Minggu, 22 Maret 2015

sukristiawan.com:MK menolak permohonan uji UU 13 thn 2003 Ketenagakerjaan oleh APINDO pasal 88&89


Ada 0 Komentar Untuk Berita Ini

Kirim Komentar Anda

Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait Berita yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan Mahkamah Konstitusi dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.
Komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Mahkamah Konstitusi Berhak memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
Silahkan Login Atau Register Untuk Mengkomentari Berita Ini

Sabtu, 14 Maret 2015

sukristiawan.com:sejarah pahit indonesia yg disembunyikan olek kepentingan amerika

Sejarah Pahit Indonesia Yang Disembunyikan Buku-Buku Pelajaran Sejarah
Diposkan oleh Admin di 13.01

AGRESI MILITER BELANDA S/D G30S (1945-1967)



Tidak banyak literatur yang mengulas tentang partisipasi Amerika Serikat pada salah satu masa paling kelam dalam sejarah Indonesia, yakni pada medio 1945-1949 saat Agresi Belanda. Pentingnya peran Paman Sam dalam terselenggaranya invasi militer yang dilakukan kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak disertakan dalam jurnal dan tesis sejarawan, salah satunya H.W. van den Doel, sejarawan Belanda mumpuni yang menyertakan kebijakan luar negeri AS sebagai salah satu variabel signifikan dalam dinamika invasi militer Belanda di tanah air.



Dukungan Whasington Untuk Kolonialisme Belanda



Dalam studinya, H.W. van den Doel juga menyebutkan bahwa dukungan Washington terhadap praktek kolonialisme Belanda di kepulauan Indonesia telah jauh dicanangkan dari awal tahun 1920, dan masih belum berubah pada pasca PDII, tak tergoyahkan oleh sentimen anti-kolonialisme yang mulai menjadi wacana mengemuka di peradaban barat. Prinsip paling fundamental dari kebijakan luar negeri Amerika yang lebih tinggi dari ‘Sepuluh Perintah Tuhan’, adalah perjuangan suci untuk melindungi kepentingan AS dan kroni-kroninya di muka bumi. Adalah absurd untuk mengasumsikan proses kolonialisasi Belanda di Indonesia dapat berlangsung dengan lancar apabila bertolak-belakang dengan visi geopolitik Washington. Dengan kata lain, kolonialisme Belanda pra dan pasca kemerdekaan di tanah air sudah sejalan dan harmoni dengan kebijakan luar negeri Paman Sam.

Situasi pasca PDII, memasuki era Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet adalah faktor utama yang melebarkan jurang perbedaan visi kebijakan luar negeri Amerika dengan gerakan anti-kolonial di Asia Tenggara. Setelah Presiden Sukarno memohonkan dukungan ke Washington pada Oktober 1945, Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia bertemu dengan Harry Truman pada bulan Desember tahun yang sama untuk kembali memohon bantuan.

Keadaan yang belum disadari para pemimpin muda Republik Indonesia pada saat itu adalah situasi politik di arena Eropa pasca PDII yang mulai direpotkan oleh kehadiran musuh baru, yakni partai-partai komunis yang mulai merebak di Prancis, Itali, Inggris dan Belanda, yang mengancam kepentingan para pemodal dan pertumbuhan kapitalisme di Eropa. Karena ini, kebijakan luar negeri administrasi Truman tidak mungkin mendukung gerakan nasionalis anti-kolonialisme di wilayah koloni Eropa, yang beresiko untuk memiliki dampak langsung terhadap dinamika politik dan ekonomi di Eropa. Analisa geopolitik dari Departemen Perencanaan Kebijakan AS saat itu menilai, bahwa lebih ‘aman’ untuk mendukung kolonialis Belanda daripada mendukung revolusi politik dan gerakan nasionalis anti-kolonialisme yang sulit ditebak arahnya (1). Paman Sam memutuskan untuk mendukung penuh agresi militer sekutunya Belanda meskipun telah mengumumkan posisi netral dalam konflik tersebut.

