Senin, 20 Juli 2015

sukristiawan.com:90%Migas kita di kuasai Asing

90% Migas Kita Dikuasai Asing
Pengantar
Saat ini, masyarakat dunia
’diguncang’ dengan krisis
minyak dunia. Harga jual
minyak dunia hampir
menembus US$100 perbarel.
Kenaikan ini diyakini akan
semakin ’memperburuk’ perekonomian dunia,
termasuk Indonesia. Akibatnya, Pemerintah
diprediksikan harus ’menanggung’ beban subsidi
minyak yang ’membengkak’. Tentu kondisi ini
dikhawatirkan akan sangat mempengaruhi neraca
dalam APBN. Ujung-ujungnya Indonesia akan jatuh
dalam krisis anggaran. Inilah yang dikatakan oleh
Pemerintah sebagai ’membahayakan’. Benarkah
demikian? Bukankah Indonesia negara pengekspor
migas? Sebenarnya, berapa potensi migas
Indonesia? Mengapa kenaikan harga minyak dunia
’dikhawatirkan’ akan membebani APBN? Apakah
karena sektor migas banyak dikelola oleh asing?
Ataukah justru sebaliknya, kenaikan harga minyak
dunia ’membawa berkah’ tersendiri bagi
Indonesia?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas,
Redaktur al-Wa’ie Gus Uwik secara khusus
mewancarai Dr. Hendri Saparini, Pakar Ekonomi
dari Econit dan Tim Indonesia Bangkit. Berikut
petikan wawancaranya.
Berapa sebenarnya potensi migas Indonesia?
Potensi sumberdaya migas Indonesia saat ini
sebenarnya masih sangat besar. Menurut data
terakhir di kantor Kementerian ESDM, sumberdaya
minyak bumi Indonesia saat ini masih tercatat
sekitar 86,9 miliar barel dan gas bumi sekitar
384,7 triliun standar kaki kubik. Sungguh sangat
besar.
Berapa banyak yang dikelola asing?
Inilah yang jadi masalah. Sumberdaya migas
Indonesia yang sudah dieksplorasi maupun yang
masih berupa cadangan memang sangat besar,
namun hampir semuanya, sekitar 90%, dikuasai
asing. Bayangkan. Lebih seratus tahun pengelolaan
industri migas berlangsung di negeri ini, namun
peran maupun kiprah industri migas nasional
masih sangat rendah. Kondisi ini sangat berbeda
dengan negara lain yang berusaha meningkatkan
perannya dalam mengelola sumberdaya alam
migas.
Contoh paling mudah adalah Malaysia. Negara
jiran kita yang pada tahun 1970-an belajar dari
Pertamina, saat ini, melalui Petronas, sudah
menguasai pengolahan migas di negaranya dan
dilakukan oleh putra-putri Malaysia sendiri. Bukan
itu saja, Petronas juga sudah merambah ke
berbagai negara untuk melakukan eksplorasi.
Bandingan lain adalah pengelolaan migas di Cina.
Peran industri migas asing di negeri tersebut amat
minimal, kurang dari 5%.
Jika negara-negara lain berusaha untuk menguasai
sumberdaya alam migas karena yakin bahwa
penguasaan sumber energi alam ini akan menjadi
kunci kemandirian dan kemajuan bangsa, mengapa
keyakinan yang sama tidak ada pada para pejabat
Indonesia? Bagi saya, hal ini bisa terjadi tidak lain
kecuali karena banyak pejabat yang menjadi
subordinasi dari kepentingan asing. Jadi, tidak
salah bahwa Indonesia memang masih dijajah
dalam bentuk penjajahan yang berbeda. Penjajahan
semakin mulus dan samar saat Indonesia memiliki
banyak komprador dan agen kepentingan asing
yang tidak peduli terhadap kepentingan nasional.
Berapa sebenarnya prosentase migas untuk
diekspor dan domestik?
