (pemimpin pemberontakan PKI di Madiun). Di mata para pengambil kebijakan di Washington, ini adalah suatu bentuk demonstrasi keberpihakan dari para pemimpin Republik Indonesia, dan berpotensi merobah orientasi kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Belanda-Indonesia (8). Di pihak lain, rengekan Den Haag yang terus-menerus meminta dukungan tanpa disertai progres yang signifikan mulai menyebalkan terdengar di telinga.
Amerika Serikat Melakukan "Penghianatan" Pada Belanda
Kegagalan agresi militer Belanda jilid II, dan posisi Soekarno terhadap komunisme, sudah cukup bagi George Kennan dan Departemen Perencanaan Kebijakan AS untuk memberikan penilaian akhir yang akan mengakhiri keruwetan di Hindia Belanda, yakni: adalah lebih murah dan ekonomis bagi Amerika untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, daripada memberikan dukungan finansial dan ranpur kepada militer Belanda yang ‘memble’ (9). Dan konsekuensi dari keputusan ini adalah perubahan sikap Amerika yang drastis di forum Dewan Keamanan PBB pada 27 Desember 1949, ketika delegasi Amerika dengan terbuka meminta Belanda untuk menyerahkan kepulauan Indonesia kepada pemerintahan Soekarno (10). Kennan yakin bahwa Perang Dingin akan lebih mudah dimenangkan menggunakan senjata ekonomi dari pada militer. Maka, konflik yang berkepanjangan akan mengganggu hegemoni Kubu Barat di wilayah Timur Jauh, dan proses perdamaian harus segera di-instalasi untuk segera menciptakan “Indonesia yang ramah kepada Amerika”, dan memulai proses eksploitasi sumber daya alam dan manusia (11).
Gelombang demi gelombang kritik, protes, dan ratapan dilayangkan oleh Belanda dalam kefrustrasian oleh pengkhianatan sang ‘abang’, namun kesempatan tidak akan diberikan Amerika untuk ketiga kalinya. Keputusan bulat Paman Sam dibuktikan ketika Duta Besar Amerika untuk PBB Phillip Jessup bersama delegasi AS memberikan suara untuk sanksi kepada Belanda oleh Dewan Keamanan PBB (12). Pemberian sanksi ini telah membuat Belanda menjadi lelucon di Komite Bangsa-Bangsa Dunia di PBB. Bahkan budayawan Belanda Cees Fasseur mengilustrasikan upaya militer untuk memperpanjang gelar ‘induk semang’ di Hindia Belanda sebagai suatu dagelan, dan hanya Amerika yang bisa menarik mereka keluar dari tragedi yang memalukan ini (13).
Non-Blok Mengecewakan Amerika
Namun apa daya, dukungan Paman Sam kepada kemerdekaan Indonesia dengan harapan dapat mendirikan pos kekuatan baru yang akan membantu meredam gelombang komunisme di Asia, punah sudah dengan kebijakan luar negeri revolusioner ‘non blok’ Soekarno-Hatta yang mengejar posisi netral di peta politik dunia. Sedikit mereka sadari, bahwa fundamen prinsip dari Washington adalah “Siapapun yang tidak bersama kita, berarti mereka lawan kita”. Kekecewaan semakin memuncak ketika Soekarno menerbitkan kebijakan yang merangkul komunisme pada September 1950, dengan alasan harmoni sosial dan stabilitas politik. Diperparah dengan semakin besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia di kancah politik yang dibiarkan oleh Soekarno. Ini diterjemahkan sebagai tindak pengkhianatan oleh Washington, dan memposisikan Indonesia sebagai target dari kebijakan politik agresif (14).
Black Ops Cikal Bakal Gerakan G30S PKI
Pada sebuah dokumentasi yang berjudul FRUS (Foreign Relations of the United States) Jilid ke-26 yang diterbitkan pada Juli 2001, sebuah pembahasan mendetail mengenai hubungan politik Amerika dengan Indonesia, Malaysia, Singapur dan Filipina pada medio tahun 1964-1968. Administrasi Lyndon Johnson memberikan perintah kepada CIA untuk melancarkan operasi rahasia dengan kode sandi ‘Black Ops’, yang juga dikenal dengan sebutan ‘Operasi Hitam’. Black Ops adalah Joint Operation (operasi gabungan) antara Pentagon dan CIA, yang memiliki tugas paling vital dan strategis dalam hierarki intelijen di Amerika, dengan misi-misi yang diembankan antara lain: pembunuhan kepala negara, mengorkestrasi kudeta, mengatur pemilihan umum, propaganda dan perang intelijen, semua dengan satu tujuan: yakni untuk pelestarian kepentingan Amerika dan kroni-kroninya di dalam maupun luar negeri.