Usaha Pemulihan Ekonomi Eropa Setelah PD II

Belanda sendiri, sebagai sekutu yang telah membuktikan kesetiannya kepada Amerika selama PDII, diberikan dukungan penuh atas legitimasi kolonialisasi di Hindia Belanda(2), melalui bantuan finansial Marshall Plan (semacam IMF untuk negara-negara Eropa yang terkena imbas PDII), salah-satu butirnya menyebutkan agar Belanda menggunakan pinjaman Marshall Plan untuk membangun kembali perdagangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Hindia Belanda (Indonesia). Indonesia menjadi satu-satunya negara koloni Eropa yang tercantum sebagai butir dalam perjanjian bantuan Marshall Plan, dan dengan ini Belanda menjadi satu-satunya negara yang mendapat dukungan tertulis dari Amerika sehubungan dengan klaim atas koloninya di wilayah Asia Afrika. Adalah penyertaan Indonesia dalam Marshall Plan ini yang melegitimasi Den Haag untuk melakukan embargo ekonomi terhadap negara kedaulatan Republik Indonesia.



Amerika Mempersenjatai Belanda Untuk Agresi militer

Washington juga memberikan restu kepada militer Belanda untuk menggunakan peralatan tempur AS dalam status pinjaman, yang menambah secara signifikan ranpur Belanda pada agresi militer pasca kemerdekaan. Pada musim gugur 1945, Sekretaris Negara AS George C. Marshall memerintahkan untuk mencabut seluruh identitas militer AS yang menempel pada peralatan dan kendaraan tempur (termasuk pesawat P-47 Thunderbolt, tank Sherman dan Stuart) yang akan digunakan oleh pasukan SEAC (South East Asia Command) Lord Louis Mountbatten untuk membantu Belanda membombardir Surabaya pada 10 November 1945. Pada 30 November 1946, pemerintah AS secara gratis meminjamkan kepada militer Belanda (melalui melalui program pinjaman ranpur) 118 pesawat terdiri dari pembom B-25, pesawat tempur P-40 dan P-51 Mustang, 45 unit tank Stuart, 459 jip militer, 170 unit artileri, dan persenjataan infantri dalam jumlah yang sangat besar untuk digunakan untuk ‘menjinakan’ Hindia Belanda. Truk pengangkut militer dalam jumlah besar, dan logistik dari arena perang pasifik pun diserahkan oleh Paman Sam kepada Belanda. Militer Belanda juga diberikan fasilitas untuk melakukan pembelian 65.000 ton logistik militer non-amunisi (3).



Amerika juga memberikan restu kepada Pemerintah Belanda untuk mengalokasikan pinjaman sebesar US$ 26.000.000 yang diberikan oleh Dinas Administrasi Aset Perang AS (WAA) pada Oktober 1947 untuk membeli senjata dan amunisi demi mendukung kelangsungan kampanye militernya di Hindia Belanda. Sampai Desember 1948, Amerika masih memboikot keanggotaan Republik Indonesia dalam Komisi Ekonomi PBB untuk Asia Timur Jauh (ECAFE), hal yang kemudian menjadi “lampu hijau” bagi Belanda untuk melancarkan Agresi Militer Jilid II dengan melakukan serangan kejutan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 (4). Boleh dibilang, agresi militer Belanda pasca kemerdekaan tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan langsung dan restu dari Washington (5).



Pada 17 Desember 1948, Direktur dari Departemen Perencanaan Kebijakan George F. Kennan berkata, “Salah satu variabel krusial dalam perjuangan Washington melawan Kremlin adalah masalah Indonesia.” Kennan memberikan masukan kepada Sekretaris Negara George C. Marshall, bahwa salah satu elemen vital bagi upaya pelestarian kepentingan AS di Asia dalam situasi Perang Dingin, adalah penciptaan “Indonesia yang ramah kepada Amerika” secepat mungkin. Siapapun yang menguasai kepulauan Indonesia, apakah itu pemerintahan kolonial Belanda, atau pemerintah Republik Indonesia, tidak boleh dibiarkan untuk membuka pintunya kepada komunisme (6).




Kiprah Komunis Yang Semakin Menguat



Eskalasi situasi politik antara Washington dan Kremlin mulai memasuki babak baru sejak akhir tahun 1947 dengan tingkat ketegangan yang berpotensi berkembang dari Perang Dingin menjadi Perang Panas. Namun baru pada pertengahan tahun 1949, Washington dipaksa untuk meninjau ulang seluruh kebijakan luar negeri termasuk masalah kolonialisme di Indonesia dan Vietnam, dipicu oleh keberhasilan Uni Soviet dalam uji coba peledakan bom atom pertamanya. Kemenangan revolusi komunis Mao Zedong yang mengalahkan pasukan nasonalis Chiang Kai Sek makin membuat Washington seperti kebakaran jenggot, yang berpuncak pada perumusan ulang seluruh kebijakan luar negeri AS di Asia, dan penerbitan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.68 (NSC 68), yang diciptakan untuk menselaraskan sikap PBB menyesuaikan dengan strategi global baru dari Washington (7).