Sekarang ini tataniaga atau kegiatan ekspor-impor
migas amat sangat ruwet. Pemerintah melakukan
ekspor, tetapi juga mengimpor. Ekspor harus
dipertahankan karena bisnis ini menguntungkan
sekelompok orang. Ekspor juga mengakibatkan
Indonesia harus impor minyak. Mengapa? Inilah
yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Namun
yang jelas, kegiatan impor migas telah menjadi
salah satu dukungan dana bagi penguasa.
Di sisi lain, dalam kerangka kerjasama dengan
swasta (baik nasional ataupun asing) saat ini
meskipun menurut Pemerintah bagian minyak
pemerintah 85%, sejatinya tidaklah sebesar itu.
Pemerintah masih harus menanggung beban
kewajiban membayar cost recovery. Jadi, bagian
Pemerintah sejatinya hanya sekitar 75% saja.
Walhasil, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,
Pertamina harus impor, baik minyak mentah
maupun BBM. Dengan tren produksi (lifting) migas
yang semakin menurun selama beberapa tahun
terakhir dan kecilnya peran Pemerintah, maka
semakin terbatas pilihan bagi Pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ekonomi kita ternyata telah telah sangat
dikacaukan oleh ketergantungan terhadap
pemenuhan migas. Indonesia tidak seharusnya
melakukan impor minyak maupun BBM. Namun,
yang terjadi, tidak hanya wajib impor, tetapi
Pemerintah juga harus impor dengan harga lebih
tinggi karena keberadaan broker. Sangat
memalukan. Perusahaan migas negara lain telah
banyak menceritakan betapa rakyat Indonesia telah
dibodohi selama puluhan tahun karena permainan
broker yang diberi peluang untuk mencari untung
US$ 20-30 perbarel. Belum lagi permainan-
permainan lain dalam ekspor-impor migas yang
juga telah merugikan keuangan negara. Mengapa
keberadaan pencari rente tetap eksis? Tentu
jawabannya sangat mudah. Mereka selalu nyantol
atau mungkin dibekingi oleh penguasa negeri ini.
Belum lagi liberalisasi yang memungkinkan para
pemain asing masuk di industri hilir migas seperti
pembukaan pom bensin tanpa diwajibkan
membangun infrastruktur karena mereka
membajak milik Pertamina. Persis sama dengan
kasus Indosat. Rasanya sangat tidak masuk akal,
tetapi benar-benar terjadi.
Apa sebetulnya akar semua kekacauan ini?
Tidak ada alasan lain kecuali karena adanya
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Sumber Daya Migas. Pengelolaan sumberdaya
migas semakin amburadul setelah diundangkannya
UU tersebut. Seperti diketahui, UU Migas pada era
Pemerintah Megawati telah diijonkan kepada asing
untuk ditukar dengan utang. Mengapa ini terjadi?
Seperti saya jelaskan sebelumnya, mulusnya UU
tersebut karena kepentingan korporat dunia dan
kerakusan negara Barat telah diakomodasi dengan
sangat baik lewat para komprador Mafia Berkeley
yang sudah menguasai kebijakan ekonomi
Indonesia sejak 40 tahun lalu.
Berbagai masalah akhirnya bermunculan bak
cendawan di musim hujan. Menurut laporan BPK,
telah terjadi penyelewengan dalam perhitungan
cost recovery karena perusahaan minyak
melakukan kecurangan dalam perhitungan. Untuk
satu setengah tahun saja, 2004 dan semester I
2005, hasil audit BPK menunjukkan, terdapat
potensi kerugian negara sedikitnya 1,473 miliar
dolar AS atau setara dengan Rp 13,3 triliun.
Temuan itu antara lain mencakup biaya-biaya yang
tidak berhubungan dengan operasi perminyakan
dibebankan ke dalam cost recovery. Kontraktor
mengajukan biaya depresiasi atas fasilitas yang
dibangun meskipun tidak berjalan dengan baik,
dan pembebanan biaya kantor pusat tidak disertai
dengan bukti-bukti yang cukup. Hingga saat ini,
baik oleh Menteri ESDM maupun BP Migas,
masalah ini belum ditindaklanjuti. Anehnya, potensi
penerimaan negara yang luar biasa ini tidak dikejar
oleh para anggota DPR. Licinnya pelicin minyak
telah menyusup ke semua lini.
