Rabu, 18 November 2015

sukristiawan.com:Tentang koperasi yang politis

Tentang Koperasi
yang Politis
26 October 2015
 Dodi Faedlulloh
 Harian Indoprogress
Print PDF
SETELAH tahun lalu gerakan koperasi berhasil
menggagalkan undang-undang perkoperasian yang
berkarakter kapitalis, keringat belum kering, kini
insan-insan koperasi tampaknya masih harus
siap-siap standby menyingsingkan lengan baju
mengawal dan memperjuangan demi undang-
undang perkoperasian yang sejati. Seperti yang
dijelaskan Kawan Suroto bahwa draft RUU
Perkoperasian pengganti yang baru pun masih
tetap memiliki problem mendasar yang laten
menyusup dalam pasal-pasal regulasi. Salah
satunya tentang pasal wadah tunggal Dekopin yang
kembali hadir. [1]
Lagi, koperasi di Indonesia sampai saat ini belum
bisa menjadi tuan rumah bagi dirinya sendiri. Ia
selalu dibicarakan oleh pihak-pihak yang ada di
luar dirinya. Alhasil segala buah pikir anti-koperasi
mulai masuk dalam praktik keseharian koperasi.
Seperti Undang-Undang Perkoperasian No. 17
Tahun 2012 yang di- judical review lalu, misalnya.
Atau terbaru, Gubernur Jawa Barat yang hendak
mewajibkan para PNS untuk masuk anggota
koperasi. [2] Sekilas hal seperti ini seperti daya
dukung pemerintah, namun alih-alih mendukung,
justru tipikal negara yang terlalu hadir dalam
kehidupan perkoperasian merupakan warisan Orde
Baru. Saat Orde Baru berkuasa, koperasi-koperasi
fungsional dibangun seragam dan ditancapkan
pada tubuh-tubuh besar seperti perusahaan yang
melahirkan koperasi karyawan, instansi
pemerintahan dengan Koperasi Pegawai Republik
Indonesia (KPRI), dan bahkan kampus dengan
pendirian koperasi-koperasi mahasiswa (Kopma)
yang menjadi bagian dari riuh Normalisasi
Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Negara yang terlalu hadir menciptakan
ketergantungan. Sampai memasuki era Reformasi,
sindrom ketergantungan koperasi kepada
pemerintah tidak kunjung berkurang.
Ketergantungannya kepada pemerintah menjadikan
gerakan koperasi tidak dapat melepaskan diri dari
irama orientasi politik pemerintah yang berkuasa
(Djohan: 2015).
Selubung gelap merasuki pemahaman masyarakat
tentang koperasi. Inilah yang berbahaya. Bila tidak
segera direformasi, koperasi akan menjadi medan
kekosongan. Koperasi beraktivitas tapi minus
subjek yang paham dengan dirinya sendiri.
Koperasi diusung, dibangga-banggakan,
diseremonialkan ─setidaknya setiap tanggal 12
Juli, tapi tanpa ruh sama sekali. Dengan kata lain
negara memaksa koperasi berdiri, tapi tanpa diri.
Koperasi yang akhir tahun 2014 lalu berjumlah
209.488 [3] itu bisa berpotensi berjalan tanpa ada
orientasi dan ekspektasi menjadi koperasi yang
sejati. Catatan normatif dari Kementrian Koperasi
dan UKM itu sendiri menginformasikan ada sekitar
62.239 koperasi yang tidak aktif. Walaupun data
ini masih perlu dikritisi karena dalam praktik di
lapangan justu yang tumbuh subur adalah
semacam rentenir-rentenir berbadan hukum
koperasi saja, tetapi hal ini sekurangnya cukup
menunjukkan keironisan statistik.
Pembacaan lewat berbagai kejadian yang
dijelaskan di muka, seperti ada pengulangan siklus
dramatis kehidupan perkoperasian di Indonesia.
Terjadi dengan cara-cara yang mirip, tapi
sayangnya lagi-lagi pula koperasi sering terjebak
dalam perangkapnya.