Tugas yang diemban Black Ops kali ini adalah untuk menggulingkan Soekarno melalui kudeta militer yang dieksekusi pada 30 September 1965 yang diberi kode 'GESTAPU' (Gerakan September Tiga Puluh). Washington disebutkan melakukan transfer dana sebesar 1.100.000 dollar Amerika ke beberapa petinggi militer TNI AD untuk mengkoordinir operasi paramiliter melakukan eksekusi berdarah, yang belakangan disebut sebagai “pasukan penjagal” oleh surat kabar International Herald Tribune (15). Pada 2 Desember 1965, Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green memberikan daftar seluruh anggota aktif PKI yang dikompilasi oleh CIA kepada koordinator keamanan darurat militer. Alhasil, 100.000 sampai 1.000.000 orang diperkirakan tewas oleh kudeta berdarah yang menjelma menjadi propaganda rezim Orde Baru untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Pada 15 April 1966, sebuah kawat diplomatik Duta Besar Marshall ke Washington, “keterlibatan kita sangatlah minimal sebagaimana layaknya operasi Black Ops yang sudah-sudah.”
Dimulainya Cengkraman Amerika Atas Kekayaan Pertiwi
Agenda pertama yang dilakukan oleh Soeharto sebagai PJS Presiden Republik Indonesia adalah menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 yang secara praktis menggelar karpet merah dengan memberikan kuasa pertambangan kepada Freeport yang akan mengangkut kandungan emas terbesar di dunia keluar dari Indonesia menyisakan sedikit saja bagi anak bangsa, perusahaan minyak Mobil Oil, Exxon dan Chevron (dulu masih bernama Stanvac dan Vico yang merupakan anak-anak perusahaan Standard Oil milik Rockefeller) untuk menguasai blok-blok minyak Cepu, Natuna, Aceh, Papua (secara praktis seluruh ladang minyak di tanah air), dengan kontrak mati yang selalu diperbaharui setiap tahun. Agenda politik dari kedatangan Obama ke tanah air baru-baru ini adalah untuk menekan administrasi SBY untuk melancarkan re-negosiasi di Blok minyak Cepu yang sempat alot karena kehadiran rival RRC, dan oleh beberapa nasionalis tanah air yang tobat nasuha.
Pustaka
"Foreign Relations of the United States (Sutan Sjahrir to Harry Truman 1945) FRUS volume 6; "Shared Hopes - Separate Fears. 50 Years of US - Indonesian Relations" (Boulder CO), Paul F. Gardner
"Robert Lovett to Frank Graham 31 December 1947" FRUS volume 6
"Army Surplus Property Disposal" (Lacey to Graham) 13 October 1947, RG59, PSA, Box No.4,NARA; "American Military Assistance to the Netherlands during Indonesian Struggle for Independence 1945-1949" (Mededelingen van de Sectie Militaire Geschiedenis) volume 8, Gerlof D. Homan
"Australia and Indonesia's Independence" volume 2; "The Renville Agreement Documents 1948" (Canberra), Phillip Dorling and David Lee
"Marshall Aid as a Catalyst in the Decolonization of Indonesia 1947-1949"; "Journal of Southeast Asian Studies No.2", Pierre van der Eng; "The United States and the Anti-Colonial Revolutions in Southeast Asia", George McTuman Kahinl "The Origins of the Cold War in Asia" (New York), Yonosuke Nagai and Akira Iriye
"Oral Communication from Kennan to Marshall and Lovett on 17 December 1948" (Records of the Policy Planning Staff 1947-1953), labelled "Indonesia" RG59, Box no.18, NARA
"The Cold War on the Periphery. The United States, India and Pakistan" (New York), Robert J. McMahon
"American Diplomacy", Schulzinger
"Subversion as Foreign Policy. The Secret Eisenhower, and Dulles Debacle in Indonesia" (New York) Audrey R. Kahin
"The United States and the Struggle for Southeast Asia 1945-1975" (Westport, London), Alan J. Levine
"Den Haag Antwoordt Niet", Van Vredenburch
"Acheson, His Advisors, and China 1949-1950", Cohen
"Afscheid van Indie: de val van het Nederlandse imperium in Azie" (Amsterdam), H.W. van den Doel