Kelangkaan gas adalah masalah lain yang muncul
akibat diberlakukannya UU Migas. Dalam UU Migas
Pasal 22 (1) disebutkan, “Badan Usaha atau Badan
Usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25%
bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/
atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri.” Akhirnya, pabrik-pabrik pupuk milik
Pemerintah terpaksa tutup karena tidak tersedia
pasokan gas. Dimana semangat kepentingan
nasionalnya? Mengapa kebijakan pemenuhan
kebutuhan gas dalam negeri hanya dengan
kebijakan, “Kalau ada sisa ekspor”? Kalau gak ada
ya gak masalah wong memang tidak ada
kewajiban. Masih sangat panjang daftar kerugian
yang diakibatkan oleh liberalisasi pengelolaan
migas dan juga tambang.
Seperti diketahui tuntutan masyarakat untuk
dilakukan judicial review terhadap UU tersebut
telah berhasil meskipun Mahkamah Konstitusi
hanya mengabulkan revisi terhadap tiga pasal saja.
Walaupun hanya tiga pasal, DPR maupun
Pemerintah tidak peduli untuk segera merevisi.
Dengan kata lain, tanpa ada desakan dari
masyarakat untuk merevisi kebijakan migas, tidak
akan pernah terjadi perubahan.
Dengan kenaikan harga minyak bagaimana dengan
keuangan Pemerintah? Untung atau rugi?
Ini yang aneh. Pada tahun 2005, saat terjadi
kenaikan harga minyak mentah dunia hingga
mencapai US$ 70 perbarel (dari semula US$ 45
perbarel), Pemerintah langsung menyatakan
kenaikan harga minyak membebani keuangan
negara sehingga subsidi BBM harus segera
dipangkas. Hasilnya, Pemerintah menaikkan harga
BBM hingga dua kali dan dengan tingkat kenaikan
yang luar biasa, yakni di atas 126%. Namun, kali
ini Pemerintah dengan cepat mengamini bahwa
penerimaan Pemerintah bertambah. Jadi, “Jangan
khawatir,” tegas pejabat Pemerintah. Jangankan
sekarang, setelah BBM mengalami kenaikan tinggi
tahun 2005 dan BBM industri telah disesuaikan
harga international, saat BBM belum mengalami
kenaikan saja, kenaikan harga minyak dunia
sesungguhnya ’telah menambah’ pundi-pundi
Pemerintah.
Apa yang dilakukan Pemerintah dengan kenaikan
minyak dunia sudah tepat? Berpihak kepada
rakyat?
Hingga akhir 2007, Pemerintah tidak akan
menaikkan harga BBM dengan pertimbangan APBN
masih aman. Mengapa? Selain ada tambahan
penerimaan, realisasi program pembangunan dari
APBN 2007 masih sangat lambat. Hingga
Semester I 2007 baru 17% program pembangunan
yang dilakukan. Artinya, pelaksanaan APBN yang
lamban ini telah menyelamatkan APBN 2007
meskipun harus dibayar dengan absennya
program-program penciptaan kerja.
Namun, untuk tahun depan kenaikan harga minyak
akan dijadikan ’justifikasi’ untuk menaikkan harga
BBM. Penyataan bahwa Pemerintah sedang
mempersiapkan JPS (Jaring Pengaman Sosial)
menunjukkan bahwa Pemerintah tidak mau
melakukan kebijakan terobosan dan kebijakan yang
sifatnya substansial. JPS, selain terbukti
efektivitasnya rendah, juga sangat minimal untuk
mengurangi beban kelompok miskin karena hanya
akan mengulang kesalahan BLT.
Saya, insya Allah, yakin kebijakan yang akan
diambil bukan saja kebijakan yang tidak berpihak
kepada rakyat dan ekonomi nasional, tetapi juga
tanpa perencanaan dan tidak subtantial. Semua
hanya bersifat polesan-polesan.