Namun yang tak diduga memiliki imbas positif dan berdampak langsung pada perjuangan anti-kolonialisme, adalah kegagalan Belanda menaklukan Indonesia pada agresi militer jilid II-nya yang dieksekusi dengan kekuatan penuh. Kegagalan serangan militer Belanda ke pusat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta ini, membuat Washington mulai hilang kesabaran, dan kehilangan kepercayaan pada kemampuan Belanda untuk menyelesaikan ‘pekerjaan’nya di Indonesia. Para analis dan pengambil keputusan di Washington mulai berhitung dan mengkaji ulang dukungan Paman Sam pada kampanye militer Belanda yang mahal di Timur Jauh.



Momen yang juga menjadi titik balik krusial yang mempengaruhi dukungan Washington kepada agresi militer Belanda yang dinilai bertele-tele, adalah kejadian pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di kota Madiun pada 18 September 1948. Soekarno yang dengan segera mengutuk percobaan coup d’état (kudeta) tersebut, serta merta memberikan pernyataan yang sangat keras melalui radio, “Bangsa Indonesia harus memilih! Saya, atau Musso??” (pemimpin pemberontakan PKI di Madiun). Di mata para pengambil kebijakan di Washington, ini adalah suatu bentuk demonstrasi keberpihakan dari para pemimpin Republik Indonesia, dan berpotensi merobah orientasi kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Belanda-Indonesia (8). Di pihak lain, rengekan Den Haag yang terus-menerus meminta dukungan tanpa disertai progres yang signifikan mulai menyebalkan terdengar di telinga.




Amerika Serikat Melakukan "Penghianatan" Pada Belanda



Kegagalan agresi militer Belanda jilid II, dan posisi Soekarno terhadap komunisme, sudah cukup bagi George Kennan dan Departemen Perencanaan Kebijakan AS untuk memberikan penilaian akhir yang akan mengakhiri keruwetan di Hindia Belanda, yakni: adalah lebih murah dan ekonomis bagi Amerika untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, daripada memberikan dukungan finansial dan ranpur kepada militer Belanda yang ‘memble’ (9). Dan konsekuensi dari keputusan ini adalah perubahan sikap Amerika yang drastis di forum Dewan Keamanan PBB pada 27 Desember 1949, ketika delegasi Amerika dengan terbuka meminta Belanda untuk menyerahkan kepulauan Indonesia kepada pemerintahan Soekarno (10). Kennan yakin bahwa Perang Dingin akan lebih mudah dimenangkan menggunakan senjata ekonomi dari pada militer. Maka, konflik yang berkepanjangan akan mengganggu hegemoni Kubu Barat di wilayah Timur Jauh, dan proses perdamaian harus segera di-instalasi untuk segera menciptakan “Indonesia yang ramah kepada Amerika”, dan memulai proses eksploitasi sumber daya alam dan manusia (11).



Gelombang demi gelombang kritik, protes, dan ratapan dilayangkan oleh Belanda dalam kefrustrasian oleh pengkhianatan sang ‘abang’, namun kesempatan tidak akan diberikan Amerika untuk ketiga kalinya. Keputusan bulat Paman Sam dibuktikan ketika Duta Besar Amerika untuk PBB Phillip Jessup bersama delegasi AS memberikan suara untuk sanksi kepada Belanda oleh Dewan Keamanan PBB (12). Pemberian sanksi ini telah membuat Belanda menjadi lelucon di Komite Bangsa-Bangsa Dunia di PBB. Bahkan budayawan Belanda Cees Fasseur mengilustrasikan upaya militer untuk memperpanjang gelar ‘induk semang’ di Hindia Belanda sebagai suatu dagelan, dan hanya Amerika yang bisa menarik mereka keluar dari tragedi yang memalukan ini (13).