"US Tries to Call Black Account on Indonesian Killings" (International Herald Tribune 30 July 2001), George Lardner Jr.; "Role of CIA in the coup of 30 September 1965" FRUS volume 26 (2001)
http://www.indowebster.web.id/archive/index.php/t-173049.html?s=0cb4db167b8a408d747dcbb44e2c28b1
* rangkuman dari buku "American Visions of the Netherlands East Indies (Indonesia): US Foreign Policy and Indonesian Nationalism 1920-1949" (Amsterdam Univ.Press), Frances Gouda
Selasa, 24 Februari 2015
@sukristiawan cah jogja
Join me on tsū, they are sharing social revenues with all of us #tsunation https://www.tsu.co/sukristiawan
Senin, 23 Februari 2015
PHK sepihak.
artech
Kategori:Buruh & Tenaga Kerja
Apabila seorang karyawan di-PHK secara
sepihak dan setelah melalui proses
pembicaraan tripartiet, dia dianjurkan
oleh Disnaker untuk masuk bekerja
kembali sedangkan perusahaan tetap
tidak mau menerima si karyawan. Apakah
si karyawan masih berhak menerima gaji
yang tidak pernah dibayarkan oleh
perusahaan sejak dia di PHK sepihak?
Apa yang harus dilakukan apabila
perusahaan tetap tidak mau menerima si
karyawan dan tetap tidak mau
membayarkan gajinya?
Jawaban:
Dalam pasal 151 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan)
disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah,
dengan segala upaya harus mengusahakan agar
jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selanjutnya, pasal 151 ayat (2) menjelaskan bahwa
jika pemutusan hubungan kerja tidak bisa
dihindarkan wajib dirundingkan oleh pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
Ketentuan pasal 151 ayat (1) dan ayat (2) berarti,
PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak
melainkan harus melalui perundingan terlebih
dahulu. Kemudian, apabila hasil perundingan
tersebut tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan
kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. Demikian ketentuan pasal
151 ayat (3) UU ketenagakerjaan.
Adapun lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang dimaksud adalah
mediasi ketenagakerjaan, konsiliasi
ketenagakerjaan, arbitrase ketenagakerjaan dan
pengadilan hubungan industrial. Hal tersebut
diatur lebih jauh di dalam UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (UU PPHI).
Pemutusan Hubungan Kerja tanpa adanya
penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan
industrial akan menjadi batal demi hukum.
Artinya, secara hukum PHK tersebut dianggap
belum terjadi (pasal 155 ayat 1 UU
Ketenagakerjaan). Dan selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya (pasal 155 ayat [2] UU
Ketenagakerjaan). Pekerja/buruh tetap harus
bekerja dan Pengusaha tetap harus membayarkan
upahnya selama belum ada keputusan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Pengusaha dapat melakukan
pengecualian berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap
membayarkan upah beserta hak-hak lainnya yang
biasa diterima pekerja/buruh (pasal 155 ayat [3]
UU Ketenagakerjaan).
Apa yang harus dilakukan apabila perusahaan
tetap tidak mau menerima si karyawan dan tetap
tidak mau membayarkan gajinya?
Menurut pasal 96 UU PPHI, apabila dalam
persidangan pertama secara nyata-nyata pihak
pengusaha terbukti tidak melaksanakan
kewajibannya, maka hakim ketua sidang harus
segera memberikan putusan sela berupa perintah
kepada pengusaha untuk membayar upah beserta
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh
yang bersangkutan. Jika putusan sela tersebut
tidak dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua
Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam
sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
Putusan sela tersebut tidak dapat diajukan
perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya
hukum.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga
bermanfaat.