Selain program JPS ala Bappenas, ternyata Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo
Yusgiantoro justru kembali menawarkan solusi
masalah energi dengan alternatif yang sejalan
dengan Konsensus Washington, yaitu mengetatkan
subsidi dan segera menghilangkan peran
Pemerintah dalam pengelolaan migas. Mari kita
simak usulan Purnomo. Indonesia, tegasnya, harus
segera meliberalisasi industri migas seperti Jepang
dan negara maju lainnya. Selain sangat
menyederhanakan masalah pilihan, ini jelas
menunjukkan tidak adanya keberpihakan kepada
rakyat. Dengan melepas harga BBM pada harga
internasional yang dikendalikan oleh korporasi-
korporasi asing, ini jelas akan menekan daya beli
masyarakat Indonesia yang sangat jauh di bawah
masyarakat Jepang atau bahkan negara-negara
tetangga seperti Malaysia atau Singapura.
Demikian juga usulan untuk melakukan efisiesi
energi dengan mengurangi subsidi listrik. Katanya,
langkah ini akan mengurangi kebiasaan
masyarakat yang boros listrik. Tidak jelas,
masyarakat mana yang dimaksud. Apapun
pilihannya, lagi-lagi menunjukan Pemerintah masih
keukeuh mengusung konsep konservatif IMF,
bahwa untuk menyelamatkan keuangan negara,
tidak ada jalan lain kecuali dengan menghilangkan
beban-beban subsidi.
Usulan untuk mempercepat penerapan konversi
energi semakin menunjukkan bahwa langkah
kebijakan tidak terencana. Mengganti sumber
energi, baik untuk industri maupun untuk rumah
tangga, tidak bisa dengan cepat. Program konversi
energi untuk Indonesia yang selama puluhan tahun
tidak memiliki energi alternatif memerlukan masa
transisi yang panjang dan memerlukan peran besar
Pemerintah. Jangan sampai konversi dilakukan
dengan mengurangi pasokan, dengan harapan,
kalau supply minyak tanah tidak ada maka akan
memaksa masyarakat beralih ke gas. Untuk
masyarakat menengah atas skenario tersebut
mungkin benar. Namun, untuk yang
pendapatannya pas-pasan, tidak ada alternatif
kecuali mengurangi pengeluaran lain atau
menurunkan kualitas.
Sebetulnya, mungkin-tidak di Indonesia minyak
murah?
Sangat mungkin kalau Pemerintah mengubah cara
perhitungan harga dasar BBM. Harga BBM
ditetapkan berdasarkan biaya produksinya, bukan
berdasarkan harga internasional yang ditetapkan
dengan perkembangan harga minyak rata-rata di
Singapura (Mid Oil Plats Singapore/MOPS). Namun,
banyak hal yang harus dilakukan untuk
mewujudkan ini.
Apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah?
Langkah pertama adalah dengan merevisi UU
Migas tahun 2001. Undang-undang ini telah
menjadi biang kerok kekacauan ekonomi
Indonesia. Kalau negara lain bisa mengembalikan
kepemilikan migas dari asing kepada negara, maka
hal yang sama pasti dapat dilakukan di Indonesia.
Bahwa tidak mudah untuk dilakukan saat ini, itu
pasti. Namun, kalau dikatakan langkah terobosan
atau haluan baru dalam mengelola sumber alam
tidak dapat dilakukan, sangat salah. Jadi, tugas
berat bangsa Indonesia adalah mencari sistem
pengelolaan dan langkah terobosannya plus
mencari orang yang berani melakukannya. [Dr.
Hendri Saparini]
Baca juga :
1. Menguntungkan Asing, UU Migas Didesak Direvisi
2. Syamsuddin Ramadhan: “Haram!
Menyerahkelolaan Migas pada Asing”
3. Perusahaan Asing Kuasai 70% Sumur Migas RI
4. HTI Kalteng: Kenaikan BBM, Siasat Asing Masuk
Eceran Migas
5. HIP Jabar: Liberalisasi Migas untuk Kepentingan
Asing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...