Non-Blok Mengecewakan Amerika

Namun apa daya, dukungan Paman Sam kepada kemerdekaan Indonesia dengan harapan dapat mendirikan pos kekuatan baru yang akan membantu meredam gelombang komunisme di Asia, punah sudah dengan kebijakan luar negeri revolusioner ‘non blok’ Soekarno-Hatta yang mengejar posisi netral di peta politik dunia. Sedikit mereka sadari, bahwa fundamen prinsip dari Washington adalah “Siapapun yang tidak bersama kita, berarti mereka lawan kita”. Kekecewaan semakin memuncak ketika Soekarno menerbitkan kebijakan yang merangkul komunisme pada September 1950, dengan alasan harmoni sosial dan stabilitas politik. Diperparah dengan semakin besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia di kancah politik yang dibiarkan oleh Soekarno. Ini diterjemahkan sebagai tindak pengkhianatan oleh Washington, dan memposisikan Indonesia sebagai target dari kebijakan politik agresif (14).



Black Ops Cikal Bakal Gerakan G30S PKI



Pada sebuah dokumentasi yang berjudul FRUS (Foreign Relations of the United States) Jilid ke-26 yang diterbitkan pada Juli 2001, sebuah pembahasan mendetail mengenai hubungan politik Amerika dengan Indonesia, Malaysia, Singapur dan Filipina pada medio tahun 1964-1968. Administrasi Lyndon Johnson memberikan perintah kepada CIA untuk melancarkan operasi rahasia dengan kode sandi ‘Black Ops’, yang juga dikenal dengan sebutan ‘Operasi Hitam’. Black Ops adalah Joint Operation (operasi gabungan) antara Pentagon dan CIA, yang memiliki tugas paling vital dan strategis dalam hierarki intelijen di Amerika, dengan misi-misi yang diembankan antara lain: pembunuhan kepala negara, mengorkestrasi kudeta, mengatur pemilihan umum, propaganda dan perang intelijen, semua dengan satu tujuan: yakni untuk pelestarian kepentingan Amerika dan kroni-kroninya di dalam maupun luar negeri.






Tugas yang diemban Black Ops kali ini adalah untuk menggulingkan Soekarno melalui kudeta militer yang dieksekusi pada 30 September 1965 yang diberi kode 'GESTAPU' (Gerakan September Tiga Puluh). Washington disebutkan melakukan transfer dana sebesar 1.100.000 dollar Amerika ke beberapa petinggi militer TNI AD untuk mengkoordinir operasi paramiliter melakukan eksekusi berdarah, yang belakangan disebut sebagai “pasukan penjagal” oleh surat kabar International Herald Tribune (15). Pada 2 Desember 1965, Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green memberikan daftar seluruh anggota aktif PKI yang dikompilasi oleh CIA kepada koordinator keamanan darurat militer. Alhasil, 100.000 sampai 1.000.000 orang diperkirakan tewas oleh kudeta berdarah yang menjelma menjadi propaganda rezim Orde Baru untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Pada 15 April 1966, sebuah kawat diplomatik Duta Besar Marshall ke Washington, “keterlibatan kita sangatlah minimal sebagaimana layaknya operasi Black Ops yang sudah-sudah.”




Dimulainya Cengkraman Amerika Atas Kekayaan Pertiwi



Agenda pertama yang dilakukan oleh Soeharto sebagai PJS Presiden Republik Indonesia adalah menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 yang secara praktis menggelar karpet merah dengan memberikan kuasa pertambangan kepada Freeport yang akan mengangkut kandungan emas terbesar di dunia keluar dari Indonesia menyisakan sedikit saja bagi anak bangsa, perusahaan minyak Mobil Oil, Exxon dan Chevron (dulu masih bernama Stanvac dan Vico yang merupakan anak-anak perusahaan Standard Oil milik Rockefeller) untuk menguasai blok-blok minyak Cepu, Natuna, Aceh, Papua (secara praktis seluruh ladang minyak di tanah air), dengan kontrak mati yang selalu diperbaharui setiap tahun. Agenda politik dari kedatangan Obama ke tanah air baru-baru ini adalah untuk menekan administrasi SBY untuk melancarkan re-negosiasi di Blok minyak Cepu yang sempat alot karena kehadiran rival RRC, dan oleh beberapa nasionalis tanah air yang tobat nasuha.