Gambar 1. Siklus Dramatis Koperasi
Bila mengikuti Dawam Rahardjo (2015, maka ada
tiga model koperasi: Pertama, koperasi sebagai
gerakan sosial-ekonomi. Kedua, koperasi sebagai
program pemerintah. Ketiga, koperasi sebagai
badan usaha. Maka koperasi di Indonesia dominan
menjadi koperasi sebagai program pemerintah dan
sebagai badan hukum. Belum menjadi gerakan
sosial-ekonomi secara luas. Koperasi masih
dijadikan objek, bukan subjek.
Gambaran ini menunjukkan bahwa koperasi tidak
mampu menyuarakan dirinya sendiri. Koperasi
dibicarakan atau dimediasi oleh pihak di luar
dirinya, dalam konteks negara bisa dilakukan oleh
eksekutif maupun legislatif. Ketidak-mampuan
yang ada inilah yang perlu ditinjau kembali.
Apakah karena koperasi yang memang tidak
mampu atau dikondisikan agar koperasi tidak
pernah mampu juga tidak pernah mau bersuara
atas dirinya sendiri?
Menjawab Tanya
Jumlah anggota koperasi di Indonesia ada sekitar
36.500.000 atau sekitar 14 persen dari jumlah
penduduk di Indonesia. Jumlah yang cukup besar
namun belum optimal. Belum optimal selain dari
kuantitas, tapi juga pada tataran pemahaman para
anggota koperasi sendiri. Masih banyak dari para
anggota koperasi merupakan masyarakat yang
memilih koperasi sekedar sampingan, bukan yang
utama. Koperasi dianggap perkara kegiatan
ekonomi tambahan semata, bukan sebuah aksi
solidaritas untuk menolong sendiri lewat
kerjasama. Akhirnya, bila ada koperasi-koperasi
yang bangkrut dan gugur di tengah jalan, tiada lain
dianggap sebagai bagian dari takdir Ilahi, bukan
sebuah peristiwa struktural.
Keberhasilan gerakan koperasi menggagalkan
regulasi yang kontra-koperasi tentu perlu
diapresiasi. Ada optimisme, kesadaran makna
berkoperasi mulai tumbuh yang diawali oleh
inisiasi pegiat-pegiat koperasi yang berani
menggorganisir diri secara politis. Melawan negara
yang salah kaprah memang harus berhadapan
langsung.
Benang merah dari keberhasilan perjuangan
gerakan koperasi salah satunya adalah adanya
sikap politis dari beberapa koperasi dan para homo
cooperativus. Ada kesepahaman radikal bahwa
koperasi tidak bisa diotak-atik oleh pihak yang
justru hendak menyingkirkan koperasi. Namun dari
semangat yang sudah ada ini juga tersimpan
refleksi yang dalam. Bisa dikatakan masih sedikit
koperasi di Indonesia yang bergerak secara politis.
Tidak banyak koperasi dan anggota-anggotanya
yang menjadi presentasi, mereka lebih banyak
manut terhadap representasi-representasi yang
secara riil tidak pernah mewakili suara koperasi.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan penulis di
salah satu kabupaten di Jawa Tengah, secara
implisit menunjukkan masih banyak para anggota
koperasi yang belum memahami koperasi, bahkan
koperasi mereka sendiri. Kesadaran aktual yang
hadir adalah kesadaran-kesadaran transaksional
dan pengejaran keuntungan jangka pendek yang
ingin didapat. Adapun ketika ada kawan-kawan
anggota koperasi lain yang sedang berjuang
melakukan uji materil undang-undang
perkoperasian, tidak sedikit dari para anggota yang
belum tahu menahu informasi tersebut. Di tengah
arus media informasi yang cepat seperti sekarang,
tampaknya alasan minim informasi tidak lagi
relevan. Hal yang memungkinkan sebagian dari
para anggota tidak mengetahui secara terang atas
gejolak undang-undang perkoperasian tersebut
adalah, seperti yang disinggung sebelumnya,
karena pilihan koperasi sebagai sampingan.