Peraturan perundang-undangan terkait:
1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
2. UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
Bung Pokrol
Share:
Bung Pokrol
Pesangon (IV)
Pidana Bisa Jadi Perdata?
bantuan hukum
Agunan Yang Dialihkan
Hutang & Kredit Macet
Pelaksanaan Ibadah bagi Karyawan
Putusan Verstek
Adakah batas waktu pembayaran Uang
Penggantian Hak?
Bank Garansi
Pembatalan Jual Beli
Bolehkah Atasan Mengatakan
'Anda Saya Pecat!'?
th0riq
Kategori:Buruh & Tenaga Kerja
Salam sejahtera hukum online, saya
adalah karyawan sebuah perusahaan
multinasional di Bekasi. Saya ingin
menanyakan beberapa kasus yang pernah
terjadi di tempat saya bekerja: 1.
Bolehkah seorang atasan mengatakan
"anda saya pecat !!!" atau "anda mau saya
pecat?!" atau "anda mau di pecat?!!" dsb?
2. Jikalau memang tidak boleh, mohon
pertimbangan hukumnya,dan apa sanksi
hukum yang harus diterima atasan
tersebut? 3. Langkah apa saja yang harus
ditempuh jika terjadi hal seperti itu? Atas
bantuannya saya ucapkan banyak terima
kasih.
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
1. Sebenarnya, tidak ada ketentuan yang
melarang pengusaha untuk berkata
“Anda saya pecat!” atau yang senada
dengan itu. Akan tetapi, jika ada
pengusaha yang mengatakan
demikian, tidak serta merta saat itu
juga secara hukum terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja (“PHK”).
Menurut Pasal 1 angka 25 UU No. 13
Tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan
(“UU Ketenagakerjaan”), pemutusan
hubungan kerja adalah pengakhiran
hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha.
Pengusaha tidak dapat mem-PHK
pekerja secara sembarangan tanpa
alasan yang dibenarkan undang-
undang. Sayangnya, Anda tidak
menjelaskan lebih lanjut apa
alasannya sehingga atasan Anda
mengatakan “Anda saya pecat!”
kepada pekerja yang bersangkutan.
Jika ungkapan tersebut disebabkan
pekerja dianggap tidak menjalankan
perintah atasan, maka pengusaha
dapat menjatuhkan sanksi kepada
pekerja sebagaimana tertuang dalam
peraturan perusahaan (PP), perjanjian
kerja (PK) dan atau perjanjian kerja
bersama (PKB). Umumnya, sanksi itu
berupa teguran lisan, teguran tertulis,
pembinaan, skorsing atau bahkan PHK
(simak juga artikel Dalil PHK yang
mengada-ada ).
Dalam hal PHK, menurut Pasal 153 ayat
(1) UU Ketenagakerjaan , pengusaha
tidak boleh mem-PHK pekerja karena
alasan antara lain:
a. pekerja/buruh berhalangan
masuk kerja karena sakit
menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui
12 (dua belas) bulan secara
terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan
menjalankan pekerjaannya
karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan
ibadah yang diperintahkan
agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan
hamil, melahirkan, gugur
kandungan, atau menyusui
bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai
pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/
buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan,
menjadi anggota dan/atau
pengurus serikat pekerja/
serikat buruh, pekerja/buruh
melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar
jam kerja, atau di dalam jam
kerja atas kesepakatan
pengusaha, atau berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang
mengadukan pengusaha
kepada yang berwajib
mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan
tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham,
agama, aliran politik, suku,
warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau
status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan
cacat tetap, sakit akibat
kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang
menurut surat keterangan
dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat
dipastikan.
Jika pengusaha mem-PHK pekerja
karena alasan-alasan yang tidak
dibenarkan undang-undang, maka
PHK tersebut batal demi hukum dan
pengusaha wajib mempekerjakan
kembali pekerja yang bersangkutan
(Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan ).
Berdasarkan Pasal 151 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan , baik pihak pengusaha
maupun pekerja malah diharuskan
dengan segala upaya agar jangan
sampai terjadi PHK. Jika segala upaya
telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak
terhindarkan maka maksud PHK
harus dirundingkan antara pengusaha
dan pekerja (Pasal 151 ayat [2] UU
Ketenagakerjaan ). Apabila perundingan
tidak menghasilkan persetujuan juga,
maka pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan
pekerja setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial
(Pasal 151 ayat [3] UU Ketenagakerjaan ).