Pustaka

"Foreign Relations of the United States (Sutan Sjahrir to Harry Truman 1945) FRUS volume 6; "Shared Hopes - Separate Fears. 50 Years of US - Indonesian Relations" (Boulder CO), Paul F. Gardner

"Robert Lovett to Frank Graham 31 December 1947" FRUS volume 6


"Army Surplus Property Disposal" (Lacey to Graham) 13 October 1947, RG59, PSA, Box No.4,NARA; "American Military Assistance to the Netherlands during Indonesian Struggle for Independence 1945-1949" (Mededelingen van de Sectie Militaire Geschiedenis) volume 8, Gerlof D. Homan

"Australia and Indonesia's Independence" volume 2; "The Renville Agreement Documents 1948" (Canberra), Phillip Dorling and David Lee

"Marshall Aid as a Catalyst in the Decolonization of Indonesia 1947-1949"; "Journal of Southeast Asian Studies No.2", Pierre van der Eng; "The United States and the Anti-Colonial Revolutions in Southeast Asia", George McTuman Kahinl "The Origins of the Cold War in Asia" (New York), Yonosuke Nagai and Akira Iriye

"Oral Communication from Kennan to Marshall and Lovett on 17 December 1948" (Records of the Policy Planning Staff 1947-1953), labelled "Indonesia" RG59, Box no.18, NARA

"The Cold War on the Periphery. The United States, India and Pakistan" (New York), Robert J. McMahon


"American Diplomacy", Schulzinger

"Subversion as Foreign Policy. The Secret Eisenhower, and Dulles Debacle in Indonesia" (New York) Audrey R. Kahin

"The United States and the Struggle for Southeast Asia 1945-1975" (Westport, London), Alan J. Levine

"Den Haag Antwoordt Niet", Van Vredenburch

"Acheson, His Advisors, and China 1949-1950", Cohen


"Afscheid van Indie: de val van het Nederlandse imperium in Azie" (Amsterdam), H.W. van den Doel

"US Tries to Call Black Account on Indonesian Killings" (International Herald Tribune 30 July 2001), George Lardner Jr.; "Role of CIA in the coup of 30 September 1965" FRUS volume 26 (2001)

http://www.indowebster.web.id/archive/index.php/t-173049.html?s=0cb4db167b8a408d747dcbb44e2c28b1

* rangkuman dari buku "American Visions of the Netherlands East Indies (Indonesia): US Foreign Policy and Indonesian Nationalism 1920-1949" (Amsterdam Univ.Press), Frances Gouda

Selasa, 24 Februari 2015

@sukristiawan cah jogja

Join me on tsū, they are sharing social revenues with all of us #tsunation https://www.tsu.co/sukristiawan

