POLITIK EKONOMI SOSIAL BUDAYA MILITER BUDAYA KESEHATAN SEJARAH OLAHRAGA BISNIS TEKNOLOGI PARIWISATA HUKUM AGAMA EDUKASI SASTRA NASIONAL INTERNASIONAL
Minggu, 18 Januari 2015
Sebelum PHK, Perusahaan
Harus Punya Putusan Pidana
Kuasa hukum pekerja menyatakan
keputusan perusahaan untuk melakukan
PHK telah melanggar beberapa aturan dan
putusan MK tentang ketenagakerjaan.
IHW
Perseteruan antara perusahaan PT
Huntsman Indonesia (Huntsman) dengan
Sabar Siregar mendekati babak akhir.
Dalam persidangan yang digelar di
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
Jakarta pada Kamis (14/2), kedua pihak
menyerahkan berkas kesimpulan masing-
masing kepada majelis hakim yang
diketuai Heru Pramono.
Sekedar mengingatkan, sengketa antara
Huntsman dengan Sabar di PHI terkait
dengan perselisihan PHK . Huntsman
berniat memecat Sabar yang dianggap
telah menyalahgunakan fasilitas kantor
untuk kepentingan pribadi. Saat itu
Huntsman mengkualifisir tindakan Sabar
sebagai pelanggaran berat yang bisa
langsung dipecat tanpa adanya surat
peringatan terlebih dahulu. Disnakertrans
Jakarta Timur sebagai mediator
menganjurkan agar Huntsman memutus
hubungan kerja dan membayarkan uang
pisah kepada Sabar sebesar sebulan gaji.
Di dalam kesimpulannya, Sabar melalui
kuasa hukumnya, Johnson Siregar
menyatakan tindakan pemecatan yang
dilakukan Huntsman adalah bentuk
arogansi dan kesewenang-wenangan
perusahaan. Betapa tidak, menurut
Johnson, dalam perkara ini Huntsman
dianggap menabrak beberapa ketentuan
peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Ditambahkan Johnson, putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor
012/PUU-1/2003 menjelaskan bahwa
keberadaan Pasal 158 UU No 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan -yang
memungkinkan perusahaan bisa langsung
melakukan PHK buruh ketika dianggap
melakukan pelanggaran berat berupa
tindak pidana- sudah dibatalkan dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Artinya, buruh yang di-PHK karena
dianggap melakukan pelanggaran berat,
harus dibuktikan terlebih dulu dengan
putusan pidana. Perusahaan tidak boleh
mem-PHK sebelum mengantongi putusan
itu, kata Johnson. Selain putusan MK,
Johnson menggunakan Surat Edaran
Menakertrans bernomor SE-13/MEN/SJ-
HK/I/2005 sebagai dasar argumennya.
Pada poin 3 huruf a Surat Edaran Menteri itu
disebutkan bahwa pengusaha yang akan
melakukan PHK dengan alasan pekerja/
buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal
158 ayat (1)), maka PHK dapat dilakukan
setelah ada putusan hakim pidana yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dihubungi melalui telepon pada Kamis
(14/2), Kemalsyah Siregar, kuasa hukum
Huntsman membantah tudingan yang
menyebutkan bahwa pihaknya telah
melanggar peraturan dalam mem-PHK Sabar.
Dijelaskan Kemal, Huntsman tidak pernah
menuduh Sabar melakukan kesalahan berat
dalam konteks pidana seperti pencurian atau
penggelapan. Sabar kami nilai telah
melakukan kesalahan dengan
menyalahgunakan fasilitas perusahaan yang
terdapat di dalam Pasal 59.2 (e) Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) yang berlaku di
Huntsman, jelasnya.
Pernyataan Kemal ini yang dikritik Johnson.
Seperti tertuang dalam berkas
kesimpulannya, Johnson menerangkan
bahwa selain Pasal 59.2 (e), Sabar juga
dianggap melanggar Pasal 64 Ayat (3) PKB
yang berbunyi mencuri, memalsukan
dokumen, menipu, penggelapan dan atau
kejahatan lainnya. Mereka tidak pernah mau
mengakui bahwa dasar pemecatan Sabar
adalah juga dengan pasal 64 Ayat (3) ini.
Mereka tahu bahwa posisi mereka lemah
kalau ketahuan menggunakan pasal ini
dalam memecat.
Terlepas dari perdebatan Kemal dan Johnson,
berdasarkan catatan hukumonline ,
penafsiran hakim PHI atas putusan MK dan
surat edaran Menakertrans ternyata belum
seragam. Dalam perkara Nudin melawan
PT Wisma Bumputera misalnya. Nudin yang
dianggap melakukan penganiayaan terhadap
rekan kerjanya akhirnya di-PHK melalui
putusan PHI Jakarta. Padahal saat itu belum
ada putusan pidana yang menghukum Nudin
bersalah.
Skorsing tak berujung
Pada bagian lain kesimpulannya, Johnson
kembali menguraikan bentuk arogansi dan
kesewenang-wenangan Huntsman yang telah
melakukan skorsing selama lebih kurang
sepuluh bulan sejak Maret 2007 lalu.
Padahal, mengacu pada Pasal 62 Ayat (3)
PKB, disebutkan bahwa skorsing dilakukan
untuk jangka waktu paling lama 6 bulan. Ini
apa lagi kalau bukan bentuk arogannya
perusahaan? Masa PKB-nya sendiri dilanggar
juga? geram Johnson.
Mengenai hal itu, Kemal kembali
membantah. Ia mengaku telah mengirimkan
surat kepada Sabar yang isinya
memberitahukan perubahan status skorsing.
Kami sudah sampaikan surat, bahwa status
skorsing diubah menjadi skorsing dalam
proses PHK sebagaimana diatur dalam Pasal
155 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan, jelasnya.
Hakim Heru Pramono menunda
persidangan hingga sepekan mendatang
(21/2) dengan agenda pembacaan
putusan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar
Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM – Partai Bur...
-
Belajar Bareng Alie belajar menggemari belajar ...
-
Inilah Daftar Ribuan Nama Indonesia Di Panama Papers (Alphabetical Order) Inilah Daftar 2.961 Nama Indonesia Di “Panama Papers” (Alphabet...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar