Minggu, 08 November 2015

sukristiawan.com:Lima jurus kaum menegah menindas dan menginjak kaum buruh

“Ya Allah, pemerintah kok zalim betul sama
rakyat…” begitu kicau kawan saya, pekerja kerah
putih di perusahaan multinasional, melalui Twitter.
Kicauan ini muncul di lini masa pada Juli lalu,
ketika pemerintah mengumumkan peraturan baru
terkait BPJS dan JHT. Peraturan tersebut
mempersulit pencairan dana kedua jaminan sosial
ini. Sebagai kelas menengah yang gajinya pas-
pasan untuk makan di resto dan belanja barang-
barang branded , tentu ia ikut mengeluh. Ia pun tak
berkomentar sinis ketika massa buruh turun ke
jalan menolak aturan baru ini. Barangkali ia
bahkan diam-diam turut menitipkan aspirasinya
pada massa buruh yang berdemonstrasi.
Beberapa bulan kemudian, kawan saya itu berkicau
lagi. “Memang paling enak jadi tukang protes!”
kicaunya mengomentari aksi buruh menolak PP
Pengupahan pada akhir Oktober lalu.
Saya terhenyak. Kali ini rupanya ia sama sekali tak
simpatik pada aksi buruh. Sebagai pekerja kerah
putih dengan gaji multinasional, isu upah minimum
dan pelemahan serikat bukan perkara penting
baginya. Mau buruh-buruh pabrik digaji pakai
permen kembalian dari Indomaret pun bukan soal,
yang penting rutinitas dinner cantik bareng kolega
sekantor tak terganggu.
Lagipula, selain tak berfaedah bagi kawan kelas
menengah saya itu, demonstrasi buruh menolak PP
Pengupahan juga bikin jalan Jakarta jadi macet.
Apalagi jika jalan menuju tempat fitness langganan
ikut kena macet, komplit sudah alasan untuk sinis.
Seperti kawan saya ini, barangkali kita semua juga
punya kecenderungan memosisikan diri sebagai
“rakyat yang dizalimi” saat kepentingan kita
diganggu. Itu lumrah dan demokratis.
Persoalannya adalah ketika kita sinis terhadap
kaum lain yang sedang merasa dizalimi. Seringkali
sinisme kita itu dasarnya hanya karena kita tak
merasa dizalimi dalam isu yang sama.
Ini mengingatkan saya pada ucapan Soe Hok Gie
tentang kemunafikan: merintih ketika ditekan tapi
menindas ketika berkuasa. Perilaku kelas
menengah NKRI di era media sosial ini mirip-mirip
begini, atau bahkan lebih pandir: berdoa ketika
ditekan tapi ikut-ikutan menekan ketika orang lain
yang ditekan.
Berikut adalah jurus-jurus kelas menengah ketika
ikut-ikutan menekan kaum buruh yang sedang
tertekan…
Menuduh Tuntutan Tak Realistis
“Pecat saja sekalian kalau menuntut yang tidak
realsitis!” begitu biasanya omelan kelas menengah
pengguna medsos, ketika menyambar berita yang
perspektifnya memang mengundang komentar
macam begini.
Jadi, menurut mereka, PHK massal itu lebih
realistis ketimbang tuntutan kenaikan upah di
antara harga-harga yang terus melambung tinggi.
Padahal upah buruh Indonesia termasuk yang
paling rendah di Asia Tenggara, di bawah Malaysia,
Filipina, dan Thailand. Bahkan di beberapa daerah,
upah buruh Indonesia masih lebih rendah dari
Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Perlu diingat,
Myanmar termasuk dalam 23 negara paling miskin
di dunia.
Khotbah Kinerja
Tuduhan bahwa tuntutan buruh tidak realistis ini
biasanya diikuti pula dengan khotbah
produktivitas. “Tingkatkan kinerja dulu dong!”
begitu bunyi khotbah produktivitas. Memang paling
enak ngemeng produktivitas karena bukan kita
yang harus berdiri berjam-jam di depan assembly
line . Paling enteng meremehkan kinerja buruh
karena bukan kita yang terpapar zat kimia
elektronik setiap hari . Paling gampang
mengecilkan jerih payah buruh karena bukan kita
yang dibentak-bentak, disetrap, dilecehkan secara
seksual, dan direndahkan harga dirinya di pabrik.
Peduli setan jika banyak pabrik tak membayar
upah lembur dengan benar, peduli setan jika
banyak buruh muslim kesulitan menunaikan salat
karena dihimpit jam kerja, atau pihak manajemen
membiarkan toilet pabrik rusak sehingga buruh-
buruhnya harus menahan kencing dan berak
selama berjam-jam . Peduli setan semuanya,
asalkan ndoro investor senang!
Khotbah Gaya Hidup
Ada pula yang menyertakan khotbah gaya hidup
sehat dan hemat. “Makanya jangan merokok biar
hemat dan sehat,” begitu katanya. Celaka betul jadi
orang kere di Indonesia. Merokok diceramahi soal
gaya hidup sehat, beli telepon genggam canggih
dibilang tak mawas diri, beli motor jadi bahan
gunjingan, ingin wisata ke Bali dijadikan bahan
tertawaan. Beda tanggapan kita terhadap orang-
orang kaya. Mau makan burger dan lasagna tiap
hari pun tak bakal diceramahi gaya hidup sehat.
Kalau mereka koleksi mobil mewah atau pelesir ke
Singapura tiap minggu kita hanya terkagum-
kagum.
Saya pun sepakat hemat itu penting, tapi menyuruh
orang kere untuk berhemat itu sama saja
menyuruh orang kelaparan untuk diet.
Kuliah Ekonomi yang Itu-itu Lagi
Kadang dengan ilmu ekonomi seadanya, mereka
yang sinis terhadap aksi buruh ini mencoba
memberi kuliah yang itu-itu lagi. “Kalau gaji naik
nanti inflasi,” misalnya. Jumlah gaji buruh yang
hanya seuprit terus-terusan diaudit, sementara
pendapatan para bos besar yang bisa sampai dua
ratus kali lipat gaji buruhnya tak dibahas.
Ada juga yang menakuit-nakuti investor bakal
hengkang ke negara lain jika buruh banyak
menuntut. Padahal di negara lain pun kerap kali
investornya mengancam akan hengkang ke
Indonesia. Di Batam, investor sering mengancam
akan relokasi ke Johor, sedang di Johor
investornya sering mengancam akan relokasi ke
Batam. Dengan begini, masing-masing pemerintah
akan bersaing dalam race to the bottom,
mengurangi kualitas hidup rakyatnya sendiri demi
investasi. Inikah yang kita inginkan?
Kuliah Hukum yang Itu-itu Lagi
Selain “pakar” ekonomi, “pakar” hukum juga
seringkali ikut berkomentar. Kuliah hukum ini
kerap fokus pada batas-batas yang dilanggar
massa buruh ketika demonstrasi, sementara para
majikan yang sering dengan entengnya melanggar
hukum ketenagakerjaan tidak disinggung.
“Dari dulu juga demo ada batas waktunya. Cerdas
dikit dong!” katanya.
Karena saya menolak cerdas dikit dan maunya
cerdas banyak, saya pakai cara berpikir lain.
Belanda waktu dulu menjajah Indonesia juga bisa
memeras pribumi tanpa melanggar hukum.
Sedangkan Sukarno, Tan Malaka, dan Sudirman itu
dianggap pelanggar hukum di zaman kolonial
karena melawan penindasan. Apakah itu artinya
penindasan Belanda dapat dibenarkan karena
sesuai hukum kolonial sementara perlawanan
terhadap penindasan itu salah karena melanggar
hukum kolonial? Hukum tertulis tidak bisa
dijadikan tolok ukur utama dari rasa keadilan.
***
Di alam kebebasan berpendapat, orang tentu
bebas menyatakan suka atau tidak suka. Gerakan
buruh pun bukannya tanpa kontradiksi. Gerakan
buruh juga memerlukan kritik karena pegiatnya
bukan malaikat. Kritik dari kelas menengah dapat
bermanfaat bagi gerakan buruh, namun kritik yang
dibutuhkan adalah kritik yang bermutu dan bukan
sinisme asal-asalan. Sinisme kelas menengah
yang penuh bias, dan kosong tanpa data, hanya
mengingatkan saya pada nasihat Gus Mus yang
pas sekali di era media sosial seperti sekarang:
seandainya orang yang tidak tahu mau diam…
Artikel Terkait:
URL versi cekak untuk artikel ini: http://
bit.ly/1MElJSX
ARTIKEL
Lima Jurus Kelas Menengah
Ketika Menginjak Kaum Buruh
OLEH AZHAR IRFANSYAH // 8 NOVEMBER 2015
TWEET SHARE
        
Peringatan untuk Buruh dari Kelas
Menengah yang Bijak
Kualitas Menyedihkan Fahri
Hamzah
Presiden Jokowi Perlu Merekrut
Agus Mulyadi
Horor Bela Negara
TENTANG AZHAR
IRFANSYAH
lihat semua artikel
Sukarelawan Lembaga
Informasi Perburuhan Sedane. Sedang nabung
bareng di Credit Union Gerakan Lingkar Massa.