Senin, 23 Februari 2015

PHK sepihak. artech Kategori:Buruh & Tenaga Kerja Apabila seorang karyawan di-PHK secara sepihak dan setelah melalui proses pembicaraan tripartiet, dia dianjurkan oleh Disnaker untuk masuk bekerja kembali sedangkan perusahaan tetap tidak mau menerima si karyawan. Apakah si karyawan masih berhak menerima gaji yang tidak pernah dibayarkan oleh perusahaan sejak dia di PHK sepihak? Apa yang harus dilakukan apabila perusahaan tetap tidak mau menerima si karyawan dan tetap tidak mau membayarkan gajinya? Jawaban: Dalam pasal 151 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Selanjutnya, pasal 151 ayat (2) menjelaskan bahwa jika pemutusan hubungan kerja tidak bisa dihindarkan wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Ketentuan pasal 151 ayat (1) dan ayat (2) berarti, PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak melainkan harus melalui perundingan terlebih dahulu. Kemudian, apabila hasil perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Demikian ketentuan pasal 151 ayat (3) UU ketenagakerjaan. Adapun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dimaksud adalah mediasi ketenagakerjaan, konsiliasi ketenagakerjaan, arbitrase ketenagakerjaan dan pengadilan hubungan industrial. Hal tersebut diatur lebih jauh di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Pemutusan Hubungan Kerja tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial akan menjadi batal demi hukum. Artinya, secara hukum PHK tersebut dianggap belum terjadi (pasal 155 ayat 1 UU Ketenagakerjaan). Dan selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (pasal 155 ayat [2] UU Ketenagakerjaan). Pekerja/buruh tetap harus bekerja dan Pengusaha tetap harus membayarkan upahnya selama belum ada keputusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pengusaha dapat melakukan pengecualian berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayarkan upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (pasal 155 ayat [3] UU Ketenagakerjaan). Apa yang harus dilakukan apabila perusahaan tetap tidak mau menerima si karyawan dan tetap tidak mau membayarkan gajinya? Menurut pasal 96 UU PPHI, apabila dalam persidangan pertama secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya, maka hakim ketua sidang harus segera memberikan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan. Jika putusan sela tersebut tidak dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial. Putusan sela tersebut tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum. Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. Peraturan perundang-undangan terkait: 1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Bung Pokrol Share: Bung Pokrol Pesangon (IV) Pidana Bisa Jadi Perdata? bantuan hukum Agunan Yang Dialihkan Hutang & Kredit Macet Pelaksanaan Ibadah bagi Karyawan Putusan Verstek Adakah batas waktu pembayaran Uang Penggantian Hak? Bank Garansi Pembatalan Jual Beli
Bolehkah Atasan Mengatakan 'Anda Saya Pecat!'? th0riq Kategori:Buruh & Tenaga Kerja Salam sejahtera hukum online, saya adalah karyawan sebuah perusahaan multinasional di Bekasi. Saya ingin menanyakan beberapa kasus yang pernah terjadi di tempat saya bekerja: 1. Bolehkah seorang atasan mengatakan "anda saya pecat !!!" atau "anda mau saya pecat?!" atau "anda mau di pecat?!!" dsb? 2. Jikalau memang tidak boleh, mohon pertimbangan hukumnya,dan apa sanksi hukum yang harus diterima atasan tersebut? 3. Langkah apa saja yang harus ditempuh jika terjadi hal seperti itu? Atas bantuannya saya ucapkan banyak terima kasih. Jawaban: Terima kasih atas pertanyaan Anda. 1. Sebenarnya, tidak ada ketentuan yang melarang pengusaha untuk berkata “Anda saya pecat!” atau yang senada dengan itu. Akan tetapi, jika ada pengusaha yang mengatakan demikian, tidak serta merta saat itu juga secara hukum terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”). Menurut Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja secara sembarangan tanpa alasan yang dibenarkan undang- undang. Sayangnya, Anda tidak menjelaskan lebih lanjut apa alasannya sehingga atasan Anda mengatakan “Anda saya pecat!” kepada pekerja yang bersangkutan. Jika ungkapan tersebut disebabkan pekerja dianggap tidak menjalankan perintah atasan, maka pengusaha dapat menjatuhkan sanksi kepada