Selain itu, dalam dalam Pasal 161 ayat
(1) UU Ketenagakerjaan diatur juga
syarat untuk melakukan PHK yaitu,
“ bahwa pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja, setelah
kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga
secara berturut-turut .” Penjelasan
selengkapnya mengenai hal ini silakan
simak artikel Sanksi Berurutan .
Jadi, jelas bahwa pengusaha tidak
dapat mem-PHK pekerja hanya
dengan mengatakan “anda saya
pecat!”. PHK hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial, yaitu pengadilan
hubungan industrial (“PHI”) yang
diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (“UU 2/2004”).
Sebelum mem-PHK pekerja,
pengusaha juga sebelumnya telah
memberikan surat peringatan
pertama, kedua, dan ketiga kepada
pekerja yang bersangkutan. Dengan
demikian, jika pengusaha mengatakan
“Anda saya pecat!” kepada pekerja,
tidak serta merta saat itu juga secara
hukum terjadi PHK.
2. Seperti yang telah kami jelaskan
sebelumnya, tidak ada ketentuan yang
melarang pengusaha untuk berkata
“Anda saya pecat!” atau yang senada
dengan itu. Karena itu, tidak ada
sanksi pidana maupun sanksi
administratif yang dapat dikenakan
terhadap pengusaha yang melakukan
hal tersebut.
Apabila PHK yang memenuhi
ketentuan peraturan perundang-
undangan telah terjadi, pengusaha
wajib membayar uang pesangon dan
atau uang penghargaan masa kerja
dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima (Pasal 156 ayat [1]
UU Ketenagakerjaan ).
3. Jika pengusaha melakukan PHK
secara sewenang-wenang, maka
langkah yang dapat ditempuh adalah
melaporkan tindakan pengusaha
kepada instansi ketenagakerjaan di
tingkat kabupaten/kota karena
merupakan pengawas
ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178
ayat (1) UU Ketenagakerjaan .
Apabila tidak menemukan
penyelesaian yang baik, barulah
kemudian Anda dapat menempuh
langkah dengan memperkarakan PHK
yang sewenang-wenang ke PHI
sebagaimana diatur dalam ketentuan
UU 2/2004.
Demikian jawaban dari kami, semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2008 tentang Ketenagakerjaan
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Putusan :
Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 37/
PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011
Bung Pokrol
Share:
KLINIK TERKAIT:
Bisakah Di-PHK Karena Tidur di
Tempat Kerja?
PHK yang Batal Demi Hukum
Dapatkah di-PHK Karena Terlambat
Masuk Kantor?
Upaya Hukum Jika Di-PHK Sepihak
Lewat SMS
PHK Sepihak pada Perwakilan Negara
Asing di Indonesia
Tiga Bulan Tidak Digaji, Bolehkah
Pekerja Kontrak Mengundurkan Diri?
Dipaksa Perusahaan Tanda Tangani
Surat Pengunduran Diri
Aturan Jangka Waktu Pemberitahuan
Pengunduran Diri (One Month Notice)
Ilman Hadi, S.H.
Hukum Malpraktik di Indonesia
Hak-hak Masyarakat dalam
Pemberantasan Kejahatan Narkotika
Konsekuensi Hukum Jika Membayar
Suap untuk Jadi Polisi
Batasan Luka Berat dan Luka Ringan
dalam Kecelakaan Lalu Lintas
Bolehkah Memotong Upah Pekerja
yang Di-Skorsing?
Cara Penyelesaian Sengketa Pajak
Proses Hukum Oknum Polisi yang
Melakukan Tindak Pidana
Pemberitaan Pers dan Asas Praduga
Tak Bersalah
Ukuran Ban Tidak Sesuai Keluaran
Pabrik, Bisakah Ditilang?
Cara Pembayaran PNBP Fidusia Online
sukristiawancom:Pengertian Peraturan Perusahaan
Pengertian Peraturan Perusahaan
Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang
dibuat secara tertulis oleh Perusahaan, yang di
dalamnya memuat syarat-syarat kerja dan tata
tertib perusahaan ( UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan ). Sebuah Peraturan Perusahaan
baru dikatakan sah dan mengikat Perusahaan dan
Karyawan apabila telah mendapatkan pengesahan
dari Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi.