Adapun bila para anggota yang sudah mengetahui
perkara undang-undang perkoperasian tersebut,
respon yang hadir lebih banyak bersifat reaksioner.
Semacam karakter borjuis kecil yang mulai gerah
dan bergerak ketika dirinya sendiri yang terusik.
Kekecewaan dari anggota koperasi sering
dialamatkan kepada hal-hal yang berkait langsung
dengan dirinya. Seperti konsekuensi SHU yang
akan berkurang karena hasil transaksi dari non-
anggota tidak dibagikan, atau kendala teknis
pemisahan unit usaha yang merepotkan.
Keresahan belum tertuju pada ancaman hujaman
filosofis koperasi sebagai people based association
─bukan capital based association. Kurang lebih
demikianlah adanya.
Mendambakan yang Politis
Politis di sini bukan berarti masuk dalam aktivitas
politik-politik praktis yang dangkal. Maksud dari
ihwal yang politis adalah koperasi dan para
anggotanya harus keluar dari kotak keajegan
koperasi yang hanya beraktivitas dalam soal
ekonomi saja. Koperasi perlu politis, yaitu kritis
terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka wajib
melek kondisi ekonomi-politik baik Indonesia
maupun global. Tujuan koperasi perlu politis agar
tidak lagi terjebak pada siklus dramatis politisasi.
Seperti judul lagu Kunto Aji, koperasi terlalu asyik
sendiri. Terlalu menutup diri pada realitas yang
luas. Kesadaran-kesadaran bersolidaritas masih
minim. Terlebih bersifat politis atas dirinya sendiri.
Oleh karenanya ada beberapa hal yang perlu
menjadi pekerjaan rumah untuk masa depan
gerakan koperasi di Indonesia.
Pertama, pentingnya pendidikan ekonomi politik
bagi koperasi. Bila mana hari ini masih banyak
koperasi yang belum menyelenggarakan
pendidikan, atau alih-alih substantif,
penyelenggaraan pendidikan bagi anggota lebih
mirip sebagai syarat administratif, maka ke depan
proses pendidikan ekonomi-politik perlu
dijangkarkan menjadi fundamen penting bagi
kurikulum pendidikan perkoperasian.
Koperasi perlu memahami jejaring struktural dan
relasi sistem ekonomi yang timpang dan
eksploitatif yang sedang mendominasi di
Indonesia. Tujuannya agar koperasi mawas di
mana posisi mereka dan bagaimana kemungkinan
bentuk perlawanan dan pembalikkan situasinya.
Akan tetapi catatan penting, dengan ini bukan
lantas berarti menjadi naif yang membuat koperasi
menjadi serba-serbi revolusioner tapi kosong isi.
Misal kelemahan insan-insan koperasi pada
kemampuan manajemen memang adanya, koperasi
perlu menginsyafinya, tapi upaya pendidikan inilah
diletakkan sebagai ikhtiar untuk menembus
problem yang kasat mata tersebut. Agar koperasi
memahami mana takdir Ilahi, mana takdir bencana
kapitalisme. Bukan melulu mempersalahkan mis-
manajemen an sich .
Proses jihad ini bisa diawali menjadi tugas bagi
para pegiat koperasi yang (kebetulan) berkemajuan
terlebih dulu, untuk melanjutkan perjuangan
mensyiarkan gagasan koperasi ke khalayak lebih
ramai. Selain sebagai perwujudan salah satu
prinsip koperasi tentang pendidikan dan informasi,
juga sebagai perluasan diskursus koperasi kepada
khalayak non-koperasi. Karena perlu diakui
produksi dan distribusi pengetahuan tentang
koperasi di Indonesia masih sangat minim.