pekerja sebagaimana tertuang dalam peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja (PK) dan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Umumnya, sanksi itu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pembinaan, skorsing atau bahkan PHK (simak juga artikel Dalil PHK yang mengada-ada ). Dalam hal PHK, menurut Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan , pengusaha tidak boleh mem-PHK pekerja karena alasan antara lain: a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. pekerja/buruh menikah; e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/ buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/ serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Jika pengusaha mem-PHK pekerja karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan undang-undang, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan ). Berdasarkan Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan , baik pihak pengusaha maupun pekerja malah diharuskan dengan segala upaya agar jangan sampai terjadi PHK. Jika segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak terhindarkan maka maksud PHK harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja (Pasal 151 ayat [2] UU Ketenagakerjaan ). Apabila perundingan tidak menghasilkan persetujuan juga, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat [3] UU Ketenagakerjaan ). Selain itu, dalam dalam Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diatur juga syarat untuk melakukan PHK yaitu, “ bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut .” Penjelasan selengkapnya mengenai hal ini silakan simak artikel Sanksi Berurutan . Jadi, jelas bahwa pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja hanya dengan mengatakan “anda saya pecat!”. PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yaitu pengadilan hubungan industrial (“PHI”) yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”). Sebelum mem-PHK pekerja, pengusaha juga sebelumnya telah memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga kepada pekerja yang bersangkutan. Dengan demikian, jika pengusaha mengatakan “Anda saya pecat!” kepada pekerja, tidak serta merta saat itu juga secara hukum terjadi PHK. 2. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, tidak ada ketentuan yang melarang pengusaha untuk berkata “Anda saya pecat!” atau yang senada dengan itu. Karena itu, tidak ada sanksi pidana maupun sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pengusaha yang melakukan hal tersebut. Apabila PHK yang memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan telah terjadi, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan ). 3. Jika pengusaha melakukan PHK secara sewenang-wenang, maka langkah yang dapat ditempuh adalah melaporkan tindakan pengusaha kepada instansi ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota karena merupakan pengawas ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU Ketenagakerjaan . Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik, barulah kemudian Anda dapat menempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang sewenang-wenang ke PHI sebagaimana diatur dalam ketentuan UU 2/2004. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Putusan : Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 37/ PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 Bung Pokrol Share: KLINIK TERKAIT: Bisakah Di-PHK Karena Tidur di Tempat Kerja? PHK yang Batal Demi Hukum Dapatkah di-PHK Karena Terlambat Masuk Kantor? Upaya Hukum Jika Di-PHK Sepihak Lewat SMS PHK Sepihak pada Perwakilan Negara Asing di Indonesia Tiga Bulan Tidak Digaji, Bolehkah Pekerja Kontrak Mengundurkan Diri? Dipaksa Perusahaan Tanda Tangani Surat Pengunduran Diri Aturan Jangka Waktu Pemberitahuan Pengunduran Diri (One Month Notice) Ilman Hadi, S.H. Hukum Malpraktik di Indonesia Hak-hak Masyarakat dalam Pemberantasan Kejahatan Narkotika Konsekuensi Hukum Jika Membayar Suap untuk Jadi Polisi Batasan Luka Berat dan Luka Ringan dalam Kecelakaan Lalu Lintas Bolehkah Memotong Upah Pekerja yang Di-Skorsing? Cara Penyelesaian Sengketa Pajak Proses Hukum Oknum Polisi yang Melakukan Tindak Pidana Pemberitaan Pers dan Asas Praduga Tak Bersalah Ukuran Ban Tidak Sesuai Keluaran Pabrik, Bisakah Ditilang? Cara Pembayaran PNBP Fidusia Online