TERPOPULER SEPEKAN
M. Yamin, Bapak Copywriter Nasional
28 OKTOBER 2015 / MERRY MAGDALENA
Alpukat dan “Bahaya” Berbahasa Ala Mojok
27 OKTOBER 2015 / JAJANG HUSNI HIDAYAT
Mari Kita Sambut: Para Pemuda Kekinian Harapan
Bangsa!
29 OKTOBER 2015 / ARMAN DHANI
Sambal Tumpang Koyor Kota Merah
26 OKTOBER 2015 / WIDHI HAYU SETIARSO
Benarkah Wartawan Tempo Boleh Merokok Ganja?
30 OKTOBER 2015 / RUSDI MATHARI
Swa-Sensor ala Ubud Writers & Readers Festival
31 OKTOBER 2015 / MADE SUPRIATMA
TERBARU
KOMENTAR
Y O E D H
Lima Jurus Kelas Menengah Ketika Menginjak
Kaum Buruh
SudahSudahkah anda minum kopi hari ini?
2 minutes ago
Firmansyah Layla Puspitak
Lima Jurus Kelas Menengah Ketika Menginjak
Kaum Buruh
khotbah no 3 soal ekonomi , kalau mau
berbantahan...
55 minutes ago
PalingBenarSeduniaAkhirat
Lima Jurus Kelas Menengah Ketika Menginjak
Kaum Buruh
Jurus kelas menengah yang suka nyinyir minta...
an hour ago
Fatkhul
Subhanallah, Inilah Rahasia Kecerdasan Kaum
Perokok
aku due pantun dulur ngerokok mati ora
ngerokok...
3 hours ago
Danubrata Dadang
Jangan Lupa yang Lima Waktu
Kurang klimaks mz :D
4 hours ago
Danubrata Dadang
Bangsa Ini Rusak Karena Aura Negatif Jokowi!
sudah capek capek komen biar nggak dibilang
kurang...
5 hours ago
Danubrata Dadang
Lima Jurus Kelas Menengah Ketika Menginjak
Kaum Buruh
Memang kelas menengah inila biangnya... Hahaha
5 hours ago
Lima Jurus Kelas Menengah Ketika Menginjak
Kaum Buruh
8 NOVEMBER 2015
Sudahkah Anda Speak English Hari Ini?
7 NOVEMBER 2015
Sekali Lagi, Reaksi atas Pertemuan Jokowi dengan
Orang Rimba
6 NOVEMBER 2015
Membayangkan Mojok.Co Diincar Surat Edaran
Kapolri
5 NOVEMBER 2015
Jangan Lupa yang Lima Waktu
4 NOVEMBER 2015
Karena Nasib Suku Anak Dalam Tidak Lebih
Penting dari Foto Jokowi
3 NOVEMBER 2015
Peringatan untuk Buruh dari Kelas Menengah yang
Bijak
2 NOVEMBER 2015
TENTANG AYO BERKONTRIBUSI! DISCLAIMER BLOG KONTAK
Bahwa sesungguhnya mojok adalah hak segala
bangsa, baik yang sudah mandi maupun belum.
Mojok disukai wanita setengah berjilbab, setengah
liberal, setengah konservatif, setengah komunis
hingga yang tidak setengah-setengah, dicintai pria
dari kutub selatan sampai kutub utara.
© 2015 | MOJOK - SEDIKIT NAKAL BANYAK AKAL
#Mercon #PekanKuliner #PekanMengenangKampus Ada Apa Dengan Cinta Agus Mulyadi ahok Cak Dlahom
jakarta jokowi jomblo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...