Pengesahan itu dilakukan oleh pejabat yang
ditunjuk, yaitu kepala instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota
(untuk perusahaan yang terdapat dalam satu
Kabupaten/Kota) dan kepala instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
tingkat Provinsi (untuk Perusahaan yang terdapat
dalam lebih dari satu wilayah Kabupaten/Kota).
Kewajiban membuat Peraturan Perusahaan berlaku
terhadap Perusahaan yang memiliki paling sedikit
10 orang Karyawan . Kewajiban itu tidak berlaku
apabila Perusahaan telah memiliki Perjanjian Kerja
Bersama (PKB), yaitu perjanjian antara Serikat
Pekerja dan Perusahaan yang di dalamnya
mengatur syarat-syarat kerja , serta hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
Selain mengatur syarat-syarat kerja yang belum
diatur dalam peraturan perundang-undangan,
Peraturan Perusahaan juga merinci lebih lanjut
ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan.
Dalam hal Peraturan Perusahaan mengatur kembali
(menegaskan) ketentuan peraturan perundang-
undangan, maka ketentuan itu kondisinya harus
lebih baik dari peraturan perundang-undangan.
Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya
memuat :
1. Hak dan kewajiban Perusahaan.
2. Hak dan kewajiban Karyawan.
3. Syarat kerja.
4. Tata tertib perusahaan.
5. Jangka waktu berlakunya Peraturan
Perusahaan.
Dalam satu Perusahaan hanya boleh dibuat satu
Peraturan Perusahaan yang berlaku bagi seluruh
Karyawan. Jika Perusahaan memiliki cabang, maka
selain Peraturan Perusahaan induk yang berlaku
bagi semua Karyawan, Perusahaan juga dapat
membuat Peraturan Perusahaan turunan yang
berlaku khusus bagi Karyawan di masing-masing
cabang Perusahaan sesuai dengan kondisi masing-
masing Perusahaan cabang. Dalam hal beberapa
perusahaan tergabung dalam satu grup, dan
masing-masing Perusahaan merupakan badan
hukum yang berdiri sendiri-sendiri, maka
Peraturan Perusahaan harus dibuat oleh masing-
masing Perusahaan itu sebagai badan hukum.
Penyusunan Draf Peraturan Perusahaan
Tugas penyusunan Peraturan Perusahaan
merupakan tanggung jawab dari Perusahaan.
Sebelum disahkan oleh Menteri, penyusunan itu
dilakukan oleh Perusahaan dengan memperhatikan
saran dan pertimbangan dari Karyawan terhadap
draf Peraturan Perusahaan. Karena masukan dari
Karyawan itu bersifat “saran” dan “pertimbangan”,
maka pembuatan Peraturan Perusahaan tidak dapat
diperselisihkan – bila terjadi perbedaan pendapat
antara Karyawan dan Perusahaan. Karena sifatnya
saran dan pertimbangan, maka Karyawan dapat
juga untuk tidak memberikan saran dan
pertimbangan tersebut meskipun telah diminta
oleh Perusahaan.
Pemilihan wakil Karyawan dalam rangka
memberikan saran dan pertimbangannya harus
dilakukan dengan tujuan untuk mewakili
kepentingan para Karyawan. Pemilihan itu
dilakukan secara demokratis, yaitu dipilih oleh
Karyawan sendiri terhadap Karyawan yang
mewakili setiap unit kerja di dalam Perusahaan.
Apabila di dalam Perusahaan telah terbentuk
Serikat Pekerja, maka saran dan pertimbangan
tersebut diberikan oleh pengurus Serikat Pekerja.