sukristiawancom:Pengertian Peraturan Perusahaan

Pengertian Peraturan Perusahaan Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh Perusahaan, yang di dalamnya memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan ( UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ). Sebuah Peraturan Perusahaan baru dikatakan sah dan mengikat Perusahaan dan Karyawan apabila telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Pengesahan itu dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk, yaitu kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota (untuk perusahaan yang terdapat dalam satu Kabupaten/Kota) dan kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tingkat Provinsi (untuk Perusahaan yang terdapat dalam lebih dari satu wilayah Kabupaten/Kota). Kewajiban membuat Peraturan Perusahaan berlaku terhadap Perusahaan yang memiliki paling sedikit 10 orang Karyawan . Kewajiban itu tidak berlaku apabila Perusahaan telah memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yaitu perjanjian antara Serikat Pekerja dan Perusahaan yang di dalamnya mengatur syarat-syarat kerja , serta hak dan kewajiban kedua belah pihak. Selain mengatur syarat-syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, Peraturan Perusahaan juga merinci lebih lanjut ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan. Dalam hal Peraturan Perusahaan mengatur kembali (menegaskan) ketentuan peraturan perundang- undangan, maka ketentuan itu kondisinya harus lebih baik dari peraturan perundang-undangan. Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat : 1. Hak dan kewajiban Perusahaan. 2. Hak dan kewajiban Karyawan. 3. Syarat kerja. 4. Tata tertib perusahaan. 5. Jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan. Dalam satu Perusahaan hanya boleh dibuat satu Peraturan Perusahaan yang berlaku bagi seluruh Karyawan. Jika Perusahaan memiliki cabang, maka selain Peraturan Perusahaan induk yang berlaku bagi semua Karyawan, Perusahaan juga dapat membuat Peraturan Perusahaan turunan yang berlaku khusus bagi Karyawan di masing-masing cabang Perusahaan sesuai dengan kondisi masing- masing Perusahaan cabang. Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup, dan masing-masing Perusahaan merupakan badan hukum yang berdiri sendiri-sendiri, maka Peraturan Perusahaan harus dibuat oleh masing- masing Perusahaan itu sebagai badan hukum. Penyusunan Draf Peraturan Perusahaan Tugas penyusunan Peraturan Perusahaan merupakan tanggung jawab dari Perusahaan. Sebelum disahkan oleh Menteri, penyusunan itu dilakukan oleh Perusahaan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari Karyawan terhadap draf Peraturan Perusahaan. Karena masukan dari Karyawan itu bersifat “saran” dan “pertimbangan”, maka pembuatan Peraturan Perusahaan tidak dapat diperselisihkan – bila terjadi perbedaan pendapat antara Karyawan dan Perusahaan. Karena sifatnya saran dan pertimbangan, maka Karyawan dapat juga untuk tidak memberikan saran dan pertimbangan tersebut meskipun telah diminta oleh Perusahaan. Pemilihan wakil Karyawan dalam rangka memberikan saran dan pertimbangannya harus dilakukan dengan tujuan untuk mewakili kepentingan para Karyawan. Pemilihan itu dilakukan secara demokratis, yaitu dipilih oleh Karyawan sendiri terhadap Karyawan yang mewakili setiap unit kerja di dalam Perusahaan. Apabila di dalam Perusahaan telah terbentuk Serikat Pekerja, maka saran dan pertimbangan tersebut diberikan oleh pengurus Serikat Pekerja. Untuk memperoleh saran dan pertimbangan dari wakil Karyawan, pertama-tama Perusahaan harus menyampaikan naskah rancangan Peraturan Perusahaan itu kepada wakil Karyawan – atau Serikat Pekerja. Saran dan pertimbangan tersebut harus sudah diterima kembali oleh Perusahaan dalam waktu 14 hari kerja sejak tanggal diterimanya naskah rancangan Peraturan Perusahaan oleh wakil Karyawan. Jika dalam waktu 14 hari kerja itu wakil Karyawan tidak memberikan saran dan pertimbangannya, maka Perusahaan sudah dapat mengajukan pengesahan Peraturan Perusahaan itu tanpa saran dan pertimbangan dari Karyawan – dengan disertai bukti bahwa Perusahaan telah meminta saran dan pertimbangan dari wakil Karyawan namun Karyawan tidak memberikannya. Pengesahan Menteri Ketenagakerjaan Permohonan pengesahan Peraturan Perusahaan diajukan kepada Menteri melalui pejabat yang ditunjuk. Pengajuan permohonan itu dilakukan dengan melengkapi: 1. Permohonan tertulis yang memuat keterangan mengenai Perusahaan. 2. Naskah Peraturan Perusahaan dalam rangkap 3 yang telah ditandatangani oleh Perusahaan. 3. Bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari wakil Karyawan. Setelah Pejabat yang ditunjuk meneliti kelengkapan dokumen-dokumen tersebut, dan dalam naskah Peraturan Perusahaan juga tidak terdapat materi yang bertentangan dengan peraturan perundangan- undangan, selanjutnya Pejabat yang ditunjuk wajib mengesahkan Peraturan Perusahaan. Pengesahan itu dilakukan dengan menerbitkan Surat Keputusan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan pengesahan. Sebaliknya, Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka Pejabat yang ditunjuk akan mengembalikan secara tertulis permohonan pengesahan Peraturan Perusahaan kepada Perusahaan yang bersangkutan dalam waktu paling lama 7 hari kerja sejak diterimanya pengajuan permohonan pengesahan. Pengembalian itu disertai dengan catatan-catatan tentang kelengkapan yang perlu diperbaiki. Perusahaan wajib menyampaikan Peraturan Perusahaan yang telah dilengkapi atau diperbaiki kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 14 hari sejak tanggal diterimanya pengembalian Peraturan Perusahaan. Jika Perusahaan tidak memenuhinya sesuai waktu yang telah ditentukan, maka Perusahaan dapat dinyatakan tidak mengajukan permohonan pengesahan Peraturan Perusahaan – sehingga dapat dianggap belum memiliki Peraturan Perusahaan. Masa Berlakunya Peraturan Perusahaan Masa berlakunya Peraturan Perusahaan paling lama adalah 2 tahun, dan setelahnya wajib diperbaharui kembali. Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila Serikat Pekerja menghendaki untuk diadakannya perundingan Perjanjian Kerja Bersama, maka Perusahaan wajib melayaninya. Namun jika perundingan itu tidak mencapai kesepakatan, maka Peraturan Perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktunya. (legalakses.com ). Artikel Terkait: 1. Contoh Peraturan Perusahaan 2. Perjanjian Kerja: PKWT dan PKWTT 3. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT) 4. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Komentar 7 Komentar LEAVE A REPLY Post Comment next › ‹ prev 85 Like Share membuat peraturan perusahaan pendaftaran peraturan perusahaan pengesahan peraturan perusahaan peraturan perusahaan perjanjian kerja perjanjian kerja bersama PKB waktu berlakunya peraturan perusahaan

sukristiawan.com:Fundamental Dasar Saham yang sering disebut sebagai Analisis Fundamental.

Fundamental Dasar Saham  yang sering disebut sebagai  Analisis Fundamental . Tentu, mari kita bahas Fundamental Dasar Saham yang sering dis...