Kedua, koperasi perlu melakukan kolaborasi
dengan gerakan sosial lain. Koperasi perlu
membuka diri pada kenyataan yang luas, bahwa
mereka tidak sendiri. Karena gerakan koperasi
sejati selalu mendasarkan diri pada kesadaran diri
para pendukungnya, terlebih pada kesadaran
bekerjasama. Kerjasama diperkuat dengan
menggalakkan solidaritas. Misal, koperasi-koperasi
kredit bergerak bersama gerakan petani ataupun
para nelayan, koperasi-koperasi konsumen
bersolidaritas dengan gerakan buruh untuk
memoderasi kebutuhan domestik yang setiap hari
harganya mencekik, koperasi yang berbasiskan
anggota pada mahasiswa tentu harus lebih inklusif
beriring tangan bersama gerakan-gerakan
mahasiswa. Dan banyak cara serta pendekatan lain
yang dilakukan. Praktik-praktik kerjasama ini
berimbas pada perluasan kemanfaatan koperasi.
Mutualisme mendorong kesadaran anggota
semakin meningkat, jumlah anggota pun
bertambah.
Ketiga, tentunya koperasi harus berani untuk
menjadi koperasi yang politis. Secara kelembagaan
koperasi adalah subjek otonom, begitupula para
anggotanya. Oleh karenanya sudah saatnya perlu
menentukan sikap. Sudah terlalu lama koperasi
tidur lelap sambil menunggu kucuran belas kasih
negara yang pada praktiknya negara justru selalu
berada di pihak pemilik kapital.
Akan sungguh cantik bila pada rapat-rapat
koperasi, para anggota koperasi bisa duduk dan
menentukan agenda bersama. Mendiskusikan siapa
‘musuh utama’ dan target yang diharapkan. Sudah
saatnya koperasi berada di garda depan dalam
perubahan, koperasi bisa bergerak secara radikal
tidak melulu mengambil posisi nyaman.
Membangun konfigurasi koperasi yang politis di
Indonesia bisa jadi pekerjaan yang tidak mudah.
Terlebih masih dominannya anasir-anasir koperasi
yang dianggap sebagai usaha kecil dalam benak
masyarakat menjadi kendala dalam membuka
imajinasi koperasi yang besar dan memiliki power
substantif di Indonesia. Akan tetapi yang perlu
ditekankan, koperasi menjadi benar dan besar bila
mau belajar dari best practices di lapangan.
Adanya pertemuan kebaikan-kebaikan dalam
praktik dengan teori. Jadi tidak salah lah gagasan-
gagasan di luar kebiasaan perlu uji-cobakan untuk
memulai proses menuju best practices.***
Penulis adalah Deputi Riset dan Pengembangan
Kopkun Institute dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Poltik Universitas 17 Agustus 1945
Jakarta.
Kepustakaan:
Djohan, D. 2015. Belajar Berkoperasi dari Negeri
Jiran, diakses dari http://print.kompas.com/
baca/2015/08/06/Belajar-Berkoperasi-dari-Negeri-
Jiran pada tanggal 7 Agustus 1945
Rahardjo. D. 2015. Koperasi di Persimpangan
Jalan diakses dari http://print.kompas.com/
baca/2015/07/13/Koperasi-di-Persimpangan-
Jalan?utm_source=bacajuga pada tanggal 7
Agustus 2015
—————-
[1]http://www.aktual.com/pasal-dekopin-dalam-
draf-ruu-perkoperasian-dipertanyakan/ diakses
pada tanggal 7 Agustus 2015
[2]http://www.republika.co.id/berita/nasional/
pemprov-jabar/15/08/07/nsp4n3368-jabar-
wajibkan-pns-gabung-koperasi diakses pada
tanggal 7 Agustus 2015
[3]http://www.depkop.go.id/index.php?
option=com_phocadownload&view=file&id=377:data-
koperasi-31-desember-2014&Itemid=93 diakses
pada tanggal 7 Agustus 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sukristiawan.com:Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar

Tolak Perppu Ciptaker, Buruh Ancam Gelar Aksi Besar Azhar Ferdian Senin, 02/01/2023 | 00:01 WIB Ilustrasi/Net INDOPOLITIKA.COM  – Partai Bur...