Untuk memperoleh saran dan pertimbangan dari
wakil Karyawan, pertama-tama Perusahaan harus
menyampaikan naskah rancangan Peraturan
Perusahaan itu kepada wakil Karyawan – atau
Serikat Pekerja. Saran dan pertimbangan tersebut
harus sudah diterima kembali oleh Perusahaan
dalam waktu 14 hari kerja sejak tanggal
diterimanya naskah rancangan Peraturan
Perusahaan oleh wakil Karyawan. Jika dalam waktu
14 hari kerja itu wakil Karyawan tidak memberikan
saran dan pertimbangannya, maka Perusahaan
sudah dapat mengajukan pengesahan Peraturan
Perusahaan itu tanpa saran dan pertimbangan dari
Karyawan – dengan disertai bukti bahwa
Perusahaan telah meminta saran dan pertimbangan
dari wakil Karyawan namun Karyawan tidak
memberikannya.
Pengesahan Menteri Ketenagakerjaan
Permohonan pengesahan Peraturan Perusahaan
diajukan kepada Menteri melalui pejabat yang
ditunjuk. Pengajuan permohonan itu dilakukan
dengan melengkapi:
1. Permohonan tertulis yang memuat
keterangan mengenai Perusahaan.
2. Naskah Peraturan Perusahaan dalam rangkap
3 yang telah ditandatangani oleh Perusahaan.
3. Bukti telah dimintakan saran dan
pertimbangan dari wakil Karyawan.
Setelah Pejabat yang ditunjuk meneliti kelengkapan
dokumen-dokumen tersebut, dan dalam naskah
Peraturan Perusahaan juga tidak terdapat materi
yang bertentangan dengan peraturan perundangan-
undangan, selanjutnya Pejabat yang ditunjuk wajib
mengesahkan Peraturan Perusahaan. Pengesahan
itu dilakukan dengan menerbitkan Surat Keputusan
dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak
tanggal diterimanya permohonan pengesahan.
Sebaliknya, Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi,
maka Pejabat yang ditunjuk akan mengembalikan
secara tertulis permohonan pengesahan Peraturan
Perusahaan kepada Perusahaan yang bersangkutan
dalam waktu paling lama 7 hari kerja sejak
diterimanya pengajuan permohonan pengesahan.
Pengembalian itu disertai dengan catatan-catatan
tentang kelengkapan yang perlu diperbaiki.
Perusahaan wajib menyampaikan Peraturan
Perusahaan yang telah dilengkapi atau diperbaiki
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 14 hari
sejak tanggal diterimanya pengembalian Peraturan
Perusahaan. Jika Perusahaan tidak memenuhinya
sesuai waktu yang telah ditentukan, maka
Perusahaan dapat dinyatakan tidak mengajukan
permohonan pengesahan Peraturan Perusahaan –
sehingga dapat dianggap belum memiliki Peraturan
Perusahaan.
Masa Berlakunya Peraturan Perusahaan
Masa berlakunya Peraturan Perusahaan paling
lama adalah 2 tahun, dan setelahnya wajib
diperbaharui kembali. Selama masa berlakunya
peraturan perusahaan, apabila Serikat Pekerja
menghendaki untuk diadakannya perundingan
Perjanjian Kerja Bersama, maka Perusahaan wajib
melayaninya. Namun jika perundingan itu tidak
mencapai kesepakatan, maka Peraturan
Perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka
waktunya. (legalakses.com ).
Artikel Terkait:
1. Contoh Peraturan Perusahaan
2. Perjanjian Kerja: PKWT dan PKWTT
3. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu
(PKWT)
4. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT)
Komentar
7 Komentar
LEAVE A REPLY
Post Comment
next › ‹ prev
85 Like Share
membuat peraturan perusahaan
pendaftaran peraturan perusahaan
pengesahan peraturan perusahaan
peraturan perusahaan perjanjian kerja
perjanjian kerja bersama
PKB
waktu berlakunya peraturan perusahaan
Langganan:
Komentar (Atom)
sukristiawan.com:Fundamental Dasar Saham yang sering disebut sebagai Analisis Fundamental.
Fundamental Dasar Saham yang sering disebut sebagai Analisis Fundamental . Tentu, mari kita bahas Fundamental Dasar Saham yang sering dis...
-
Pada Sidang International Labour Organization (ILO) tahun 2024, **Jumhur Hidayat** (Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia...
-
Inilah Daftar Ribuan Nama Indonesia Di Panama Papers (Alphabetical Order) Inilah Daftar 2.961 Nama Indonesia Di “Panama Papers” (Alphabet...



