POLITIK EKONOMI SOSIAL BUDAYA MILITER BUDAYA KESEHATAN SEJARAH OLAHRAGA BISNIS TEKNOLOGI PARIWISATA HUKUM AGAMA EDUKASI SASTRA NASIONAL INTERNASIONAL
Kamis, 15 Januari 2015
Kisah Bripda Taufik, Wujudkan Mimpi Jadi Polisi
meski Tinggal di Bekas Kandang Sapi
TRIBUN JOGJA/SANTO ARI
Bripda Muhammad Taufik Hidayat di depan
rumahnya. Ia dan keluarga tingga di bangunan
yang sebelumnya adalah kandang sapi.
Kamis, 15 Januari 2015 | 06:45 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS.com — "Bapak tampar pipi
saya. Ini bukan mimpi toh . Saya benar diterima
menjadi polisi". Itulah kata-kata pertama yang
keluar dari mulut Bripda M Taufik Hidayat kepada
ayahnya, Triyanto, saat pertama kali tahu kalau dia
lulus menjadi calon anggota polisi.
Kata-kata itu bukanlah tanpa alasan. Sebab, meski
dengan segala keterbatasan ekonomi, pemuda
kelahiran 20 Maret 1995 ini perlu berjuang keras
untuk dapat meraih cita-citanya menjadi anggota
kepolisian. Terlahir dari keluarga tidak mampu,
sejak kecil M Taufik Hidayat sudah terbiasa kerja
keras untuk meraih apa yang diinginkannya.
Pendapatan Triyanto yang hanya sebagai buruh
bangunan terbilang pas-pasan untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari. Belum lagi untuk
membiayai sekolah Taufik dan ketiga adik-adiknya.
Tak jarang, Taufik harus menunggak biaya
sekolahnya karena tak punya biaya.
Karena itu, demi dapat menyelesaikan sekolahnya
dan membantu keuangan keluarga, Taufik rela ikut
bekerja sebagai tukang gali pasir di Sungai Gendol.
"Saya bantu bapak menambang pasir di Sungai
Gendol. Ya untuk biaya hidup dan biaya sekolah
saya dan adik-adik," ucapnya.
Menunda mimpi
Lulus dari sekolah menengah kejuruan (SMK), anak
pertama dari empat bersaudara ini pun harus
menahan cita-citanya mendaftar menjadi anggota
kepolisian. Kebutuhan ekonomi memaksanya untuk
bekerja di bekas sekolahnya, SMK 1 Seyegan,
sebagai pembina Pramuka merangkap asisten
perpustakaan.
"Honor saya dari pembina Pramuka dan asisten
perpustakaan sekitar Rp 700.000," tuturnya.
Pada awal Desember 2014 lalu, Taufik
memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaan di
SMK 1 Seyegan. Ia membulatkan tekadnya untuk
mendaftar sebagai calon anggota polisi di Mapolda
DIY. Berkat kerja keras dan doa sang ayah, pada
akhir Desember 2014 Taufik lulus dari tes Calon
Anggota Polisi dan mengikuti pendidikan di
Sekolah Polisi Negara Selopamioro, Imogiri,
Bantul.
"Saya tidak percaya, sampai minta bapak
menampar pipi. Bahkan saat di gerbang SPN saya
masih tidak percaya," ujar Taufik sambil tersenyum
ketika mengingat satu fragmen dalam hidupnya.
Setelah lulus dengan pangkat Bripda, Taufiq
menjalani karier pertamanya di Direktorat Sabhara
Polda DIY. Namun, lagi-lagi karena tidak punya
biaya dan kendaraan, setiap pagi saat berangkat
dinas, Bripda M Taufik Hidayat harus rela berjalan
kaki sekitar 7 kilometer dari rumahnya di Dusun
Jongke Tengah RT 04 RW 23 Desa Sendangadi,
Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, menuju
Mapolda DIY.
"Bangun subuh, salat, lalu jalan kaki ke Mapolda
DIY. Kadang kalau pas ketemu teman ya bonceng,"
tuturnya.
Diakuinya, meski telah bangun subuh, tetapi
dirinya sering terlambat masuk dinas.
Keterlambatan itulah yang menuai kecurigaan dari
atasannya. Setelah memberikan penjelasan dan
mengecek kebenaran itu, atasan Bripda Taufik
lantas meminjamkan motor pribadinya. "Sekarang
saya dipinjami motor Pak Wadir Sabhara,"
ucapnya.
Hidup prihatin
Seperti bola tenis, ketika dilempar dengan keras ke
tanah maka lentingannya akan lebih tinggi ke atas.
Seperti itulah tekad Bripda Taufik. Pahit getir dan
kerasnya kehidupan yang dijalani anggota Sabhara
Polda DIY sejak kedua orangtuanya bercerai
menjadi kekuatan untuk melenting lebih tinggi.
Saat duduk di bangku SMP, Bripda Taufik harus
menerima kenyataan pahit. Kedua orangtuanya
bercerai. Rumah satu-satunya pun dijual oleh
sang ibu.
Alhasil, Bripda Taufik bersama ayah dan ketiga
adiknya harus pindah rumah. Namun, karena uang
tidak mencukupi untuk membeli rumah, Triyanto
selaku ayah memutuskan untuk mengontrak bekas
kandang sapi di Dusun Jongke Tengah. Kandang
sapi itu kemudian dialihfungsikan sebagai tempat
tinggal.
"Per bulan bayar Rp 170.000. Ya memang seperti
itu kondisinya. Lantainya masih tanah," ucap
Triyanto.
Rumah semipermanen berukuran 2,5 m x 5 m
kondisinya memang memprihatinkan. Bahkan
karena belum ada biaya, daun pintu dan dinding
sisi utara dibiarkan terbuka. Untuk mengurangi
embusan dingin udara malam dan tetesan air
hujan, terpaksa pintu dan sisi yang masih terbuka
ditutup dengan mengunakan spanduk-spanduk
bekas.
Sekeliling bangunan yang ditempati Bripda Taufik
pun merupakan kandang sapi yang dikelola
kelompok masyarakat setempat sehingga bau
menyengat kotoran sapi setiap hari harus
dirasakannya.
Di dalam rumah semipermanen itu hanya ada dua
kasur tempat tidur. Dua kasur dengan kodisi
berlubang itu dipakai oleh lima orang, yaitu tiga
adiknya, ayah, dan dirinya. Bahkan, ketika Bripda
Taufik tidur di rumah, Triyanto mengalah untuk
tidur di mobil pikap beralaskan tikar dan beratap
langit.
"Saya senang kalau piket dan tidak pulang.
Soalnya kasihan bapak kalau tidur di luar. Bapak
sering mengalah tidur di bak mobil," kata Taufik.
Melihat keadaan itu, di gaji pertamanya menjadi
anggota kepolisian, Taufik berencana akan
menggunakannya untuk mengontrak rumah yang
lebih layak. Ini dilakukan demi ayah dan ketiga
adiknya yang masih kecil-kecil.
"Nanti kalau gajian pertama, saya ingin gunakan
untuk mengontrak rumah. Kasihan bapak dan adik-
adik kalau tetap tinggal di sana," tuturnya.
Penulis: Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma
Editor: Bayu Galih
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar
Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM – Partai Bur...
-
Inilah Daftar Ribuan Nama Indonesia Di Panama Papers (Alphabetical Order) Inilah Daftar 2.961 Nama Indonesia Di “Panama Papers” (Alphabet...
-
Belajar Bareng Alie belajar menggemari belajar ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar